Hai, selamat sore .... apakah Dion mendengar pembicaraan Naura dengan Bibi Mirna?
Naura berbalik dengan cepat. Dion berdiri di ambang pintu dapur, alisnya berkerut dalam. Wajahnya penuh tanya, matanya langsung terarah pada Naura dan Mirna yang tampak bersalah. “Mas Dion ....” Naura tergagap, mencari alasan. Suaranya serak, seperti tertahan oleh beban yang semakin berat. Ia takut jika Dion mendengar semuanya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Dion lagi. Naura merasa seluruh tubuhnya kaku. Tangannya yang basah karena keringat menyeka ujung meja dapur. Tentu saja, ia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. “Kami hanya membicarakan tentang kesehatan Ibu Lastri, Pak Dion,” jawab Mirna dengan nada tenang. Dion mengerutkan alis, semakin curiga. “Oh, jadi seperti itu?” Naura melirik Mirna dengan panik. Perasaan takut yang menghantui sejak tadi semakin menekan dadanya. Apa yang harus ia katakan? Ia tahu Dion bukan tipe orang yang mudah dibohongi. “Naura, apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?” Dion mendekatkan wajahnya. Suaranya tegas, tetapi tidak
“Ibu sudah sarapan, Nyonya,” jawab Bi Mirna sambil tersenyum. “Ini bibi mau antarkan jus buat Ibu Lastri.” Naura mengangguk pelan. “Terima kasih ya, Bi. Sudah dibuatkan sarapan juga,” katanya dengan tulus. “Sama-sama, Nyonya. Bibi mau ke kamar Ibu Lastri dulu,” ujar Bi Mirna sebelum melangkah pergi membawa nampan berisi jus jeruk itu. Setelah Bi Mirna pergi, Naura kembali duduk di meja makan. Ia melanjutkan makan paginya, tetapi pikiran tentang Dion tidak bisa diabaikannya begitu saja. Ia mengingat-ingat semalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Dion harus pergi pagi-pagi sekali. Semuanya terasa normal. Naura menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Dion mungkin hanya lupa memberitahu. Namun, rasa gelisah tetap menyelinap di hatinya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, memeriksa apakah ada pesan dari Dion. Tidak ada. “Dia terlalu sibuk,” pikir Naura, mencoba memberikan alasan. Tetapi alasan itu tidak membuat hatinya lega. Ia memandang piring nasi goreng d
Naura membeku. Ia tak menyangka situasinya akan seperti ini. “Saya … maaf, saya tidak tahu kalau Bapak sedang sibuk.” Naura berdiri dengan gelisah di dekat pintu, tatapannya tertunduk. Ia menyesal telah menerobos masuk tanpa izin. Suasana di ruangan itu begitu mencekam, membuatnya merasa seperti seorang siswa yang sedang dimarahi guru. Ia menelan ludah saat Reval berbicara. “Saya minta maaf. Saya benar-benar tidak tahu,” kata Naura dengan suara pelan, sambil menunduk dalam-dalam. Ia melirik Ervan yang masih berdiri tidak jauh dari meja Reval. Tatapan pria itu sulit ditebak. Seperti campuran antara bingung dan penasaran. Naura menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk segera keluar dari situasi canggung ini. “Kalau begitu saya permisi, Pak,” lanjut Naura, suaranya hampir bergetar. Ia melangkah mundur, bersiap meninggalkan ruangan. Namun, suara Reval yang tegas menghentikan langkahnya. “Tidak perlu.” Naura membeku. Ia mendongak perlahan, menatap Reval yang kini m
Kalimat itu menghantam Naura seperti gelombang besar yang menghancurkan ketenangannya. Ia membuka matanya perlahan, menatap Reval dengan campuran ketakutan dan kemarahan. Jantung Naura berdetak begitu kencang hingga ia merasa tubuhnya gemetar. “Anda salah,” balas Naura, mencoba menegaskan dirinya meskipun suara itu hampir tidak terdengar. “Apa yang Anda pikirkan tidak benar. Saya tidak pernah ...” Reval mengangkat alis, memotong kalimat Naura dengan tatapan yang penuh dominasi. “Tidak pernah apa? Menginginkanku?” ia bertanya, nadanya seperti ejekan yang menggores harga diri Naura. Naura merasa wajahnya semakin memanas, tetapi kali ini bukan karena malu. Itu karena amarah. “Anda tidak tahu apa-apa tentang saya, Pak,” ujar Naura dengan suara yang sedikit lebih tegas. “Dan apa pun yang Anda pikirkan tentang saya, itu salah.” Ruangan itu hening sejenak. Suasana mencekam yang melingkupi mereka seperti menekan seluruh udara keluar dari paru-paru Naura. Ia ingin pergi, men
“Tidak mungkinkan Pak Reval yang melakukannya?” Naura terduduk lemas di kursinya. Merasa menyesal karena menghabiskan makanan tanpa mencari tahu terlebih dahulu siapa pengirimnya. “Biarlah. Siapa suruh makanan itu ada di meja kerjaku.” Pukul lima sore, Naura merasakan sedikit bosan. Tubuhnya terasa begitu lelah. “Mungkin membuat secangkir kopi bisa menenangkan pikiran.” Dengan sisa tenaga yang ada, Naura memilih untuk pergi ke pantry. Langkah-langkah sepatu hak rendah Naura terdengar pelan di sepanjang koridor kantor. Ia membawa minuman favoritnya, berniat untuk sedikit bersantai di pantry sebelum kembali menghadapi tumpukan laporan. Saat memasuki pantry, ia melihat Andi, rekan kerjanya yang ramah, sedang menuangkan air panas ke dalam gelas berisi teh celup. “Hai, Mbak Naura!” sapa Andi sambil tersenyum lebar. “Lagi nyari inspirasi juga di sini?” Naura tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Istirahat sebentar dari angka-angka yang nggak habis-habis.” Andi mengangguk s
Suara detak jam dinding samar-samar terdengar dalam ruangan yang sunyi itu. Naura berdiri di depan meja besar milik Reval dengan tatapan ragu. Pandangannya sesekali teralihkan ke arah pintu, berharap ada alasan untuk pergi, namun kenyataannya tidak semudah itu. Reval menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam dengan tenang, tetapi matanya menyimpan sorot tajam yang membuat Naura merasa terintimidasi. Wajahnya seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan. “Kamu pasti sudah tahu jawabannya, bukan?” Suara Reval terdengar rendah namun tegas, memecah keheningan. Naura mencoba menenangkan dirinya. Napasnya pelan namun terasa berat. “Saya mengerti, Pak. Saya harus siap kapan pun Bapak membutuhkan saya. Termasuk ...” Kata-katanya menggantung di udara. Tenggorokannya terasa kering, sulit baginya untuk melanjutkan kalimat. Ia tahu apa yang diinginkan Reval, namun menyatakannya dengan suara lantang adalah tantangan besar. Sejujurnya, Naura bersyukur karena Reval sempat membiar
“Kalau begitu, kamu boleh pergi,” ujar Reval tiba-tiba, membuat Naura menoleh dengan tatapan terkejut. “Pak?” “Kamu bilang ingin fokus pada pekerjaanmu, 'kan? Pergilah, dan pastikan kamu tidak membuat kesalahan,” ujar Reval sambil memeriksa dokumen di mejanya. Naura tidak butuh penjelasan lebih lagi meski ia merasa bingung dengan perubahan sikap Reval yang tidak menentu. Wanita itu berdiri dengan hati-hati, takut jika Reval tiba-tiba berubah pikiran. Naura segera melangkah keluar dari ruangan itu, merasa dadanya sesak. Tetapi bahkan ketika pintu tertutup di belakangnya, bayangan tatapan Reval masih menghantuinya. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Naura merasa terperangkap, seolah ia sedang memainkan permainan yang tidak ia pahami aturannya. Saat Naura kembali ke meja kerjanya, Andi menyapanya dengan senyum ramah. “Hei, Mbak Naura. Bos besar ngomongin apa tadi?” Naura tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya urusan pekerjaan, seperti biasa.”
“Sendiri?” tanya Dion lagi, nada curiganya membuat Naura merasa semakin tidak nyaman. Naura menggigit bibir, ragu untuk menjawab. “Iya. Sendiri,” ujar Naura . Suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha untuk tidak terlihat gugup, tetapi dadanya terasa sesak. Reval yang berdiri tidak jauh darinya mengeluarkan tawa kecil, nyaris seperti ejekan. Naura langsung menoleh tajam. “Apakah kamu sudah meminta bantuan? Aku akan ke sana.” “Sudah kok, Mas. Mas Dion tidak perlu khawatir.” Sambungan terputus. Naura merasa sedikit takut. Perasaannya mendadak tidak enak. Ia melirik ke arah Reval. Tiba-tiba lift berhenti dengan hentakan kecil yang nyaris membuat Naura kehilangan keseimbangan. Lampu di dalam ruangan sempit itu berkedip sekali sebelum mati total, menyisakan mereka berdua dalam gelap. “Astaga!” Naura menjerit dan refleks bergerak dari posisinya. Naura merapat ke dinding lift, kedua tangannya menggenggam tas dengan erat. Napasnya terdengar lebih cepat dari biasanya. Ia mencob
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te
Naura menggeleng cepat. “Tidak. Saya sudah ganti baju yang lebih nyaman. Masa Bapak tetap dengan pakaian basah seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan itu.” Reval menatapnya lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini benar-benar keras kepala. “Jadi kalau aku tidak ganti baju, kamu tidak mau makan?” tanya Reval sekali lagi untuk memastikan. Naura mengangguk mantap. Reval mendesah panjang. “Baiklah,” ujar Reval pasrah. Naura tersenyum puas. “Ayo kita cari baju untuk Bapak.” Mereka kembali berkeliling dan kali ini, Naura yang mengambil alih pencarian. Ia dengan serius memilihkan pakaian untuk Reval, membandingkan warna dan bahan dengan ekspresi sangat fokus, seolah sedang mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Reval hanya bisa mengamati dari belakang, tersenyum kecil melihat keseriusan Naura. “Bagaimana dengan ini?” Naura mengangkat sebuah kaus berwarna hitam dengan gambar kelapa dan tulisan besar Life’s a Beach. Reval melirik kaus itu, lalu menaikkan satu alisnya. “Aku t
Reval masih menatap Naura setelah ciuman panjang mereka terhenti. Napas keduanya masih tersengal, dan mata mereka tetap terkunci dalam keheningan yang berbicara lebih dari seribu kata. Perlahan, Reval mengangkat tangannya, membelai lembut pipi Naura dengan ujung jemarinya. Jari-jarinya menyusuri pipi halus itu dengan penuh kelembutan, lalu bergerak menyelipkan helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga Naura. “Aku mencintaimu, Naura.” Suaranya rendah, dalam, namun tegas. Tidak ada keraguan di sana. Naura membeku. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kata-kata Reval begitu tiba-tiba, begitu nyata, hingga Naura tidak siap untuk menghadapinya. Reval memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi Naura yang kebingungan. “Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanyanya lagi, suaranya lebih lembut kali ini. Naura menunduk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia
Ekspresi Reval mengeras. “Itu bukan urusan kita, Naura.” “Tapi dia masih tak sadarkan diri—” “Dia akan baik-baik saja. Ada dokter dan perawat di sini. Naura, kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas seseorang yang tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Naura terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Reval yang membuat hatinya bergetar. Seakan pria itu bukan hanya berbicara tentang Callista, tetapi juga tentang Dion. Ia tahu Reval benar. Callista bukan tanggung jawabnya. Dion juga bukan. Namun, rasa iba itu tetap ada, menggantung di sudut hatinya. “Saya tidak ingin pergi dalam keadaan seperti ini,” gumamnya. Reval menghembuskan napas panjang. “Naura.” Ia meraih bahu gadis itu, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, apa yang akan berubah?” Naura menggigit bibir. Ia tidak bisa menjawab. “Kamu hanya akan terus terjebak dalam rasa sakit dan keraguan.” Suara Reval melembut. Kini Naura merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti perasaannya. Reval berbicara dengan n
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu. “Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan. “Reval! Ka–kamu ...” “Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?” Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya. Dion dan Callista memang berselingkuh. Bukan jebakan. Mereka benar-benar mengkhianati dirinya. Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain. Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap. “Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menj
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion. “Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.” Suara Naura pecah di akhir kalimat. Dan saat itu, pertahanannya runtuh. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan. Reval tak bisa lagi hanya diam. Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah. “Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval. “Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya. Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah. Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jad
Koper milik Naura tergeletak begitu saja. Wanita itu tidak lagi peduli. Tangannya gemetar saat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, napasnya tersengal. Ia baru saja menerima sebuah kabar yang menghantamnya lebih keras dari apa pun. Dion. Ditemukan di kamar hotel. Bersama seorang wanita. Tak sadarkan diri. Keadaannya … tak berbusana. Perut Naura terasa seperti dipukul keras. Otaknya berusaha mencerna, tapi semuanya terasa begitu absurd, begitu menyakitkan. Tangannya melambai, menghentikan taksi yang melintas. Tanpa ragu, ia masuk dan menyebutkan satu tujuan. Rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Dion berputar di pikirannya. Pria yang selama ini menjadi harapan terakhirnya, tempatnya berpulang setelah semua yang terjadi dengan Reval. Namun sekarang, seolah takdir kembali menertawakannya. Air mata sudah berlinang di pipinya. Ia tak peduli. Taksi berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Naura bergegas keluar, hampir tersandung karena langkahnya yang terbu
Jantung Naura berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menegakkan duduknya, menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan tak menentu. “Ada apa dengan Mas Dion, Bu?” tanyanya hati-hati. Ibu Lastri menghela napas. Tangannya saling bertaut, pertanda bahwa ia sedang berusaha menyusun kata-kata. “Tadi Dion sempat menghubungi Ibu. Katanya dia sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak bisa menjemputmu.” Naura mengerutkan kening. “Kenapa Mas Dion nggak bilang langsung kepadaku, Bu? Dihubungi juga susah.” Ibu Lastri terdiam sesaat. “Em, itu….” Naura menangkap kegugupan di raut wajah wanita itu. Matanya yang biasanya lembut kini seperti menyimpan sesuatu. “Ada apa, Bu?” desaknya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. Ibu Lastri tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa tidak natural. “Mungkin sinyalnya sedang buruk, Nak.” Naura terdiam, berusaha mencerna jawaban itu. Tapi sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ada yang janggal. Ia menatap wajah wanita itu le