Kai melangkah lebar-lebar di lorong rumah sakit. Ia menuju ruang NICU dan menghampiri inkubator Luna. Mata elangnya meredup, menatap lembut bayi mungil itu dengan tatapan penuh kasih.Tangan Kai terulur, menyentuh celah kecil di dinding inkubator itu sambil berbisik pada bayi yang tengah memejamkan matanya, “Halo, Cantik. Daddy datang lagi. Tidur kamu nyenyak sekali.”Kai tersenyum kecil, ia berharap bisa secepatnya menggendong Luna. Namun ia harus menahan diri karena Luna belum saatnya keluar dari inkubator.Setelah cukup lama memandangi putrinya dari sang kekasih itu, Kai pun keluar dari NICU dan secara kebetulan berpapasan dengan Dokter Ratna sesaat setelah Kai menutup pintu.“Selamat sore, Pak Kaisar,” sapa sang dokter.Baik dokter maupun perawat di NICU sudah tahu bahwa Kaisar adalah ayahnya Luna.“Selamat sore, Dok. Bagaimana kondisi Luna?” tanya Kai tanpa basa-basi.Dokter Ratna tersenyum. “Perkembangan Luna sudah cukup baik, beberapa hari terakhir ini berat badan Luna sudah be
“Berikan barang itu padaku.”Kira terhenyak. Namun, dengan cepat ia menggeleng. “Kenapa aku harus memberikan barang-barang anakku ke kamu, Mas?”Kai berdehem pelan sambil mengusap tengkuknya. Tatapannya yang semula tajam seketika menjadi sulit diartikan.“Biar aku yang memberikannya ke panti asuhan. Kamu nggak perlu pergi,” ucap Kai, membuat Kira ternganga.“Untuk apa kamu peduli padaku?” Kira kembali menggeleng cepat. “Nggak. Aku nggak akan menyerahkan barang-barang anakku ke kamu begitu aja.”Kira tidak mempercayai Kai, bisa saja Kai membuang barang-barang ini di jalan karena saking bencinya Kai pada Aksa, bukan?Kai melangkah maju, mendekati Kira, hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Kai menunduk menatap Kira saat berkata, “Aku suamimu, Kira. Jadi nggak ada alasan untuk membantah ucapanku!”“Suami kamu bilang?” Kira membuang muka
“Tugasmu belum selesai, Kira!” “Apa lagi sekarang?” “Lepas pakaianku!” Lagi-lagi Kira terperangah mendengar permintaan aneh dari pria kejam—yang sayangnya tampan itu. Hari ini Kai kembali berubah aneh, seperti bukan Kai yang selama ini Kira kenal. Hati Kira ingin menolak permintaan Kai, tapi ia teringat dengan ancaman lelaki itu. Alhasil, Kira melangkah mendekati Kai dan membantu melepaskan kancing kemeja hitamnya satu persatu dari deretan teratas. Jarak mereka yang terlalu dekat membuat Kira bisa merasakan napas hangat Kai menerpa wajahnya. Kalau Kira tidak salah ingat, ini adalah pertemuan terlama mereka semenjak menikah. Sebab biasanya Kai jarang mengajak ngobrol Kira, Kai selalu mengabaikan Kira dan menganggap Kira tidak ada di rumah ini. “Minggu ini ada acara makan malam di rumah orang tuaku,” ucap Kai tiba-tiba. Kira tidak tahu harus memberi respons seperti apa, sebab ia pikir Kai hanya memberitahunya saja. Dan selama ini pula Kira tidak pernah diajak ke pertemuan k
Kai nyaris tidak pernah menatap wajah Kira lebih dari lima detik sebelumnya. Setiap tatapan yang Kai layangkan pada wanita itu adalah tatapan penuh kebencian. Namun, malam ini, Kai dengan leluasa memandangi wajah Kira yang sedang terlelap tidur dengan napas teratur. Wajah Kira terlalu polos untuk Kai tatap dengan benci. Kai merasakan ada sensasi aneh di dadanya kala menatap Kira, dan... ia terpana. Kai tidak bisa membohongi dirinya lagi bahwa Kira sebenarnya memiliki wajah yang cantik meski tanpa riasan. “Sial! Apa yang aku pikirkan?” desis Kai pada dirinya sendiri dengan suara nyaris tak terdengar. Ia berusaha menepis pikirannya yang menganggap bahwa Kira itu cantik. Namun, alih-alih mengalihkan pandangannya ke arah lain, mata Kai justru terus tertuju pada wajah Kira. Hingga bunyi dentingan ponsel mengejutkan Kai, mengeluarkan Kai dari keterpakuannya. Kai mengalihkan tatapannya dari wajah Kira ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada pesan masuk ke ponsel Kira. Dan se
Kai seakan-akan tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Kira. Meski ia enggan mengakui, tapi gaun itu sangat cocok di tubuh wanita itu.Kai mengalihkan pandangannya dengan cepat, berusaha menyembunyikan keterpakuannya. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya terpesona oleh Kira—wanita yang selama ini hanya ia pandang dengan penuh kebencian.“Kita bayar dan pergi,” ucapnya singkat, berusaha menjaga nadanya tetap datar.Kira mengangguk tanpa ekspresi, kembali ke ruang ganti untuk berganti pakaian.Di saat Kira sedang mengganti pakaiannya, Kai membayar di kasir. Tepat setelah ia menerima struk pembayaran, ponselnya berdering. Ia merogoh saku jas dan mengerutkan kening kala mendapati nama sang kekasih di layar.“Halo, Sayang? Ada apa meneleponku?” tanya Kai sambil berlalu meninggalkan kasir.“Honey, aku sakit. Bisa tolong datang ke sini sekarang juga? Aku butuh kamu.” S
Pukul sembilan malam, tapi Kai tak kunjung pulang. Kira tidak ingin peduli pada apa yang dilakukan Kai saat ini. Sebab ia tahu Kai sedang berada di rumah kekasihnya. Dan Kira yakin sekali, malam ini pria itu akan menginap di sana. Namun, ada satu bagian dari diri Kira yang merasa kecewa dan marah. Andai ia tidak butuh Kai untuk membantu biaya pengobatan ibunya, mungkin saat ini Kira sudah pergi dari kehidupan pria itu. Kini, Kira tidak bisa memejamkan matanya. Ada banyak hal yang ia pikirkan. Tentang bagaimana ia harus bersikap nanti di acara keluarga Kai, Kira yakin orang tua dan saudara-saudara Kai tidak akan menerimanya begitu saja.Dan Kira juga memikirkan putranya, ia rindu pada Aksa, rindu pada bayi yang selama hampir sembilan bulan menemaninya dalam kandungannya. Karena merasa dadanya penuh dan nyeri, Kira pun memompa ASI-nya. Ia menaruh beberapa kantong ASI perah di freezer. ASI-ny
“Aku akan tidur di sini!”“A-apa?” Kira ternganga mendengarnya. Matanya menatap Kai dengan tatapan tak percaya. Apa ia tidak salah dengar? Kai ingin tidur di kamarnya?Kai mengembuskan napas pelan. “Aku bilang, aku akan tidur di sini.” Kali ini suara Kai terdengar lebih rendah.“Kenapa?” tanya Kira datar. “Kenapa kamu ingin tidur di kamarku, Mas?”Kai berdehem dan mengusap tengkuk, seperti tengah kebingungan mencari alasan. “AC di kamarku rusak,” dustanya secara spontan.“Kamu bisa tidur di kamar lain, Mas,” timpal Kira, “kamar di rumah ini bukan cuma kamar aku aja. Masih ada kamar tamu.”Kira hendak menutup pintu, tapi Kai segera menahannya dengan satu tangan. “Kamu istriku! Aku berhak tidur di kamar istriku sendiri!”Lagi-lagi Kira ternganga. Istriku dia bilang?Kira mendengus pelan. “Setelah apa yang kamu lakukan padaku selama ini, kamu baru mengakui kalau aku istrimu, Mas?” Kira tersenyum getir, menggeleng. “Maaf, Mas. Tapi alasan kamu nggak membuat hati aku terketuk. Kamu bisa ti
“Aksa... Aksa...,” igau Kira yang diiringi isak tangis.Kai terhenyak. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel Kira—yang sudah lama ia pandangi dengan dada sesak, ke arah Kira yang tengah mengigau sambil menangis.Kai tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya terpaku sambil memandangi Kira dengan tatapan yang sulit ditebak.“Mama kangen Aksa...,” igau Kira lagi, air matanya menetes membasahi pelipis.Tangan Kai terulur, hendak mengusap air mata Kira. Namun, sedetik kemudian Kai menarik kembali tangannya dan menaruh ponsel Kira di atas nakas.Tidak. Ini tidak benar, pikir Kai. Ia tidak boleh terenyuh oleh wanita yang selama ini ia benci itu.Cepat-cepat Kai mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana, lalu memotret foto Aksa yang terpampang di layar ponsel Kira.Merasa kepentingannya sudah selesai di kamar ini, Kai pun berdiri dan hendak pergi.“Aksa....” Tangisan Kira semakin terdengar menyayat hati, membuat Kai akhirnya urung untuk pergi.Sial. Kai tidak ingin melakukan in
Kai menatap Kira yang terjatuh di atas kasur dengan napas yang memburu, penuh emosi. Dadanya naik turun, berusaha menahan amarah yang sudah ada di ambang batas.Tatapan tajamnya menyusuri tubuh Kira yang masih dibalut dress satin berwarna peach, yang menampilkan lekuk tubuh indahnya dan bahunya yang polos.“Kamu pikir, aku tidak marah melihat kamu bersama laki-laki lain, berpakaian seperti itu dan tertawa bebas seolah-olah kamu tidak punya suami?!!” bentak Kai dengan mata yang menyala-nyala seperti bara, suaranya bergema di ruangan, membuat Kira berjengit dan jantungnya berdegup kencang.Kira menatap Kai dengan tatapan terluka. Ia tahu, sebagai seorang wanita yang sudah bersuami memang tidak pantas pergi bersama lelaki lain. Namun, ia tak mengerti kenapa Kai bisa sampai semurka ini? Padahal sejak awal, Kai-lah yang menetapkan jarak di antara mereka.“Lalu kamu pikir, aku nggak marah melihat kamu dan Violet berhubungan selama ini?!” tukas Kira dengan tajam sambil mundur, menghindari Ka
“Maaf ya, gara-gara aku… kita jadi pulang lebih cepat,” ucap Kira penuh sesal pada Julian.Julian yang tengah menyetir pun menoleh, tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa. Lagian aku juga nggak terlalu betah berlama-lama di acara seperti itu.”Kira tersenyum kecil, lalu menghela napas berat. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia tidak enak pada Julian, tapi di sisi lain ia lega bisa pulang lebih awal demi menghindari Kai dan Violet, yang mungkin saat ini masih menikmati acara.Suasana di antara mereka terasa hening sesaat. Julian sesekali menoleh ke arah Kira yang menjadi pendiam.Sekarang, Julian bisa mengambil kesimpulan bahwa Kai dan Kira memang pasangan suami istri, tapi tampaknya hubungan mereka tidak baik. Di belakang Kira, Kai memiliki hubungan gelap dengan wanita bernama Violet tadi.‘Kamu juga punya hubungan dengan wanita lain selama ini, lalu kenapa aku tidak boleh?’‘Sudahlah, Mas. Jangan begini. Kita lagi ada di tempat umum, gimana kalau ada yang lihat? Bukannya kamu sen
Kira terhenyak.Ia menghentikan langkahnya, lalu ia mendongakkan wajah. Seorang pria bertubuh jangkung berdiri menjulang di hadapannya, menatap Kira dengan tatapan tajam. Rahang pria itu mengeras.“Akh!” pekik Kira dengan pelan saat Kai tiba-tiba menarik tangannya, lalu membawanya ke tempat yang lebih sepi. “Apa yang kamu lakukan, Mas?!” protesnya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Kai.Namun cekalan tangan pria itu begitu kuat. Hingga akhirnya, Kai melepaskan tangan Kira dan memenjarakan Kira di dinding.Dengan sekuat tenaga, Kai menaruh satu telapak tangannya di dinding, tepat di samping kepala Kira, membuat Kira sempat tersentak kaget.“Jadi, ini urusan kamu malam ini?” bisik Kai sambil mencapit dagu Kira dengan jemarinya, hingga wajah Kira mendongak. Kai menundukkan wajahnya ke wajah Kira. “Menjadi pendamping laki-laki lain dengan berpenampilan seperti ini?” Kai menatap tajam mata Kira, lalu tatapan tajamnya turun ke lekuk bahu Kira yang terbuka, membuat rahangnya
Pria yang mengenakan tuksedo hitam itu berjalan dengan penuh percaya diri dan berkharisma. Setiap wanita yang melihatnya akan kembali menoleh untuk yang kedua kali dan terpana.Namun, ia tidak sendirian. Ia datang bersama sang kekasih yang menemaninya sore ini.“Honey, aku nggak suka banyak cewek yang tertarik sama kamu,” gerutu Violet yang menggandeng lengan Kai di sampingnya. Namun, bibir merahnya tetap menyunggingkan senyuman dengan manis.“Jangan cemburu,” timpal Kai sambil menatap ke depan lurus-lurus. “Wanita yang memilikiku cuma kamu.”Terang saja ucapan itu membuat mata Violet berbinar-binar. Mereka baru saja memasuki ballroom dan sudah disambut oleh sapaan dari klien yang mengenali Kai. Acara sore itu termasuk acara privat, sehingga mereka bebas dari wartawan. Dan yang datang hanyalah orang-orang penting.Setelah orang yang menyapanya pergi, Kai pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ballroom, mencari keberadaan sang pemilik acara.Namun, tatapan Kai justru berakhir pada seo
[Kira, jangan lupa sore ini jam 5 aku jemput.]Kira membaca pesan yang dikirimkan Julian lima menit yang lalu. Ia tersenyum kecil.Pandangan Kira lalu bergeser ke arah kotak berbentuk persegi panjang dan paper bag yang tergeletak di atas kasur. Kotak itu berisi gaun berwarna peach, sementara paper bag berisi high heels. Keduanya pemberian Julian–yang dikirimkan ke kantor dua hari yang lalu.Kira menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Apakah ia harus mengenakan pakaian pemberian Julian tersebut atau tidak?Namun jika tidak, Kira tidak punya pilihan gaun lain, selain gaun yang pernah ia gunakan waktu acara makan malam di rumah keluarga Kai tempo hari. Akan tetapi ia tidak mungkin mengenakan pakaian yang sama dua kali ke pesta.Setelah berpikir cukup lama, Kira akhirnya memutuskan untuk menggunakan pakaian pemberian Julian, sebagai bentuk penghargaan darinya.Pukul tiga sore, Kira mulai bersiap-siap mandi, lalu mengenakan gaun berwarna peach tersebut. Kira mematut dirinya di cermin, dan i
Keesokan paginya, Kira berangkat pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin satu mobil dengan Kai setelah pertengkaran mereka tadi malam.Namun, saat Kira tiba di luar rumah, ia terkejut kala mendapati Kai tengah berdiri bersandar pada pintu mobil yang terparkir di halaman. Pria itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Sudah kuduga, kamu akan berangkat pagi-pagi sekali,” komentar Kai sembari melirik arloji.Kira mendengus dan membuang muka. Ia pikir, Kai masih tidur sebab saat ini belum genap pukul enam. Namun ternyata ia kecele. Pria itu justru sudah siap pergi lebih dulu ketimbang dirinya.Tanpa banyak bicara, Kira berjalan melewati Kai, hendak pergi. Namun, Kai berhasil meraih tangan Kira dan menahannya.“Mau ke mana kamu?” tanya Kai dengan santai, seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka malam tadi.Kira menarik tangannya dari genggaman Kai. Ia menatap pria itu dengan datar. “Aku mau pergi ke kantor, sendiri,” jawabny
Kira baru selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Dari suara mesinnya yang halus, Kira bisa menebak kalau itu adalah mobil Kai. Namun, kenapa pria itu sudah pulang jam segini? Bukankah tadi Kai bilang akan lembur?Kira mengenyahkan rasa penasarannya. Ia memilih pakaian kasual yang busui friendly dari lemari, setelah makan malam nanti rencananya ia akan pergi menemui Luna.Sesaat setelah Kira mengenakan pakaiannya dan menyisir rambut, ia pun turun ke lantai bawah untuk makan malam.Begitu tiba di anak tangga terbawah, ia melihat Kai sedang berjalan menghampirinya dengan raut muka tak ramah. Tatapan pria itu begitu tajam, menatap Kira tanpa mengalihkan tatapannya ke arah lain sedetik pun.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Kira basa-basi. “Nggak jadi lemburnya, ya?”“Kamu pulang dengan siapa tadi?” tanya Kai tiba-tiba dengan suara dingin, tanpa menghiraukan per
Kira tersenyum kecil saat melihat Julian berdiri dari sofa dan menghampirinya. Julian memandang ke sekeliling Kira.“Kamu sendirian?” tanya Julian saat Kira sudah berdiri di hadapannya.Kira mengangguk. “Iya, sendirian. Kenapa?”“Aku pikir kamu pulang bareng bos kamu.” Julian tersenyum kecil.Kira terdiam sejenak, lalu terkekeh dan menggeleng. “Nggak, lah. Dia ada lembur.”Keduanya berjalan keluar dari lobi dan menuju parkiran. Julian membukakan pintu mobil untuk Kira, lalu ia menutup pintu saat Kira sudah masuk. Dan berjalan memutari bagian depan mobilnya.“Dengar, ya, aku nggak mau geer, tapi aku penasaran, kamu sengaja datang ke sini untuk jemput aku?” tanya Kira dengan nada bercanda saat Julian sudah melajukan kendaraannya.“Kamu pikir, aku ke sana untuk menjemput orang lain?” Julian balas bertanya sambil tersenyum kecil.Meski sudah tahu bahwa Kira sudah menikah dengan Kaisar, tapi entah mengapa Julian pena
Kira kembali ke ruangannya setelah selesai makan siang di kantin. Ia melihat Lia sudah ada di ruangannya, maka itu berarti Kai juga sudah ada di dalam sana, pikir Kira.Kira baru akan mulai fokus pada pekerjaannya saat Lia tiba-tiba datang menghampiri.“Kamu dari mana?” tanya Lia sambil duduk di kursi depan meja Kira.“Habis makan siang, Mbak, di kantin.” Kira tersenyum kecil sembari menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.“Yaah… padahal tadi Tuan Kaisar bawa makan siang buat kamu, lho!”Mendengarnya, Kira merasa terkejut. “Bawa makan siang buat aku?” Kira tersenyum masam. “Masa, sih? Kayaknya nggak mungkin deh.”“Eh, serius! Tadi dia masuk ke sini sambil bawa makanan buat kamu, kamunya nggak ada, dia sampai nyari kamu, tahu?”Kira melihat ke sekeliling ruangannya. Namun ia tidak menemukan makanan yang dikatakan Lia di sudut manapun. Kira kembali tersenyum dan berkata, “Gimana pertemuan dengan Pak Julian? Lancar?” tanyanya untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.Lia ter