Kira membuka matanya perlahan pagi itu. Sekarang, tubuhnya terasa jauh lebih segar dan ia merasa lebih baik.Ia bangkit dari tidurnya, dan seketika itu juga ia meringis kala merasakan area bagian bawah tubuhnya sedikit sakit.Menyadari hal itu, Kira mengepalkan tangan saat ia teringat dengan apa yang Kai lakukan padanya kemarin malam. Dan bodohnya lagi, Kira sempat terbuai kala pria itu memperlakukannya dengan lembut setelah Kai menyadari air mata Kira menetes.Kira menghela napas berat. Ia menoleh ke samping, detik itu juga ia terkejut saat mendapati Kai sedang tertidur sambil bersandar pada headboard. Di tangannya tergenggam handuk kecil bekas mengompres dahi Kira.‘Apa dia menemaniku semalaman di sini?’ batin Kira seraya menatap pria itu dengan tatapan datar.Kira lalu menggelengkan kepalanya. Rasanya tidak mungkin Kai se-perhatian itu terhadapnya hingga harus merelakan tidur malamnya yang berharga. Namun, pemandangan di hadapannya berkata lain. Kai tampak pulas seolah-olah semalam
Kenapa pria itu tiba-tiba mengecup keningnya? Dan kenapa pula dia bersikap seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri sungguhan seperti kebanyakan orang? Kira bertanya-tanya dalam hati sambil merapikan alat pompa ASI yang baru selesai ia gunakan. Lalu menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan bayangan Kai yang mengecupnya pagi tadi dari benaknya. “Selama Non Kira sakit, saya lihat Tuan Kaisar sepertinya sangat mengkhawatirkan Non Kira,” ucap Ani tiba-tiba yang tengah membantu memasukkan ASIP ke dalam cooler bag. ASIP itu akan Ani antarkan ke rumah Violet. Mendengar ucapan Ani, Kira pun terdiam sesaat. Lalu tersenyum samar. “Dia nggak mungkin khawatir sama aku, Bik.” Saat aku melahirkan saja Kai bahkan nggak mengkhawatirkanku, lanjut Kira dalam hati. “Tapi saya melihatnya begitu, Non. Tuan Kaisar bahkan nggak keluar dari kamar Non Kira tadi malam untuk merawat Non. Saya baru melihat Tuan Kaisar sekhawatir itu. Bahkan dia nggak makan dengan benar saat makan sendirian,” ujar Ani me
“Tiga hari?” Kira sedikit terkejut mendengar ucapan Kai barusan. “Iya, kenapa? Nggak mau?” “Bukan begitu. Kalau aku pergi selama itu, gimana Luna? Maksudku… apa stok ASI-nya akan cukup?” Kata-kata Kira membuat Kai seketika tertegun. Kira masih memikirkan Luna di saat dia punya alasan untuk membenci anak itu. Namun Kira tetap memperhatikan asupan ASI-nya Luna meski ia sendiri tersakiti. Tiba-tiba saja ada perasaan sesak yang menyerang dada Kai mengingat betapa kejamnya ia selama ini pada Kira. “Coba saja nanti lihat dulu stoknya di rumah. Kira-kira cukup atau nggak,” ujar Kai dengan tenang. Kira mengangguk mengiyakan. Ia heran kenapa tidak ada lagi nada tajam dalam suara suaminya itu? Kira kembali memalingkan wajahnya ke arah kiri, enggan bersitatap dengan Kai. Bagaimanapun juga Kira masih marah atas apa yang telah pria itu lakukan padanya kemarin malam dan hari ini. Tak berapa lama, Kai memarkirkan mobilnya di sebuah restoran. Dengan enggan Kira mengikuti langkah kaki pria itu
Kira sedang menyusui Luna saat Violet pulang.Sambil memandangi wajah Luna yang tenang dalam pelukannya, Kira mendengar Violet dan Kai yang saling bertegur sapa di tengah rumah sana.“Oh? Vi, kamu baru pulang?”“Honey…,” panggil Violet manja. “Iya, aku lelah sekali. Oh iya, tadi kamu pergi sama Kira?”“Iya,” jawab Kai dengan nada datar.“Kenapa kamu nggak bilang ke aku? Aku nungguin telepon dari kamu, tahu? Dan kamu bikin aku khawatir!” Suara Violet sedikit meninggi dengan nada merengek manja.“Vi. Kamu baru pulang, bukannya melihat Luna, kamu malah menanyakan hal itu?”“Oh, i-itu… aku juga berniat menemui Luna, kok. Aku kangen sama anak kita. Cuma aku sedikit penasaran aja tentang kepergian kamu sama wanita itu.”Kai terdengar mengembuskan napas berat. “Sudahlah… jangan menanyakan hal itu lagi, sekarang temui Luna. Bisa jadi dia rindu ibunya.”Kira tersenyum samar–senyuman kecut, mendengar percakapan sepasang kekasih itu, ia kembali menunduk, menatap Luna yang enggan melepaskan mulut
Kira mengembuskan napas panjang sambil mengancingkan blazernya di depan cermin. “Aku bisa… aku pasti bisa,” gumamnya pada diri sendiri. Sebenarnya ia malas menemani Kai ke luar kota, apalagi sampai tiga hari. Namun, demi profesionalisme, Kira terpaksa mengiyakan perintah suami sekaligus atasannya itu untuk ikut pergi ke Bandung. “Sudah siap?” Kai berdiri di ambang pintu, menyandarkan satu bahunya ke kusen pintu. Kira menatap pria itu melalui cermin, lalu mengikat rambutnya ala ponytail. “Sudah,” jawabnya, lantas mengambil koper kecil berisi pakaiannya dan menyeretnya keluar. “Biar aku yang bawa,” ucap Kai sembari meraih handle koper dari tangan Kira, membuat Kira sedikit tertegun. Kira mengikuti langkah kaki Kai yang mengangkat koper Kira saat menuruni tangga. Mobil sudah menunggu di luar dan Kai memasukkan koper itu ke dalam bagasi bersamaan dengan koper miliknya. Lalu sang sopir membukakan pintu belakang untuk mereka berdua. Kira masuk lebih dulu, disusul Kai yang duduk di sam
“Tunggu. Satu kamar?” tanya Kira dengan mata membulat. Kai menerima keycard tersebut dari staff hotel dan berterima kasih padanya, lalu membawa Kira menjauh dari meja resepsionis. “Iya, kenapa? Ada masalah?” Kai balik bertanya dengan tenang seraya menatap wajah Kira lamat-lamat. “Tuan, kenapa nggak pesan dua kamar saja?” bisik Kira, jengkel. Satu sudut bibir Kai terangkat. “Kamar yang lain penuh, yang tersisa cuma suite ini saja. Ayo, kita naik. Kamu nggak punya pilihan lain, Kira.” “Tuan Kaisar, tapi–” Kata-kata Kira mengambang begitu saja karena Kai sudah pergi lebih dulu meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Kira terpaksa mengikuti langkah kaki pria itu menuju lift dengan bibir sedikit cemberut. Kai menoleh ke arah Kira, ia tersenyum miring melihat wajah Kira yang muram. Sementara koper mereka akan diantarkan oleh bellboy ke kamar. Pintu lift terbuka, tanpa diduga-duga, K
Pukul lima sore, Kira dan Kai bersiap untuk menghadiri makan malam bersama para komisaris dan beberapa investor yang diadakan di restoran rooftop hotel. Mereka keluar bersama menuju restoran rooftop yang sudah ditata secara eksklusif. Suasananya santai tapi elegan, dengan alunan musik jazz yang memenuhi seisi restoran.Di sana para komisaris dan investor sudah banyak yang hadir. Kai sebagai CEO, tentu menjadi pusat perhatian. Namun, kali ini perhatian juga jatuh pada wanita cantik yang mendampinginya.Pak Dirga–seorang komisaris senior yang terkenal genit, menyapa Kai terlebih dulu, lalu menatap Kira dan berkata, “Ini siapa? Sekretaris baru Anda, Tuan Kaisar?”Belum sempat Kai menjawab, Pak Dirga sudah menjulurkan tangannya ke arah Kira. “Siapa namamu?”Kira menerima uluran tangan Pak Dirga, menjabat tangannya dan mengangguk hormat sambil tersenyum sopan. “Saya Kira, Pak Dirga.” Kira tahu nama laki-laki paruh baya itu dari name tag yang dikenakannya. “Asisten pribadi Tuan Kaisar.”“Oh
“Dia menatap kamu seolah-olah kamu bisa dia miliki. Padahal kamu milikku, Kira. Kamu istriku. Dan aku nggak suka ada pria lain yang bahkan berani menyentuhmu,” bisik Kai dengan suara beratnya.Kira tertegun mendengar kata-kata suaminya, yang akhir-akhir ini selalu menegaskan bahwa Kira adalah miliknya. Sesuatu yang bahkan tak pernah Kira bayangkan sebelumnya. Sebab, dulu, Kai membencinya dan memandang Kira seolah-olah Kira adalah sampah.Tangan Kai terulur, menyentuh pipi Kira. Sentuhannya terasa lembut. “Mereka menggoda kamu, tapi kamu sama sekali nggak menolak mereka dengan keras,” lanjut Kai lagi saat Kira tak kunjung bersuara.Dengan pelan Kira menepis tangan Kai dari pipinya. “Mas, aku cuma berusaha bersikap profesional. Memangnya kamu mau jadi bahan omongan orang kalau kamu punya asisten pribadi yang judes?”“Aku nggak peduli.” Satu sudut bibir Kai terangkat. Ia terus maju, sementara Kira terus mundur. “Kamu nggak sadar berapa pria yang tadi melirik kamu? Kamu cuma duduk, diam,
“Kira… kalau kamu butuh tempat untuk berlindung, berdirilah di belakangku. Aku siap melindungimu dan membantumu. Kapanpun,” ucap Julian sungguh-sungguh.Kira tertegun. Kata-kata Julian membuat lidahnya mendadak terasa kelu. Ia menunduk, menatap tangannya yang ada dalam genggaman Julian. Tangan itu terasa hangat, tapi entah mengapa Kira merasa ada yang salah. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman pria itu.“Julian…,” gumam Kira akhirnya. “Kamu orang baik. Sangat baik bahkan, tapi aku nggak bisa mempermainkan perasaanmu.”“Aku tahu, Kira,” sahut Julian dengan tenang, ada kekecewaan yang terdengar dalam nada suaranya. “Aku tahu kamu belum siap, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian, Kira. Ada aku yang selalu siap membantumu.”Kira mengangguk, akan tetapi ia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Julian yang terlalu baik untuknya itu.Belum sempat Kira berkata-kata, ponselnya–yang sejak tadi ia abaikan, kembali bergetar. Sejujurnya sejak tadi ponse
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t
“....Tapi jangan berharap lebih, Mas. Aku sudah kehabisan alasan untuk bertahan... selain ibuku.”Kata-kata yang diucapkan Kira membuat Kai tertegun. Tangan Kai mengepal. Rahangnya berkedut. Ada salah satu bagian dari dalam dirinya yang merasa sakit mendengar ucapan Kira.Kira pergi meninggalkan Kai yang membeku di tempatnya berdiri. Ia berjalan cepat menaiki tangga dengan perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang dada. Ia memang sudah kehabisan alasan untuk bersama Kai, selain karena ibunya yang butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit.Saat Kira akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangannya, hingga badan Kira berputar dan berakhir berhadapan dengan Kai.Pria itu menatap Kira dengan tatapan kusut. “Aku serius saat mengatakan akan memperbaiki semuanya, Kira,” ucap Kai dengan suara rendah. “Aku tidak bercanda.”Kira melihat ada keseriusan yang tergambar dalam sorot mata suami di atas kertasnya itu. Lalu Kira tersenyum kecut. “Bukannya aku sudah tanya bagaim
‘Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Kira.’Kai tidak bisa memejamkan matanya malam itu. Peringatan dari Julian sore tadi terus terngiang-ngiang di telinga.Sial!Kenapa dirinya harus merasa terancam dengan kehadiran sosok Julian?Apalagi setelah Julian mengatakan secara terang-terangan bahwa dia menyukai Kira.Kai duduk di tepian ranjang, tangannya mengepal kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa harus peduli pada hubungan Kira dan laki-laki itu? Padahal jika itu dulu, Kai mungkin tidak akan peduli sedikit pun pada apa yang dilakukan Kira.Lamunan Kai buyar tatkala ia mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Kai bertanya-tanya dalam hati.Dengan terpaksa Kai meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ia terdiam saat melihat nama Violet terpampang di layar.Saat itu juga, Kai mengusap wajahnya gusar. Benar. Seharusnya ia memperdulikan kekasihnya saja. Wanita yang lebih dulu ia cintai bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Kira berlangsung.Namun, en
“Apapun hubunganku dengan wanita itu, itu bukan urusanmu, Julian.” “Tapi Kira adalah urusanku!” “Aku suaminya!” “Suami?” Julian mendengus kasar. Ia maju satu langkah, mendekati Kai sambil menatapnya tajam. “Suami mana yang tega membiarkan istrinya melahirkan sendirian demi wanita lain, Kai?” Mata Kai kembali membulat mendengar kata-kata itu. Ucapan Julian bagai batu yang menghantam dadanya begitu kuat, mengingatkan Kai akan kesalahannya di masa lalu. Sementara itu, Kira yang sejak tadi tampak syok setelah mendengar Julian yang tahu mengenai pernikahannya dengan Kai, kini semakin terkejut dengan fakta yang diketahui Julian. Padahal Kira sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada Julian terkait hubungannya dengan Kai. Kira menatap Julian dengan tatapan penuh kebingungan. Julian menoleh ke arah Kira, lalu tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan nada tajamnya barusan. “Maaf, aku
“Kai? Sedang apa kamu di sini?” Julian maju mendekati Kai dengan satu alis terangkat.Kira masih membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menepati janjinya untuk kembali kepadanya.Kai lantas menatap Julian dengan tajam. “Aku ada urusan dengan Kira,” ujarnya, dingin, lalu menghampiri Kira dan meraih tangannya, yang membuat Kira terkejut dengan sikap Kai yang tiba-tiba itu.Kira menatap kedua lelaki itu bergantian. Seolah-olah ingin menyadarkan Kai bahwa saat ini mereka ada di hadapan Julian, dan Kai harus menjaga sikap jika tidak ingin Julian curiga.“Tu-Tuan, ada urusan apa?”Panggilan ‘tuan’ yang disematkan Kira membuat rahang Kai semakin mengeras. Kai menggenggam pergelangan tangan Kira dengan erat. “Kita bicara!”“Maaf, Tuan Kaisar.” Julian menahan tangan Kai yang menggenggam tangan Kira. Ia menatap Kai dengan sama tajamnya. “Hari ini Kira adalah pendampingku. Lagi pula… hari ini hari libur, kamu nggak berhak mengganggu Kira dengan urusan pekerjaan.
Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fokusnya terbagi antara jalanan di depannya, dan ponsel yang terus memanggil nomor telepon Kira. Akan tetapi, tidak ada satupun panggilannya yang Kira angkat. Ke mana wanita itu? Kai bertanya-tanya dalam hati. Ya, pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi, setelah memastikan Violet aman bersama Livia. Kai tidak bisa mengabaikan perasaannya, yang terus menerus gelisah karena teringat Kira. Mobil akhirnya berhenti di parkiran Dufan. Sementara itu ponselnya masih memanggil nomor telepon Kira. Namun, lagi-lagi panggilannya berakhir dengan sia-sia. Kini Kai berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kali ini ia menghubungi Ani, menanyakan apakah Kira sudah tiba di rumah atau belum? “Belum ada, Tuan. Non Kira belum pulang,” jawab Ani di seberang sana. Kai mengusap wajah dengan gusar. Ia menyesal karena tidak meminta orang suruhannya untuk mengikuti Kira hari ini. Sebab, tadinya Kai ber
‘Aku bisa tanpa kamu.’Kata-kata Kira yang diucapkan beberapa saat yang lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Kai.Kai tidak mengerti, entah mengapa kata-kata itu mampu menusuk jantungnya, membuat Kai tidak fokus mengemudi dan beberapa kali ia hampir menabrak mobil di hadapannya ketika berhenti di lampu merah.Kekecewaan yang tergambar di wajah Kira–yang sempat Kai lihat saat ia berbalik meninggalkannya, membuat dada Kai terasa sesak. Namun, Kai juga tidak bisa mengabaikan rasa khawatirnya pada Violet yang saat ini dilarikan ke UGD.Setibanya di rumah sakit beberapa saat kemudian, Kai langsung berlari menuju UGD sesuai lokasi yang disebutkan manajer Violet.Seorang wanita berambut pendek menghampiri Kai begitu Kai tiba. “Tuan? Mbak Violet lagi diperiksa oleh dokter,” ucap Livia–manajer Violet.“Apa yang terjadi? Kenapa bisa Violet kecelakaan waktu pemotretan?” tanya Kai dengan raut muka khawatir yang tak disembunyikan.“Violet jatuh dari tebing buatan di lokasi pemotretan outdoor, T
‘Kira, aku janji, aku akan datang menemuimu lagi. Jadi, tunggu aku di dalam, hm? Aku akan pergi sebentar saja. Tiketnya sudah aku kirimkan ke handphone kamu.’Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Kai sebelum pria itu pergi dari hadapan Kira.Kira tercenung. Ia masih membeku di tempatnya berdiri. Tanpa sadar, matanya menggenang dan memanas. Hatinya dirundung perasaan nyeri karena pria itu lebih memilih menemui kekasihnya ketimbang menemaninya masuk ke dalam tempat wisata itu.Pada akhirnya… tetap saja Violet yang menjadi prioritas utama Kai, dibanding Kira.Kira tersenyum kecut. Ia terlalu banyak berharap sehingga akhirnya merasa kecewa.Kira menarik napas dalam-dalam dan mendongakkan kepala sembari mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air mata yang mendesak keluar.Ia lantas memeriksa pesan dari Kai. Pria itu telah mengirimkan e-tiket ke nomor ponselnya. Kira mengunduh e-tiket tersebut dan kembali tercenung karena mel