“Tunggu. Satu kamar?” tanya Kira dengan mata membulat.
Kai menerima keycard tersebut dari staff hotel dan berterima kasih padanya, lalu membawa Kira menjauh dari meja resepsionis. “Iya, kenapa? Ada masalah?” Kai balik bertanya dengan tenang seraya menatap wajah Kira lamat-lamat. “Tuan, kenapa nggak pesan dua kamar saja?” bisik Kira, jengkel. Satu sudut bibir Kai terangkat. “Kamar yang lain penuh, yang tersisa cuma suite ini saja. Ayo, kita naik. Kamu nggak punya pilihan lain, Kira.” “Tuan Kaisar, tapi–” Kata-kata Kira mengambang begitu saja karena Kai sudah pergi lebih dulu meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Kira terpaksa mengikuti langkah kaki pria itu menuju lift dengan bibir sedikit cemberut. Kai menoleh ke arah Kira, ia tersenyum miring melihat wajah Kira yang muram. Sementara koper mereka akan diantarkan oleh bellboy ke kamar. Pintu lift terbuka, tanpa diduga-duga, KPukul lima sore, Kira dan Kai bersiap untuk menghadiri makan malam bersama para komisaris dan beberapa investor yang diadakan di restoran rooftop hotel. Mereka keluar bersama menuju restoran rooftop yang sudah ditata secara eksklusif. Suasananya santai tapi elegan, dengan alunan musik jazz yang memenuhi seisi restoran.Di sana para komisaris dan investor sudah banyak yang hadir. Kai sebagai CEO, tentu menjadi pusat perhatian. Namun, kali ini perhatian juga jatuh pada wanita cantik yang mendampinginya.Pak Dirga–seorang komisaris senior yang terkenal genit, menyapa Kai terlebih dulu, lalu menatap Kira dan berkata, “Ini siapa? Sekretaris baru Anda, Tuan Kaisar?”Belum sempat Kai menjawab, Pak Dirga sudah menjulurkan tangannya ke arah Kira. “Siapa namamu?”Kira menerima uluran tangan Pak Dirga, menjabat tangannya dan mengangguk hormat sambil tersenyum sopan. “Saya Kira, Pak Dirga.” Kira tahu nama laki-laki paruh baya itu dari name tag yang dikenakannya. “Asisten pribadi Tuan Kaisar.”“Oh
“Dia menatap kamu seolah-olah kamu bisa dia miliki. Padahal kamu milikku, Kira. Kamu istriku. Dan aku nggak suka ada pria lain yang bahkan berani menyentuhmu,” bisik Kai dengan suara beratnya.Kira tertegun mendengar kata-kata suaminya, yang akhir-akhir ini selalu menegaskan bahwa Kira adalah miliknya. Sesuatu yang bahkan tak pernah Kira bayangkan sebelumnya. Sebab, dulu, Kai membencinya dan memandang Kira seolah-olah Kira adalah sampah.Tangan Kai terulur, menyentuh pipi Kira. Sentuhannya terasa lembut. “Mereka menggoda kamu, tapi kamu sama sekali nggak menolak mereka dengan keras,” lanjut Kai lagi saat Kira tak kunjung bersuara.Dengan pelan Kira menepis tangan Kai dari pipinya. “Mas, aku cuma berusaha bersikap profesional. Memangnya kamu mau jadi bahan omongan orang kalau kamu punya asisten pribadi yang judes?”“Aku nggak peduli.” Satu sudut bibir Kai terangkat. Ia terus maju, sementara Kira terus mundur. “Kamu nggak sadar berapa pria yang tadi melirik kamu? Kamu cuma duduk, diam,
Kira berteriak kaget, sontak membuat Kai yang masih setengah tertidur itu bangun dengan kening berkerut. Seketika itu juga, Kira melepaskan tangan yang memeluknya dan melompat turun dari kasur.“Kira, ada apa?” tanya Kai dengan suara serak khas orang bangun tidur, sambil mengerjapkan matanya yang masih terasa lengket.“Mas?!” Mata Kira membulat, tajam. “Ngapain kamu tidur di kasur aku dan meluk aku?!”Kai mengerjap, ia bangkit duduk dan mengusap wajahnya kasar. “Aku… aku sendiri juga nggak tahu,” jawabnya dengan wajah kebingungan.“Apa?!” Kira mendengus. “Nggak tahu?” Ia terperangah mendengar jawaban Kai. Lalu, detik itu juga Kira menyadari sesuatu. Ia menatap Kai dengan tatapan yang semakin tajam. “Apa jangan-jangan kamu mengira aku Violet karena kebiasaan kamu yang sering menginap di hotel dengan wanita itu?”“Kira–”“Keterlaluan kamu ya, Mas!” sela Kira dengan suara dingin. Detik itu juga Kira masuk ke kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Belum lagi dadanya terasa penuh dan nye
Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan bagi Kira. Sejak pagi ia menemani Kai yang bertemu dengan beberapa kliennya dan datang ke salah satu anak usaha Milard Corp yang ada di Bandung.Hari sudah sore saat mereka keluar dari sebuah gedung. Kaki Kira menjerit ingin dilepaskan segera dari heels yang memeluknya sejak pagi. Selain itu, Kira juga merasakan ASI-nya nyaris merembes keluar karena siang tadi ia tidak sempat memompa ASI.“Mas, aku mau pompa ASI,” ucap Kira saat mereka berjalan menuju parkiran.Kai mengangguk. “Kamu bisa melakukannya di kursi belakang.” Lalu ia membukakan pintu belakang untuk Kira. Sementara Kai sendiri duduk di kursi kemudi karena hari ini sengaja ia tidak pergi bersama sopir.Di kursi belakang, Kira memompa ASI-nya. Ia duduk tepat di belakang Kai. Suasana di antara mereka terasa hening, hanya terdengar deru mesin mobil yang halus dan suara alat pompa ASI yang berdenyut pelan, mengisi keheningan di dalam mobil yang mulai terasa sejuk karena pendingin udar
Kai mengembuskan napas panjang. Belum sempat ia membalas pesannya, wanita itu tiba-tiba menelepon. Kai sempat melirik Kira yang masih memilih-milih sepatu, sebelum akhirnya ia keluar dari toko untuk mengangkat panggilan tersebut.“Honey,” rengek Violet di seberang sana. “Bisa ‘kan transfer sekarang? Aku mau belanja keperluanku sama Luna di PVJ, tolong–”“Berapa yang kamu perlukan?” sela Kai dengan cepat.“Seratus juta boleh?”Kai sempat melirik Kira di dalam, dan entah mengapa ia tidak mau membuat Kira menunggu, maka dari itu ia berkata pada Violet supaya semuanya kelar cepat. “Oke. Aku transfer sekarang.”“Yeay!” Violet berseru riang. “Terima kasih, Honey, kamu memang–”“Aku tutup teleponnya, ya. Lagi ada urusan penting,” sela Kai lagi, membuat seruan Violet seketika terhenti.Tanpa menunggu persetujuan Violet, Kai langsung memutus sambungan telepon dan mentransfer sejumlah uang yang wanita itu minta. Setelah itu Kai kembali ke dalam outlet, menghampiri Kira.Saat itu Kira tengah men
“Honey! Kamu juga di sini?!”Mendengar seruan Violet yang entah dari mana datangnya itu, sontak Kira dan Kai menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Violet tengah membawa barang belanjaan di kedua tangannya, bersama Rina yang menggendong Luna.Kai tidak begitu terkejut melihat Violet, karena sebelumnya ia sudah tahu kekasihnya itu sedang ada di mall ini.Sementara itu, Kira mengerutkan kening, heran kenapa bisa mereka bertemu Violet di Bandung? Untuk apa wanita itu datang ke kota ini? Apakah untuk menyusul Kai? Mengingat hal itu, tangan Kira yang terbebas pun mengepal.“Oh? Vi, iya kami juga lagi ada di sini,” jawab Kai dengan ekspresi tenang.“Sedang apa?” Violet menatap satu tangan Kai yang dipenuhi barang belanjaan, sedangkan satu tangan yang lain menggenggam tangan Kira, lantas pandangan Violet tertuju pada outlet underwear yang baru saja mereka masuki. Melihat semua pemandangan itu membuat raut muka Violet berubah muram. “Kira… kamu?”
“Aku mau mandi, kalau kamu mau tetap di sini, aku nggak masalah,” ucap Kai dengan satu sudut bibir terangkat, membuat Kira yang duduk di tepian ranjang seketika berdiri. “Nggak! Aku nunggu di ruang TV aja,” tukas Kira dengan cepat. Kira buru-buru keluar dari kamar saat itu juga, meninggalkan Kai yang tersenyum samar melihat kepergiannya. Kini Kira merebahkan tubuhnya di sofa. Ia merasa lelah hari ini, tapi entah mengapa ada perasaan puas yang menyelimuti hatinya, entah karena apa. Tangan Kira terulur, meraih remote dari meja dan menyalakan televisi. Ia memindah-mindahkan saluran, berharap bisa menemukan tayangan yang menyenangkan untuknya. Namun, saat Kira baru saja menikmati film kartun yang baru ia temukan, bel kamar tiba-tiba berbunyi. Kening Kira berkerut bingung. Siapa yang datang malam-malam begini? Apakah mungkin staf hotel? pikirnya. Dengan malas Kira bangkit dari sofa dan membukakan pintu. “Surprise…!” Begitu pintu terbuka, tiba-tiba saja Kira dikejutkan oleh se
Kira terbangun pagi itu dengan rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya. Matanya mengerjap pelan saat cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar itu menerpa wajah. Kira membuka mata. Sejenak ia lupa di mana ia berada. Sampai akhirnya kasur yang kosong di sebelahnya menyadarkan Kira bahwa saat ini ia berada di kamar hotel. ‘Kai? Di mana dia?’ Kira bertanya-tanya dalam hati saat tidak menemukan pria itu di kasur sebelahnya. Lantas, karena teringat dengan kejadian pagi kemarin, Kira seketika menoleh ke belakang dengan perasaan waspada. Akan tetapi di belakangnya pun ia tidak menemukan Kaisar. Kira terdiam sejenak, mungkin pria itu sedang di ruang TV, pikirnya. Kira bangkit dari tidur hingga selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh. Di saat itu Kira mendapati dirinya tengah mengenakan pakaian tidur berbahan satin warna navy. Kening Kira berkerut bingung. “Bukannya semalam aku ketiduran di ruang TV, ya?” gumam Kira sambil berusaha mengumpulkan kepingan memori malam tadi. Dan jelas-je
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t
“....Tapi jangan berharap lebih, Mas. Aku sudah kehabisan alasan untuk bertahan... selain ibuku.”Kata-kata yang diucapkan Kira membuat Kai tertegun. Tangan Kai mengepal. Rahangnya berkedut. Ada salah satu bagian dari dalam dirinya yang merasa sakit mendengar ucapan Kira.Kira pergi meninggalkan Kai yang membeku di tempatnya berdiri. Ia berjalan cepat menaiki tangga dengan perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang dada. Ia memang sudah kehabisan alasan untuk bersama Kai, selain karena ibunya yang butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit.Saat Kira akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangannya, hingga badan Kira berputar dan berakhir berhadapan dengan Kai.Pria itu menatap Kira dengan tatapan kusut. “Aku serius saat mengatakan akan memperbaiki semuanya, Kira,” ucap Kai dengan suara rendah. “Aku tidak bercanda.”Kira melihat ada keseriusan yang tergambar dalam sorot mata suami di atas kertasnya itu. Lalu Kira tersenyum kecut. “Bukannya aku sudah tanya bagaim
‘Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Kira.’Kai tidak bisa memejamkan matanya malam itu. Peringatan dari Julian sore tadi terus terngiang-ngiang di telinga.Sial!Kenapa dirinya harus merasa terancam dengan kehadiran sosok Julian?Apalagi setelah Julian mengatakan secara terang-terangan bahwa dia menyukai Kira.Kai duduk di tepian ranjang, tangannya mengepal kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa harus peduli pada hubungan Kira dan laki-laki itu? Padahal jika itu dulu, Kai mungkin tidak akan peduli sedikit pun pada apa yang dilakukan Kira.Lamunan Kai buyar tatkala ia mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Kai bertanya-tanya dalam hati.Dengan terpaksa Kai meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ia terdiam saat melihat nama Violet terpampang di layar.Saat itu juga, Kai mengusap wajahnya gusar. Benar. Seharusnya ia memperdulikan kekasihnya saja. Wanita yang lebih dulu ia cintai bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Kira berlangsung.Namun, en
“Apapun hubunganku dengan wanita itu, itu bukan urusanmu, Julian.” “Tapi Kira adalah urusanku!” “Aku suaminya!” “Suami?” Julian mendengus kasar. Ia maju satu langkah, mendekati Kai sambil menatapnya tajam. “Suami mana yang tega membiarkan istrinya melahirkan sendirian demi wanita lain, Kai?” Mata Kai kembali membulat mendengar kata-kata itu. Ucapan Julian bagai batu yang menghantam dadanya begitu kuat, mengingatkan Kai akan kesalahannya di masa lalu. Sementara itu, Kira yang sejak tadi tampak syok setelah mendengar Julian yang tahu mengenai pernikahannya dengan Kai, kini semakin terkejut dengan fakta yang diketahui Julian. Padahal Kira sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada Julian terkait hubungannya dengan Kai. Kira menatap Julian dengan tatapan penuh kebingungan. Julian menoleh ke arah Kira, lalu tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan nada tajamnya barusan. “Maaf, aku
“Kai? Sedang apa kamu di sini?” Julian maju mendekati Kai dengan satu alis terangkat.Kira masih membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menepati janjinya untuk kembali kepadanya.Kai lantas menatap Julian dengan tajam. “Aku ada urusan dengan Kira,” ujarnya, dingin, lalu menghampiri Kira dan meraih tangannya, yang membuat Kira terkejut dengan sikap Kai yang tiba-tiba itu.Kira menatap kedua lelaki itu bergantian. Seolah-olah ingin menyadarkan Kai bahwa saat ini mereka ada di hadapan Julian, dan Kai harus menjaga sikap jika tidak ingin Julian curiga.“Tu-Tuan, ada urusan apa?”Panggilan ‘tuan’ yang disematkan Kira membuat rahang Kai semakin mengeras. Kai menggenggam pergelangan tangan Kira dengan erat. “Kita bicara!”“Maaf, Tuan Kaisar.” Julian menahan tangan Kai yang menggenggam tangan Kira. Ia menatap Kai dengan sama tajamnya. “Hari ini Kira adalah pendampingku. Lagi pula… hari ini hari libur, kamu nggak berhak mengganggu Kira dengan urusan pekerjaan.
Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fokusnya terbagi antara jalanan di depannya, dan ponsel yang terus memanggil nomor telepon Kira. Akan tetapi, tidak ada satupun panggilannya yang Kira angkat. Ke mana wanita itu? Kai bertanya-tanya dalam hati. Ya, pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi, setelah memastikan Violet aman bersama Livia. Kai tidak bisa mengabaikan perasaannya, yang terus menerus gelisah karena teringat Kira. Mobil akhirnya berhenti di parkiran Dufan. Sementara itu ponselnya masih memanggil nomor telepon Kira. Namun, lagi-lagi panggilannya berakhir dengan sia-sia. Kini Kai berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kali ini ia menghubungi Ani, menanyakan apakah Kira sudah tiba di rumah atau belum? “Belum ada, Tuan. Non Kira belum pulang,” jawab Ani di seberang sana. Kai mengusap wajah dengan gusar. Ia menyesal karena tidak meminta orang suruhannya untuk mengikuti Kira hari ini. Sebab, tadinya Kai ber
‘Aku bisa tanpa kamu.’Kata-kata Kira yang diucapkan beberapa saat yang lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Kai.Kai tidak mengerti, entah mengapa kata-kata itu mampu menusuk jantungnya, membuat Kai tidak fokus mengemudi dan beberapa kali ia hampir menabrak mobil di hadapannya ketika berhenti di lampu merah.Kekecewaan yang tergambar di wajah Kira–yang sempat Kai lihat saat ia berbalik meninggalkannya, membuat dada Kai terasa sesak. Namun, Kai juga tidak bisa mengabaikan rasa khawatirnya pada Violet yang saat ini dilarikan ke UGD.Setibanya di rumah sakit beberapa saat kemudian, Kai langsung berlari menuju UGD sesuai lokasi yang disebutkan manajer Violet.Seorang wanita berambut pendek menghampiri Kai begitu Kai tiba. “Tuan? Mbak Violet lagi diperiksa oleh dokter,” ucap Livia–manajer Violet.“Apa yang terjadi? Kenapa bisa Violet kecelakaan waktu pemotretan?” tanya Kai dengan raut muka khawatir yang tak disembunyikan.“Violet jatuh dari tebing buatan di lokasi pemotretan outdoor, T
‘Kira, aku janji, aku akan datang menemuimu lagi. Jadi, tunggu aku di dalam, hm? Aku akan pergi sebentar saja. Tiketnya sudah aku kirimkan ke handphone kamu.’Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Kai sebelum pria itu pergi dari hadapan Kira.Kira tercenung. Ia masih membeku di tempatnya berdiri. Tanpa sadar, matanya menggenang dan memanas. Hatinya dirundung perasaan nyeri karena pria itu lebih memilih menemui kekasihnya ketimbang menemaninya masuk ke dalam tempat wisata itu.Pada akhirnya… tetap saja Violet yang menjadi prioritas utama Kai, dibanding Kira.Kira tersenyum kecut. Ia terlalu banyak berharap sehingga akhirnya merasa kecewa.Kira menarik napas dalam-dalam dan mendongakkan kepala sembari mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air mata yang mendesak keluar.Ia lantas memeriksa pesan dari Kai. Pria itu telah mengirimkan e-tiket ke nomor ponselnya. Kira mengunduh e-tiket tersebut dan kembali tercenung karena mel
Kai mengulum senyum sambil memainkan remote mobil di tangannya. Ia berdiri, bersandar pada pintu mobil, tatapannya lurus ke arah pintu rumah. Entah mengapa jantungnya kembali berdebar-debar saat menantikan Kira keluar dari dalam sana.Tak berapa lama, sosok yang ditunggu-tunggunya akhirnya keluar. Wanita itu mengenakan celana jeans dipadukan dengan kaos oversize warna hitam. Rambutnya dikuncir kuda dan mengenakan sling bag. Penampilannya persis seperti anak kuliahan. Kira tidak terlihat seperti seorang wanita yang sudah pernah melahirkan.“Sudah siap?” tanya Kai, “nggak ada yang tertinggal?”Kira menggelengkan kepalanya. “Nggak ada, Mas.”Kai mengangguk. Pria itu berdiri tegak saat Kira sudah berdiri di hadapannya. Lantas ditariknya ikatan rambut Kira hingga rambutnya tergerai panjang. Kira sempat terkejut dengan ulah Kai tersebut.“Bukannya sudah kubilang jangan mengikat rambutmu seperti ini?” omel Kai sambil berdecak lidah.“Mas, tapi gerah!” protes Kira.“Aku sudah menyiapkan ini u