Di dalam ruang persalinan itu, Kira berjuang sendirian. Ia meringis kesakitan, tangannya hanya mencengkeram tepian ranjang bersalin. Tidak ada tangan yang dapat ia jadikan pegangan. Tidak ada suami yang dapat ia jadikan sandaran. Kaisar—suaminya, tidak hadir di sini, bahkan sejak awal pernikahan, Kai tidak menginginkan Kira, apalagi anak yang dikandungnya.Tapi, Kira masih merasa semua baik saja, karena setidaknya, sebentar lagi bayi di perutnya akan menemaninya.“Tolong... sakit...,” erang Kira, air matanya meluruh membasahi pipi.Dokter dan perawat bersiap di sampingnya. “Tarik napas dalam, Bu Kira. Sedikit lagi... dorong.”Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Kira mendorong sekuat tenaga. Hingga akhirnya bayi itu lahir.Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi.Ruangan yang seharusnya dipenuhi tangisan bayi itu kini terasa sunyi. Amat sunyi.Wajah Kira yang pucat seketika memandangi bayi mungil dalam pelukan dokter. “Kenapa dia tidak menangis?” tanyanya panik.Dokter dan perawat sa
“Kamu akan selalu ada di hati Mama, Nak. Mama sayang kamu,” lirih Kira sambil menaburkan bunga di atas tanah makam yang masih basah.Kai benar-benar tidak datang.Kira menghadiri pemakaman itu tanpa ditemani suaminya ataupun keluarga suaminya. Mereka semua seakan-akan tidak peduli pada penderitaan Kira. Seolah-olah Kira bukanlah bagian dari keluarga itu. Walaupun sejak awal Kira memang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga Milard—keluarga besar Kai.“Mama nggak tahu apa yang harus Mama lakukan tanpa kamu sekarang,” lirih Kira lagi dengan tatapan kosong, air matanya telah mengering. Seluruh emosinya seakan telah tercerabut dari dalam dirinya. Ia merasa hampa, seperti seonggok daging tak bernyawa.Kira duduk di atas tanah, memeluk batu nisan bayi yang ia beri nama ‘Aksa’. Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Namun Kira seakan tidak peduli. Ia tetap duduk di sana, membiarkan dirinya basah kuyup.Saat hari mulai gelap, seseorang menghampiri Kira dan memayunginya.“Non, ayo pulang.
Bak disambar petir, Kira terkejut mendengarnya. Pengakuan Kai membuat Kira merasa ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Kira dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut nyeri seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. “Anakmu? Maksudmu, anakmu dengan... siapa?”“Anakku dengan kekasihku, Violet. Memang kamu pikir siapa lagi?”Dunia Kira hancur dalam sekejap. Hatinya luluh lantak berkeping-keping. Ia memang sudah tahu hubungan rahasia Kai dan Violet semenjak awal pernikahan mereka. Namun, Kira sama sekali tidak menyangka Kai memiliki anak dari wanita itu.Tangan Kira mengepal. Lututnya terasa lemas, tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang di hadapan Kai kala mengetahui fakta menyakitkan tersebut.Dengan bibir bergetar, Kira berkata, “Jadi... kamu ingin aku menyusui anak dari wanita simpananmu?”“Dia kekasihku. Bukan wanita simpananku,” timpal Kai dengan suara dingin.Kira mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. “A
“Sedang apa kamu di sini?” Suara dingin Kai menyentak Kira. Entah sejak kapan pria itu berdiri di dekat pintu.Kira berusaha untuk tidak tergagap-gagap saat menjawab, “Aku baru selesai memerah ASI untuk... anak kalian.” Ia merasakan hatinya berdenyut nyeri kala mengucapkan kata ‘anak kalian’. “Lalu aku lewat sini dan nggak sengaja melihat kamu.”“Kenapa?” Kai menjejalkan kedua tangannya ke saku celana. “Kamu ingin aku berterima kasih padamu karena sudah memberikan ASI untuk anakku?”Kata-kata Kai yang tidak berperasaan itu membuat Kira kembali mengepalkan tangan. “Tidak!” sergahnya tegas. “Aku nggak butuh ucapan terima kasih dari kamu ataupun dari wanitamu itu.”Kai mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu ia mengedikkan dagu seolah tengah mengusir Kira pergi. “Tunggu apa lagi? Mau sampai kapan kamu diam di sini?”Kira tahu Kai sedang mengusirnya. Ia juga tidak ingin berlama-lama berada di dekat Kai. Satu ruangan dengan lelaki itu membuat dadanya terasa sesak dan nyeri, seperti terhimp
“Jadi, kapan kamu akan menceraikan Kira?”Pertanyaan itu membuat Kai seketika menatap Violet dengan kening berkerut. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”Jemari Violet memilin ujung kemeja yang dikenakan Kai. “Kamu menikahi dia ‘kan karena Kakek Cakra dan karena dia hamil,” ujarnya mengingatkan. “Sekarang dia sudah melahirkan dan nggak ada anak yang mengikat kalian berdua. Selain itu, Kakek Cakra juga sudah meninggal, nggak ada lagi yang memaksa kamu mempertahankan pernikahan kalian.”Kai mengembuskan napas panjang. “Kita bahas itu lain kali. Aku sedang nggak mau membahasnya.”“Kenapa?” rengek Violet manja. “Kamu ‘kan tinggal menceraikan dia, Honey. Apa susahnya?”“Aku nggak bisa melakukannya sekarang,” ujar Kai, “bagaimanapun juga aku butuh ASI dia untuk anak kita.”Jawaban Kai membuat Violet merasa tidak puas. “Kan kita bisa memanfaatkan ASI dia walaupun dia bukan istri kamu lagi.”Lagi-lagi Kai mengembuskan napas panjang, pria itu mengurai pelukannya dari Violet dan menatap kekasihn
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Kira,” desis Kai dengan tatapan intens yang sulit sekali diartikan.Kira jengah. Ia akhirnya mendongak dan membalas tatapan Kai dengan datar. Namun, Kira menyesal telah melakukannya. Karena saat ia mendongak, wajahnya dan wajah Kai nyaris saja bertemu. Hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.Sejujurnya Kira enggan mengakui, tapi wajah suaminya itu memang tampan, membuat Kai digandrungi banyak wanita. Namun satu-satunya wanita paling beruntung yang bisa memiliki Kai hanyalah Violet.Mengingat hal itu, Kira seketika mengepalkan tangan, hatinya berdenyut nyeri ketika menyadari bahwa ia adalah wanita yang dibenci Kai.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menjauhkan dirinya dari Kai dengan berdiri. Ia memilih mengalah daripada berdebat dengan Kai yang tidak akan ada ujungnya. Kira merasa lelah. “Aku akan membuatkanmu sarapan, tapi tolong menjauh dariku.”Pada saat yang sama, ponsel Kai berdering. Pria itu mengembuskan n
Kira sudah siap pergi ke rumah sakit pagi itu untuk mengantarkan ASI bagi Luna. Ia memesan taksi online, karena sekali lagi Kira mengingat bahwa Kai tidak memfasilitasi mobil dan sopir untuknya semenjak mereka menikah. Dan Kira sama sekali tidak mengharapkan hal itu dari Kai.Kira keluar kamar sambil membawa cooler bag berisi ASIP. Ia memantau taksi yang sebentar lagi akan sampai.Saat Kira ke luar rumah, ia melihat Kai sedang duduk di bagian depan mobilnya. Pria itu sudah siap pergi ke kantor. Jas hitam memeluk tubuhnya begitu pas. Seolah-olah jas itu memang dibuat hanya untuk seorang Kaisar Antariksa Milard.Kira bertanya-tanya dalam hati, kenapa sampai jam segini Kai masih belum berangkat?Namun, Kira enggan menyuarakan pertanyaan itu.“Kenapa lama sekali?” tanya Kai tiba-tiba sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Kening Kira berkerut bingung. “Apanya yang lama?”Kai mengedikkan dagu ke arah Kira. “Kamu,” jawabnya, “aku sudah menunggumu dari tadi.”Ucapan Kai semakin
Kira menghela napas panjang, jemarinya terus mengelus dinding inkubator Luna. Ada banyak perasaan yang membuncah dalam dadanya, tapi ia tak tahu harus mengungkapkannya bagaimana.“Kamu tahu nggak? Aku pernah punya bayi juga. Namanya Aksa. Dia seharusnya lahir bersamamu, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya.”Dada Kira kembali terasa sesak. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh.“Tapi aku yakin, Aksa ada di tempat yang lebih baik sekarang.”Ia menatap wajah Luna yang begitu tenang di dalam sana. Kira sadar, bayi ini mungkin tidak akan pernah mengingat momen ini. Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan bayinya sendiri, Kira merasa… lebih baik.“Kamu harus tumbuh jadi anak yang kuat, ya,” bisiknya lagi. “Dan kalau nanti kamu besar, aku harap kamu selalu dikelilingi orang-orang yang mencintaimu.”Tanpa Kira sadari, Kai memperhatikan dan mendengar setiap ucapannya tak jauh di belakangnya. Kai menatap punggung Kira dengan tatapan sulit diartikan.Selesai mengajak
Keesokan paginya, Kira terkejut kala ia terbangun dalam pelukan Kaisar. Padahal tadi malam ia memilih tidur di sofa.Entah sejak kapan ia pindah ke atas kasur? Kira sama sekali tidak ingat. Atau jangan-jangan… Kai yang memindahkannya?Di saat Kira sedang melamun, memikirkan berbagai kemungkinan kenapa dirinya bisa ada di kasur, tiba-tiba saja Kira dikejutkan dengan tubuh Kai yang menggigil diiringi suara rintihan pelan.Sontak, Kira mendongak, menatap wajah Kai. Ia semakin terkejut kala mendapati dahi dan pelipis pria itu dibanjiri keringat dingin.“Mas?” Kira menyentuh pelan kening suaminya. Ia panik karena suhu tubuh pria itu terasa tinggi. “Mas, kamu demam?”Kai tidak menjawab, hanya menggumam pelan dengan mata yang tertutup dan tubuh menggigil.Kira segera melepaskan dirinya dari pelukan Kai dan melepas selimut supaya tubuh Kai tidak semakin kepanasan. Kira merasa khawatir dengan kondisi suaminya. Mungkin karena tadi malam Kai hujan-hujanan, makanya pria itu jadi demam, pikir Kira
“Kira nggak seperti itu,” gumam Kai setelah cukup lama ia terdiam. Ia menatap Violet dengan tatapan serius. Dengan suara tegas ia kembali berkata, “Kira nggak seperti itu, Vi. Kalau Kira orang yang jahat, dia sudah melakukannya dari dulu saat dia tersakiti. Dan Kira bukan tipe orang yang akan menyerang duluan.”Sontak, Violet yang mendengarnya, seketika bungkam seribu bahasa. Ia menatap Kai dengan tatapan penuh luka. “Jadi maksudmu… aku yang salah? Aku yang menjatuhkan dan melukai diri sendiri? Begitu?”Kai mengusap wajahnya kasar. “Maaf, Vi, kita sudahi saja pembahasan ini. Dokter akan segera datang, kamu akan ditangani olehnya. Aku harus pergi sekarang.”“Kai….” Mata Violet semakin basah oleh air mata.Kai melihatnya, tapi entah mengapa ia tidak tersentuh sama sekali oleh tangisan wanita itu. Tidak seperti dulu.“Aku pamit, Vi,” ucap Kai pada akhirnya, sebelum kemudian ia berbalik dan pergi meninggalkan Violet.Kai sempat mendengar isak tangis Violet. Ia berhenti di pintu keluar, me
“Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Luna sekarang.”Kata-kata Kai membuat Kira tercenung. Kira menatap suaminya itu dengan pandangan yang mendadak buram, matanya berkaca-kaca. Bukan karena terharu, melainkan karena sedih yang tiba-tiba menggelayuti hati.Andai… Aksa masih ada, apakah Kai akan berterima kasih padanya karena telah melahirkan putranya ke dunia?Aksa yang malang. Dada Kira selalu sakit setiap kali mengingat putranya itu.“Kira, kamu… kenapa?” tanya Kai yang melihat mata Kira menggenang.“A-Aku nggak apa-apa, Mas.” Kira buru-buru membuang muka ke arah lain, lalu berdiri menghampiri box tempat tidur Luna. Dengan cepat ia berkata, “Luna sepertinya sudah tidur nyenyak, aku mau menidurkan dia dulu.”Kai mengerutkan keningnya menatap Kira yang tampak sendu. Entah mengapa, melihat raut muka Kira–yang biasanya dingin dan datar itu, lalu kini berubah sendu, membuat dada Kai terasa sesak.“Aku mau cek ASI di freezer dulu, Mas,” pungkas Kira setelah ia m
Selepas mandi dan makan malam sore itu, Kira bersiap-siap pergi ke rumah Violet, untuk menemui Luna seperti janjinya tadi pagi pada bayi mungil itu. Saat Kira keluar dari kamar, ia melihat Kai tengah berdiri di depan pintu kamarnya, yang membuat Kira terkesiap. “Mas! Sedang apa kamu di sini?” tanya Kira, merasa terkejut dengan kehadiran Kai di hadapannya. Kai menatap Kira dalam-dalam, memperhatikan penampilan wanita itu yang tampak sudah siap pergi. “Mau ke mana kamu?” Ia balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaan Kira barusan. “Kamu lupa kalau aku ibu susunya Luna, Mas?” Kira mengembuskan napas pelan. “Aku mau ketemu Luna malam ini.” “Oh.” Kai terdiam sejenak, tatapannya pada Kira kini berubah campur aduk. “Boleh aku juga ikut menemui Luna?” Terang saja, Kira yang mendengar pertanyaan Kai, merasa terkejut. Sebab, sebelumnya pria itu tidak pernah meminta izin darinya terlebih dulu jika ingin menemui Luna. Apakah ini salah satu cara Kai menunjukkan perubahannya? “Tentu saja,”
“Aku butuh kamu di sisiku,” ucap Kai dengan suara beratnya, membuat Kira seketika terpaku.“Tu-Tuan, tolong jangan begini.” Kira mendadak tergagap-gagap saat wajah Kai terus mendekat. Sontak, Kira menaruh bunga dari pelukannya ke atas meja, kedua tangannya seketika menahan dada bidang pria itu agar Kai berhenti.Namun, Kai malah memeluk pinggang Kira, hingga Kira terkesiap dengan mata terbelalak. “Mas, kita lagi di kantor!” desis Kira pada akhirnya, memanggil Kai dengan panggilan ‘mas’ karena ia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Kaisar.Satu sudut bibir Kai terangkat. “Kenapa memangnya kalau kita sedang di kantor? Bukankah sekarang cuma ada kita berdua di sini?” bisik Kai, kini wajahnya dan wajah Kira berjarak kurang dari lima senti. Mata Kai menatap mata dan bibir Kira bergantian.Kira menelan saliva. Entah mengapa ia merasakan jantungnya kembali berdebar-debar, akan tetapi saat ia mengingat kalau Kai baru pulang dari rumah sakit menjenguk Vi
‘Mas Kai ke mana? Apa dia belum turun?’ batin Kira yang tengah memasukkan ASIP yang ia pompa pagi ini ke dalam freezer, rencananya akan ia antarkan ke rumah Violet sebelum berangkat kerja. “Tuan Kai sudah pergi tadi pagi-pagi sekali, Non,” ucap Ani–yang tampaknya mengerti apa yang ada di benak Kira, karena Kira terus saja melihat ke lantai dua. “Oh? Udah berangkat?” Kira cukup terkejut mendengarnya. Pantas saja sejak tadi ia tidak mendapati Kai turun dari kamarnya. “Iya, Non. Katanya ada urusan penting.” Urusan penting? Kira terdiam. Kenapa Kai tidak memberitahunya kalau Kai harus pergi pagi-pagi? Apa jangan-jangan… urusan penting itu adalah menemui Violet di rumah sakit? Mengingat hal itu, seketika Kira menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau peduli Kai akan bertemu dengan Violet atau tidak. Itu bukan urusannya. Selesai sarapan pagi itu, Kira keluar rumah dan ia disambut oleh sopir yang sudah siap dengan mobilnya. Sang sopir itu menghampiri Kira dan berkata sopan, “Selamat pagi,
Kai memeluk Kira dengan erat, seolah takut jika ia melepaskannya, Kira akan menghilang selamanya dari hidupnya.“Beri aku kesempatan untuk bicara,” gumam Kai.Kira masih membeku. Hangatnya pelukan Kai membuat tangan Kira mengepal. Kira menyadarkan dirinya sendiri kali ini untuk jangan terlena.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menaruh kedua telapak tangan di dada Kai, lalu mendorongnya. “Kita bicara, tapi jangan seperti ini.”Namun, alih-alih melepaskannya, Kai justru mengeratkan pelukannya itu, membuat Kira merasakan dadanya sesak.“Kumohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Kira.” Suara Kai terdengar berat dan sungguh-sungguh. “Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Violet.”Terang saja, Kira yang mendengarnya pun merasa terkejut.Kira mendongak, menatap wajah pria itu dengan kening berkerut dalam. Berusaha mencari-cari kebohongan dari sorot mata Kaisar, akan tetapi tatapan Kai sulit sekali terbaca.Kira lantas mendengus pelan. “Jangan bohong kamu, Mas. Aku tah
“Kira… kalau kamu butuh tempat untuk berlindung, berdirilah di belakangku. Aku siap melindungimu dan membantumu. Kapanpun,” ucap Julian sungguh-sungguh.Kira tertegun. Kata-kata Julian membuat lidahnya mendadak terasa kelu. Ia menunduk, menatap tangannya yang ada dalam genggaman Julian. Tangan itu terasa hangat, tapi entah mengapa Kira merasa ada yang salah. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman pria itu.“Julian…,” gumam Kira akhirnya. “Kamu orang baik. Sangat baik bahkan, tapi aku nggak bisa mempermainkan perasaanmu.”“Aku tahu, Kira,” sahut Julian dengan tenang, ada kekecewaan yang terdengar dalam nada suaranya. “Aku tahu kamu belum siap, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian, Kira. Ada aku yang selalu siap membantumu.”Kira mengangguk, akan tetapi ia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Julian yang terlalu baik untuknya itu.Belum sempat Kira berkata-kata, ponselnya–yang sejak tadi ia abaikan, kembali bergetar. Sejujurnya sejak tadi ponse
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t