Share

part 2

last update Last Updated: 2023-01-13 16:09:48

Pisah Terindah

#2

"Dara ...."

Setelah lama hening, akhirnya Mas Danar bersuara juga. Namun, aku sudah tidak berminat untuk mendengarkan apa-apa lagi. Rasanya sudah terlalu sakit. Sakit yang sudah tak sanggup untuk kuungkapkan.

Toh, sedetail dan sejujur apa pun pengakuan Mas Danar tidak akan merubah apa-apa lagi. Tidak akan memutihkan kembali kertas yang sudah penuh coretan. Ibarat kaca, kalau sudah retak tidak akan bisa utuh dan mulus lagi seperti semula, meskipun sudah direkatkan kembali. Sebagus apa pun bahan perekat yang digunakan. Mustahil!

"Dara ... aku minta maaf, tolong ...."

Aku bangkit tanpa menghiraukan Mas Danar. Kutinggalkan dia begitu saja. Aku berjalan menuju kamar kami.

"Dara!"

Mas Danar ikut berdiri dan mencoba meraih tanganku. Aku menepis kasar tangannya yang sempat menyentuh lenganku. Aku mempercepat langkah karena Mas Danar masih mengekori. Begitu memasuki kamar, langsung kututup pintu dengan cukup keras lalu menguncinya.

"Dara!"

Mas Danar mengetuk pintu dan memutar gagangnya. Kemudian dia mengetuk lagi.

"Dara, kita perlu bicara. Tolong dengarkan aku dulu! Aku akan jelaskan semuanya pada kamu."

Kuanggap semua yang terlontar dari mulut Mas Danar adalah angin lalu. Walaupun dia memohon agar aku membukakan pintu, aku tetap tak peduli.

Aku berjalan gontai menuju jendela kamar. Aku ingin menghirup udara segar yang masuk lewat sela-sela teralis bermotif minimalis. Namun, langkahku terhenti ketika melewati kaca yang menempel di meja rias. Kupindai lagi penampilanku dari atas ke bawah. Adakah yang salah, adakah yang kurang dengan fisikku?

Air mata yang telah kutahan sedari tadi, sekarang kubiarkan lolos sesukanya. Kalaulah dengan menangis ini bisa mengikis perih yang mendera, akan kulakukan menangis berhari-hari. Sungguh, sayatan-sayatan benda tajam sekali pun rasanya takkan sesakit ini. Apa salahku pada Mas Danar hingga dia setega ini padaku. Bukan hanya aku yang disakiti tetapi juga Shahna, buah hati kami. Darah dagingnya sendiri. Anak yang sangat dinanti-nanti kehadirannya. 

Di antara isak, aku mencoba menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sangat sempit dan berat. Udara saja susah untuk melewatinya.

"Semudah ini kamu menghancurkan perjuangan kita selama bertahun-tahun, Mas."

Aku bergumam ketika pandanganku tertumpu pada foto pernikahan kami yang dipajang di dinding di bagian atas tempat tidur.

Tanpa diundang, kepingan-kepingan masa lalu saling berebut mencari tempat terluas di kolom memoriku. Dimulai dari awal perkenalan dengan Mas Danar yang begitu manis. Kami bertemu di sebuah event yang mana, tempat kami bekerja sama-sama mengikuti acara tersebut. Dari pertemuan pertama itu kami sudah mulai saling mengagumi dan hubungan kami berlanjut meskipun urusan pekerjaan telah selesai.

Setelah dua tahun menjalin hubungan yang serius, kami memutuskan untuk menikah meskipun restu tidaklah seratus persen diberikan oleh mamanya Mas Danar.

Aku tidak tahu pasti alasan apa lagi yang membuat mamanya Mas Danar tidak begitu menyukaiku, selain dia ingin agar Mas Damar menikah dengan sepupu dari keluarga papanya yang kala itu merupakan calon dokter.

Mas Danar tidak goyah pada pendiriannya. Dia tetap bersikukuh untuk menikahiku dan dia pun berhasil meyakinkan aku bahwa lambat laun mamanya akan merestui juga. Karena memang cintaku juga sangat besar padanya, maka kami pun menikah.

Dua tahun pertama merupakan ujian yang berat kurasakan. Bukan karena kami tidak bahagia. Bukan! Antara kami berdua tidak pernah terjadi konflik. Malah api cinta kami makin menyala-nyala. Badai itu datang dari luar. Kehamilan yang tak kunjung terjadi membuat mama Mas Danar semakin sinis padaku. Mengingat Mas Danar adalah anak laki-laki satu-satunya membuat mamanya sangat berharap Mas Danar segera memberinya cucu.

Sindiran demi sindiran bahkan tuduhan tak segan-segan ditujukan mama Mas Danar padaku. Bahkan di saat sedang ada acara kumpul keluarga sekali pun. Aku takut kehilangan karirlah, tidak ingin repotlah, bahkan tuduhan mandul juga dengan terang-terangan dilontarkan di depanku. Tuduhan sadis yang tanpa dasar sama sekali.

Setelah mengikuti program hamil, dua bulan setelah ulang tahun ketiga pernikahan, aku melahirkan seorang putri cantik. Kami memberinya nama Shahna Anara Bintang.  Tak berapa lama lagi bidadari kecil kami akan genap berumur empat tahun.

Sejak kelahiran Shahna, badai perlahan mereda. Mama Mas Danar menunjukkan kasih sayang yang besar pada Shahna. Padaku sikapnya juga mulai melembut. Meskipun kami tidak terlalu dekat tetapi jauh lebih baik dari sebelumnya. Sesekali mertuaku itu bersedia menginap di rumah kami.

Setelah hubungan dengan Mama membaik, bagaimana hubunganku dengan Mas Danar? Teramat manis dan semakin mesra. Layaknya pasangan  muda yang sedang dimabuk asmara dan antusias dengan hadirnya seorang anak. Hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia. Apalagi ada gelak tawa Shahna yang tak pernah membiarkan rumah sepi. Senyum dan celotehannya selalu menebarkan bunga-bunga ke setiap sudut rumah kami.

Tidak ada yang kurang dalam rumah tangga kami. Sebulan sebelum persalinan, aku mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Itu pun atas permintaan Mas Danar. Aku pun tidak keberatan. Dengan sepenuh hati aku mengurus segala keperluan Mas Danar dan mengasuh serta merawat Shahna dengan tanganku sendiri. Hari-hariku hanya untuk mengurus suami dan anak bahkan aku sudah lupa yang namanya hang out bersama teman-teman.

Secara finansial kami sudah berada di zona nyaman. Kami sudah menempati rumah sendiri. Meskipun bukanlah rumah di perumahan mewah, tetapi rumah ini sangat nyaman dan asri. Kami sangat betah tinggal di sini. Rumah ini dibeli Mas Danar setelah satu tahun pernikahan kami. Kendaraan pun kami punya. Uang pesangon serta tabungan yang kupunya kubelikan mobil sehingga kami tidak khawatir membawa Shahna pergi ke mana-mana.

Selama ini Mas Danar menampilkan dirinya sebagai seorang family man. Selesai bekerja dia akan langsung pulang dan bercengkrama bersama keluarga. Begitu juga kala hari libur atau akhir pekan. Dia lebih senang menghabiskan waktu di rumah. Jika pun keluar, dia akan senantiasa mengajak aku dan Shahna. Hanya beberapa bulan belakangan ini saja hal itu jarang terjadi. Semenjak kantor Mas Danar terlibat kerja sama dengan perusahaan yang berpusat di Semarang. Hampir tiap bulan Mas Danar harus ikut meninjau ke luar kota.

"Jadi kebahagiaan yang selama ini hanyalah kepura-puraan. Hanya topeng untuk menutupi sebuah kebohongan?"

Aku tersenyum sinis. Betapa bodohnya aku selama ini. Tidak menyadari sedikitpun kalau aku sudah dibohongi mentah-mentah. Sedikit pun aku tidak punya firasat dan menaruh rasa curiga. Konon kata orang insting seorang istri itu sangat tajam. Tetapi kenapa tidak dengan aku? Terbuat dari apa hatiku sehingga tidak menyadari sedikit pun kecurangan yang telah dilakukan suamiku?

Aku memijit pelipis. Kepalaku rasanya bertambah berat. Aku mengusap muka, membersihkan air mata yang masih ada di pipi.

"Bukan kesalahan aku. Tetapi Mas Danar. Dia yang curang. Dia yang tega. Dia yang jahat. Aku bisa saja memaafkan apa saja kesalahannya, tetapi tidak dengan pengkhianatan. Seorang penghianat tidak pantas untuk ditangisi. Aku benci pengkhiatan."

Aku kembali menyeka air mata yang masih saja mengalir. Kembali kupejamkan mata. Kuharap air mata yang masih ada untuk tetap di tempatnya. Tak pantas ia mengalir untuk seseorang yang tidak punya hati dan tega berkhianat seperti Mas Danar. Aku memijit pelipis dengan tekanan yang cukup keras.

Aku berusaha keras mencoba menenangkan diri. Meskipun saat ini aku hancur sehancur-hancurnya, aku tidak boleh memperlihatkannya di depan Mas Danar. Dia bukan lagi Mas Danar suamiku seperti beberapa menit yang lalu.

Kurang dari satu jam yang lalu aku masih merasa bahwa dia adalah separuh napasku. Kami satu jiwa yang menempati raga berbeda. Jika satu orang terluka maka akan sakit bersama. Karena itu kami harus saling menjaga baik lahir maupun batin. Sebagai kepala keluarga, dia adalah tumpuan hidupku, tempat aku mencari kenyamanan, tempat aku berlindung dari apa pun. Namun nyatanya dialah yang memberikan sakit yang begitu sakit padaku.

Dia bukan lagi belahan jiwaku yang sejati. Dan itu harusnya telah terjadi sejak dia mengkhianati pernikahan kami. Karena baru sekarang aku tahu, maka sejak hari ini semua akan berubah.

Aku tak perlu menangis dan meratap untuknya. Dia bukan lagi sandaran yang bisa kupercaya dan andalkan. Ya, sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan.

Setelah merasa agak tenang, aku melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka dan mengguyur tubuh dengan air dingin. Cukup lama aku berdiri di bawah guyuran shower. Berharap dingin ini akan menembus hingga ke hati dan otak yang sedang panas membara.

Setelah mengganti baju dan kembali memoles wajah dengan riasan sederhana, aku memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, hal pertama yang ditangkap oleh penglihatanku adalah keberadaan Mas Danar. Dia tengah duduk bersandar di sofa ruang tengah yang persis menghadap ke kamar kami. Wajahnya masih kusut seperti tadi aku meninggalkannya.

Dia segera berdiri begitu aku melangkah keluar dari kamar.

"Dara ...." Mas Danar langsung meraih tanganku begitu berada di sampingku. Sesaat dia memperhatikan penampilanku.

"Dara, aku akan jelaskan semuanya--"

"Aku nggak butuh penjelasan apa-apa. Nggak ada gunanya. Tidak akan merubah keadaan. Yang aku inginkan hanyalah kita berpisah."

Aku menatap Mas Danar sejenak dengan tatapan datar lalu menghempaskan tangannya yang memegang pergelangan tanganku. Kemudian aku melangkah menuju pintu depan.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
PiMary
Duhh selingkuh lagi....laki2 suka dibikin ribet hidup nya,demi tampilan yg berbeda tp rasa yg sama.
goodnovel comment avatar
Tin Sutinah
siapa sih orangnya yang mau di madu.... lanjutkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pisah Terindah   Part 3

    Pisah Terindah #3"Mau ke mana?" Aku hanya melirik sekilas lalu kembali melangkah. "Tunggu, biar aku antar!" seru Mas Danar sembari bergegas menyusulku. Sepertinya dia sudah tahu aku mau ke mana. "Aku bisa pergi sendiri." "Nggak, aku antar." "Mas tolong jangan maksa. Okey, saat ini kita memang masih terikat status. Aku masih istri kamu. Aku keluar rumah harus seizin kamu, jadi tolong jangan buat langkahku ini menjadi dosa. Aku mau pergi sendiri. Tolong beri izin." "Kamu masih dan akan tetap jadi istri aku sampai kapan pun. Kita tidak akan berpisah! Kamu tidak memikirkan bagaimana Shahna kalau orang tuanya berpisah!" Aku menyemburkan tawa mendengar kalimat terakhir Mas Danar. "Shahna? Bagaimana dengan Shahna kamu bilang? Mas, setahu aku kamu punya IQ yang di atas rata-rata dan yang aku tahu juga kamu selalu punya pertimbangan yang matang sebelum melakukan apa saja." "Lalu, kenapa sekarang kamu memikirkan Shahna? Kemarin-kemarin waktu kamu terlena di pelukan wanita lain, Shahn

    Last Updated : 2023-01-14
  • Pisah Terindah   Part 4

    Pisah Terindah #4 Aku mengangguk lemah. Windi menatapku tanpa kedip. Dia beringsut duduk lebih dekat lagi denganku. "Dara, jangan bercanda! Ini sama sekali nggak lucu." Aku mendesah pelan. "Aku nggak bercanda, Win. Aku serius. Sangat serius!" "Wait ... Apa ...apa yang terjadi? Kok cerai? Seriously, aku sangat shock dengar ini." Keterkejutan sangat jelas tergambar di wajah Windi. Bagaimana tidak, selama ini Windi sangat tahu bagaimana romantisme aku dan Mas Danar menjalani hubungan rumah tangga. Nyaris tanpa cela. Dengan suara bergetar menahan tangis, aku pun menceritakan pada Windi tentang fakta yang baru saja kutahu. Memang tak banyak tetapi itu pun sudah lebih dari cukup untuk membuatku sakit dan remuk. Windi adalah satu-satunya sahabat yang kupunya. Bahkan sudah seperti keluarga bagiku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Danar dan Shahna. Kedua orang tuaku telah berpisah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Aku diasuh oleh ibu dan beliau meninggal ketika aku b

    Last Updated : 2023-01-22
  • Pisah Terindah   Part 5

    Pisah Terindah #5 Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi. Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya. "Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa

    Last Updated : 2023-02-15
  • Pisah Terindah   Part 6

    Pisah Terindah #6 Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar. Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak. Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur. Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam. Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai. Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depank

    Last Updated : 2023-03-23
  • Pisah Terindah   Part 7

    Pisah Terindah #7 Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar. Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut. "Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius. "Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug. "Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam. "Kamu yakin?" Mas Danar mengangguk penuh keyakinan. "Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita." Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?" "Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris." "Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?" Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?" Mas Danar mengembuskan napas berat. "Okey, jika kamu maunya begitu."*** "Kamu yakin ini, Ra?" Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu. "Sesuai saran kamu, k

    Last Updated : 2023-03-26
  • Pisah Terindah   Part 8

    Pisah Terindah #8Aku mengerjap, mengakhiri detik-detik yang kami lewati hanya dengan saling tatap. "Dara." Windi menyenggol tanganku. Aku berdeham kecil sehingga pandangan Mas Adit dan Mbak Tania tertuju padaku. "Oke, Dara, silakan!" Mas Adit menggeser kertas-kertas akan ditandatangani ke arahku disertai sebuah pulpen diletakkan di atasnya. Tanganku gemetar ketika hendak meraih benda bertinta itu. Sekuat tenaga aku menenangkan gejolak yang semakin menjadi-jadi di dalam dada. "Lakukan apa yang diyakini hati kamu, Dara," bisik Windi di telingaku. Satu tangannya mengelus lembut bahuku. Sejenak aku memejam. Menghirup napas dalam-dalam sembari menyelami sebesar apa kekuatan yang tersisa di hatiku. Aku sangat menyadari, begitu tinta ini menorehkan tanda tanganku di atas kertas, takkan berselang lama setelah itu perubahan yang besar akan terjadi di dalam hidupku. Perubahan ke arah yang suram, bukan meningkat lebih baik. Bukannya terlalu pesimis tetapi hanya mencoba realistis. Analo

    Last Updated : 2023-04-08
  • Pisah Terindah   Part 9

    Pisah Terindah #9 Setelah Shahna puas bermain, Mas Danar mengajak makan ke restoran yang masih ada di dalam mall. Tergambar seperti keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Tawa tak henti mengembang di wajah putri kecilku. Terlihat dia sangat menikmati momen-momen yang belakangan ini memang jarang terjadi. Meskipun di hatiku terselip rasa pilu, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menampakkan di depan Shahna. Sebisa mungkin aku ikut larut dalam kebahagiaan Shahna, walaupun hanya ada interaksi antara aku dan dia. Aku hanya ingin Shahna merasakan kebahagiaan yang utuh. Sesampainya di mobil Shahna terlihat sangat kecapekan. Beberapa kali dia menguap. "Udah puas mainnya, Sayang? Sekarang kita pulang, ya," ujar Mas Danar pada Shahna yang berada dalam pelukanku. Shahna mengangguk lemah. Matanya sudah mulai meredup. Benar saja, baru saja mobil melaju, gadis kecil itu sudah merapatkan kelopak matanya. Kembali, perjalanan menuju rumah kami lalui dalam hening. *** "Dara, bisa bica

    Last Updated : 2023-05-04
  • Pisah Terindah   Part 10

    Pisah Terindah #10 Memang, jika mengikuti siklusnya yang telah berlalu sudah datang waktunya Mas Danar untuk melakukan tugas ke kantor cabang yang ada di kota lain. Namun kali ini aku tidak yakin jika kepergiannya itu merupakan bagian dari pekerjaan. "Mas bisa 'kan minta jemput dari kantor atau pesan angkutan online?" sambungku dengan sedikit melirik pada Mas Danar yang sudah hampir sampai di dekatku. Sesaat setelah berada di sampingku, tangan Mas Danar meraih pegangan laci meja. Dari dalamnya, dia mengeluarkan dompet berbahan kulit berwarna cokelat tua. Dari dompet itu dia mengeluarkan sesuatu. Walau hanya mengamati lewat sudut mata, kuyakin kalau yang dikeluarkan Mas Danar adalah benda yang kumaksud. Perlahan Mas Danar meletakkannya di atas meja rias. Helaan napas berat mengiringi perpindahan posisinya. Sekarang Mas Danar telah duduk di sampingku. Tatapan kami sama-sama tertuju pada dinding yang berdiri kokoh dengan jarak tak lebih dari satu meter di depan kami. "Dara, maaf ..

    Last Updated : 2023-05-11

Latest chapter

  • Pisah Terindah   Part 54

    Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin

  • Pisah Terindah   Part 53

    Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da

  • Pisah Terindah   Part 52

    Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek

  • Pisah Terindah   Part 51

    Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam

  • Pisah Terindah   Part 50

    Pisah Terindah #50Seorang wanita cantik datang menghampiri beberapa saat setelah aku memasuki kantor yang mengusung tema monokrom ini. Sambutan ramah langsung kudapat dari wanita tinggi semampai berpenampilan formal tersebut. "Selamat pagi dan selamat datang, Bu Dara. Perkenalkan saya Naja yang semalam menghubungi ibu." Senyum ramah terlukis di wajah dengan riasan minimalis itu di ujung kalimatnya. "Selamat pagi, juga." Aku pun mengulas senyum sebagai timbal balik atas sambutan hangat yang kuterima. "Ibu, mari ikut saya ke ruangan di sebelah sana!" Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Naja itu mengarahkan tangannya ke ruangan yang berada paling ujung. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya. "Jadi, begini Bu Dara saya butuh beberapa informasi untuk melengkapi bahan di persidangan nanti. Tentu saya sangat berharap informasi yang akurat dan detail dari ibu. Ibu tidak keberatan, kan?" Pertanyaan itu diluncurkan setelah beberapa saat di awal dimulai dengan basa-basi. "Tentu

  • Pisah Terindah   Part 49

    Pisah Terindah #49 "Ibu? Ibu ada di sini?" Ibu tak langsung menanggapi Mas Danar. Dia mengalihkan pandangan padaku lalu kembali lagi menatap Mas Danar dan Lalisa yang nampak mencoba tersenyum ramah meskipun kesan kikuk masih dapat kubaca. "Kalian mau ngapain ke sini?" Nada bicara ibu terdengar agak ketus. Entah karena masih bawaan kesal padaku atau memang murni kesal pada anak dan mantunya itu. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja. "Kamu ngapain nyusul ke sini? Tunggu di mobil aja," ujar Mas Danar pada Lalisa. Pelan dia bicara tetapi masih terdengar jelas hingga ke telingaku. "Aku juga mau silaturahmi sama Mbak Dara. Masak nggak boleh. Mbak Dara 'kan dulu juga nengok aku waktu lahiran." Spontan jawaban Lalisa membuat ibu mengalihkan pandangan padaku seolah menuntut jawaban akurat. "Ibu mau bicara sama kamu, Danar. Sekalian antar ibu pulang!" Ibu melakukan pergerakkan bersiap untuk berdiri. "Aku mau ambil beberapa barang, Bu." "Untuk apa? Ini kan rumah kamu, emangnya ad

  • Pisah Terindah   Part 48

    Pisah Terindah #48 Menjelang sore kami sampai di rumah dan sepertinya kami kedatangan tamu. Benar saja, setelah aku selesai memarkir mobil dengan sempurna sebuah mobil pun berhenti tepat di depan pintu gerbang yang masih terbuka. Tak butuh waktu lama, turun seseorang yang kedatangannya cukup membuatku deg-degan. Ibu Mas Danar, wanita dengan usia lebih dari setengah abad yang sebulan yang lalu masih berstatus ibu mertuaku adalah tamuku sore ini. Entah apa maksud dan tujuannya menjelang sore begini menyambangi kami. Shahna seketika menyambut kedatangan neneknya dengan hangat. Dia memang selalu begitu, sangat senang jika ada orang yang bertamu ke rumah. Mungkin karena kami jarang ada yang mengunjungi. Maklum saja , aku tidak punya banyak kerabat. "Ibu apa kabar?" tanyaku murni sebagai berbasa-basi. Karena sudah terlihat kalau keadaannya sehat wal afiat sehingga bisa sampai ke rumahku. Ibu menyambut uluran tanganku meskipun dengan wajah dingin. Dia tidak menjawab pertanyaan yang k

  • Pisah Terindah   Part 47

    Pisah Terindah #47Bertepatan dengan aku menggeser arah kamera ponsel padaku, Mas Danar pun menoleh ke belakang kemudian terlihat menjauh. Sepertinya ponselnya ditaruh buru-buru. Posisi ponsel agak bergeser sehingga arahnya tertuju pada dinding. Aku hanya bisa melihat bidang dengan warna dominan kuning gading. Terdengar sedikit suara gaduh lalu diikuti dengan tangisan anak kecil. "Itu siapa yang nangis, Ma? Memangnya di tempat Papa ada adek bayi?" tanya Shahna. Aku segera mematikan sambungan telepon. Takut Shahna akan mendengarkan hal lain yang akan semakin mengundang rasa penasarannya. "Hmm ... mungkin papa lagi di suatu tempat yang ada anak-anaknya," jawabku tanpa pikir panjang. Aku berharap dengan jawaban itu Shahna tidak akan bertanya lebih jauh lagi. "Emang boleh di tempat kerja orang dewasa ada anak kecilnya? Emang nggak ganggu?" "Tapi ... tadi papa kayak ada di kamar, bukan di kantor," lanjut Shahna lagi menyampaikan penalarannya yang membuatku harus berpikir keras untuk

  • Pisah Terindah   Part 46

    Pisah Terindah #46 Kuajak Shahna ke kamar. Belakangan dia memang lebih sering tidur berdua denganku. Aku mengambil beberapa buku cerita anak- anak untuk dipilih Shahna. Akan tetapi dia tidak menampakkan ketertarikan sama sekali.Tak ingin cepat menyerah, aku pun mengambil ponsel dan membuka aplikasi you tube. Aku mencari beberapa dongeng dalam format animasi lalu mengunduhnya. "Kalau nonton yang ini, gimana?" Aku mengarahkan layar ponsel pada Shahna. Gelengan kepala adalah respons yang diberikannya. Aku pun berpindah ke video berikutnya. Shahna hanya mematung lalu beberapa saat setelah itu menggeleng lagi. Aku mengembuskan napas berat. Tumben-tumbenan Shahna jadi rewel begini. Sebelum-sebelumnya dia bersikap biasa-biasa saja atas ketiadaan papanya dalam waktu yang panjang. Kalau pun dia mendadak ingin dikelonin papanya, jika dibilang papanya sedang kerja di kota lain, dia akan cepat paham. Entah kenapa kali ini tidak begitu.Apa ini bentuk dari sensitivitasnya terhadap keadaan. K

DMCA.com Protection Status