Kai nyaris tidak pernah menatap wajah Kira lebih dari lima detik sebelumnya. Setiap tatapan yang Kai layangkan pada wanita itu adalah tatapan penuh kebencian. Namun, malam ini, Kai dengan leluasa memandangi wajah Kira yang sedang terlelap tidur dengan napas teratur. Wajah Kira terlalu polos untuk Kai tatap dengan benci. Kai merasakan ada sensasi aneh di dadanya kala menatap Kira, dan... ia terpana. Kai tidak bisa membohongi dirinya lagi bahwa Kira sebenarnya memiliki wajah yang cantik meski tanpa riasan. “Sial! Apa yang aku pikirkan?” desis Kai pada dirinya sendiri dengan suara nyaris tak terdengar. Ia berusaha menepis pikirannya yang menganggap bahwa Kira itu cantik. Namun, alih-alih mengalihkan pandangannya ke arah lain, mata Kai justru terus tertuju pada wajah Kira. Hingga bunyi dentingan ponsel mengejutkan Kai, mengeluarkan Kai dari keterpakuannya. Kai mengalihkan tatapannya dari wajah Kira ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada pesan masuk ke ponsel Kira. Dan se
Kai seakan-akan tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Kira. Meski ia enggan mengakui, tapi gaun itu sangat cocok di tubuh wanita itu.Kai mengalihkan pandangannya dengan cepat, berusaha menyembunyikan keterpakuannya. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya terpesona oleh Kira—wanita yang selama ini hanya ia pandang dengan penuh kebencian.“Kita bayar dan pergi,” ucapnya singkat, berusaha menjaga nadanya tetap datar.Kira mengangguk tanpa ekspresi, kembali ke ruang ganti untuk berganti pakaian.Di saat Kira sedang mengganti pakaiannya, Kai membayar di kasir. Tepat setelah ia menerima struk pembayaran, ponselnya berdering. Ia merogoh saku jas dan mengerutkan kening kala mendapati nama sang kekasih di layar.“Halo, Sayang? Ada apa meneleponku?” tanya Kai sambil berlalu meninggalkan kasir.“Honey, aku sakit. Bisa tolong datang ke sini sekarang juga? Aku butuh kamu.” S
Pukul sembilan malam, tapi Kai tak kunjung pulang. Kira tidak ingin peduli pada apa yang dilakukan Kai saat ini. Sebab ia tahu Kai sedang berada di rumah kekasihnya. Dan Kira yakin sekali, malam ini pria itu akan menginap di sana. Namun, ada satu bagian dari diri Kira yang merasa kecewa dan marah. Andai ia tidak butuh Kai untuk membantu biaya pengobatan ibunya, mungkin saat ini Kira sudah pergi dari kehidupan pria itu. Kini, Kira tidak bisa memejamkan matanya. Ada banyak hal yang ia pikirkan. Tentang bagaimana ia harus bersikap nanti di acara keluarga Kai, Kira yakin orang tua dan saudara-saudara Kai tidak akan menerimanya begitu saja.Dan Kira juga memikirkan putranya, ia rindu pada Aksa, rindu pada bayi yang selama hampir sembilan bulan menemaninya dalam kandungannya. Karena merasa dadanya penuh dan nyeri, Kira pun memompa ASI-nya. Ia menaruh beberapa kantong ASI perah di freezer. ASI-ny
“Aku akan tidur di sini!”“A-apa?” Kira ternganga mendengarnya. Matanya menatap Kai dengan tatapan tak percaya. Apa ia tidak salah dengar? Kai ingin tidur di kamarnya?Kai mengembuskan napas pelan. “Aku bilang, aku akan tidur di sini.” Kali ini suara Kai terdengar lebih rendah.“Kenapa?” tanya Kira datar. “Kenapa kamu ingin tidur di kamarku, Mas?”Kai berdehem dan mengusap tengkuk, seperti tengah kebingungan mencari alasan. “AC di kamarku rusak,” dustanya secara spontan.“Kamu bisa tidur di kamar lain, Mas,” timpal Kira, “kamar di rumah ini bukan cuma kamar aku aja. Masih ada kamar tamu.”Kira hendak menutup pintu, tapi Kai segera menahannya dengan satu tangan. “Kamu istriku! Aku berhak tidur di kamar istriku sendiri!”Lagi-lagi Kira ternganga. Istriku dia bilang?Kira mendengus pelan. “Setelah apa yang kamu lakukan padaku selama ini, kamu baru mengakui kalau aku istrimu, Mas?” Kira tersenyum getir, menggeleng. “Maaf, Mas. Tapi alasan kamu nggak membuat hati aku terketuk. Kamu bisa ti
“Aksa... Aksa...,” igau Kira yang diiringi isak tangis.Kai terhenyak. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel Kira—yang sudah lama ia pandangi dengan dada sesak, ke arah Kira yang tengah mengigau sambil menangis.Kai tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya terpaku sambil memandangi Kira dengan tatapan yang sulit ditebak.“Mama kangen Aksa...,” igau Kira lagi, air matanya menetes membasahi pelipis.Tangan Kai terulur, hendak mengusap air mata Kira. Namun, sedetik kemudian Kai menarik kembali tangannya dan menaruh ponsel Kira di atas nakas.Tidak. Ini tidak benar, pikir Kai. Ia tidak boleh terenyuh oleh wanita yang selama ini ia benci itu.Cepat-cepat Kai mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana, lalu memotret foto Aksa yang terpampang di layar ponsel Kira.Merasa kepentingannya sudah selesai di kamar ini, Kai pun berdiri dan hendak pergi.“Aksa....” Tangisan Kira semakin terdengar menyayat hati, membuat Kai akhirnya urung untuk pergi.Sial. Kai tidak ingin melakukan in
Kai Antariksa Milard. Pria menawan itu sudah membukakan pintu mobil saat Kira keluar rumah.“Masuklah!” titah Kai dengan nada tak ingin dibantah.“Aku bisa pergi sendiri, Mas.” Kira berlalu pergi begitu saja, mengabaikan Kai. Kira masih ingat ucapan Kai pada Violet di telepon tadi, bahwa mereka berdua akan pergi ke rumah sakit menjenguk Luna bersama. Kira tidak ingin peduli pada mereka.Namun kenapa sekarang Kai malah mengajaknya pergi bersama? Kira akan mengantarkan ASIP ke rumah sakit pagi ini.Kai berdecak lidah, ia menyusul Kira dan menggenggam lengan atasnya, menariknya menuju mobil. “Aku bilang naik ke mobilku, Kira!”“Aku nggak mau, Mas!” tolak Kira mentah-mentah. “Kamu pergi ke kantor aja, aku bisa berangkat sendiri.”Namun, Kai tampaknya hilang kesabaran. Pria itu menarik Kira menuju mobilnya sekali lagi.“Mas, lepasin! Kamu apa-apaan, sih?”Kai tidak menjawab, rahangnya mengeras. Ia mendudukkan Kira di kursi penumpang tepat di samping kursi kemudi.“Aku akan mengantarmu,” uc
“Aku rasa begini sudah cukup,” gumam Kira pada dirinya sendiri sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Sore ini ia dan Kai akan pergi ke acara makan malam keluarga besar Milard. Kira sudah mengenakan gaun hitam yang dibeli tempo hari. Ia memakai riasan sederhana, hanya BB cream dan lipstik tipis berwarna natural. Sementara rambutnya ia ikat ala ponytail. Kira memang tidak pandai merias diri. Karena selama ini ia jarang menghadiri acara-acara penting maupun pesta. Kira keluar kamar, dan pada saat yang sama ia berpapasan dengan Ani—asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah Kai. “Non Kira mau ke mana? Apa butuh sesuatu?” tanya Ani, yang berpikir bahwa Kira belum selesai merias dirinya. Dengan polos Kira menjawab, “Aku mau pergi sekarang, Bik. Mas Kai di mana, ya?” Ani ternganga mendengarnya, ia menatap Kira dari atas sampai bawah dengan tatapan tak percaya. “Tuan Kai masih di kamarnya sepertinya,” jawab Ani, “Non Kira yakin mau pergi dengan penampilan seper
“Kai, bukannya kamu mau datang sendiri? Kenapa malah mengajak wanita ini?” Grace menatap putra semata wayangnya dengan tatapan heran.Kira terdiam, menunggu jawaban yang akan dilontarkan Kai. Kira sendiri bingung, kenapa Kai tiba-tiba mengajaknya ke acara ini? Padahal biasanya Kai enggan membawanya.Apakah pria itu ingin mempermalukan Kira di depan keluarga besarnya? Apa selama ini Kai belum puas menyakiti Kira?Kira bertanya-tanya dalam hati dengan tangan yang dikepalkan di sisi tubuhnya.“Mulai sekarang Kira akan selalu ikut bersamaku kalau ada acara, Mi,” jawab Kai dengan tenang, membuat Kira sontak menoleh pada Kai dengan kening berkerut.“Mami nggak setuju!” Grace menolak mentah-mentah. “Mami nggak mau ada anak pembantu di keluarga kita.”Hati Kira terasa berdenyut nyeri mendengarnya. Padahal dulu, ibunya sangat setia pada keluarga ini, bekerja puluhan tahun sebagai ART keluarga Kai. Namun kasta yang berbeda membuat Grace tidak menyukai dan tidak menganggap Kira sebagai menantuny
Kira terdiam sejenak. Lantas ditatapnya Kai yang sedang menatap lurus ke arah jalanan. Tatapan Kira kembali pada layar ponsel Kai dalam genggamannya yang masih bergetar. Genggaman tangan Kira pada ponsel itu menguat, sebelum akhirnya ia memasukkan kembali ponsel Kai ke dalam jaket denim suaminya itu, tanpa memberitahu Kai bahwa Violet menelepon. Untuk kali ini saja, Kira ingin egois. Ia tidak mau membiarkan kekasih Kai itu merenggut kebersamaan mereka hari ini. Kabut tipis mulai turun saat Kira dan Kai melangkah pelan menyusuri jalur kayu di tengah rimbunnya pepohonan pinus. Angin berhembus lembut, lampu-lampu kecil di sepanjang jalur mulai menyala. Kira menarik napas dalam-dalam. “Tempat ini tenang sekali,” gumamnya, yang membuat Kai seketika menoleh. “Kamu suka?” tanya Kai. Kira balas menatap Kai, mengangguk. “Suka,” jawabnya, lalu melepaskan tangan dari genggaman Kai dan berjalan lebih dulu di depan pria itu. Raut muka Kira tampak berseri-seri saat kakinya menapaki jembatan
“Ini namanya Jalan Braga,” ucap Kai ketika mereka sudah turun dari mobil.Kira menatap sekeliling dengan pandangan takjub. Trotoar khas bergaya kolonial, kafe-kafe kecil berjajar rapi di sepanjang jalan, dan bangunan-bangunan tua yang memiliki nuansa sejarah membuat suasana terasa romantis dan hangat.“Kamu sering datang kesini sebelumnya?” tanya Kira sambil menatap Kai penuh tanya.“Pernah, tapi nggak sering.” Kai mengedikkan bahunya cuek.“Dengan kekasihmu?”Kai berdecak lidah dan seketika menoleh pada Kira dengan alis saling bertaut. Tanpa berkata-kata. Hanya menatap Kira dengan tatapan dalam, yang membuat Kira mengerjapkan matanya berkali-kali.“Kenapa menatapku seperti itu?” sergah Kira sambil membuang pandangan ke arah lain, selain pada Kaisar.“Kira….” Kai menarik wajah Kira agar menatapnya. “Kamu sengaja bertanya seperti itu apa karena cemburu pada Violet?” tanyanya dengan mata disipitkan.“A-apa? Cemburu?!” Seketika itu juga Kira tertawa. Tawa yang terdengar sinis. “Cemburu i
Mata Kira seketika membulat, menatap Kai dengan tajam sambil berkata tanpa suara, “Apa yang kamu lakukan?”Kai hanya menatap Kira, sebelum akhirnya menempelkan ponsel Kira di telinganya. “Ini aku,” katanya pada Julian di seberang sana.“Kai?” Julian terdengar terkekeh kecil. “Sepertinya kamu nggak terima aku mengganggu asisten pribadimu, ya.”“Ya, Kira sedang dalam perjalanan bisnis dan dia harus profesional. Kalau kamu ada sesuatu yang ingin dibicarakan terkait pekerjaan, hubungi saja aku," ujar Kai dengan tatapan datar.Kira menggigit bibir bawahnya sambil mendelik tajam pada Kai, ia kesal karena pria itu selalu berbuat seenak perut.“Ah… ini memang bukan tentang pekerjaan. Tapi aku benar-benar merindukan asisten pribadimu itu. Bagaimana ini? Sudah lama kami nggak bertemu.”Sial!Tangan Kai seketika mengepal hingga ponsel Kira dalam genggamannya ikut bergetar. “Urus saja urusan pribadi kalian di luar jadwal kerja!” Seketika itu juga, Kai mematikan sambungan telepon secara sepihak.K
“Kira,” bisik Kai dengan suara beratnya. “Kenapa kamu selalu membuatku kehilangan kendali, hm?”Kira mengepalkan tangannya saat wajah Kai semakin mendekat, hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.“Aku sama sekali nggak pernah menggodamu, Mas!” tukas Kira, ia mengerti ke mana arah pembicaraan Kai.Mata Kai menatap bibir Kira yang terlihat seperti tengah memanggil-manggilnya. Ia tahu Kira tidak pernah menggodanya, tapi entah mengapa saat Kira sedang terdiam pun dirinya malah tergoda. Sial.“Kamu nggak perlu menggodaku untuk aku menginginkanmu,” bisik Kai lagi dengan dalam seraya menatap mata dan bibir Kira bergantian.Terang saja ucapan Kai tersebut membuat Kira kebingungan. Sebenarnya apa yang Kai lihat darinya? “Bukankah selama ini kamu membenci aku, Mas?” lirih Kira tiba-tiba tanpa dapat ia cegah. “Lalu kenapa sekarang, kamu memperlakukanku seolah-olah aku ini istri sungguhan buatmu?”Pertanyaan Kira membuat Kai seketika terdiam. Ia ingat bagaimana kejam di
Kira terbangun pagi itu dengan rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya. Matanya mengerjap pelan saat cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar itu menerpa wajah. Kira membuka mata. Sejenak ia lupa di mana ia berada. Sampai akhirnya kasur yang kosong di sebelahnya menyadarkan Kira bahwa saat ini ia berada di kamar hotel. ‘Kai? Di mana dia?’ Kira bertanya-tanya dalam hati saat tidak menemukan pria itu di kasur sebelahnya. Lantas, karena teringat dengan kejadian pagi kemarin, Kira seketika menoleh ke belakang dengan perasaan waspada. Akan tetapi di belakangnya pun ia tidak menemukan Kaisar. Kira terdiam sejenak, mungkin pria itu sedang di ruang TV, pikirnya. Kira bangkit dari tidur hingga selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh. Di saat itu Kira mendapati dirinya tengah mengenakan pakaian tidur berbahan satin warna navy. Kening Kira berkerut bingung. “Bukannya semalam aku ketiduran di ruang TV, ya?” gumam Kira sambil berusaha mengumpulkan kepingan memori malam tadi. Dan jelas-je
“Aku mau mandi, kalau kamu mau tetap di sini, aku nggak masalah,” ucap Kai dengan satu sudut bibir terangkat, membuat Kira yang duduk di tepian ranjang seketika berdiri. “Nggak! Aku nunggu di ruang TV aja,” tukas Kira dengan cepat. Kira buru-buru keluar dari kamar saat itu juga, meninggalkan Kai yang tersenyum samar melihat kepergiannya. Kini Kira merebahkan tubuhnya di sofa. Ia merasa lelah hari ini, tapi entah mengapa ada perasaan puas yang menyelimuti hatinya, entah karena apa. Tangan Kira terulur, meraih remote dari meja dan menyalakan televisi. Ia memindah-mindahkan saluran, berharap bisa menemukan tayangan yang menyenangkan untuknya. Namun, saat Kira baru saja menikmati film kartun yang baru ia temukan, bel kamar tiba-tiba berbunyi. Kening Kira berkerut bingung. Siapa yang datang malam-malam begini? Apakah mungkin staf hotel? pikirnya. Dengan malas Kira bangkit dari sofa dan membukakan pintu. “Surprise…!” Begitu pintu terbuka, tiba-tiba saja Kira dikejutkan oleh se
“Honey! Kamu juga di sini?!”Mendengar seruan Violet yang entah dari mana datangnya itu, sontak Kira dan Kai menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Violet tengah membawa barang belanjaan di kedua tangannya, bersama Rina yang menggendong Luna.Kai tidak begitu terkejut melihat Violet, karena sebelumnya ia sudah tahu kekasihnya itu sedang ada di mall ini.Sementara itu, Kira mengerutkan kening, heran kenapa bisa mereka bertemu Violet di Bandung? Untuk apa wanita itu datang ke kota ini? Apakah untuk menyusul Kai? Mengingat hal itu, tangan Kira yang terbebas pun mengepal.“Oh? Vi, iya kami juga lagi ada di sini,” jawab Kai dengan ekspresi tenang.“Sedang apa?” Violet menatap satu tangan Kai yang dipenuhi barang belanjaan, sedangkan satu tangan yang lain menggenggam tangan Kira, lantas pandangan Violet tertuju pada outlet underwear yang baru saja mereka masuki. Melihat semua pemandangan itu membuat raut muka Violet berubah muram. “Kira… kamu?”
Kai mengembuskan napas panjang. Belum sempat ia membalas pesannya, wanita itu tiba-tiba menelepon. Kai sempat melirik Kira yang masih memilih-milih sepatu, sebelum akhirnya ia keluar dari toko untuk mengangkat panggilan tersebut.“Honey,” rengek Violet di seberang sana. “Bisa ‘kan transfer sekarang? Aku mau belanja keperluanku sama Luna di PVJ, tolong–”“Berapa yang kamu perlukan?” sela Kai dengan cepat.“Seratus juta boleh?”Kai sempat melirik Kira di dalam, dan entah mengapa ia tidak mau membuat Kira menunggu, maka dari itu ia berkata pada Violet supaya semuanya kelar cepat. “Oke. Aku transfer sekarang.”“Yeay!” Violet berseru riang. “Terima kasih, Honey, kamu memang–”“Aku tutup teleponnya, ya. Lagi ada urusan penting,” sela Kai lagi, membuat seruan Violet seketika terhenti.Tanpa menunggu persetujuan Violet, Kai langsung memutus sambungan telepon dan mentransfer sejumlah uang yang wanita itu minta. Setelah itu Kai kembali ke dalam outlet, menghampiri Kira.Saat itu Kira tengah men
Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan bagi Kira. Sejak pagi ia menemani Kai yang bertemu dengan beberapa kliennya dan datang ke salah satu anak usaha Milard Corp yang ada di Bandung.Hari sudah sore saat mereka keluar dari sebuah gedung. Kaki Kira menjerit ingin dilepaskan segera dari heels yang memeluknya sejak pagi. Selain itu, Kira juga merasakan ASI-nya nyaris merembes keluar karena siang tadi ia tidak sempat memompa ASI.“Mas, aku mau pompa ASI,” ucap Kira saat mereka berjalan menuju parkiran.Kai mengangguk. “Kamu bisa melakukannya di kursi belakang.” Lalu ia membukakan pintu belakang untuk Kira. Sementara Kai sendiri duduk di kursi kemudi karena hari ini sengaja ia tidak pergi bersama sopir.Di kursi belakang, Kira memompa ASI-nya. Ia duduk tepat di belakang Kai. Suasana di antara mereka terasa hening, hanya terdengar deru mesin mobil yang halus dan suara alat pompa ASI yang berdenyut pelan, mengisi keheningan di dalam mobil yang mulai terasa sejuk karena pendingin udar