Di dalam ruang persalinan itu, Kira berjuang sendirian. Ia meringis kesakitan, tangannya hanya mencengkeram tepian ranjang bersalin. Tidak ada tangan yang dapat ia jadikan pegangan. Tidak ada suami yang dapat ia jadikan sandaran. Kaisar—suaminya, tidak hadir di sini, bahkan sejak awal pernikahan, Kai tidak menginginkan Kira, apalagi anak yang dikandungnya.
Tapi, Kira masih merasa semua baik saja, karena setidaknya, sebentar lagi bayi di perutnya akan menemaninya.
“Tolong... sakit...,” erang Kira, air matanya meluruh membasahi pipi.
Dokter dan perawat bersiap di sampingnya. “Tarik napas dalam, Bu Kira. Sedikit lagi... dorong.”
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Kira mendorong sekuat tenaga. Hingga akhirnya bayi itu lahir.
Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Ruangan yang seharusnya dipenuhi tangisan bayi itu kini terasa sunyi. Amat sunyi.
Wajah Kira yang pucat seketika memandangi bayi mungil dalam pelukan dokter. “Kenapa dia tidak menangis?” tanyanya panik.
Dokter dan perawat saling pandang satu sama lain. Lalu dokter memerika kondisi bayi dan berusaha membuat si bayi mengeluarkan tangisan. Detik demi detik berlalu bagaikan berabad-abad bagi Kira.
“Mohon maaf, Bu Kira. Bayi Anda tidak bernyawa saat dilahirkan,” ujar sang dokter dengan penuh penyesalan beberapa saat kemudian.
Dunia Kira hancur dalam sekejap. Tubuhnya menggigil hebat.
Ia menatap kosong ke arah bayi yang tidak sempat ia peluk, tidak sempat ia dengar tangisannya. Hatinya seperti dihantam batu besar yang menghancurkan seluruh harapannya.
“Tidak... tidak mungkin,” gumamnya lirih, menolak kenyataan yang baru saja dokter katakan.
Tangannya terulur dengan gemetar, ingin menyentuh anaknya, ingin membuktikan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun, saat jari-jarinya menyentuh kulit mungil itu, tubuhnya benar-benar terasa dingin. Tidak ada kehangatan. Tidak ada napas kecil yang seharusnya terasa.
Tangis Kira pecah. Ia menjerit, merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan.
Hingga pandangan Kira tiba-tiba terlihat gelap.
Kira pingsan sebelum ia sempat memeluk bayinya yang terbujur kaku.
Kira baru siuman ketika ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan itu terasa sunyi dan dingin. Kira merasakan hatinya hampa. Tatapannya kosong.
Lantas diraihnya ponsel yang teronggok di atas rak samping ranjang. Mungkin perawat yang sudah membantu menaruh ponselnya di sana, pikir Kira.
Dengan tangan gemetar ia mencari nomor telepon Kai, suaminya. Lalu menghubunginya. Namun, panggilan Kira ditolak tepat didering ketiga. Ia ingin mengabarkan bahwa bayi mereka telah meninggal dunia. Namun, Kira merasa yakin bahwa itulah kabar yang ingin didengar oleh suaminya. Kai tidak pernah menginginkan bayi itu sejak awal.
Kira menjatuhkan ponsel dari telinga begitu panggilannya kembali ditolak untuk kedua kali. Ia tidak memiliki siapa-siapa. Satu-satunya anggota keluarganya adalah ibunya, yang kini sedang terbaring lemah di ruang ICU.
Dulu, Kira terpaksa menikah dengan Kai karena kehadiran bayi dalam kandungannya setelah peristiwa kelam yang terjadi pada suatu malam. Kai menikahinya atas dasar tanggungjawab dan dipaksa oleh sang kakek. Kai merupakan seorang CEO di perusahaan raksasa, sang kakek mengancam akan melengserkan Kai dari jabatannya sebagai CEO jika tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan Kira. Tepat di bulan keenam pernikahan mereka, kakek Kai meninggal dunia.
“Anakku... aku harus menemui anakku...,” gumam Kira setelah ia keluar dari lamunannya.
Saat Kira akan turun dari ranjang pasien, ia terkejut saat mendapati ada sesuatu yang basah merembes dari dadanya. Itu adalah ASI. ASI yang seharusnya ia berikan kepada putranya yang belum sempat ia peluk sampai saat ini. Air mata Kira kembali mengalir mengingat kematian putranya.
Ia mencabut jarum infus dari punggung tangannya. Dengan langkah sempoyongan, ia berjalan keluar dari ruang perawatan. Mengabaikan rasa sakit setelah proses persalinan. Kira melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit dengan air mata yang terus mengalir.
“Permisi! Tolong menyingkir! Ada pasien yang akan melahirkan!” seru seseorang dari arah belakang Kira diiringi derap langkah kaki yang saling berlari dan roda brankar yang didorong dengan cepat.
Belum sempat Kira menyingkir, salah seorang dari rombongan itu menyenggol Kira hingga Kira terjatuh ke lantai dan memekik kesakitan.
Kira mendongak, menatap nanar ke arah wanita hamil yang akan melahirkan—yang ada di atas brankar tersebut. Hatinya semakin pilu, air matanya mengalir kian deras menahan segala rasa sakit yang menghujam hati dan tubuhnya.
Di saat dirinya kehilangan anaknya yang tak sempat ia peluk, di sisi lain ada wanita yang akan menyambut kelahiran anaknya dengan sukacita, bahkan ditemani suaminya. Terlihat dari tangan wanita itu yang digenggam erat oleh seorang pria.
Perlahan, dengan tubuh yang lemah, Kira bangkit dari lantai. Ia harus pergi menemui anaknya, di ruang jenazah, ruangan yang seharusnya tidak ia kunjungi sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Dengan langkah terseok-seok Kira menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit. Hingga ia tiba di dalam ruangan yang terasa dingin itu dengan aroma khas yang menyengat hidungnya.
Dan di sana, di atas meja panjang beralas kain putih, terbaring sesosok bayi mungil yang telah dibungkus kain kafan.
Kira melangkah mendekat. Perlahan ia duduk di kursi di samping meja, menatap wajah mungil itu yang membiru.
Bahu Kira berguncang hebat. Isakannya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.
“Maaf... Maafkan Mama, Aksa....”
Kira meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
Dingin.
Tak ada lagi kehidupan di sana.
Setelah melalui berbagai proses untuk kepulangan jenazah, bayi bernama Aksa itu kini diantarkan oleh ambulance menuju tempat pemakaman.
Kira tak berhenti menangis di samping anaknya yang terbujur kaku itu.
Kira kembali menelepon Kai. Dan kali ini panggilannya terangkat di dering keempat.
“Halo?” Suara dingin Kai menyapa telinga Kira.
Kira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak tangis yang akan keluar. “Mas, aku... aku sudah melahirkan,” lirihnya dengan hati perih. Ia tidak yakin Kai akan senang dengan kabar tersebut. Namun ia tetap harus menyampaikannya.
“Lalu?”
“Anak kita ... anak kita meninggal, Mas.” Tangis Kira kembali pecah. “Sekarang... sekarang aku sedang dalam perjalanan. Aksa—maksudku bayi kita akan segera dimakamkan.”
Hening. Tidak ada tanggapan apapun dari seberang sana.
“Mas? Kamu dengar aku, ‘kan?” tanya Kira, memastikan Kai masih berada di sana. “Mas, aku mohon, dia anakmu juga. Seenggaknya datanglah ke pemakamannya.”
Masih hening. Kira tidak tahu apa yang tengah dilakukan dan dipikirkan Kai saat ini.
Hingga akhirnya terdengar Kai menghela napas kasar. “Aku tidak bisa datang. Urus saja pemakaman anakmu sendiri. Dia bukan urusanku,” ucap Kai dingin, yang membuat hati Kira terasa seperti dicabik-cabik mendengarnya.
***
“Kamu akan selalu ada di hati Mama, Nak. Mama sayang kamu,” lirih Kira sambil menaburkan bunga di atas tanah makam yang masih basah.Kai benar-benar tidak datang.Kira menghadiri pemakaman itu tanpa ditemani suaminya ataupun keluarga suaminya. Mereka semua seakan-akan tidak peduli pada penderitaan Kira. Seolah-olah Kira bukanlah bagian dari keluarga itu. Walaupun sejak awal Kira memang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga Milard—keluarga besar Kai.“Mama nggak tahu apa yang harus Mama lakukan tanpa kamu sekarang,” lirih Kira lagi dengan tatapan kosong, air matanya telah mengering. Seluruh emosinya seakan telah tercerabut dari dalam dirinya. Ia merasa hampa, seperti seonggok daging tak bernyawa.Kira duduk di atas tanah, memeluk batu nisan bayi yang ia beri nama ‘Aksa’. Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Namun Kira seakan tidak peduli. Ia tetap duduk di sana, membiarkan dirinya basah kuyup.Saat hari mulai gelap, seseorang menghampiri Kira dan memayunginya.“Non, ayo pulang.
Bak disambar petir, Kira terkejut mendengarnya. Pengakuan Kai membuat Kira merasa ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Kira dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut nyeri seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. “Anakmu? Maksudmu, anakmu dengan... siapa?”“Anakku dengan kekasihku, Violet. Memang kamu pikir siapa lagi?”Dunia Kira hancur dalam sekejap. Hatinya luluh lantak berkeping-keping. Ia memang sudah tahu hubungan rahasia Kai dan Violet semenjak awal pernikahan mereka. Namun, Kira sama sekali tidak menyangka Kai memiliki anak dari wanita itu.Tangan Kira mengepal. Lututnya terasa lemas, tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang di hadapan Kai kala mengetahui fakta menyakitkan tersebut.Dengan bibir bergetar, Kira berkata, “Jadi... kamu ingin aku menyusui anak dari wanita simpananmu?”“Dia kekasihku. Bukan wanita simpananku,” timpal Kai dengan suara dingin.Kira mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. “A
“Sedang apa kamu di sini?” Suara dingin Kai menyentak Kira. Entah sejak kapan pria itu berdiri di dekat pintu.Kira berusaha untuk tidak tergagap-gagap saat menjawab, “Aku baru selesai memerah ASI untuk... anak kalian.” Ia merasakan hatinya berdenyut nyeri kala mengucapkan kata ‘anak kalian’. “Lalu aku lewat sini dan nggak sengaja melihat kamu.”“Kenapa?” Kai menjejalkan kedua tangannya ke saku celana. “Kamu ingin aku berterima kasih padamu karena sudah memberikan ASI untuk anakku?”Kata-kata Kai yang tidak berperasaan itu membuat Kira kembali mengepalkan tangan. “Tidak!” sergahnya tegas. “Aku nggak butuh ucapan terima kasih dari kamu ataupun dari wanitamu itu.”Kai mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu ia mengedikkan dagu seolah tengah mengusir Kira pergi. “Tunggu apa lagi? Mau sampai kapan kamu diam di sini?”Kira tahu Kai sedang mengusirnya. Ia juga tidak ingin berlama-lama berada di dekat Kai. Satu ruangan dengan lelaki itu membuat dadanya terasa sesak dan nyeri, seperti terhimp
“Jadi, kapan kamu akan menceraikan Kira?”Pertanyaan itu membuat Kai seketika menatap Violet dengan kening berkerut. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”Jemari Violet memilin ujung kemeja yang dikenakan Kai. “Kamu menikahi dia ‘kan karena Kakek Cakra dan karena dia hamil,” ujarnya mengingatkan. “Sekarang dia sudah melahirkan dan nggak ada anak yang mengikat kalian berdua. Selain itu, Kakek Cakra juga sudah meninggal, nggak ada lagi yang memaksa kamu mempertahankan pernikahan kalian.”Kai mengembuskan napas panjang. “Kita bahas itu lain kali. Aku sedang nggak mau membahasnya.”“Kenapa?” rengek Violet manja. “Kamu ‘kan tinggal menceraikan dia, Honey. Apa susahnya?”“Aku nggak bisa melakukannya sekarang,” ujar Kai, “bagaimanapun juga aku butuh ASI dia untuk anak kita.”Jawaban Kai membuat Violet merasa tidak puas. “Kan kita bisa memanfaatkan ASI dia walaupun dia bukan istri kamu lagi.”Lagi-lagi Kai mengembuskan napas panjang, pria itu mengurai pelukannya dari Violet dan menatap kekasihn
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Kira,” desis Kai dengan tatapan intens yang sulit sekali diartikan.Kira jengah. Ia akhirnya mendongak dan membalas tatapan Kai dengan datar. Namun, Kira menyesal telah melakukannya. Karena saat ia mendongak, wajahnya dan wajah Kai nyaris saja bertemu. Hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.Sejujurnya Kira enggan mengakui, tapi wajah suaminya itu memang tampan, membuat Kai digandrungi banyak wanita. Namun satu-satunya wanita paling beruntung yang bisa memiliki Kai hanyalah Violet.Mengingat hal itu, Kira seketika mengepalkan tangan, hatinya berdenyut nyeri ketika menyadari bahwa ia adalah wanita yang dibenci Kai.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menjauhkan dirinya dari Kai dengan berdiri. Ia memilih mengalah daripada berdebat dengan Kai yang tidak akan ada ujungnya. Kira merasa lelah. “Aku akan membuatkanmu sarapan, tapi tolong menjauh dariku.”Pada saat yang sama, ponsel Kai berdering. Pria itu mengembuskan n
Kira sudah siap pergi ke rumah sakit pagi itu untuk mengantarkan ASI bagi Luna. Ia memesan taksi online, karena sekali lagi Kira mengingat bahwa Kai tidak memfasilitasi mobil dan sopir untuknya semenjak mereka menikah. Dan Kira sama sekali tidak mengharapkan hal itu dari Kai.Kira keluar kamar sambil membawa cooler bag berisi ASIP. Ia memantau taksi yang sebentar lagi akan sampai.Saat Kira ke luar rumah, ia melihat Kai sedang duduk di bagian depan mobilnya. Pria itu sudah siap pergi ke kantor. Jas hitam memeluk tubuhnya begitu pas. Seolah-olah jas itu memang dibuat hanya untuk seorang Kaisar Antariksa Milard.Kira bertanya-tanya dalam hati, kenapa sampai jam segini Kai masih belum berangkat?Namun, Kira enggan menyuarakan pertanyaan itu.“Kenapa lama sekali?” tanya Kai tiba-tiba sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Kening Kira berkerut bingung. “Apanya yang lama?”Kai mengedikkan dagu ke arah Kira. “Kamu,” jawabnya, “aku sudah menunggumu dari tadi.”Ucapan Kai semakin
Kira menghela napas panjang, jemarinya terus mengelus dinding inkubator Luna. Ada banyak perasaan yang membuncah dalam dadanya, tapi ia tak tahu harus mengungkapkannya bagaimana.“Kamu tahu nggak? Aku pernah punya bayi juga. Namanya Aksa. Dia seharusnya lahir bersamamu, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya.”Dada Kira kembali terasa sesak. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh.“Tapi aku yakin, Aksa ada di tempat yang lebih baik sekarang.”Ia menatap wajah Luna yang begitu tenang di dalam sana. Kira sadar, bayi ini mungkin tidak akan pernah mengingat momen ini. Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan bayinya sendiri, Kira merasa… lebih baik.“Kamu harus tumbuh jadi anak yang kuat, ya,” bisiknya lagi. “Dan kalau nanti kamu besar, aku harap kamu selalu dikelilingi orang-orang yang mencintaimu.”Tanpa Kira sadari, Kai memperhatikan dan mendengar setiap ucapannya tak jauh di belakangnya. Kai menatap punggung Kira dengan tatapan sulit diartikan.Selesai mengajak
Kira membanting pintu mobil Kai, yang sayangnya tidak menimbulkan suara yang begitu berarti karena mewahnya mobil tersebut.Dengan hati perih Kira berjalan kaki dengan langkah cepat di trotoar jalan sambil menahan air matanya yang menggenang agar tidak tumpah.Setelah semua yang terjadi, kenapa Kai baru menanyakan hal itu sekarang? Kemana pria itu saat Kira berjuang sendirian melahirkan Aksa? Kemana Kai saat Kira memintanya untuk datang ke pemakaman?Dengan pandangan memburam, Kira memesan ojek online. Tak lama ojek yang ia pesan pun tiba. Kira merindukan Aksa, jadi saat itu ia pergi ke tempat di mana Aksa dimakamkan.Kini, Kira sudah berjongkok di samping kuburan putranya. Di sana ia menumpahkan air mata yang sejak tadi tertahan.“Maafin Mama, Nak, Mama nangis karena kangen Aksa,” lirih Kira di sela-sela isak tangisnya. “Aksa, apa kabar, Sayang? Mama di sini baik-baik saja, kok,” dustanya sambil mengusap batu nisan Aksa dengan tangan yang bergetar. “Kamu pasti ingin Mama bahagia, ‘ka
Kai menatap Kira yang terjatuh di atas kasur dengan napas yang memburu, penuh emosi. Dadanya naik turun, berusaha menahan amarah yang sudah ada di ambang batas.Tatapan tajamnya menyusuri tubuh Kira yang masih dibalut dress satin berwarna peach, yang menampilkan lekuk tubuh indahnya dan bahunya yang polos.“Kamu pikir, aku tidak marah melihat kamu bersama laki-laki lain, berpakaian seperti itu dan tertawa bebas seolah-olah kamu tidak punya suami?!!” bentak Kai dengan mata yang menyala-nyala seperti bara, suaranya bergema di ruangan, membuat Kira berjengit dan jantungnya berdegup kencang.Kira menatap Kai dengan tatapan terluka. Ia tahu, sebagai seorang wanita yang sudah bersuami memang tidak pantas pergi bersama lelaki lain. Namun, ia tak mengerti kenapa Kai bisa sampai semurka ini? Padahal sejak awal, Kai-lah yang menetapkan jarak di antara mereka.“Lalu kamu pikir, aku nggak marah melihat kamu dan Violet berhubungan selama ini?!” tukas Kira dengan tajam sambil mundur, menghindari Ka
“Maaf ya, gara-gara aku… kita jadi pulang lebih cepat,” ucap Kira penuh sesal pada Julian.Julian yang tengah menyetir pun menoleh, tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa. Lagian aku juga nggak terlalu betah berlama-lama di acara seperti itu.”Kira tersenyum kecil, lalu menghela napas berat. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia tidak enak pada Julian, tapi di sisi lain ia lega bisa pulang lebih awal demi menghindari Kai dan Violet, yang mungkin saat ini masih menikmati acara.Suasana di antara mereka terasa hening sesaat. Julian sesekali menoleh ke arah Kira yang menjadi pendiam.Sekarang, Julian bisa mengambil kesimpulan bahwa Kai dan Kira memang pasangan suami istri, tapi tampaknya hubungan mereka tidak baik. Di belakang Kira, Kai memiliki hubungan gelap dengan wanita bernama Violet tadi.‘Kamu juga punya hubungan dengan wanita lain selama ini, lalu kenapa aku tidak boleh?’‘Sudahlah, Mas. Jangan begini. Kita lagi ada di tempat umum, gimana kalau ada yang lihat? Bukannya kamu sen
Kira terhenyak.Ia menghentikan langkahnya, lalu ia mendongakkan wajah. Seorang pria bertubuh jangkung berdiri menjulang di hadapannya, menatap Kira dengan tatapan tajam. Rahang pria itu mengeras.“Akh!” pekik Kira dengan pelan saat Kai tiba-tiba menarik tangannya, lalu membawanya ke tempat yang lebih sepi. “Apa yang kamu lakukan, Mas?!” protesnya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Kai.Namun cekalan tangan pria itu begitu kuat. Hingga akhirnya, Kai melepaskan tangan Kira dan memenjarakan Kira di dinding.Dengan sekuat tenaga, Kai menaruh satu telapak tangannya di dinding, tepat di samping kepala Kira, membuat Kira sempat tersentak kaget.“Jadi, ini urusan kamu malam ini?” bisik Kai sambil mencapit dagu Kira dengan jemarinya, hingga wajah Kira mendongak. Kai menundukkan wajahnya ke wajah Kira. “Menjadi pendamping laki-laki lain dengan berpenampilan seperti ini?” Kai menatap tajam mata Kira, lalu tatapan tajamnya turun ke lekuk bahu Kira yang terbuka, membuat rahangnya
Pria yang mengenakan tuksedo hitam itu berjalan dengan penuh percaya diri dan berkharisma. Setiap wanita yang melihatnya akan kembali menoleh untuk yang kedua kali dan terpana.Namun, ia tidak sendirian. Ia datang bersama sang kekasih yang menemaninya sore ini.“Honey, aku nggak suka banyak cewek yang tertarik sama kamu,” gerutu Violet yang menggandeng lengan Kai di sampingnya. Namun, bibir merahnya tetap menyunggingkan senyuman dengan manis.“Jangan cemburu,” timpal Kai sambil menatap ke depan lurus-lurus. “Wanita yang memilikiku cuma kamu.”Terang saja ucapan itu membuat mata Violet berbinar-binar. Mereka baru saja memasuki ballroom dan sudah disambut oleh sapaan dari klien yang mengenali Kai. Acara sore itu termasuk acara privat, sehingga mereka bebas dari wartawan. Dan yang datang hanyalah orang-orang penting.Setelah orang yang menyapanya pergi, Kai pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ballroom, mencari keberadaan sang pemilik acara.Namun, tatapan Kai justru berakhir pada seo
[Kira, jangan lupa sore ini jam 5 aku jemput.]Kira membaca pesan yang dikirimkan Julian lima menit yang lalu. Ia tersenyum kecil.Pandangan Kira lalu bergeser ke arah kotak berbentuk persegi panjang dan paper bag yang tergeletak di atas kasur. Kotak itu berisi gaun berwarna peach, sementara paper bag berisi high heels. Keduanya pemberian Julian–yang dikirimkan ke kantor dua hari yang lalu.Kira menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Apakah ia harus mengenakan pakaian pemberian Julian tersebut atau tidak?Namun jika tidak, Kira tidak punya pilihan gaun lain, selain gaun yang pernah ia gunakan waktu acara makan malam di rumah keluarga Kai tempo hari. Akan tetapi ia tidak mungkin mengenakan pakaian yang sama dua kali ke pesta.Setelah berpikir cukup lama, Kira akhirnya memutuskan untuk menggunakan pakaian pemberian Julian, sebagai bentuk penghargaan darinya.Pukul tiga sore, Kira mulai bersiap-siap mandi, lalu mengenakan gaun berwarna peach tersebut. Kira mematut dirinya di cermin, dan i
Keesokan paginya, Kira berangkat pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin satu mobil dengan Kai setelah pertengkaran mereka tadi malam.Namun, saat Kira tiba di luar rumah, ia terkejut kala mendapati Kai tengah berdiri bersandar pada pintu mobil yang terparkir di halaman. Pria itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Sudah kuduga, kamu akan berangkat pagi-pagi sekali,” komentar Kai sembari melirik arloji.Kira mendengus dan membuang muka. Ia pikir, Kai masih tidur sebab saat ini belum genap pukul enam. Namun ternyata ia kecele. Pria itu justru sudah siap pergi lebih dulu ketimbang dirinya.Tanpa banyak bicara, Kira berjalan melewati Kai, hendak pergi. Namun, Kai berhasil meraih tangan Kira dan menahannya.“Mau ke mana kamu?” tanya Kai dengan santai, seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka malam tadi.Kira menarik tangannya dari genggaman Kai. Ia menatap pria itu dengan datar. “Aku mau pergi ke kantor, sendiri,” jawabny
Kira baru selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Dari suara mesinnya yang halus, Kira bisa menebak kalau itu adalah mobil Kai. Namun, kenapa pria itu sudah pulang jam segini? Bukankah tadi Kai bilang akan lembur?Kira mengenyahkan rasa penasarannya. Ia memilih pakaian kasual yang busui friendly dari lemari, setelah makan malam nanti rencananya ia akan pergi menemui Luna.Sesaat setelah Kira mengenakan pakaiannya dan menyisir rambut, ia pun turun ke lantai bawah untuk makan malam.Begitu tiba di anak tangga terbawah, ia melihat Kai sedang berjalan menghampirinya dengan raut muka tak ramah. Tatapan pria itu begitu tajam, menatap Kira tanpa mengalihkan tatapannya ke arah lain sedetik pun.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Kira basa-basi. “Nggak jadi lemburnya, ya?”“Kamu pulang dengan siapa tadi?” tanya Kai tiba-tiba dengan suara dingin, tanpa menghiraukan per
Kira tersenyum kecil saat melihat Julian berdiri dari sofa dan menghampirinya. Julian memandang ke sekeliling Kira.“Kamu sendirian?” tanya Julian saat Kira sudah berdiri di hadapannya.Kira mengangguk. “Iya, sendirian. Kenapa?”“Aku pikir kamu pulang bareng bos kamu.” Julian tersenyum kecil.Kira terdiam sejenak, lalu terkekeh dan menggeleng. “Nggak, lah. Dia ada lembur.”Keduanya berjalan keluar dari lobi dan menuju parkiran. Julian membukakan pintu mobil untuk Kira, lalu ia menutup pintu saat Kira sudah masuk. Dan berjalan memutari bagian depan mobilnya.“Dengar, ya, aku nggak mau geer, tapi aku penasaran, kamu sengaja datang ke sini untuk jemput aku?” tanya Kira dengan nada bercanda saat Julian sudah melajukan kendaraannya.“Kamu pikir, aku ke sana untuk menjemput orang lain?” Julian balas bertanya sambil tersenyum kecil.Meski sudah tahu bahwa Kira sudah menikah dengan Kaisar, tapi entah mengapa Julian pena
Kira kembali ke ruangannya setelah selesai makan siang di kantin. Ia melihat Lia sudah ada di ruangannya, maka itu berarti Kai juga sudah ada di dalam sana, pikir Kira.Kira baru akan mulai fokus pada pekerjaannya saat Lia tiba-tiba datang menghampiri.“Kamu dari mana?” tanya Lia sambil duduk di kursi depan meja Kira.“Habis makan siang, Mbak, di kantin.” Kira tersenyum kecil sembari menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.“Yaah… padahal tadi Tuan Kaisar bawa makan siang buat kamu, lho!”Mendengarnya, Kira merasa terkejut. “Bawa makan siang buat aku?” Kira tersenyum masam. “Masa, sih? Kayaknya nggak mungkin deh.”“Eh, serius! Tadi dia masuk ke sini sambil bawa makanan buat kamu, kamunya nggak ada, dia sampai nyari kamu, tahu?”Kira melihat ke sekeliling ruangannya. Namun ia tidak menemukan makanan yang dikatakan Lia di sudut manapun. Kira kembali tersenyum dan berkata, “Gimana pertemuan dengan Pak Julian? Lancar?” tanyanya untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.Lia ter