Pisah Terindah
#3"Mau ke mana?"Aku hanya melirik sekilas lalu kembali melangkah."Tunggu, biar aku antar!" seru Mas Danar sembari bergegas menyusulku. Sepertinya dia sudah tahu aku mau ke mana."Aku bisa pergi sendiri.""Nggak, aku antar.""Mas tolong jangan maksa. Okey, saat ini kita memang masih terikat status. Aku masih istri kamu. Aku keluar rumah harus seizin kamu, jadi tolong jangan buat langkahku ini menjadi dosa. Aku mau pergi sendiri. Tolong beri izin.""Kamu masih dan akan tetap jadi istri aku sampai kapan pun. Kita tidak akan berpisah! Kamu tidak memikirkan bagaimana Shahna kalau orang tuanya berpisah!"Aku menyemburkan tawa mendengar kalimat terakhir Mas Danar."Shahna? Bagaimana dengan Shahna kamu bilang? Mas, setahu aku kamu punya IQ yang di atas rata-rata dan yang aku tahu juga kamu selalu punya pertimbangan yang matang sebelum melakukan apa saja.""Lalu, kenapa sekarang kamu memikirkan Shahna? Kemarin-kemarin waktu kamu terlena di pelukan wanita lain, Shahna kamu ke manakan? Kamu baru mikirin dia sekarang? Sudah sangat basi, Mas! Basi!"Aku menggeleng beberapa kali lalu memutar badan sambil mengehembuskan napas kasar."Dara ...."Mas Danar kembali berusaha menghalangiku."Mas, aku nggak mau bicara apa-apa lagi dengan kamu. Nanti saja kita lanjutkan di pengadilan agama. Aku pergi dulu, taksi yang kupesan udah sampai!"Aku bergegas keluar. Taksi online yang telah kupesan sebelumnya baru saja berhenti di depan pagar.****Ternyata ketegaranku tidak bertahan lama. Seiring mobil yang kutumpangi melewati gerbang perumahan, air mataku pun kembali luruh.Shahna! Ya, Shahna gadis kecilku. Cinta sejatiku yang sesungguhnya. Dialah alasan terbesar aku kembali menangis. Bukan sakit yang mendera hatiku, juga bukan pengkhianatan Mas Danar.Segunung rasa bersalah pada Shahna menindihku. Tak sanggup aku membayangkan bagaimana Shahna tumbuh dan mendewasa dengan keluarga yang telah hancur seperti ini. Shahna tidak akan lagi mendapat kasih sayang dan perhatian yang utuh dari papanya. Bagaimana aku akan menjelaskan pada Shahna tentang perpisahan kami. Karena sesungguhnya tidak ada perpisahan yang tak menyisakan kepedihan. Bagaimana cara aku nantinya membalut luka Shahna jika nyatanya aku pun terluka parah dan masih berdarah-darah?Aku tak kuasa mengendalikan kesedihan yang tengah mendera. Tanpa disengaja aku terisak, mengiringi air mata yang bagai menganak sungai mengaliri pipiku."Ibu, maaf, ibu baik-baik saja? Apakah ibu sakit?"Pertanyaan bernada khawatir dari supir membuat aku menyadari di mana keberadaanku. Buru-buru aku menghapus air mata."Oh, nggak, nggak apa-apa," jawabku sedikit tergesa."Barangkali ibu lagi kurang sehat, kalau mau ke klinik atau ke rumah sakit, nggak apa-apa saya antar, Bu," ujarnya lagi dengan ramah."Nggak, Mas, aku nggak apa-apa. Aku nggak sakit cuma suasana hati aja yang kurang enak.""Oh, maaf, ya, Bu kalau saya lancang."Sekilas aku meliriknya lewat spion depan. Sepertinya pengendara angkutan online ini masih cukup muda. Tadi aku tidak terlalu memperhatikan ketika fotonya terpampang di aplikasi."Ya, Mas. Nggak apa-apa." Aku mencoba sedikit tersenyum."Barangkali ibu termasuk tipe orang yang akan merasa lebih baik setelah mengeluarkan air mata, dikeluarin aja, Bu. Nggak usah malu sama saya. Saya juga gitu, kalau lagi ruwet banget saya nangis aja. Walaupun dibilang cengeng, saya masa bodo aja," ujarnya lagi diikuti tawa kecil."Duh, maaf, ya, Bu. Saya lancang lagi."Aku hanya menanggapinya dengan sedikit mengeluarkan suara tanpa membuka mulut."Kukira kita akan bersama. Begitu banyak yang sama. Latarmu dan latarku. Kukira takkan ada kendala. Kukira ini kan mudah. Kau aku jadi kita.Kasih sayangmu membekas. Redam kini sudah pijar istimewa. Entah apa maksud dunia. Tentang ujung cerita. Kita tak bersama."Bait demi bait lagu yang mengalun pelan dari audio kembali menemaniku hanyut dalam pikiran. Terasa sangat relevan. Seolah sang solois sedang menjabarkan apa yang tengah menggelayutiku.Aku dan Mas Danar adalah dua orang yang sangat cocok. Sefrekwensi istilah anak muda kekinian. Hampir tak ada yang bertentangan dari sifat, kesukaan, cara pandang, ataupun impian-impian kami. Hampir semuanya sejalan. Kami sangat serasi. Setiap orang yang mengenal dan melihat pasti akan berpendapat begitu. Nyaris tanpa cela. Namun nyatanya sebegitu banyaknya yang sama tak membuat kami benar-benar bisa bersama.Harusnya, harusnya memang semuanya akan mudah saja kami jalani. Kami bukanlah karakter yang saling bertentangan. Kami berhasil saling mengisi selama hampir satu dekade. Tapi lagi-lagi semua itu bukanlah jaminan. Nyatanya kami berada tengah di ujung tanduk.Persis seperti bait lagu itu, aku pun bertanya, entah apa maksud dunia tentang ujung cerita. Aku dan Mas Damar tak selamanya bersama.Aku kembali menghela napas berat."Rumahnya yang ini, ya, Bu?"Kembali aku tersentak oleh pertanyaan itu. Spontan aku menoleh keluar. Benar, mobil yang membawaku telah berhenti di depan rumah Windi. Buru-buru aku mengusap air mata lalu merapikan kembali penampilan. Setelah mengambil napas panjang beberapa kali aku pun membuka pintu mobil.Sebelum turun, tak lupa aku berucap terima kasih pada si supir. Saat dia menoleh, aku merasa seperti tidak asing dengan wajahnya. Namun, aku abaikan rasa itu. Otakku sudah terlalu penuh dan energiku sudah banyak terkuras. Tidak ada daya lagi untuk mengingat-ngingat hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kelangsungan hidupku.Asisten rumah tangga Windi yang kebetulan sedang ada di halaman rumah menyambut kedatanganku dengan wajah dihiasi senyum."Eh, ada Mbak Dara. Makin cantik aja!" sapanya dengan tatapan berbinar. Dia memang orangnya selalu ceria dan penyapa."Bi Sum bisa aja. Shahna rewel nggak, Bi?""Mana mungkin rewel, orang ada Neng Aliya juga di sini.""Makasih, ya, Bi, udah ikut jagain Shahna. Aku masuk dulu, ya. Windi ada kan di dalam?""Kalau Mbak Windi jangan ditanya lagi, sudah pasti ada.""Aku ke dalam dulu, ya, Bi."Aku bergegas masuk. Jika meladeni Bi Sum, takkan ada habisnya. Wanita lima puluh tahunan itu memang hobinya ngerumpi.Setelah memasuki rumah, aku bermaksud akan langsung ke kamar Windi. Biasanya Shahna akan betah berlama-lama di kamar sahabatku itu karena dia mengoleksi banyak boneka. Namun, ternyata Windi ada di ruang tengah."Sendirian aja? Emangnya Mas Danar nggak jadi pulang hari ini?"Aku tidak menjawab pertanyaan Windi melainkan balik bertanya, "Shahna di mana?""Lagi tidur sama Aliya di kamar aku. Jangan dibangunin dulu, belum ada sejam tidurnya."Aku mengangguk dan mengambil posisi duduk di samping Windi."Kok kayak ada yang beda sama kamu, Ra?"Windi menatapku lekat-lekat. "Tapi apa, ya? Hm ... mata kamu kok merah? Habis nangis apa kelilipan?"Aku hanya tersenyum tipis sambil memperbaiki posisi duduk."Win, Mbak Tania lagi di luar kota, nggak?""Iya, lagi ngedampingi kliennya ke Surabaya. Makanya Aliya ada di sini. Kenapa emangnya?""Aku butuh bantuan Mbak Tania.""Mau ngapain emangnya? Butuh notaris buat bikin sertifikat? Atau mau balik nama? Kalian mau beli villa? Rumah mewah?" tanya Windi penuh antusias."Langsung sama Mas Adit aja. Dia udah resmi jadi notaris sekarang," lanjutnya lagi masih dengan semangat menyala-nyala. "Mau langsung diteleponin sekarang?""Aku ... aku mau ngajuin gugatan cerai," ujarku lirih.Sesaat Windi terdiam."Apa? Cerai?"***Pisah Terindah #4 Aku mengangguk lemah. Windi menatapku tanpa kedip. Dia beringsut duduk lebih dekat lagi denganku. "Dara, jangan bercanda! Ini sama sekali nggak lucu." Aku mendesah pelan. "Aku nggak bercanda, Win. Aku serius. Sangat serius!" "Wait ... Apa ...apa yang terjadi? Kok cerai? Seriously, aku sangat shock dengar ini." Keterkejutan sangat jelas tergambar di wajah Windi. Bagaimana tidak, selama ini Windi sangat tahu bagaimana romantisme aku dan Mas Danar menjalani hubungan rumah tangga. Nyaris tanpa cela. Dengan suara bergetar menahan tangis, aku pun menceritakan pada Windi tentang fakta yang baru saja kutahu. Memang tak banyak tetapi itu pun sudah lebih dari cukup untuk membuatku sakit dan remuk. Windi adalah satu-satunya sahabat yang kupunya. Bahkan sudah seperti keluarga bagiku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Danar dan Shahna. Kedua orang tuaku telah berpisah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Aku diasuh oleh ibu dan beliau meninggal ketika aku b
Pisah Terindah #5 Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi. Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya. "Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa
Pisah Terindah #6 Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar. Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak. Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur. Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam. Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai. Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depank
Pisah Terindah #7 Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar. Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut. "Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius. "Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug. "Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam. "Kamu yakin?" Mas Danar mengangguk penuh keyakinan. "Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita." Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?" "Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris." "Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?" Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?" Mas Danar mengembuskan napas berat. "Okey, jika kamu maunya begitu."*** "Kamu yakin ini, Ra?" Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu. "Sesuai saran kamu, k
Pisah Terindah #8Aku mengerjap, mengakhiri detik-detik yang kami lewati hanya dengan saling tatap. "Dara." Windi menyenggol tanganku. Aku berdeham kecil sehingga pandangan Mas Adit dan Mbak Tania tertuju padaku. "Oke, Dara, silakan!" Mas Adit menggeser kertas-kertas akan ditandatangani ke arahku disertai sebuah pulpen diletakkan di atasnya. Tanganku gemetar ketika hendak meraih benda bertinta itu. Sekuat tenaga aku menenangkan gejolak yang semakin menjadi-jadi di dalam dada. "Lakukan apa yang diyakini hati kamu, Dara," bisik Windi di telingaku. Satu tangannya mengelus lembut bahuku. Sejenak aku memejam. Menghirup napas dalam-dalam sembari menyelami sebesar apa kekuatan yang tersisa di hatiku. Aku sangat menyadari, begitu tinta ini menorehkan tanda tanganku di atas kertas, takkan berselang lama setelah itu perubahan yang besar akan terjadi di dalam hidupku. Perubahan ke arah yang suram, bukan meningkat lebih baik. Bukannya terlalu pesimis tetapi hanya mencoba realistis. Analo
Pisah Terindah #9 Setelah Shahna puas bermain, Mas Danar mengajak makan ke restoran yang masih ada di dalam mall. Tergambar seperti keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Tawa tak henti mengembang di wajah putri kecilku. Terlihat dia sangat menikmati momen-momen yang belakangan ini memang jarang terjadi. Meskipun di hatiku terselip rasa pilu, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menampakkan di depan Shahna. Sebisa mungkin aku ikut larut dalam kebahagiaan Shahna, walaupun hanya ada interaksi antara aku dan dia. Aku hanya ingin Shahna merasakan kebahagiaan yang utuh. Sesampainya di mobil Shahna terlihat sangat kecapekan. Beberapa kali dia menguap. "Udah puas mainnya, Sayang? Sekarang kita pulang, ya," ujar Mas Danar pada Shahna yang berada dalam pelukanku. Shahna mengangguk lemah. Matanya sudah mulai meredup. Benar saja, baru saja mobil melaju, gadis kecil itu sudah merapatkan kelopak matanya. Kembali, perjalanan menuju rumah kami lalui dalam hening. *** "Dara, bisa bica
Pisah Terindah #10 Memang, jika mengikuti siklusnya yang telah berlalu sudah datang waktunya Mas Danar untuk melakukan tugas ke kantor cabang yang ada di kota lain. Namun kali ini aku tidak yakin jika kepergiannya itu merupakan bagian dari pekerjaan. "Mas bisa 'kan minta jemput dari kantor atau pesan angkutan online?" sambungku dengan sedikit melirik pada Mas Danar yang sudah hampir sampai di dekatku. Sesaat setelah berada di sampingku, tangan Mas Danar meraih pegangan laci meja. Dari dalamnya, dia mengeluarkan dompet berbahan kulit berwarna cokelat tua. Dari dompet itu dia mengeluarkan sesuatu. Walau hanya mengamati lewat sudut mata, kuyakin kalau yang dikeluarkan Mas Danar adalah benda yang kumaksud. Perlahan Mas Danar meletakkannya di atas meja rias. Helaan napas berat mengiringi perpindahan posisinya. Sekarang Mas Danar telah duduk di sampingku. Tatapan kami sama-sama tertuju pada dinding yang berdiri kokoh dengan jarak tak lebih dari satu meter di depan kami. "Dara, maaf ..
Pisah Terindah #11"Terima kasih, Abi sayang. Semoga rezekinya melimpah ruah. Love you, suami terbaik, suami idaman yang sangat penuh perhatian. Bahagianya memiliki kamu. Semoga kita bahagia sampai tua dan bersama hingga ke jannah-Nya." Perutku mual membaca deretan kata-kata sok romantis, agamis dan lebay itu. Iri? Tidak! Tidak ada sama sekali rasa itu di hatiku. Dia bukan levelku. Apa yang harus kuirikan dari seorang wanita yang merangkai cerita bahagia di atas kehancuran sesamanya. Sungguh, sangat tak berperasaan. Manusia minus hati dan nir-empati. "Halah, suami terbaik, konon! Suami idaman, udah jelas-jelas suami rampasan." Aku mencibir membaca postingan yang lewat di beranda media sosialku. Beberapa foto perlengkapan bayi juga diunggahnya dengan caption rangkaian kalimat memuakkan itu. "Norak amat, emang udah kewajibannya kali, bukan karena baik. Kalau memang suami yang baik, nggak bakal dia mencari pelukan wanita lain," sungutku lalu meletakkan HP dengan kasar di atas meja.
Pisah Terindah #59 "Mama hebat, selamat mama!" Shahna berseru riang sembari menyerahkan buket bunga mawar putih padaku. "Terima kasih, Sayang mama. Anak hebat, anak cantik yang paling mama sayang se-jagad raya." Aku mendapatkan pelukan dan beberapa ciuman dari Shahna. Dia pun tampil sangat menawan dalam balutan gaun panjang didominasi warna nude. Senada dengan kebaya yang kupakai hari ini. Kebahagiaan pun jelas terpancar di wajah imutnya. Momen wisuda ini memang sudah sangat ditunggu Shahna. Karena selepas ini aku berjanji akan menebus waktu kebersamaan kami yang belakangan ini semangat jarang. Pengertian Shahna yang mempermudah aku menjalani semua ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada putri semata wayangku itu. "Selamat, ya, cintaku, sayangku, bestie terbaikku." Windi memelukku erat. Kebahagiaan dan rasa haru tergambar dari wajahnya. "Terima kasih, sahabatku tersayang. Tanpa kamu aku takkan bisa apa-apa." Tanpa diundang embun bermunculan di mataku. Aku benar-benar terh
Pisah Terindah #58 (POV Danar) "Pak Danar, antarkan ini ke proyek A-14. Pak Anthoni sedang menunggu di sana. Sekalian berkas ini kebagian pemasaran." Pak Hamdi memberikan dua tumpuk berkas padaku. Setelah itu, lelaki yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku itu berlalu begitu saja. Tak ada basa basi, tidak ada ucapan terima kasih. Begitulah gambaran hari-hariku di salah satu kantor Avalia Utama selama beberapa bulan belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kekalahan di pengadilan waktu itu dan proyek yang sedang digarap menderita kerugian atas ganti rugi terhadap pihak yang menang. Awal-awal memang aku masih berada di kantor pusat dengan tekanan kerja yang luar biasa serta target yang besar. Dalihnya sebagai bentuk pertanggung jawabanku. Lalu, beberapa bulan ini aku dipindahkan ke kantor cabang. Aku memang tidak dipecat tetapi luntang-lantung tanpa jobdesk yang jelas. Tiap bulannya hanya menerima gaji standar. Tidak ada bonus-bonus sama sekali. Sehingga penghasilanku mandek s
Pisah Terindah #57Ikhlas adalah kunci bahagia menjalani kehidupan. Begitu mendiang ibu pernah berkata. Dulu bagiku semua itu adalah bentuk kenaifan belaka. Bentuk ketidak berdayaan melawan kesemena-menaan atau dengan kata lain sekadar memperindah istilah pasrah ke versi yang religius. Ternyata aku keliru. Kenyataan demi kenyataan yang kujalani dengan segala pasang surut emosi mematahkan anggapan yang dulu. Pernah memelihara sakit hati, amarah, bahkan dendam pun sempat bersarang. Namun justru hal itu makin membebani. Harusnya memang dibuat sederhana saja. Salah satu permisalan, ketika seseorang sudah tidak ingin bersama kita lagi. Dia ingin pergi, sebaiknya memang dilepaskan saja. Kenapa masih ingin tetap memiliki? Kenapa harus mati-matian dengan segala daya upaya menahan orang yang memang sudah ingin pergi? Namun kadang ego manusia susah untuk ditaklukkan sehingga ujung-ujungnya memperdalam rasa sakit untuk diri sendiri. Ikhlas adalah titik tertinggi yang tak mudah untuk dirai
Pisah Terindah #56 "Ada Mas Danar di sini? Lagi apa dia?" Pernyataan itu meluncur begitu saja tanpa di awali basa-basi. Wajah diselimuti amarah dan keangkuhan terpampang di depan mataku. "Mas Danar." Aku yang masih diliputi kaget karena kehadiran tamu yang tak disangka-sangka itu mengucap ulang nama mantan suamiku itu. "Harus banget ya Mas Danar ada di sini sampai malam-malam begini?" lanjutnya lagi dengan tatapan sinis. Aku yang hendak menanggapi lontaran kata-kata sinis mantan maduku itu sudah kedahuluan oleh Windi yang sudah berada di belakangku. "Ada siapa, Ra?" "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya Windi dengan tatapan penuh selidik. "Aku istri Mas Danar." Jawaban ketus terlontar begitu saja dari wanita yang telah berhasil membuat karam biduk rumah tanggaku. "Oh, nyari Mas Danar? Ada tuh, lagi sama anaknya? Kenapa emangnya?" tanya Windi dengan gaya menantangnya. Namun Lalisa tidak menghiraukan Windi. Tatapannya kembali tertuju padaku. "Sudah kuduga." Sebuah senyuman sinis
Pisah Terindah #55"Apa kabar, Mas?" Seketika Windi melontarkan sapaan setelah sempat kikuk karena aku dan Mas Danar secara berbarengan menoleh padanya. "Baik, Win. Kamu di sini?" balas Mas Danar. "Iya, tadi kebetulan ada ketemu klien nggak jauh dari sini. Ya, udah, sekalian mampir." Bisaan saja Windi beralasan. "Aku ke belakang dulu, ya. Tak bikinin minum dulu, ya." Windi segera berlalu tanpa menunggu persetujuan apa pun. "Shahna sekolahnya kamu pindahin ke mana? Kenapa dipindah?" Nada Mas Danar bertanya terdengar kurang bersahabat di telingaku. Kentara sekali ada ketidaksukaan darinya. "Aku berencana untuk memindahkan Shahna ke sekolah yang full day." "Rencana? Rencana bagaimana? Aku datang ke sekolahan, gurunya bilang Shahna sudah pindah sekolah. Tidak di sana lagi?" Sesaat aku menghela napas panjang. Aku butuh banyak asupan oksigen agar tetap bisa mengontrol emosi menghadapi Mas Danar. "Memang hari ini Shahna tidak ke sekolah biasa. Tadi masa uji coba dulu. Kalau Shahn
Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin
Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da
Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek
Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam