“Kamu akan selalu ada di hati Mama, Nak. Mama sayang kamu,” lirih Kira sambil menaburkan bunga di atas tanah makam yang masih basah.
Kai benar-benar tidak datang.
Kira menghadiri pemakaman itu tanpa ditemani suaminya ataupun keluarga suaminya. Mereka semua seakan-akan tidak peduli pada penderitaan Kira. Seolah-olah Kira bukanlah bagian dari keluarga itu. Walaupun sejak awal Kira memang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga Milard—keluarga besar Kai.
“Mama nggak tahu apa yang harus Mama lakukan tanpa kamu sekarang,” lirih Kira lagi dengan tatapan kosong, air matanya telah mengering. Seluruh emosinya seakan telah tercerabut dari dalam dirinya. Ia merasa hampa, seperti seonggok daging tak bernyawa.
Kira duduk di atas tanah, memeluk batu nisan bayi yang ia beri nama ‘Aksa’. Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Namun Kira seakan tidak peduli. Ia tetap duduk di sana, membiarkan dirinya basah kuyup.
Saat hari mulai gelap, seseorang menghampiri Kira dan memayunginya.
“Non, ayo pulang. Hari sudah semakin sore,” ucap Ani, satu-satunya asisten rumah tangga Kai yang peduli terhadap Kira. Ia menatap iba pada kondisi Kira yang basah kuyup dan pucat pasi.
“Aku mau tetap di sini,” gumam Kira dengan tatapan kosong. “Aku mau menemani anakku. Dia pasti kesepian di dalam sana.”
Ani berjongkok di samping Kira dan memakaikannya jaket hangat. “Non, Aksa sudah di surga. Dia tidak akan kesepian. Saya yakin Aksa juga tidak ingin Non Kira seperti ini. Aksa pasti sedih melihat Non Kira menderita.”
Kata-kata Ani tersebut berhasil mengeluarkan Kira dari lamunan. Kira menoleh pada Ani dengan tatapan kosong dan bertanya, “Benarkah? Lalu dia ingin aku seperti apa? Aku nggak bisa bahagia tanpa dia.”
Ani tersenyum lembut dan membelai punggung Kira dengan perlahan. “Justru Aksa pasti ingin Non Kira bahagia. Non nggak mau di alam sana Aksa sedih lihat Non menderita, ‘kan?”
Dengan polosnya Kira mengangguk. “Aku nggak mau dia sedih.”
“Kalau begitu ayo pulang. Non Kira bisa sakit kalau terus menerus seperti ini.”
Setelah berpikir cukup lama, Kira akhirnya bangkit dan ikut pulang bersama Ani dengan langkah terseok-seok. Rasa sakit setelah proses persalinan kini semakin menjalari tubuhnya.
Setibanya di rumah Kai, Kira merasakan hatinya kembali berdenyut nyeri. Pria itu tidak pulang. Entah di mana Kai berada saat ini. Beberapa hari terakhir ini Kai memang jarang pulang ke rumah.
Malam itu, Kira tidak bisa tidur. Dadanya masih terasa penuh dan nyeri karena ASI yang terus mengalir meskipun bayinya telah tiada.
Kira berjalan menuju kamar mandi, menatap pantulan dirinya di cermin—wajah pucat, mata sembab, tubuh yang terasa begitu lemah.
Saat hendak kembali ke tempat tidur, suara notifikasi ponsel menarik perhatiannya. Sebuah pesan dari rumah sakit muncul di layar.
[Bu Kira, kalau Ibu merasa sakit dan mau donor ASI, kebetulan di RS kami ada beberapa bayi prematur yang butuh. Jika Ibu bersedia, kami akan sangat berterima kasih.]
Jari-jari Kira gemetar saat membaca pesan itu. Pikirannya melayang pada Aksa—anak yang tak sempat ia susui. Ia menekan dadanya, berusaha menahan perasaan pedih yang kembali menyergap.
Namun kemudian, Kira mengingat perkataan Ani di makam tadi.
“Aksa pasti ingin aku bahagia,” gumam Kira pada dirinya sendiri.
Setelah menarik napas panjang, Kira akhirnya membalas pesan tersebut. [Baik. Saya akan datang besok pagi.]
Keesokan harinya, Kira tiba di rumah sakit dengan mengenakan sweater longgar dan rambut yang diikat sederhana. Perawat menyambutnya dengan senyum lembut sebelum mengarahkannya ke ruang laktasi.
“Terima kasih banyak, Bu Kira. ASI Ibu sangat berarti bagi bayi-bayi ini,” ujar perawat dengan mata berkaca-kaca.
Kira hanya tersenyum lemah. Ia tahu, ini bukan hal mudah. Namun jika ia bisa membantu bayi lain bertahan hidup, maka setidaknya rasa kehilangan di hatinya tidak akan terlalu menyakitkan.
Selama beberapa hari ke depan, Kira rutin datang ke rumah sakit untuk mendonorkan ASI. Setiap kali melihat botol-botol kecil berisi ASI-nya dibawa ke ruang NICU, ia merasa seolah-olah Aksa masih hidup di dalam dirinya.
Sampai suatu hari, seorang ibu muda menghampirinya di koridor rumah sakit. Dengan mata penuh harapan, wanita itu bertanya, “Ibu Kira, Anda yang mendonorkan ASI untuk bayi saya, kan?”
Kira menoleh, sedikit terkejut. “Iya… saya.”
Wanita itu menahan tangis, lalu meraih tangan Kira. “Terima kasih… karena ASI Anda, bayi saya bisa bertahan. Dia lahir sangat kecil dan lemah, tapi sekarang kondisinya semakin membaik.”
Kira menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang kembali menyeruak. Untuk pertama kalinya setelah kehilangan Aksa, ia merasa ada arti baru dalam hidupnya.
Mungkin ia tidak bisa menyusui anaknya sendiri. Tapi setidaknya, ia bisa menjadi ibu bagi bayi lain—walau hanya dalam bentuk setetes ASI.
Kini, Kira membaringkan dirinya di tempat tidur. Ia baru saja akan memejamkan mata saat ponselnya berdering. Terpaksa ia bangkit untuk meraih ponsel di atas nakas. Betapa terkejutnya Kira saat ia mendapat panggilan telepon dari suaminya. Lelaki yang beberapa hari ini tidak pernah pulang ke rumah.
Dengan ragu Kira mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” sapa Kira.
“Kira, ke rumah sakit. Sekarang!”
Rumah sakit? Kira tidak bisa menahan rasa terkejutnya. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu sama kamu, Mas?” tanyanya.
“Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Datanglah ke rumah sakit. Aku tunggu.”
Panggilan berakhir begitu saja. Lalu tak lama ada pesan masuk dari Kai yang berisi alamat rumah sakit tempat pria itu berada saat ini.
Betapa terkejutnya Kira saat ia menyadari bahwa rumah sakit tempat Kai berada sekarang adalah tempat yang sama di mana Kira kehilangan Aksa.
Meski Kira berusaha untuk tidak peduli pada Kai, karena apa yang telah Kai lakukan selama ini membuatnya sakit hati, akan tetapi Kira tidak bisa mengabaikan rasa cemasnya. Ia khawatir ada sesuatu yang terjadi pada suaminya. Maka dari itu, saat itu juga Kira bergegas pergi ke rumah sakit tersebut.
Setibanya di rumah sakit, Kira menemui Kai yang saat itu berada di depan ruang NICU. Kira menghela napas lega ketika melihat suaminya baik-baik saja. Ia sempat berpikir bahwa suaminya itu kecelakaan.
“Mas, ada apa memanggilku ke sini malam-malam?” tanya Kira, yang membuat Kai membalikkan tubuh, menghadap Kira dengan ekspresi datar.
Kira ingin bertanya kenapa akhir-akhir ini Kai tidak pernah pulang ke rumah? Namun, Kira memilih untuk tidak menyuarakan pertanyaan itu. Kira sadar diri, ia tidak berhak ikut campur urusan suaminya.
“Kamu sudah melahirkan, dan anakmu meninggal dunia. Kamu pasti memiliki ASI yang nggak terpakai, bukan?” tanya Kai tanpa menunjukkan perasaan bersalah sedikit pun.
Hati Kira terasa seperti diremas-remas mendengarnya, ia juga bingung kenapa Kai bertanya demikian. Meski begitu, Kira tetap menjawab dengan tenang. “Benar. Kenapa kamu tanya begitu, Mas? Kamu sama sekali nggak merasa bersalah atau berduka atas kematian anakmu sendiri?”
Rahang Kai mengeras. Namun, alih-alih menanggapi ucapan Kira tersebut, Kai justru malah berkata, “Aku butuh ASI-mu.”
“Apa?”
“Jadilah ibu susu untuk anakku.”
Kira mematung. Sekujur tubuhnya mendadak terasa dingin. “Apa maksudmu, Mas?” tanya Kira memastikan. “Anak kamu? Mas ... anak kita sudah meninggal.”
Kai memutar tubuhnya, menghadap jendela besar yang menampilkan bayi-bayi di dalam inkubator. “Itu anakmu. Anakku ada di dalam sana. Dia bayi prematur dan butuh donor ASI.”
***
Bak disambar petir, Kira terkejut mendengarnya. Pengakuan Kai membuat Kira merasa ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Kira dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut nyeri seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. “Anakmu? Maksudmu, anakmu dengan... siapa?”“Anakku dengan kekasihku, Violet. Memang kamu pikir siapa lagi?”Dunia Kira hancur dalam sekejap. Hatinya luluh lantak berkeping-keping. Ia memang sudah tahu hubungan rahasia Kai dan Violet semenjak awal pernikahan mereka. Namun, Kira sama sekali tidak menyangka Kai memiliki anak dari wanita itu.Tangan Kira mengepal. Lututnya terasa lemas, tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang di hadapan Kai kala mengetahui fakta menyakitkan tersebut.Dengan bibir bergetar, Kira berkata, “Jadi... kamu ingin aku menyusui anak dari wanita simpananmu?”“Dia kekasihku. Bukan wanita simpananku,” timpal Kai dengan suara dingin.Kira mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. “A
“Sedang apa kamu di sini?” Suara dingin Kai menyentak Kira. Entah sejak kapan pria itu berdiri di dekat pintu.Kira berusaha untuk tidak tergagap-gagap saat menjawab, “Aku baru selesai memerah ASI untuk... anak kalian.” Ia merasakan hatinya berdenyut nyeri kala mengucapkan kata ‘anak kalian’. “Lalu aku lewat sini dan nggak sengaja melihat kamu.”“Kenapa?” Kai menjejalkan kedua tangannya ke saku celana. “Kamu ingin aku berterima kasih padamu karena sudah memberikan ASI untuk anakku?”Kata-kata Kai yang tidak berperasaan itu membuat Kira kembali mengepalkan tangan. “Tidak!” sergahnya tegas. “Aku nggak butuh ucapan terima kasih dari kamu ataupun dari wanitamu itu.”Kai mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu ia mengedikkan dagu seolah tengah mengusir Kira pergi. “Tunggu apa lagi? Mau sampai kapan kamu diam di sini?”Kira tahu Kai sedang mengusirnya. Ia juga tidak ingin berlama-lama berada di dekat Kai. Satu ruangan dengan lelaki itu membuat dadanya terasa sesak dan nyeri, seperti terhimp
“Jadi, kapan kamu akan menceraikan Kira?”Pertanyaan itu membuat Kai seketika menatap Violet dengan kening berkerut. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”Jemari Violet memilin ujung kemeja yang dikenakan Kai. “Kamu menikahi dia ‘kan karena Kakek Cakra dan karena dia hamil,” ujarnya mengingatkan. “Sekarang dia sudah melahirkan dan nggak ada anak yang mengikat kalian berdua. Selain itu, Kakek Cakra juga sudah meninggal, nggak ada lagi yang memaksa kamu mempertahankan pernikahan kalian.”Kai mengembuskan napas panjang. “Kita bahas itu lain kali. Aku sedang nggak mau membahasnya.”“Kenapa?” rengek Violet manja. “Kamu ‘kan tinggal menceraikan dia, Honey. Apa susahnya?”“Aku nggak bisa melakukannya sekarang,” ujar Kai, “bagaimanapun juga aku butuh ASI dia untuk anak kita.”Jawaban Kai membuat Violet merasa tidak puas. “Kan kita bisa memanfaatkan ASI dia walaupun dia bukan istri kamu lagi.”Lagi-lagi Kai mengembuskan napas panjang, pria itu mengurai pelukannya dari Violet dan menatap kekasihn
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Kira,” desis Kai dengan tatapan intens yang sulit sekali diartikan.Kira jengah. Ia akhirnya mendongak dan membalas tatapan Kai dengan datar. Namun, Kira menyesal telah melakukannya. Karena saat ia mendongak, wajahnya dan wajah Kai nyaris saja bertemu. Hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.Sejujurnya Kira enggan mengakui, tapi wajah suaminya itu memang tampan, membuat Kai digandrungi banyak wanita. Namun satu-satunya wanita paling beruntung yang bisa memiliki Kai hanyalah Violet.Mengingat hal itu, Kira seketika mengepalkan tangan, hatinya berdenyut nyeri ketika menyadari bahwa ia adalah wanita yang dibenci Kai.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menjauhkan dirinya dari Kai dengan berdiri. Ia memilih mengalah daripada berdebat dengan Kai yang tidak akan ada ujungnya. Kira merasa lelah. “Aku akan membuatkanmu sarapan, tapi tolong menjauh dariku.”Pada saat yang sama, ponsel Kai berdering. Pria itu mengembuskan n
Kira sudah siap pergi ke rumah sakit pagi itu untuk mengantarkan ASI bagi Luna. Ia memesan taksi online, karena sekali lagi Kira mengingat bahwa Kai tidak memfasilitasi mobil dan sopir untuknya semenjak mereka menikah. Dan Kira sama sekali tidak mengharapkan hal itu dari Kai.Kira keluar kamar sambil membawa cooler bag berisi ASIP. Ia memantau taksi yang sebentar lagi akan sampai.Saat Kira ke luar rumah, ia melihat Kai sedang duduk di bagian depan mobilnya. Pria itu sudah siap pergi ke kantor. Jas hitam memeluk tubuhnya begitu pas. Seolah-olah jas itu memang dibuat hanya untuk seorang Kaisar Antariksa Milard.Kira bertanya-tanya dalam hati, kenapa sampai jam segini Kai masih belum berangkat?Namun, Kira enggan menyuarakan pertanyaan itu.“Kenapa lama sekali?” tanya Kai tiba-tiba sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Kening Kira berkerut bingung. “Apanya yang lama?”Kai mengedikkan dagu ke arah Kira. “Kamu,” jawabnya, “aku sudah menunggumu dari tadi.”Ucapan Kai semakin
Kira menghela napas panjang, jemarinya terus mengelus dinding inkubator Luna. Ada banyak perasaan yang membuncah dalam dadanya, tapi ia tak tahu harus mengungkapkannya bagaimana.“Kamu tahu nggak? Aku pernah punya bayi juga. Namanya Aksa. Dia seharusnya lahir bersamamu, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya.”Dada Kira kembali terasa sesak. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh.“Tapi aku yakin, Aksa ada di tempat yang lebih baik sekarang.”Ia menatap wajah Luna yang begitu tenang di dalam sana. Kira sadar, bayi ini mungkin tidak akan pernah mengingat momen ini. Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan bayinya sendiri, Kira merasa… lebih baik.“Kamu harus tumbuh jadi anak yang kuat, ya,” bisiknya lagi. “Dan kalau nanti kamu besar, aku harap kamu selalu dikelilingi orang-orang yang mencintaimu.”Tanpa Kira sadari, Kai memperhatikan dan mendengar setiap ucapannya tak jauh di belakangnya. Kai menatap punggung Kira dengan tatapan sulit diartikan.Selesai mengajak
Kira membanting pintu mobil Kai, yang sayangnya tidak menimbulkan suara yang begitu berarti karena mewahnya mobil tersebut.Dengan hati perih Kira berjalan kaki dengan langkah cepat di trotoar jalan sambil menahan air matanya yang menggenang agar tidak tumpah.Setelah semua yang terjadi, kenapa Kai baru menanyakan hal itu sekarang? Kemana pria itu saat Kira berjuang sendirian melahirkan Aksa? Kemana Kai saat Kira memintanya untuk datang ke pemakaman?Dengan pandangan memburam, Kira memesan ojek online. Tak lama ojek yang ia pesan pun tiba. Kira merindukan Aksa, jadi saat itu ia pergi ke tempat di mana Aksa dimakamkan.Kini, Kira sudah berjongkok di samping kuburan putranya. Di sana ia menumpahkan air mata yang sejak tadi tertahan.“Maafin Mama, Nak, Mama nangis karena kangen Aksa,” lirih Kira di sela-sela isak tangisnya. “Aksa, apa kabar, Sayang? Mama di sini baik-baik saja, kok,” dustanya sambil mengusap batu nisan Aksa dengan tangan yang bergetar. “Kamu pasti ingin Mama bahagia, ‘ka
Pukul lima sore, Kira memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar komplek untuk menggerakkan badannya.Setelah pulang dari makam Aksa pagi tadi, Kira tidak banyak beraktifitas.Ia memang sudah berhenti bekerja dari minimarket saat kehamilannya sudah besar satu bulan yang lalu.Awalnya Kira berencana akan fokus mengurus Aksa setelah melahirkan, tapi siapa sangka takdir justru berkata lain.Kira menghela napas berat, setiap tarikan napasnya terasa begitu menyakitkan kala mengingat putranya yang malang itu.Kira melangkahkan kakinya sambil berusaha melapangkan dadanya atas takdir yang menimpa dirinya.Rumah Kai memang berada di kawasan komplek elit, sehingga tidak banyak—atau bahkan tidak ada orang yang berlalu lalang di jalanan yang sepi itu. Setiap rumah dipagari gerbang dan dinding yang tinggi. Jadi Kira leluasa berjalan kaki sendirian.Tiba-tiba sebuah mobil hitam melintas dari arah belakang, dan berhenti tak jauh di hadapan Kira.Kening Kira berkerut, ia merasa seperti mengenali mobil
Kai menatap Kira yang terjatuh di atas kasur dengan napas yang memburu, penuh emosi. Dadanya naik turun, berusaha menahan amarah yang sudah ada di ambang batas.Tatapan tajamnya menyusuri tubuh Kira yang masih dibalut dress satin berwarna peach, yang menampilkan lekuk tubuh indahnya dan bahunya yang polos.“Kamu pikir, aku tidak marah melihat kamu bersama laki-laki lain, berpakaian seperti itu dan tertawa bebas seolah-olah kamu tidak punya suami?!!” bentak Kai dengan mata yang menyala-nyala seperti bara, suaranya bergema di ruangan, membuat Kira berjengit dan jantungnya berdegup kencang.Kira menatap Kai dengan tatapan terluka. Ia tahu, sebagai seorang wanita yang sudah bersuami memang tidak pantas pergi bersama lelaki lain. Namun, ia tak mengerti kenapa Kai bisa sampai semurka ini? Padahal sejak awal, Kai-lah yang menetapkan jarak di antara mereka.“Lalu kamu pikir, aku nggak marah melihat kamu dan Violet berhubungan selama ini?!” tukas Kira dengan tajam sambil mundur, menghindari Ka
“Maaf ya, gara-gara aku… kita jadi pulang lebih cepat,” ucap Kira penuh sesal pada Julian.Julian yang tengah menyetir pun menoleh, tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa. Lagian aku juga nggak terlalu betah berlama-lama di acara seperti itu.”Kira tersenyum kecil, lalu menghela napas berat. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia tidak enak pada Julian, tapi di sisi lain ia lega bisa pulang lebih awal demi menghindari Kai dan Violet, yang mungkin saat ini masih menikmati acara.Suasana di antara mereka terasa hening sesaat. Julian sesekali menoleh ke arah Kira yang menjadi pendiam.Sekarang, Julian bisa mengambil kesimpulan bahwa Kai dan Kira memang pasangan suami istri, tapi tampaknya hubungan mereka tidak baik. Di belakang Kira, Kai memiliki hubungan gelap dengan wanita bernama Violet tadi.‘Kamu juga punya hubungan dengan wanita lain selama ini, lalu kenapa aku tidak boleh?’‘Sudahlah, Mas. Jangan begini. Kita lagi ada di tempat umum, gimana kalau ada yang lihat? Bukannya kamu sen
Kira terhenyak.Ia menghentikan langkahnya, lalu ia mendongakkan wajah. Seorang pria bertubuh jangkung berdiri menjulang di hadapannya, menatap Kira dengan tatapan tajam. Rahang pria itu mengeras.“Akh!” pekik Kira dengan pelan saat Kai tiba-tiba menarik tangannya, lalu membawanya ke tempat yang lebih sepi. “Apa yang kamu lakukan, Mas?!” protesnya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Kai.Namun cekalan tangan pria itu begitu kuat. Hingga akhirnya, Kai melepaskan tangan Kira dan memenjarakan Kira di dinding.Dengan sekuat tenaga, Kai menaruh satu telapak tangannya di dinding, tepat di samping kepala Kira, membuat Kira sempat tersentak kaget.“Jadi, ini urusan kamu malam ini?” bisik Kai sambil mencapit dagu Kira dengan jemarinya, hingga wajah Kira mendongak. Kai menundukkan wajahnya ke wajah Kira. “Menjadi pendamping laki-laki lain dengan berpenampilan seperti ini?” Kai menatap tajam mata Kira, lalu tatapan tajamnya turun ke lekuk bahu Kira yang terbuka, membuat rahangnya
Pria yang mengenakan tuksedo hitam itu berjalan dengan penuh percaya diri dan berkharisma. Setiap wanita yang melihatnya akan kembali menoleh untuk yang kedua kali dan terpana.Namun, ia tidak sendirian. Ia datang bersama sang kekasih yang menemaninya sore ini.“Honey, aku nggak suka banyak cewek yang tertarik sama kamu,” gerutu Violet yang menggandeng lengan Kai di sampingnya. Namun, bibir merahnya tetap menyunggingkan senyuman dengan manis.“Jangan cemburu,” timpal Kai sambil menatap ke depan lurus-lurus. “Wanita yang memilikiku cuma kamu.”Terang saja ucapan itu membuat mata Violet berbinar-binar. Mereka baru saja memasuki ballroom dan sudah disambut oleh sapaan dari klien yang mengenali Kai. Acara sore itu termasuk acara privat, sehingga mereka bebas dari wartawan. Dan yang datang hanyalah orang-orang penting.Setelah orang yang menyapanya pergi, Kai pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ballroom, mencari keberadaan sang pemilik acara.Namun, tatapan Kai justru berakhir pada seo
[Kira, jangan lupa sore ini jam 5 aku jemput.]Kira membaca pesan yang dikirimkan Julian lima menit yang lalu. Ia tersenyum kecil.Pandangan Kira lalu bergeser ke arah kotak berbentuk persegi panjang dan paper bag yang tergeletak di atas kasur. Kotak itu berisi gaun berwarna peach, sementara paper bag berisi high heels. Keduanya pemberian Julian–yang dikirimkan ke kantor dua hari yang lalu.Kira menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Apakah ia harus mengenakan pakaian pemberian Julian tersebut atau tidak?Namun jika tidak, Kira tidak punya pilihan gaun lain, selain gaun yang pernah ia gunakan waktu acara makan malam di rumah keluarga Kai tempo hari. Akan tetapi ia tidak mungkin mengenakan pakaian yang sama dua kali ke pesta.Setelah berpikir cukup lama, Kira akhirnya memutuskan untuk menggunakan pakaian pemberian Julian, sebagai bentuk penghargaan darinya.Pukul tiga sore, Kira mulai bersiap-siap mandi, lalu mengenakan gaun berwarna peach tersebut. Kira mematut dirinya di cermin, dan i
Keesokan paginya, Kira berangkat pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin satu mobil dengan Kai setelah pertengkaran mereka tadi malam.Namun, saat Kira tiba di luar rumah, ia terkejut kala mendapati Kai tengah berdiri bersandar pada pintu mobil yang terparkir di halaman. Pria itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Sudah kuduga, kamu akan berangkat pagi-pagi sekali,” komentar Kai sembari melirik arloji.Kira mendengus dan membuang muka. Ia pikir, Kai masih tidur sebab saat ini belum genap pukul enam. Namun ternyata ia kecele. Pria itu justru sudah siap pergi lebih dulu ketimbang dirinya.Tanpa banyak bicara, Kira berjalan melewati Kai, hendak pergi. Namun, Kai berhasil meraih tangan Kira dan menahannya.“Mau ke mana kamu?” tanya Kai dengan santai, seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka malam tadi.Kira menarik tangannya dari genggaman Kai. Ia menatap pria itu dengan datar. “Aku mau pergi ke kantor, sendiri,” jawabny
Kira baru selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Dari suara mesinnya yang halus, Kira bisa menebak kalau itu adalah mobil Kai. Namun, kenapa pria itu sudah pulang jam segini? Bukankah tadi Kai bilang akan lembur?Kira mengenyahkan rasa penasarannya. Ia memilih pakaian kasual yang busui friendly dari lemari, setelah makan malam nanti rencananya ia akan pergi menemui Luna.Sesaat setelah Kira mengenakan pakaiannya dan menyisir rambut, ia pun turun ke lantai bawah untuk makan malam.Begitu tiba di anak tangga terbawah, ia melihat Kai sedang berjalan menghampirinya dengan raut muka tak ramah. Tatapan pria itu begitu tajam, menatap Kira tanpa mengalihkan tatapannya ke arah lain sedetik pun.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Kira basa-basi. “Nggak jadi lemburnya, ya?”“Kamu pulang dengan siapa tadi?” tanya Kai tiba-tiba dengan suara dingin, tanpa menghiraukan per
Kira tersenyum kecil saat melihat Julian berdiri dari sofa dan menghampirinya. Julian memandang ke sekeliling Kira.“Kamu sendirian?” tanya Julian saat Kira sudah berdiri di hadapannya.Kira mengangguk. “Iya, sendirian. Kenapa?”“Aku pikir kamu pulang bareng bos kamu.” Julian tersenyum kecil.Kira terdiam sejenak, lalu terkekeh dan menggeleng. “Nggak, lah. Dia ada lembur.”Keduanya berjalan keluar dari lobi dan menuju parkiran. Julian membukakan pintu mobil untuk Kira, lalu ia menutup pintu saat Kira sudah masuk. Dan berjalan memutari bagian depan mobilnya.“Dengar, ya, aku nggak mau geer, tapi aku penasaran, kamu sengaja datang ke sini untuk jemput aku?” tanya Kira dengan nada bercanda saat Julian sudah melajukan kendaraannya.“Kamu pikir, aku ke sana untuk menjemput orang lain?” Julian balas bertanya sambil tersenyum kecil.Meski sudah tahu bahwa Kira sudah menikah dengan Kaisar, tapi entah mengapa Julian pena
Kira kembali ke ruangannya setelah selesai makan siang di kantin. Ia melihat Lia sudah ada di ruangannya, maka itu berarti Kai juga sudah ada di dalam sana, pikir Kira.Kira baru akan mulai fokus pada pekerjaannya saat Lia tiba-tiba datang menghampiri.“Kamu dari mana?” tanya Lia sambil duduk di kursi depan meja Kira.“Habis makan siang, Mbak, di kantin.” Kira tersenyum kecil sembari menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.“Yaah… padahal tadi Tuan Kaisar bawa makan siang buat kamu, lho!”Mendengarnya, Kira merasa terkejut. “Bawa makan siang buat aku?” Kira tersenyum masam. “Masa, sih? Kayaknya nggak mungkin deh.”“Eh, serius! Tadi dia masuk ke sini sambil bawa makanan buat kamu, kamunya nggak ada, dia sampai nyari kamu, tahu?”Kira melihat ke sekeliling ruangannya. Namun ia tidak menemukan makanan yang dikatakan Lia di sudut manapun. Kira kembali tersenyum dan berkata, “Gimana pertemuan dengan Pak Julian? Lancar?” tanyanya untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.Lia ter