Menikah dengan Kai bukanlah impian Kira. Pernikahan itu terjadi karena peristiwa kelam, tanpa cinta, tanpa kebahagiaan. Bahkan saat mengandung anak mereka, Kai tetap tak peduli. Hingga malam itu tiba, Kira kehilangan bayinya. Sendirian, tanpa suami di sisinya, tanpa tangan yang menggenggamnya. Beberapa minggu setelahnya Kai akhirnya mencari Kira. Dengan hati yang masih rapuh, Kira datang ke rumah sakit dan berpikir suaminya sedang dalam bahaya. Namun, yang Kira temukan justru pemandangan yang membuat ia ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga. Kai memiliki anak dari wanita lain. “Jadilah ibu susu untuk anakku,” ucap Kai pada Kira tanpa perasaan. Haruskah Kira tetap bertahan dalam pernikahan itu, atau pergi membawa luka yang tak mungkin sembuh?
View MoreDi dalam ruang persalinan itu, Kira berjuang sendirian. Ia meringis kesakitan, tangannya hanya mencengkeram tepian ranjang bersalin. Tidak ada tangan yang dapat ia jadikan pegangan. Tidak ada suami yang dapat ia jadikan sandaran. Kaisar—suaminya, tidak hadir di sini, bahkan sejak awal pernikahan, Kai tidak menginginkan Kira, apalagi anak yang dikandungnya.
Tapi, Kira masih merasa semua baik saja, karena setidaknya, sebentar lagi bayi di perutnya akan menemaninya.
“Tolong... sakit...,” erang Kira, air matanya meluruh membasahi pipi.
Dokter dan perawat bersiap di sampingnya. “Tarik napas dalam, Bu Kira. Sedikit lagi... dorong.”
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Kira mendorong sekuat tenaga. Hingga akhirnya bayi itu lahir.
Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Ruangan yang seharusnya dipenuhi tangisan bayi itu kini terasa sunyi. Amat sunyi.
Wajah Kira yang pucat seketika memandangi bayi mungil dalam pelukan dokter. “Kenapa dia tidak menangis?” tanyanya panik.
Dokter dan perawat saling pandang satu sama lain. Lalu dokter memerika kondisi bayi dan berusaha membuat si bayi mengeluarkan tangisan. Detik demi detik berlalu bagaikan berabad-abad bagi Kira.
“Mohon maaf, Bu Kira. Bayi Anda tidak bernyawa saat dilahirkan,” ujar sang dokter dengan penuh penyesalan beberapa saat kemudian.
Dunia Kira hancur dalam sekejap. Tubuhnya menggigil hebat.
Ia menatap kosong ke arah bayi yang tidak sempat ia peluk, tidak sempat ia dengar tangisannya. Hatinya seperti dihantam batu besar yang menghancurkan seluruh harapannya.
“Tidak... tidak mungkin,” gumamnya lirih, menolak kenyataan yang baru saja dokter katakan.
Tangannya terulur dengan gemetar, ingin menyentuh anaknya, ingin membuktikan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun, saat jari-jarinya menyentuh kulit mungil itu, tubuhnya benar-benar terasa dingin. Tidak ada kehangatan. Tidak ada napas kecil yang seharusnya terasa.
Tangis Kira pecah. Ia menjerit, merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan.
Hingga pandangan Kira tiba-tiba terlihat gelap.
Kira pingsan sebelum ia sempat memeluk bayinya yang terbujur kaku.
Kira baru siuman ketika ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan itu terasa sunyi dan dingin. Kira merasakan hatinya hampa. Tatapannya kosong.
Lantas diraihnya ponsel yang teronggok di atas rak samping ranjang. Mungkin perawat yang sudah membantu menaruh ponselnya di sana, pikir Kira.
Dengan tangan gemetar ia mencari nomor telepon Kai, suaminya. Lalu menghubunginya. Namun, panggilan Kira ditolak tepat didering ketiga. Ia ingin mengabarkan bahwa bayi mereka telah meninggal dunia. Namun, Kira merasa yakin bahwa itulah kabar yang ingin didengar oleh suaminya. Kai tidak pernah menginginkan bayi itu sejak awal.
Kira menjatuhkan ponsel dari telinga begitu panggilannya kembali ditolak untuk kedua kali. Ia tidak memiliki siapa-siapa. Satu-satunya anggota keluarganya adalah ibunya, yang kini sedang terbaring lemah di ruang ICU.
Dulu, Kira terpaksa menikah dengan Kai karena kehadiran bayi dalam kandungannya setelah peristiwa kelam yang terjadi pada suatu malam. Kai menikahinya atas dasar tanggungjawab dan dipaksa oleh sang kakek. Kai merupakan seorang CEO di perusahaan raksasa, sang kakek mengancam akan melengserkan Kai dari jabatannya sebagai CEO jika tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan Kira. Tepat di bulan keenam pernikahan mereka, kakek Kai meninggal dunia.
“Anakku... aku harus menemui anakku...,” gumam Kira setelah ia keluar dari lamunannya.
Saat Kira akan turun dari ranjang pasien, ia terkejut saat mendapati ada sesuatu yang basah merembes dari dadanya. Itu adalah ASI. ASI yang seharusnya ia berikan kepada putranya yang belum sempat ia peluk sampai saat ini. Air mata Kira kembali mengalir mengingat kematian putranya.
Ia mencabut jarum infus dari punggung tangannya. Dengan langkah sempoyongan, ia berjalan keluar dari ruang perawatan. Mengabaikan rasa sakit setelah proses persalinan. Kira melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit dengan air mata yang terus mengalir.
“Permisi! Tolong menyingkir! Ada pasien yang akan melahirkan!” seru seseorang dari arah belakang Kira diiringi derap langkah kaki yang saling berlari dan roda brankar yang didorong dengan cepat.
Belum sempat Kira menyingkir, salah seorang dari rombongan itu menyenggol Kira hingga Kira terjatuh ke lantai dan memekik kesakitan.
Kira mendongak, menatap nanar ke arah wanita hamil yang akan melahirkan—yang ada di atas brankar tersebut. Hatinya semakin pilu, air matanya mengalir kian deras menahan segala rasa sakit yang menghujam hati dan tubuhnya.
Di saat dirinya kehilangan anaknya yang tak sempat ia peluk, di sisi lain ada wanita yang akan menyambut kelahiran anaknya dengan sukacita, bahkan ditemani suaminya. Terlihat dari tangan wanita itu yang digenggam erat oleh seorang pria.
Perlahan, dengan tubuh yang lemah, Kira bangkit dari lantai. Ia harus pergi menemui anaknya, di ruang jenazah, ruangan yang seharusnya tidak ia kunjungi sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Dengan langkah terseok-seok Kira menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit. Hingga ia tiba di dalam ruangan yang terasa dingin itu dengan aroma khas yang menyengat hidungnya.
Dan di sana, di atas meja panjang beralas kain putih, terbaring sesosok bayi mungil yang telah dibungkus kain kafan.
Kira melangkah mendekat. Perlahan ia duduk di kursi di samping meja, menatap wajah mungil itu yang membiru.
Bahu Kira berguncang hebat. Isakannya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.
“Maaf... Maafkan Mama, Aksa....”
Kira meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
Dingin.
Tak ada lagi kehidupan di sana.
Setelah melalui berbagai proses untuk kepulangan jenazah, bayi bernama Aksa itu kini diantarkan oleh ambulance menuju tempat pemakaman.
Kira tak berhenti menangis di samping anaknya yang terbujur kaku itu.
Kira kembali menelepon Kai. Dan kali ini panggilannya terangkat di dering keempat.
“Halo?” Suara dingin Kai menyapa telinga Kira.
Kira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak tangis yang akan keluar. “Mas, aku... aku sudah melahirkan,” lirihnya dengan hati perih. Ia tidak yakin Kai akan senang dengan kabar tersebut. Namun ia tetap harus menyampaikannya.
“Lalu?”
“Anak kita ... anak kita meninggal, Mas.” Tangis Kira kembali pecah. “Sekarang... sekarang aku sedang dalam perjalanan. Aksa—maksudku bayi kita akan segera dimakamkan.”
Hening. Tidak ada tanggapan apapun dari seberang sana.
“Mas? Kamu dengar aku, ‘kan?” tanya Kira, memastikan Kai masih berada di sana. “Mas, aku mohon, dia anakmu juga. Seenggaknya datanglah ke pemakamannya.”
Masih hening. Kira tidak tahu apa yang tengah dilakukan dan dipikirkan Kai saat ini.
Hingga akhirnya terdengar Kai menghela napas kasar. “Aku tidak bisa datang. Urus saja pemakaman anakmu sendiri. Dia bukan urusanku,” ucap Kai dingin, yang membuat hati Kira terasa seperti dicabik-cabik mendengarnya.
***
Keesokan paginya, Kira terkejut kala ia terbangun dalam pelukan Kaisar. Padahal tadi malam ia memilih tidur di sofa.Entah sejak kapan ia pindah ke atas kasur? Kira sama sekali tidak ingat. Atau jangan-jangan… Kai yang memindahkannya?Di saat Kira sedang melamun, memikirkan berbagai kemungkinan kenapa dirinya bisa ada di kasur, tiba-tiba saja Kira dikejutkan dengan tubuh Kai yang menggigil diiringi suara rintihan pelan.Sontak, Kira mendongak, menatap wajah Kai. Ia semakin terkejut kala mendapati dahi dan pelipis pria itu dibanjiri keringat dingin.“Mas?” Kira menyentuh pelan kening suaminya. Ia panik karena suhu tubuh pria itu terasa tinggi. “Mas, kamu demam?”Kai tidak menjawab, hanya menggumam pelan dengan mata yang tertutup dan tubuh menggigil.Kira segera melepaskan dirinya dari pelukan Kai dan melepas selimut supaya tubuh Kai tidak semakin kepanasan. Kira merasa khawatir dengan kondisi suaminya. Mungkin karena tadi malam Kai hujan-hujanan, makanya pria itu jadi demam, pikir Kira
“Kira nggak seperti itu,” gumam Kai setelah cukup lama ia terdiam. Ia menatap Violet dengan tatapan serius. Dengan suara tegas ia kembali berkata, “Kira nggak seperti itu, Vi. Kalau Kira orang yang jahat, dia sudah melakukannya dari dulu saat dia tersakiti. Dan Kira bukan tipe orang yang akan menyerang duluan.”Sontak, Violet yang mendengarnya, seketika bungkam seribu bahasa. Ia menatap Kai dengan tatapan penuh luka. “Jadi maksudmu… aku yang salah? Aku yang menjatuhkan dan melukai diri sendiri? Begitu?”Kai mengusap wajahnya kasar. “Maaf, Vi, kita sudahi saja pembahasan ini. Dokter akan segera datang, kamu akan ditangani olehnya. Aku harus pergi sekarang.”“Kai….” Mata Violet semakin basah oleh air mata.Kai melihatnya, tapi entah mengapa ia tidak tersentuh sama sekali oleh tangisan wanita itu. Tidak seperti dulu.“Aku pamit, Vi,” ucap Kai pada akhirnya, sebelum kemudian ia berbalik dan pergi meninggalkan Violet.Kai sempat mendengar isak tangis Violet. Ia berhenti di pintu keluar, me
“Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Luna sekarang.”Kata-kata Kai membuat Kira tercenung. Kira menatap suaminya itu dengan pandangan yang mendadak buram, matanya berkaca-kaca. Bukan karena terharu, melainkan karena sedih yang tiba-tiba menggelayuti hati.Andai… Aksa masih ada, apakah Kai akan berterima kasih padanya karena telah melahirkan putranya ke dunia?Aksa yang malang. Dada Kira selalu sakit setiap kali mengingat putranya itu.“Kira, kamu… kenapa?” tanya Kai yang melihat mata Kira menggenang.“A-Aku nggak apa-apa, Mas.” Kira buru-buru membuang muka ke arah lain, lalu berdiri menghampiri box tempat tidur Luna. Dengan cepat ia berkata, “Luna sepertinya sudah tidur nyenyak, aku mau menidurkan dia dulu.”Kai mengerutkan keningnya menatap Kira yang tampak sendu. Entah mengapa, melihat raut muka Kira–yang biasanya dingin dan datar itu, lalu kini berubah sendu, membuat dada Kai terasa sesak.“Aku mau cek ASI di freezer dulu, Mas,” pungkas Kira setelah ia m
Selepas mandi dan makan malam sore itu, Kira bersiap-siap pergi ke rumah Violet, untuk menemui Luna seperti janjinya tadi pagi pada bayi mungil itu. Saat Kira keluar dari kamar, ia melihat Kai tengah berdiri di depan pintu kamarnya, yang membuat Kira terkesiap. “Mas! Sedang apa kamu di sini?” tanya Kira, merasa terkejut dengan kehadiran Kai di hadapannya. Kai menatap Kira dalam-dalam, memperhatikan penampilan wanita itu yang tampak sudah siap pergi. “Mau ke mana kamu?” Ia balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaan Kira barusan. “Kamu lupa kalau aku ibu susunya Luna, Mas?” Kira mengembuskan napas pelan. “Aku mau ketemu Luna malam ini.” “Oh.” Kai terdiam sejenak, tatapannya pada Kira kini berubah campur aduk. “Boleh aku juga ikut menemui Luna?” Terang saja, Kira yang mendengar pertanyaan Kai, merasa terkejut. Sebab, sebelumnya pria itu tidak pernah meminta izin darinya terlebih dulu jika ingin menemui Luna. Apakah ini salah satu cara Kai menunjukkan perubahannya? “Tentu saja,”
“Aku butuh kamu di sisiku,” ucap Kai dengan suara beratnya, membuat Kira seketika terpaku.“Tu-Tuan, tolong jangan begini.” Kira mendadak tergagap-gagap saat wajah Kai terus mendekat. Sontak, Kira menaruh bunga dari pelukannya ke atas meja, kedua tangannya seketika menahan dada bidang pria itu agar Kai berhenti.Namun, Kai malah memeluk pinggang Kira, hingga Kira terkesiap dengan mata terbelalak. “Mas, kita lagi di kantor!” desis Kira pada akhirnya, memanggil Kai dengan panggilan ‘mas’ karena ia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Kaisar.Satu sudut bibir Kai terangkat. “Kenapa memangnya kalau kita sedang di kantor? Bukankah sekarang cuma ada kita berdua di sini?” bisik Kai, kini wajahnya dan wajah Kira berjarak kurang dari lima senti. Mata Kai menatap mata dan bibir Kira bergantian.Kira menelan saliva. Entah mengapa ia merasakan jantungnya kembali berdebar-debar, akan tetapi saat ia mengingat kalau Kai baru pulang dari rumah sakit menjenguk Vi
‘Mas Kai ke mana? Apa dia belum turun?’ batin Kira yang tengah memasukkan ASIP yang ia pompa pagi ini ke dalam freezer, rencananya akan ia antarkan ke rumah Violet sebelum berangkat kerja. “Tuan Kai sudah pergi tadi pagi-pagi sekali, Non,” ucap Ani–yang tampaknya mengerti apa yang ada di benak Kira, karena Kira terus saja melihat ke lantai dua. “Oh? Udah berangkat?” Kira cukup terkejut mendengarnya. Pantas saja sejak tadi ia tidak mendapati Kai turun dari kamarnya. “Iya, Non. Katanya ada urusan penting.” Urusan penting? Kira terdiam. Kenapa Kai tidak memberitahunya kalau Kai harus pergi pagi-pagi? Apa jangan-jangan… urusan penting itu adalah menemui Violet di rumah sakit? Mengingat hal itu, seketika Kira menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau peduli Kai akan bertemu dengan Violet atau tidak. Itu bukan urusannya. Selesai sarapan pagi itu, Kira keluar rumah dan ia disambut oleh sopir yang sudah siap dengan mobilnya. Sang sopir itu menghampiri Kira dan berkata sopan, “Selamat pagi,
Kai memeluk Kira dengan erat, seolah takut jika ia melepaskannya, Kira akan menghilang selamanya dari hidupnya.“Beri aku kesempatan untuk bicara,” gumam Kai.Kira masih membeku. Hangatnya pelukan Kai membuat tangan Kira mengepal. Kira menyadarkan dirinya sendiri kali ini untuk jangan terlena.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menaruh kedua telapak tangan di dada Kai, lalu mendorongnya. “Kita bicara, tapi jangan seperti ini.”Namun, alih-alih melepaskannya, Kai justru mengeratkan pelukannya itu, membuat Kira merasakan dadanya sesak.“Kumohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Kira.” Suara Kai terdengar berat dan sungguh-sungguh. “Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Violet.”Terang saja, Kira yang mendengarnya pun merasa terkejut.Kira mendongak, menatap wajah pria itu dengan kening berkerut dalam. Berusaha mencari-cari kebohongan dari sorot mata Kaisar, akan tetapi tatapan Kai sulit sekali terbaca.Kira lantas mendengus pelan. “Jangan bohong kamu, Mas. Aku tah
“Kira… kalau kamu butuh tempat untuk berlindung, berdirilah di belakangku. Aku siap melindungimu dan membantumu. Kapanpun,” ucap Julian sungguh-sungguh.Kira tertegun. Kata-kata Julian membuat lidahnya mendadak terasa kelu. Ia menunduk, menatap tangannya yang ada dalam genggaman Julian. Tangan itu terasa hangat, tapi entah mengapa Kira merasa ada yang salah. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman pria itu.“Julian…,” gumam Kira akhirnya. “Kamu orang baik. Sangat baik bahkan, tapi aku nggak bisa mempermainkan perasaanmu.”“Aku tahu, Kira,” sahut Julian dengan tenang, ada kekecewaan yang terdengar dalam nada suaranya. “Aku tahu kamu belum siap, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian, Kira. Ada aku yang selalu siap membantumu.”Kira mengangguk, akan tetapi ia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Julian yang terlalu baik untuknya itu.Belum sempat Kira berkata-kata, ponselnya–yang sejak tadi ia abaikan, kembali bergetar. Sejujurnya sejak tadi ponse
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments