Kai merebahkan tubuhnya di samping Kira setelah mendapat pelepasannya. Napas Kai masih terdengar memburu.Seketika itu juga Kira berbalik, membelakangi Kai. Hatinya kembali terasa hancur untuk ke sekian kali.Kira tidak bisa menghentikan air matanya. Ia terisak pelan sambil mencengkram bantal dengan erat hingga tangannya bergetar.Kai yang mendengar isakan Kira, seketika tertegun. Hatinya dirundung perasaan bersalah, tapi di sisi lain ada perasaan puas yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Kai bangkit, menarik selimut untuk menyelimuti tubuh polos mereka berdua. Dari belakang, tanpa dapat dicegah, Kai mengulurkan tangan memeluk Kira.Kira yang sudah merasa lelah tidak memberontak sedikit pun. Ia terlalu lelah, baik jiwa maupun raganya. Ia hanya diam, berusaha memejamkan mata dan menghentikan isak tangisnya.“Maaf,” bisik Kai dengan tenggorokan tercekat. Kai sendiri bingung kenapa ia mudah sekali mengucapkan satu kata itu. “Maafkan aku.”Kira tidak memberi tanggapan apapun, entahlah,
Kai bergegas menghampiri Kira. Wanita itu terlihat menggigil dengan keringat yang bercucuran di dahinya. Tak bisa dipungkiri, Kai merasa khawatir dan terkejut melihat kondisi Kira seperti itu.“Kira,” panggil Kai sambil mengelus pelan pipi Kira, ia duduk di tepian ranjang tepat di samping wanita itu. “Kamu dengar suaraku?”Mata Kira bergetar, lalu perlahan-lahan terbuka. Ia menatap Kai dengan tatapan lemah, tapi tersirat kebencian di sana. “Jangan menyentuhku, Mas,” lirihnya sembari menepis tangan Kai dari pipinya.Kai tertegun dengan penolakan itu. Ia tahu, dirinya sudah berbuat jahat pada Kira tadi malam, tapi ia tak menyangka Kira akan sakit pagi ini.“Kamu demam, Kira,” ucap Kai lagi sambil mengecek suhu tubuh dengan menempelkan tangan di dahi Kira.Namun, lagi-lagi wanita itu menepis tangannya dengan lemah. “Pergi dari sini. Jangan pedulikan aku. Aku baik-baik saja.”“Baik-baik saja gimana maksudmu?” Rahang Kai mengeras. Andai saja ia tidak nekat masuk ke kamar Kira, ia tidak aka
“Maaf, Sayang, sepertinya aku nggak bisa menemani kamu hari ini,” ucap Kai pada Violet di seberang sana.“Kenapa?” rengek Violet, manja. “Padahal dari tadi aku nungguin kamu, lho.”Kai mengembuskan napas panjang. Ia melihat ke arah Kira yang terlelap di atas kasur dengan kondisi yang masih menggigil. “Kira sakit. Aku nggak bisa pergi meninggalkannya.”Di sisi lain, Violet tertegun mendengar ucapan Kai. Nada suara pria itu terdengar begitu khawatir. Untuk apa Kai peduli pada Kira? Bukankah biasanya Kai tidak akan peduli sekalipun Kira melahirkan dan bayinya meninggal? pikir Violet dengan perasaan cemburu yang mulai menguasai dada.Namun, Violet tahu, Kai bukan orang yang suka didesak, atau pria itu akan marah. Jadi, ia memilih menjawab, “Oh? Kira sakit? Ya udah, Honey, kamu tungguin dia aja. Kasihan. Aku nggak apa-apa, kok. Ada Rina ini yang nemenin.”Kai tersenyum samar mendengarnya. Kekasihnya itu memang pengertian dan mau berbagi. “Terima kasih, Vi.”Setelah sambungan telepon berakh
Kira membuka matanya perlahan pagi itu. Sekarang, tubuhnya terasa jauh lebih segar dan ia merasa lebih baik.Ia bangkit dari tidurnya, dan seketika itu juga ia meringis kala merasakan area bagian bawah tubuhnya sedikit sakit.Menyadari hal itu, Kira mengepalkan tangan saat ia teringat dengan apa yang Kai lakukan padanya kemarin malam. Dan bodohnya lagi, Kira sempat terbuai kala pria itu memperlakukannya dengan lembut setelah Kai menyadari air mata Kira menetes.Kira menghela napas berat. Ia menoleh ke samping, detik itu juga ia terkejut saat mendapati Kai sedang tertidur sambil bersandar pada headboard. Di tangannya tergenggam handuk kecil bekas mengompres dahi Kira.‘Apa dia menemaniku semalaman di sini?’ batin Kira seraya menatap pria itu dengan tatapan datar.Kira lalu menggelengkan kepalanya. Rasanya tidak mungkin Kai se-perhatian itu terhadapnya hingga harus merelakan tidur malamnya yang berharga. Namun, pemandangan di hadapannya berkata lain. Kai tampak pulas seolah-olah semalam
Kenapa pria itu tiba-tiba mengecup keningnya? Dan kenapa pula dia bersikap seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri sungguhan seperti kebanyakan orang? Kira bertanya-tanya dalam hati sambil merapikan alat pompa ASI yang baru selesai ia gunakan. Lalu menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan bayangan Kai yang mengecupnya pagi tadi dari benaknya. “Selama Non Kira sakit, saya lihat Tuan Kaisar sepertinya sangat mengkhawatirkan Non Kira,” ucap Ani tiba-tiba yang tengah membantu memasukkan ASIP ke dalam cooler bag. ASIP itu akan Ani antarkan ke rumah Violet. Mendengar ucapan Ani, Kira pun terdiam sesaat. Lalu tersenyum samar. “Dia nggak mungkin khawatir sama aku, Bik.” Saat aku melahirkan saja Kai bahkan nggak mengkhawatirkanku, lanjut Kira dalam hati. “Tapi saya melihatnya begitu, Non. Tuan Kaisar bahkan nggak keluar dari kamar Non Kira tadi malam untuk merawat Non. Saya baru melihat Tuan Kaisar sekhawatir itu. Bahkan dia nggak makan dengan benar saat makan sendirian,” ujar Ani me
“Tiga hari?” Kira sedikit terkejut mendengar ucapan Kai barusan. “Iya, kenapa? Nggak mau?” “Bukan begitu. Kalau aku pergi selama itu, gimana Luna? Maksudku… apa stok ASI-nya akan cukup?” Kata-kata Kira membuat Kai seketika tertegun. Kira masih memikirkan Luna di saat dia punya alasan untuk membenci anak itu. Namun Kira tetap memperhatikan asupan ASI-nya Luna meski ia sendiri tersakiti. Tiba-tiba saja ada perasaan sesak yang menyerang dada Kai mengingat betapa kejamnya ia selama ini pada Kira. “Coba saja nanti lihat dulu stoknya di rumah. Kira-kira cukup atau nggak,” ujar Kai dengan tenang. Kira mengangguk mengiyakan. Ia heran kenapa tidak ada lagi nada tajam dalam suara suaminya itu? Kira kembali memalingkan wajahnya ke arah kiri, enggan bersitatap dengan Kai. Bagaimanapun juga Kira masih marah atas apa yang telah pria itu lakukan padanya kemarin malam dan hari ini. Tak berapa lama, Kai memarkirkan mobilnya di sebuah restoran. Dengan enggan Kira mengikuti langkah kaki pria itu
Kira sedang menyusui Luna saat Violet pulang.Sambil memandangi wajah Luna yang tenang dalam pelukannya, Kira mendengar Violet dan Kai yang saling bertegur sapa di tengah rumah sana.“Oh? Vi, kamu baru pulang?”“Honey…,” panggil Violet manja. “Iya, aku lelah sekali. Oh iya, tadi kamu pergi sama Kira?”“Iya,” jawab Kai dengan nada datar.“Kenapa kamu nggak bilang ke aku? Aku nungguin telepon dari kamu, tahu? Dan kamu bikin aku khawatir!” Suara Violet sedikit meninggi dengan nada merengek manja.“Vi. Kamu baru pulang, bukannya melihat Luna, kamu malah menanyakan hal itu?”“Oh, i-itu… aku juga berniat menemui Luna, kok. Aku kangen sama anak kita. Cuma aku sedikit penasaran aja tentang kepergian kamu sama wanita itu.”Kai terdengar mengembuskan napas berat. “Sudahlah… jangan menanyakan hal itu lagi, sekarang temui Luna. Bisa jadi dia rindu ibunya.”Kira tersenyum samar–senyuman kecut, mendengar percakapan sepasang kekasih itu, ia kembali menunduk, menatap Luna yang enggan melepaskan mulut
Kira mengembuskan napas panjang sambil mengancingkan blazernya di depan cermin. “Aku bisa… aku pasti bisa,” gumamnya pada diri sendiri. Sebenarnya ia malas menemani Kai ke luar kota, apalagi sampai tiga hari. Namun, demi profesionalisme, Kira terpaksa mengiyakan perintah suami sekaligus atasannya itu untuk ikut pergi ke Bandung. “Sudah siap?” Kai berdiri di ambang pintu, menyandarkan satu bahunya ke kusen pintu. Kira menatap pria itu melalui cermin, lalu mengikat rambutnya ala ponytail. “Sudah,” jawabnya, lantas mengambil koper kecil berisi pakaiannya dan menyeretnya keluar. “Biar aku yang bawa,” ucap Kai sembari meraih handle koper dari tangan Kira, membuat Kira sedikit tertegun. Kira mengikuti langkah kaki Kai yang mengangkat koper Kira saat menuruni tangga. Mobil sudah menunggu di luar dan Kai memasukkan koper itu ke dalam bagasi bersamaan dengan koper miliknya. Lalu sang sopir membukakan pintu belakang untuk mereka berdua. Kira masuk lebih dulu, disusul Kai yang duduk di sam
Kira terdiam sejenak. Lantas ditatapnya Kai yang sedang menatap lurus ke arah jalanan. Tatapan Kira kembali pada layar ponsel Kai dalam genggamannya yang masih bergetar. Genggaman tangan Kira pada ponsel itu menguat, sebelum akhirnya ia memasukkan kembali ponsel Kai ke dalam jaket denim suaminya itu, tanpa memberitahu Kai bahwa Violet menelepon. Untuk kali ini saja, Kira ingin egois. Ia tidak mau membiarkan kekasih Kai itu merenggut kebersamaan mereka hari ini. Kabut tipis mulai turun saat Kira dan Kai melangkah pelan menyusuri jalur kayu di tengah rimbunnya pepohonan pinus. Angin berhembus lembut, lampu-lampu kecil di sepanjang jalur mulai menyala. Kira menarik napas dalam-dalam. “Tempat ini tenang sekali,” gumamnya, yang membuat Kai seketika menoleh. “Kamu suka?” tanya Kai. Kira balas menatap Kai, mengangguk. “Suka,” jawabnya, lalu melepaskan tangan dari genggaman Kai dan berjalan lebih dulu di depan pria itu. Raut muka Kira tampak berseri-seri saat kakinya menapaki jembatan
“Ini namanya Jalan Braga,” ucap Kai ketika mereka sudah turun dari mobil.Kira menatap sekeliling dengan pandangan takjub. Trotoar khas bergaya kolonial, kafe-kafe kecil berjajar rapi di sepanjang jalan, dan bangunan-bangunan tua yang memiliki nuansa sejarah membuat suasana terasa romantis dan hangat.“Kamu sering datang kesini sebelumnya?” tanya Kira sambil menatap Kai penuh tanya.“Pernah, tapi nggak sering.” Kai mengedikkan bahunya cuek.“Dengan kekasihmu?”Kai berdecak lidah dan seketika menoleh pada Kira dengan alis saling bertaut. Tanpa berkata-kata. Hanya menatap Kira dengan tatapan dalam, yang membuat Kira mengerjapkan matanya berkali-kali.“Kenapa menatapku seperti itu?” sergah Kira sambil membuang pandangan ke arah lain, selain pada Kaisar.“Kira….” Kai menarik wajah Kira agar menatapnya. “Kamu sengaja bertanya seperti itu apa karena cemburu pada Violet?” tanyanya dengan mata disipitkan.“A-apa? Cemburu?!” Seketika itu juga Kira tertawa. Tawa yang terdengar sinis. “Cemburu i
Mata Kira seketika membulat, menatap Kai dengan tajam sambil berkata tanpa suara, “Apa yang kamu lakukan?”Kai hanya menatap Kira, sebelum akhirnya menempelkan ponsel Kira di telinganya. “Ini aku,” katanya pada Julian di seberang sana.“Kai?” Julian terdengar terkekeh kecil. “Sepertinya kamu nggak terima aku mengganggu asisten pribadimu, ya.”“Ya, Kira sedang dalam perjalanan bisnis dan dia harus profesional. Kalau kamu ada sesuatu yang ingin dibicarakan terkait pekerjaan, hubungi saja aku," ujar Kai dengan tatapan datar.Kira menggigit bibir bawahnya sambil mendelik tajam pada Kai, ia kesal karena pria itu selalu berbuat seenak perut.“Ah… ini memang bukan tentang pekerjaan. Tapi aku benar-benar merindukan asisten pribadimu itu. Bagaimana ini? Sudah lama kami nggak bertemu.”Sial!Tangan Kai seketika mengepal hingga ponsel Kira dalam genggamannya ikut bergetar. “Urus saja urusan pribadi kalian di luar jadwal kerja!” Seketika itu juga, Kai mematikan sambungan telepon secara sepihak.K
“Kira,” bisik Kai dengan suara beratnya. “Kenapa kamu selalu membuatku kehilangan kendali, hm?”Kira mengepalkan tangannya saat wajah Kai semakin mendekat, hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.“Aku sama sekali nggak pernah menggodamu, Mas!” tukas Kira, ia mengerti ke mana arah pembicaraan Kai.Mata Kai menatap bibir Kira yang terlihat seperti tengah memanggil-manggilnya. Ia tahu Kira tidak pernah menggodanya, tapi entah mengapa saat Kira sedang terdiam pun dirinya malah tergoda. Sial.“Kamu nggak perlu menggodaku untuk aku menginginkanmu,” bisik Kai lagi dengan dalam seraya menatap mata dan bibir Kira bergantian.Terang saja ucapan Kai tersebut membuat Kira kebingungan. Sebenarnya apa yang Kai lihat darinya? “Bukankah selama ini kamu membenci aku, Mas?” lirih Kira tiba-tiba tanpa dapat ia cegah. “Lalu kenapa sekarang, kamu memperlakukanku seolah-olah aku ini istri sungguhan buatmu?”Pertanyaan Kira membuat Kai seketika terdiam. Ia ingat bagaimana kejam di
Kira terbangun pagi itu dengan rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya. Matanya mengerjap pelan saat cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar itu menerpa wajah. Kira membuka mata. Sejenak ia lupa di mana ia berada. Sampai akhirnya kasur yang kosong di sebelahnya menyadarkan Kira bahwa saat ini ia berada di kamar hotel. ‘Kai? Di mana dia?’ Kira bertanya-tanya dalam hati saat tidak menemukan pria itu di kasur sebelahnya. Lantas, karena teringat dengan kejadian pagi kemarin, Kira seketika menoleh ke belakang dengan perasaan waspada. Akan tetapi di belakangnya pun ia tidak menemukan Kaisar. Kira terdiam sejenak, mungkin pria itu sedang di ruang TV, pikirnya. Kira bangkit dari tidur hingga selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh. Di saat itu Kira mendapati dirinya tengah mengenakan pakaian tidur berbahan satin warna navy. Kening Kira berkerut bingung. “Bukannya semalam aku ketiduran di ruang TV, ya?” gumam Kira sambil berusaha mengumpulkan kepingan memori malam tadi. Dan jelas-je
“Aku mau mandi, kalau kamu mau tetap di sini, aku nggak masalah,” ucap Kai dengan satu sudut bibir terangkat, membuat Kira yang duduk di tepian ranjang seketika berdiri. “Nggak! Aku nunggu di ruang TV aja,” tukas Kira dengan cepat. Kira buru-buru keluar dari kamar saat itu juga, meninggalkan Kai yang tersenyum samar melihat kepergiannya. Kini Kira merebahkan tubuhnya di sofa. Ia merasa lelah hari ini, tapi entah mengapa ada perasaan puas yang menyelimuti hatinya, entah karena apa. Tangan Kira terulur, meraih remote dari meja dan menyalakan televisi. Ia memindah-mindahkan saluran, berharap bisa menemukan tayangan yang menyenangkan untuknya. Namun, saat Kira baru saja menikmati film kartun yang baru ia temukan, bel kamar tiba-tiba berbunyi. Kening Kira berkerut bingung. Siapa yang datang malam-malam begini? Apakah mungkin staf hotel? pikirnya. Dengan malas Kira bangkit dari sofa dan membukakan pintu. “Surprise…!” Begitu pintu terbuka, tiba-tiba saja Kira dikejutkan oleh se
“Honey! Kamu juga di sini?!”Mendengar seruan Violet yang entah dari mana datangnya itu, sontak Kira dan Kai menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Violet tengah membawa barang belanjaan di kedua tangannya, bersama Rina yang menggendong Luna.Kai tidak begitu terkejut melihat Violet, karena sebelumnya ia sudah tahu kekasihnya itu sedang ada di mall ini.Sementara itu, Kira mengerutkan kening, heran kenapa bisa mereka bertemu Violet di Bandung? Untuk apa wanita itu datang ke kota ini? Apakah untuk menyusul Kai? Mengingat hal itu, tangan Kira yang terbebas pun mengepal.“Oh? Vi, iya kami juga lagi ada di sini,” jawab Kai dengan ekspresi tenang.“Sedang apa?” Violet menatap satu tangan Kai yang dipenuhi barang belanjaan, sedangkan satu tangan yang lain menggenggam tangan Kira, lantas pandangan Violet tertuju pada outlet underwear yang baru saja mereka masuki. Melihat semua pemandangan itu membuat raut muka Violet berubah muram. “Kira… kamu?”
Kai mengembuskan napas panjang. Belum sempat ia membalas pesannya, wanita itu tiba-tiba menelepon. Kai sempat melirik Kira yang masih memilih-milih sepatu, sebelum akhirnya ia keluar dari toko untuk mengangkat panggilan tersebut.“Honey,” rengek Violet di seberang sana. “Bisa ‘kan transfer sekarang? Aku mau belanja keperluanku sama Luna di PVJ, tolong–”“Berapa yang kamu perlukan?” sela Kai dengan cepat.“Seratus juta boleh?”Kai sempat melirik Kira di dalam, dan entah mengapa ia tidak mau membuat Kira menunggu, maka dari itu ia berkata pada Violet supaya semuanya kelar cepat. “Oke. Aku transfer sekarang.”“Yeay!” Violet berseru riang. “Terima kasih, Honey, kamu memang–”“Aku tutup teleponnya, ya. Lagi ada urusan penting,” sela Kai lagi, membuat seruan Violet seketika terhenti.Tanpa menunggu persetujuan Violet, Kai langsung memutus sambungan telepon dan mentransfer sejumlah uang yang wanita itu minta. Setelah itu Kai kembali ke dalam outlet, menghampiri Kira.Saat itu Kira tengah men
Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan bagi Kira. Sejak pagi ia menemani Kai yang bertemu dengan beberapa kliennya dan datang ke salah satu anak usaha Milard Corp yang ada di Bandung.Hari sudah sore saat mereka keluar dari sebuah gedung. Kaki Kira menjerit ingin dilepaskan segera dari heels yang memeluknya sejak pagi. Selain itu, Kira juga merasakan ASI-nya nyaris merembes keluar karena siang tadi ia tidak sempat memompa ASI.“Mas, aku mau pompa ASI,” ucap Kira saat mereka berjalan menuju parkiran.Kai mengangguk. “Kamu bisa melakukannya di kursi belakang.” Lalu ia membukakan pintu belakang untuk Kira. Sementara Kai sendiri duduk di kursi kemudi karena hari ini sengaja ia tidak pergi bersama sopir.Di kursi belakang, Kira memompa ASI-nya. Ia duduk tepat di belakang Kai. Suasana di antara mereka terasa hening, hanya terdengar deru mesin mobil yang halus dan suara alat pompa ASI yang berdenyut pelan, mengisi keheningan di dalam mobil yang mulai terasa sejuk karena pendingin udar