Bab 11"Bodoh!" desis Aisha sambil berdiri dari tempatnya duduk. Ia mengambil tasnya dan menggenggam tali tas itu. Urung melangkah, Aisha tak mau kehilangan kesempatan yang pas untuk mengeluarkan segala kesal dalam hatinya pada lelaki yang menyakiti hati sahabatnya.Ucapan Aisha itu makin menambah kobaran emosi dalam dada Hisyam. Ia tak terima disebut bodoh oleh sahabat istrinya itu."Jaga mulutmu!" pekik Hisyam tak terima. Kobaran amarah terpancar jelas dari dua bola matanya."Yang harusnya dijaga itu sikapmu! Sudah dapat istri baik hati yang lagi hamil anak kamu malah kamu selingkuhin!" cecar Aisha tak mau kalah. Ia seolah mendapatkan kesempatan untuk meluapkan kekesalannya selama ini."Tutup mulutmu!" desis Hisyam lagi. Wajahnya sudah merah padam mendengar celoteh Aisha yang makin tak karuan."Apa?!! Demi wanita macam begini kamu korbanin istri yang baik hati! Menyesal baru tau rasa kamu!" sengit Aisha tak mau kalah. Kemudian ia pergi dari hadapan Hisyam. Kakinya sedikit berlari un
Bab 12"Aku takut mau bilang ke Pak Khalid soal ini," ucap Aini ragu. Ia berjalan sedikit melambat dari langkah Aisha. Sejak dalam perjalanan, kepalanya tak henti memikirkan soal ini."Takut kenapa?" tanya Aisha. Ia mundur untuk mensejajarkan langkahnya dengan Aini. Matanya menatap wajah Aini yang tampak bingung dengan alis mengerut."Apa pantas kalau aku meminta bantuan pada laki-laki yang dituduh menjadi selingkuhanku oleh Mas Hisyam?""Kamu selingkuh atau enggak kan dia ngga mau tau? Yang dia tau cuma ada foto itu, tapi penjelasannya bagaimana dia ngga mau dengar. Biar aja kamu minta tolong sama Pak Khalid, toh Mas Hisyam sudah masa bodoh denganmu!""Tapi aku takut mau ngomongnya," balas Aini cemas."Apa aku yang bilang sama dia?" usul Aisha cepat."Jangan." Tangan Aini reflek memegang lengan Aisha, khawatir sahabatnya itu akan bertindak asal tanpa persetujuannya lebih dulu."Ya sudah, bilang sendiri." Tanpa memperdulikan reaksi Aini, Aisha pergi meninggalkannya.Aini terdiam sesaa
Bab 13"Mau cari yang seperti apa lagi kamu?" ujar Bu Airin saat Khalid baru saja menolak sebuah foto yang disodorkan olehnya. Berulang kali ia memberikan foto gadis anak temannya atau kenalannya pada sang putra, tetapi selalu saja berakhir dengan kalimat "Khalid belum siap".Khalid terduduk dengan pandangan lurus ke depan. Ia ragu untuk mengungkapkan bahwa ia sudah memiliki seorang pujaan hati. Sayangnya, perempuan itu sudah menikah.Beberapa tahun lalu saat perempuan itu masih single, Khalid terlalu lama mengulur waktu untuk mengungkapkan rasanya. Dengan alasan belum mapan, ia selalu menunda mengatakan isi hatinya pada perempuan itu. Dan setelah mendengar kabar bahwa perempuan itu baru saja menerima pinangan laki-laki lain, barulah Khalid merasa menyesal.Laki-laki yang sudah menolak banyak gadis itu akhirnya merasa putus harapan. Ia tak mudah membuka hati untuk perempuan lain. Jika diberi pilihan, ia lebih memilih untuk tetap hidup sendiri dengan dunianya. Dengan anak-anak yatim ya
"Makasih ya, Pak atas bantuannya. Saya harap perceraian ini tidak memakan waktu yang lama," ucap Hisyam pada pengacaranya. Berkas-berkas untuk melengkapi pengajuan perceraian sudah diserahkan kepada pengacaranya itu untuk dibawa ke pengadilan agama."Biasanya kalau sudah sepakat untuk bercerai, tidak akan memakan waktu lama. Apalagi kalau sama-sama tidak menghadiri sidang.""Baiklah, biar Bapak saja yang urus.""Baik. Saya permisi kalau begitu. Nanti akan saya kabari kalau ada sesuatu yang perlu Bapak ketahui," ujar pengacara itu. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan pergi segera setelah bersalaman dengan Hisyam.Hisyam menatap punggung pengacara yang bergerak menjauh itu dengan tatapan nanar. Dalam hatinya yang terdalam, ia tidak pernah berpikiran untuk seperti ini. Tetapi fakta yang ia dapatkan membuatnya murka dan mau tak mau terpaksa melakukan ini."Biar aku saja yang bekerja. Kamu di rumah saja," ucap Hisyam kala ia meminta Aini untuk berhenti dari tempatnya bekerja. Keduanya seda
"Secepat itu Mas Hisyam mengajukan cerai," ucap Aini lirih. Ia merasa masih belum bisa percaya dengan ini semua. "Sabar, Nak," balas ibu kos dengan tatapan iba. Ia tak berani banyak bicara karena Aini jarang keluar kamar jika bukan urusan bekerja. "Makasih, Bu.""Buat dia menyesal, Ai. Jangan lemah." Aisha menimpali. "Kadang aku marah dengan Mas Hisyam, kadang pula aku masih tak percaya, bahkan sempat terbersit ingin memperbaiki pernikahan yang sudah porak-poranda ini. Tapi dengan datangnya surat ini, aku harus membuang jauh-jauh harapan itu. Mas Hisyam secepat itu melupakan semua yang sudah kita lewati bersama." Aini berujar dengan suara bergetar."Perempuan itu emang racun. Dia licik, Ai!!" desis Aisha."Ibu tidak paham dengan ucapan kalian, tapi sepemahaman Ibu, pernikahan itu jika dicampuri oleh orang ketiga maka tidak akan bisa bertahan lama. Apalagi jika salah satu dari pasangan itu memberi ruang. Sekuat apapun satu pihak untuk mempertahankan, akan kalah dengan kehadiran oran
"Hati-hati ya, jangan berebut," ucap laki-laki itu saat melihat anak-anak panti menghampirinya, mengambil kantong plastik yang dibawanya kemudian mereka berlari ke sudut ruangan.Ada beberapa macam snack ringan di dalam kantong plastik yang dibawa oleh lelaki tersebut. Melihat keriuhan anak panti itu, laki-laki itu berjalan mendekati mereka setelah menyapa Bu Fatimah dengan sebuah anggukan dan senyum ramah. Laki-laki itu kemudian turut duduk bersama dan menikmati snack yang dibawanya sambil bercerita banyak. Saling berbagi makanan, bercanda bersama dan sedikit berbagi kasih yang dimilikinya. Aisha pun turut bergabung bersama mereka setelah berusaha menetralisir rasa kagetnya, sama seperti Aini.Aini tertegun sejenak. Ia tidak menyangka jika bisa bertemu dengan laki-laki itu di tempat ini. Tawa dan riuh celotehnya sangat berbeda jauh dengan ketika ada di dekatnya, lepas dan seperti tanpa beban.Untuk beberapa saat, Aini memperhatikan aktivitas anak-anak panti dan laki-laki itu. Terma
"Kamu ih!" sungut Aini sambil menepuk bahu Aisha pelan."Habisnya, kamu keliatan penasaran banget. Sama kayak dia.""Dia siapa?""Ya dia.""Pak Khalid?""Iya, siapa lagi?!""Ish mana ada! Orang lagi hamil, mau cerai juga! Mana bisa penasaran sama orang lain! Kepalaku sudah ngga mikir yang begituan. Fokus sama anak ajalah. Udah lama aku pengen banget gendong anak, baru kesampaian setelah beberapa tahun menikah. Masak pas udah hamil disia-siakan?""Ya bukan disia-siakan. Cuma kita harus mempersiapkan masa depannya dengan baik. Termasuk kasih sayang bapaknya!""Tau sendiri kan, bapaknya kayak gimana! Mana berani aku berharap banyak. Denger hamil aja ngga ada bahagia-bahagianya. Buat apa memaksakan diri malah dia sibuk kencan dengan yang lain. Ya Allah, nyesek punya suami seperti itu.""Nemu dimana sih dulu?" sela Aisha cepat."Pinggir jalan." Wajah Aini pias. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain."Pantes aja.""Ish! Apaan sih. Dulu aku cinta, makanya semua terlihat indah. Kalau sekar
"Nikahkan saja, Pak," teriak salah satu warga yang turut menggerebek apa yang Hisyam dan Zahra lakukan malam ini. Riuh teriakan dan ejekan membuat Hisyam tak mampu mengangkat kepalanya."Bawa ke kantor polisi aja, malu-maluin warga aja!""Usir aja dari sini!""Ibunya baik, anaknya bikin ulah! Gimana dia di alam kubur!" Beberapa macam teriakan membuat Hisyam diliputi rasa yang tak mengenakkan. Ia hanya menunduk sambil terduduk di atas kursi ruang tamu bersisihan dengan Zahra dan disaksikan oleh banyak orang. Keduanya tak punya nyali untuk menatap wajah-wajah tetangga yang terusik akan kebersamaan keduanya yang hampir tiap malam.Jika hanya satu kali, mana mungkin sampai memantik amarah warga.Pak RT mengangkat kedua tangannya untuk menghentikan teriakan warga yang menggema. Suasana harus kondusif agar ia bisa bicara dengan tenang dan dapat didengar."Saya sudah dapat laporan dari beberapa warga terkait keberadaan Mbak ini di rumah Mas Hisyam. Saya hendak datang untuk memperingatkan tap
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag