Selamat sore menjelang malam :-) Rakira Dion pergi ke mana ya? ada yang nungguin Pak Reval gak nih??? >,<
“Ibu sudah sarapan, Nyonya,” jawab Bi Mirna sambil tersenyum. “Ini bibi mau antarkan jus buat Ibu Lastri.” Naura mengangguk pelan. “Terima kasih ya, Bi. Sudah dibuatkan sarapan juga,” katanya dengan tulus. “Sama-sama, Nyonya. Bibi mau ke kamar Ibu Lastri dulu,” ujar Bi Mirna sebelum melangkah pergi membawa nampan berisi jus jeruk itu. Setelah Bi Mirna pergi, Naura kembali duduk di meja makan. Ia melanjutkan makan paginya, tetapi pikiran tentang Dion tidak bisa diabaikannya begitu saja. Ia mengingat-ingat semalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Dion harus pergi pagi-pagi sekali. Semuanya terasa normal. Naura menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Dion mungkin hanya lupa memberitahu. Namun, rasa gelisah tetap menyelinap di hatinya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, memeriksa apakah ada pesan dari Dion. Tidak ada. “Dia terlalu sibuk,” pikir Naura, mencoba memberikan alasan. Tetapi alasan itu tidak membuat hatinya lega. Ia memandang piring nasi goreng d
Naura membeku. Ia tak menyangka situasinya akan seperti ini. “Saya … maaf, saya tidak tahu kalau Bapak sedang sibuk.” Naura berdiri dengan gelisah di dekat pintu, tatapannya tertunduk. Ia menyesal telah menerobos masuk tanpa izin. Suasana di ruangan itu begitu mencekam, membuatnya merasa seperti seorang siswa yang sedang dimarahi guru. Ia menelan ludah saat Reval berbicara. “Saya minta maaf. Saya benar-benar tidak tahu,” kata Naura dengan suara pelan, sambil menunduk dalam-dalam. Ia melirik Ervan yang masih berdiri tidak jauh dari meja Reval. Tatapan pria itu sulit ditebak. Seperti campuran antara bingung dan penasaran. Naura menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk segera keluar dari situasi canggung ini. “Kalau begitu saya permisi, Pak,” lanjut Naura, suaranya hampir bergetar. Ia melangkah mundur, bersiap meninggalkan ruangan. Namun, suara Reval yang tegas menghentikan langkahnya. “Tidak perlu.” Naura membeku. Ia mendongak perlahan, menatap Reval yang kini m
Kalimat itu menghantam Naura seperti gelombang besar yang menghancurkan ketenangannya. Ia membuka matanya perlahan, menatap Reval dengan campuran ketakutan dan kemarahan. Jantung Naura berdetak begitu kencang hingga ia merasa tubuhnya gemetar. “Anda salah,” balas Naura, mencoba menegaskan dirinya meskipun suara itu hampir tidak terdengar. “Apa yang Anda pikirkan tidak benar. Saya tidak pernah ...” Reval mengangkat alis, memotong kalimat Naura dengan tatapan yang penuh dominasi. “Tidak pernah apa? Menginginkanku?” ia bertanya, nadanya seperti ejekan yang menggores harga diri Naura. Naura merasa wajahnya semakin memanas, tetapi kali ini bukan karena malu. Itu karena amarah. “Anda tidak tahu apa-apa tentang saya, Pak,” ujar Naura dengan suara yang sedikit lebih tegas. “Dan apa pun yang Anda pikirkan tentang saya, itu salah.” Ruangan itu hening sejenak. Suasana mencekam yang melingkupi mereka seperti menekan seluruh udara keluar dari paru-paru Naura. Ia ingin pergi, men
“Tidak mungkinkan Pak Reval yang melakukannya?” Naura terduduk lemas di kursinya. Merasa menyesal karena menghabiskan makanan tanpa mencari tahu terlebih dahulu siapa pengirimnya. “Biarlah. Siapa suruh makanan itu ada di meja kerjaku.” Pukul lima sore, Naura merasakan sedikit bosan. Tubuhnya terasa begitu lelah. “Mungkin membuat secangkir kopi bisa menenangkan pikiran.” Dengan sisa tenaga yang ada, Naura memilih untuk pergi ke pantry. Langkah-langkah sepatu hak rendah Naura terdengar pelan di sepanjang koridor kantor. Ia membawa minuman favoritnya, berniat untuk sedikit bersantai di pantry sebelum kembali menghadapi tumpukan laporan. Saat memasuki pantry, ia melihat Andi, rekan kerjanya yang ramah, sedang menuangkan air panas ke dalam gelas berisi teh celup. “Hai, Mbak Naura!” sapa Andi sambil tersenyum lebar. “Lagi nyari inspirasi juga di sini?” Naura tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Istirahat sebentar dari angka-angka yang nggak habis-habis.” Andi mengangguk s
Suara detak jam dinding samar-samar terdengar dalam ruangan yang sunyi itu. Naura berdiri di depan meja besar milik Reval dengan tatapan ragu. Pandangannya sesekali teralihkan ke arah pintu, berharap ada alasan untuk pergi, namun kenyataannya tidak semudah itu. Reval menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam dengan tenang, tetapi matanya menyimpan sorot tajam yang membuat Naura merasa terintimidasi. Wajahnya seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan. “Kamu pasti sudah tahu jawabannya, bukan?” Suara Reval terdengar rendah namun tegas, memecah keheningan. Naura mencoba menenangkan dirinya. Napasnya pelan namun terasa berat. “Saya mengerti, Pak. Saya harus siap kapan pun Bapak membutuhkan saya. Termasuk ...” Kata-katanya menggantung di udara. Tenggorokannya terasa kering, sulit baginya untuk melanjutkan kalimat. Ia tahu apa yang diinginkan Reval, namun menyatakannya dengan suara lantang adalah tantangan besar. Sejujurnya, Naura bersyukur karena Reval sempat membiar
“Kalau begitu, kamu boleh pergi,” ujar Reval tiba-tiba, membuat Naura menoleh dengan tatapan terkejut. “Pak?” “Kamu bilang ingin fokus pada pekerjaanmu, 'kan? Pergilah, dan pastikan kamu tidak membuat kesalahan,” ujar Reval sambil memeriksa dokumen di mejanya. Naura tidak butuh penjelasan lebih lagi meski ia merasa bingung dengan perubahan sikap Reval yang tidak menentu. Wanita itu berdiri dengan hati-hati, takut jika Reval tiba-tiba berubah pikiran. Naura segera melangkah keluar dari ruangan itu, merasa dadanya sesak. Tetapi bahkan ketika pintu tertutup di belakangnya, bayangan tatapan Reval masih menghantuinya. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Naura merasa terperangkap, seolah ia sedang memainkan permainan yang tidak ia pahami aturannya. Saat Naura kembali ke meja kerjanya, Andi menyapanya dengan senyum ramah. “Hei, Mbak Naura. Bos besar ngomongin apa tadi?” Naura tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya urusan pekerjaan, seperti biasa.”
“Sendiri?” tanya Dion lagi, nada curiganya membuat Naura merasa semakin tidak nyaman. Naura menggigit bibir, ragu untuk menjawab. “Iya. Sendiri,” ujar Naura . Suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha untuk tidak terlihat gugup, tetapi dadanya terasa sesak. Reval yang berdiri tidak jauh darinya mengeluarkan tawa kecil, nyaris seperti ejekan. Naura langsung menoleh tajam. “Apakah kamu sudah meminta bantuan? Aku akan ke sana.” “Sudah kok, Mas. Mas Dion tidak perlu khawatir.” Sambungan terputus. Naura merasa sedikit takut. Perasaannya mendadak tidak enak. Ia melirik ke arah Reval. Tiba-tiba lift berhenti dengan hentakan kecil yang nyaris membuat Naura kehilangan keseimbangan. Lampu di dalam ruangan sempit itu berkedip sekali sebelum mati total, menyisakan mereka berdua dalam gelap. “Astaga!” Naura menjerit dan refleks bergerak dari posisinya. Naura merapat ke dinding lift, kedua tangannya menggenggam tas dengan erat. Napasnya terdengar lebih cepat dari biasanya. Ia mencob
Naura perlahan membuka matanya. Cahaya lampu klinik terasa menyilaukan, membuatnya sedikit menyipitkan pandangan. Hawa dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulitnya. Kepalanya masih terasa berat, dan tubuhnya lemah seperti kehilangan daya. “Mas Dion ....” Naura berteriak kecil. Seolah baru saja terbangun dari mimpi buruknya. Genggaman tangan itu rupanya tidaklah nyata. Nama Dion keluar dari mulutnya disertai dengan desah napas yang lemah. Kepalanya menoleh perlahan, berharap menemukan sosok suaminya yang ia panggil dalam kegelapan. Namun, pandangannya hanya bertemu dengan wajah dingin Reval. Reval duduk di kursi samping ranjang, tangan terlipat di dada, ekspresi datar menghiasi wajahnya. Mata tajamnya menatap Naura tanpa sepatah kata pun. “Suamimu tidak datang, Naura,” ucap Reval, tenang namun penuh penekanan. Hati Naura berdesir, seperti ditusuk ribuan jarum kecil. Ia menatap Reval dengan sorot mata penuh tanya, campuran antara marah dan bingung. “Bagaimana mungkin? A
Dion mengerjap, matanya membesar. “Callista?”Wanita itu tersenyum miring, lalu dengan anggun memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Apa kabar kamu, Dion? Sudah lama aku tidak melihatmu.”Dion melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Callista berdiri tegak kembali. Matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan.Callista masih seperti dulu. Berpenampilan mewah, tubuhnya dibalut gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Parfum mahalnya masih tercium kuat, mengingatkan Dion pada masa-masa yang ingin ia lupakan.“Aku pikir kamu masih di luar negeri,” gumam Dion.Callista menyeringai. “Aku pulang beberapa bulan lalu. Kau tidak tahu?”Dion menggeleng.“Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak menghubungimu.” Callista melipat tangan di depan dadanya. “Kamu terlalu sibuk dengan istrimu, kan?”Dion menatap Callista tajam.Wanita itu terkekeh pelan. “Kamu ingat, Dion? Waktu itu kamu membawa kabur uangku.”Dion mengepalkan tangan. “Aku tidak punya pilihan.”“Dan sekarang?”
Dion terdiam sejenak. “Naura lebih banyak menghabiskan waktu dengan bosnya. Aku yakin itu anak Reval. Bukan anakku.”Lastri tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Dion! Istri kamu baru saja mengandung anak pertama kalian, dan alih-alih bersyukur, kamu malah menuduhnya?!”Dion menutup matanya sejenak. “Bu, aku tidak menuduh. Seminggu ini Naura tidak pulang ke rumah. Dia tidur bersama Reval, Bu. Bagaimana aku bisa yakin jika anak itu adalah anakku, Bu?”Lastri terdiam.Dion melanjutkan. “Aku melihat semuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, berbicara dengan cara yang berbeda. Dan lebih dari itu ....” Dion mengusap wajahnya dengan kasar. “Naura berubah sejak saat itu, Bu. Sejak dia mendapatkan uang untuk membayar operasi ibu. Dia yang mulai terlihat gelisah, pikirannya sering melayang. Dan malam ini, ketika dokter mengumumkan kehamilannya, aku melihat sesuatu di matanya.”Lastri mempersempit matanya. “Apa yang kamu lihat?”Dion menatap ibunya lurus-lurus.“Keraguan.”Dion menggeleng
Deg!Naura merasakan sesuatu menyesak di dadanya. Ia mengerjap, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.“Mas ... kamu tidak percaya?”Dion berjalan mendekat, wajahnya masih sulit ditebak. “Jangan-jangan itu anak Reval?”Seperti ada tamparan keras yang menghantam pipinya.Naura menggeleng dengan mata berkaca-kaca. “Mas, ini anakmu. Bagaimana kamu bisa meragukannya? Aku yakin jika ini anak kita, Mas.”Dion menatapnya dalam diam, tetapi ada sesuatu di matanya. Sebuah keraguan.Keraguan yang begitu nyata dan menyakitkan.Suasana ruangan terasa begitu dingin, menusuk ke dalam hati Naura lebih dalam daripada udara malam di luar sana.Dion berbalik, menarik napas dalam-dalam, lalu mengepalkan tangannya. Pikirannya penuh dengan adegan yang terus menghantuinya.Hampir seminggu Naura tidak pulang ke rumah. Ia yakin jika istrinya tersebut pasti tinggal bersama Reval. Dan tidak mungkin Naura tidak melakukan apa-apa dengan lelaki itu.Naura menatap Dion penuh harap, tetapi pria itu teta
Reval melangkah masuk ke dalam restoran dengan perasaan hampa. Kepalan tangannya masih erat, seolah mencoba menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Sorot matanya tajam, tetapi di balik itu, ada luka yang tidak bisa ia sembunyikan.Di hadapannya, keluarganya sudah menunggu dengan ekspresi yang berbeda-beda.Alexa langsung bertepuk tangan kecil, wajahnya tampak sumringah melihat kakaknya kembali seorang diri. “Aku sudah bilang, kan? Kak Reval terlalu percaya diri. Lihat sekarang, buktinya dia tetap memilih Dion!”Reval menghela napas, tidak menanggapi. Ia menarik kursi dengan sedikit kasar, lalu duduk tanpa banyak bicara.Dari sudut lain meja, sang mama mengamati ekspresi putranya dengan sorot puas. Ia menyandarkan tubuhnya, menyesap anggur di tangannya dengan tenang sebelum berkata, “Bagaimana, Reval? Sekarang kamu tahu sendiri sifat asli Naura. Dia tidak benar-benar mencintaimu. Selama ini dia hanya memanfaatkan kelemahanmu.”Reval mengangkat kepalanya, menatap sang mama dalam di
Naura mengangkat kepalanya, memaksakan senyum. “Tidak apa-apa.” Dion menghela napas lega. “Aku senang kamu ada di sini. Aku janji, Naura … aku nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku nggak akan menyia-nyiakan kamu lagi.” Naura mengangguk kecil, meski hatinya terasa semakin sesak. Di luar sana, Reval masih berdiri. Pandangan mereka bertemu lagi, dan kali ini, Naura bisa melihat jelas luka yang berpendar di mata pria itu. Namun, Naura segera membuang muka. Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Pesan masuk. [Lihat aku, Naura.] Jantungnya berdebar. Naura mengangkat kepalanya perlahan, dan saat ia melakukannya, Reval mengulurkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak beludru kecil. Naura membelalakkan mata. Cincin. Reval membawakan cincin untuknya. Dan saat itu, Naura merasakan sesuatu menghantam dadanya begitu keras. Dion mungkin berjanji akan berubah. Ibu Lastri mungkin sangat menyayanginya. Tapi hanya ada satu pria yang berani memperjuangkannya dengan cara yang begitu ter
Naura menarik napas panjang. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi melihat harapan di wajah Ibu Lastri, ia akhirnya mengangguk. “Baiklah,” ucapnya lirih. Dion tersenyum lega. “Terima kasih, Naura. Aku janji, aku akan membuat semuanya lebih baik.” Malam itu, Naura mengenakan dress sederhana berwarna krem. Ia berdiri di depan kaca, menatap pantulannya sendiri. Hatinya masih terasa berat, tetapi ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik. Ketika mereka tiba di restoran, langkah Naura terhenti seketika. Jantungnya berdegup lebih kencang. Di seberang jalan, tepat di depan restoran tempatnya berdiri, ada Revalence Dining. Restoran milik Reval. Naura menelan ludah. Tangannya refleks menggenggam clutch di tangannya lebih erat. Kenapa harus di sini? Kenapa harus sedekat ini dengan Reval? Dion meraih tangannya, membuatnya tersadar. “Ayo, Naura. Meja kita sudah disiapkan.” Naura mengangguk kecil. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan hati
Seperti petir yang menggelegar di siang bolong, pernyataan itu langsung mengubah atmosfer ruangan. Wajah Ibu Lastri memucat, sementara Dion tersentak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Naura, jangan bicara seperti itu ....” Ibu Lastri langsung menggenggam tangan Naura erat, air matanya mulai menggenang. “Pikirkan lagi, Nak. Jangan gegabah mengambil keputusan.” “Ibu, ini bukan keputusan yang Naura buat dalam semalam. Naura sudah berpikir panjang,” ucap Naura, mencoba tetap tenang meskipun dadanya sesak. “Tapi, Nak ....” suara Ibu Lastri bergetar, jemarinya semakin erat mencengkeram tangan Naura. “Ibu mohon ... jangan tinggalkan Dion ... dan jangan tinggalkan ibu.” Dion yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. “Naura ... aku tahu aku salah. Aku bodoh, aku egois ... aku sudah menyia-nyiakanmu.” Suaranya serak, nadanya penuh dengan penyesalan. “Aku janji ... aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Tolong beri aku kesempatan kedua.” Naura mengalihk
Naura mengangguk. “Saya tidak bisa terus seperti ini, Pak Reval. Saya tidak bisa menjalani dua kehidupan dalam satu waktu. Saya harus menyelesaikan masalah saya dengan Mas Dion.” Ruangan itu terasa sunyi sesaat. Reval menatapnya dalam-dalam, seakan mencari kebimbangan dalam mata wanita itu. Tapi, yang ia temukan hanyalah keteguhan hati. Akhirnya, ia menghela napas panjang. “Baiklah,” ucap Reval, suaranya sedikit berat. “Kalau itu yang kamu mau.” Naura tersenyum kecil, lega karena Reval tidak berusaha menahannya. Tapi, sebelum ia bisa melangkah, Reval kembali bersuara. “Tapi, aku ingin kamu tahu satu hal, Naura.” Naura menoleh. Reval menatapnya lekat, suaranya terdengar lebih dalam. “Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap di sini, menunggumu. Apa pun yang terjadi di rumahmu nanti, aku ingin kamu ingat ... bahwa aku selalu ada.” Naura merasakan tenggorokannya mengering. Ia ingin membalas sesuatu, tapi kata-katanya terasa macet di tenggorokan. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk
Beberapa hari telah berlalu. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela besar, menciptakan pola-pola lembut di atas lantai. Aroma lembut parfum Reval memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang, tetapi ada ketegangan tipis yang menggantung di udara. Naura sedang bercermin seraya merapikan rambutnya. Wajahnya terlihat tenang setelah menghabiskan banyak waktu bersama Reval selama kurang lebih satu minggu. Reval yang berdiri di belakangnya. Sebuah lipstik berwarna pink tergenggam di tangan pria itu, jemarinya yang panjang dan kuat tampak santai, tetapi sorot matanya penuh konsentrasi. “Kamu tidak perlu bergerak,” bisik Reval, suaranya rendah, nyaris seperti perintah. Ia memiringkan kepalanya sedikit, matanya tajam namun lembut, seperti seseorang yang sedang menyusun karya seni. Naura mengangkat matanya perlahan, namun hanya untuk menemukan wajah Reval sudah begitu dekat dengannya. Dadanya seakan membeku sesaat. Ia merasakan hawa napas pria itu menyentuh pipinya, begitu hangat, hamp