“Aku rasa begini sudah cukup,” gumam Kira pada dirinya sendiri sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Sore ini ia dan Kai akan pergi ke acara makan malam keluarga besar Milard. Kira sudah mengenakan gaun hitam yang dibeli tempo hari. Ia memakai riasan sederhana, hanya BB cream dan lipstik tipis berwarna natural. Sementara rambutnya ia ikat ala ponytail. Kira memang tidak pandai merias diri. Karena selama ini ia jarang menghadiri acara-acara penting maupun pesta. Kira keluar kamar, dan pada saat yang sama ia berpapasan dengan Ani—asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah Kai. “Non Kira mau ke mana? Apa butuh sesuatu?” tanya Ani, yang berpikir bahwa Kira belum selesai merias dirinya. Dengan polos Kira menjawab, “Aku mau pergi sekarang, Bik. Mas Kai di mana, ya?” Ani ternganga mendengarnya, ia menatap Kira dari atas sampai bawah dengan tatapan tak percaya. “Tuan Kai masih di kamarnya sepertinya,” jawab Ani, “Non Kira yakin mau pergi dengan penampilan seper
“Kai, bukannya kamu mau datang sendiri? Kenapa malah mengajak wanita ini?” Grace menatap putra semata wayangnya dengan tatapan heran.Kira terdiam, menunggu jawaban yang akan dilontarkan Kai. Kira sendiri bingung, kenapa Kai tiba-tiba mengajaknya ke acara ini? Padahal biasanya Kai enggan membawanya.Apakah pria itu ingin mempermalukan Kira di depan keluarga besarnya? Apa selama ini Kai belum puas menyakiti Kira?Kira bertanya-tanya dalam hati dengan tangan yang dikepalkan di sisi tubuhnya.“Mulai sekarang Kira akan selalu ikut bersamaku kalau ada acara, Mi,” jawab Kai dengan tenang, membuat Kira sontak menoleh pada Kai dengan kening berkerut.“Mami nggak setuju!” Grace menolak mentah-mentah. “Mami nggak mau ada anak pembantu di keluarga kita.”Hati Kira terasa berdenyut nyeri mendengarnya. Padahal dulu, ibunya sangat setia pada keluarga ini, bekerja puluhan tahun sebagai ART keluarga Kai. Namun kasta yang berbeda membuat Grace tidak menyukai dan tidak menganggap Kira sebagai menantuny
Selesai bicara dengan Samuel, Kai dihampiri sepupunya yang lain dan menyapanya. Di antara cucu-cucu Kakek Cakra Milard, memang Kai-lah yang memiliki posisi tertinggi di perusahaan. Kai merupakan CEO Milard Corp, dan para sepupunya sangat segan padanya. Saat sedang mengobrol dengan salah seorang sepupunya, Kai melirik arloji, ia merasa Kira sudah pergi terlalu lama. Entah mengapa ia memiliki keyakinan kalau Kira berusaha kabur dari acara ini. Tak ingin hal itu terjadi, Kai pun pamit pada sepupunya itu, lalu bergegas menuju arah rumah tempat toilet berada. Namun, sebelum Kai menghampiri pintu, ia melihat Kira sedang bicara dengan Samuel di dekat pintu tersebut. Posisi Samuel terlalu dekat. Dan tanpa sadar rahang Kai mengeras. Kai mendekat, berdiri tak jauh di belakang Samuel. Saat Samuel mendekatkan bibirnya ke telinga Kira, tangan Kai mengepal kuat. “Kamu cantik sekali malam ini. Dan, wow! Dadamu besar, tubuhmu juga sangat menarik, Kai itu bodoh dan—“ Mendengar ucapan Samuel ter
Kai menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah rumah. Bukan rumah dirinya. Ia menghela napas panjang. Berharap di sini bisa menenangkan diri. Kai masih tidak tahu kenapa dirinya bisa semarah itu pada Samuel dan Kira. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan menelepon sang kekasih. “Sayang, aku di luar. Bisa tolong bukakan pintu untukku?” ucapnya setelah panggilannya terangkat di dering pertama. Tak lama, seorang wanita cantik keluar dari rumah tersebut dan membuka pintu gerbang untuk Kai. Rumah ini memang tidak difasilitasi satpam, tidak seperti di rumah Kai sendiri. Setelah memarkir mobil di halaman rumah, Kai pun turun dan disambut oleh senyuman lembut Violet. Wanita itu langsung menghambur ke pelukannya. “Honey, aku senang akhirnya kamu ke sini,” ujar Violet dengan manja. Kai berusaha menyunggingkan senyumannya meski amarah masih menguasai dada. “Aku ingin tidur di sini.” Mendengar hal itu, sontak Violet memekik senang dan menjauhkan pelukannya supaya bisa menatap wajah
Ada apa dengan kontrak pernikahan mereka? Apakah Kai ingin mengakhirinya? Lalu mereka akan bercerai? Dulu sekali, waktu awal-awal menikah, Kai dan Kira sempat membuat kontrak pernikahan yang berisi beberapa poin perjanjian. Salah satunya yaitu mereka akan bercerai setelah anak yang dikandung Kira lahir dan dengan begitu pengobatan ibunya Kira pun akan berakhir. Kira bukannya lupa pada kontrak tersebut, ia hanya belum siap jika harus bercerai karena itu artinya pengobatan ibunya pun akan dihentikan oleh Kai. Ibunya mengalami koma akibat pecahnya aneurisma otak, yang menyebabkan pendarahan otak dan koma berbulan-bulan. “Apa kamu akan menceraikanku sesuai dengan perjanjian itu, Mas?” tanya Kira sembari menatap amplop coklat di tangan Kai. Kai tidak menjawab. Pria itu menarik salah satu kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. “Duduklah!” perintah Kai. Kira menurut. Ia mengambil tempat duduk di hadapan Kai, keduanya hanya terpisahkan oleh meja makan. Sejujurnya Kira takut jika Kai
Kira merindukan Aksa, jadi siang ini ia pergi ke makam putra malangnya itu. Namun, alangkah terkejutnya Kira saat ia melihat ada bucket bunga lili putih yang bersandar di batu nisan Aksa. “Siapa yang datang ke sini?” gumam Kira pada dirinya sendiri sambil meraih bunga tersebut. Bunga itu masih segar, seolah-olah baru hari ini diletakkan di sana. Kira merasa bingung, sebab tidak ada yang tahu pemakaman Aksa selain dirinya, Ani dan beberapa orang yang dulu bertugas menguburkan Aksa. “Apa mungkin orang salah menaruh bunganya?” gumam Kira lagi, mencari berbagai kemungkinan yang masuk akal. Namun rasanya tidak mungkin orang salah menaruh bunga di makam orang lain, pikir Kira. Atau mungkin Ani yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, jelas-jelas Ani ada di rumah hari ini. Asisten rumah tangga Kai itu tidak pergi ke mana-mana. Kira menghela napas berat. Ia menaruh kembali bunga lili putih itu ke tempat semula. Kira berpikir, siapapun orang yang sudah memberi bunga untuk Aksa, orang itu
“Ju-Julian?” gumam Kira dengan tatapan tak percaya saat ia mendongak dan melihat wajah seorang pria—yang ia tabrak barusan, yang cukup familiar. Pria itu tengah menatap Kira dengan kening berkerut. “Kamu Julian, ‘kan? Aku nggak salah mengenali orang, ‘kan?” tanya Kira lagi memastikan bahwa ia tak salah mengenali orang. “Hey! Apa kamu bilang? Jaga bicaramu! Yang sopan pada CEO kami!” Kira terhenyak kala mendengar seseorang yang semula berdiri di belakang pria yang ia kenali sebagai Julian, maju menghampiri Kira. CEO? Mata Kira mengerjap, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan baru menyadari bahwa ada sekitar lima orang berjas hitam di hadapannya, dengan pria yang ia kenali sebagai Julian yang ada di barisan terdepan. Jadi... Julian adalah seorang CEO? Kira jelas-jelas masih mengenali wajah Julian yang tampak semakin dewasa itu. “Ma-maaf,” ucap Kira dengan tergagap-gagap, sepertinya keempat orang di belakang Julian itu merupakan orang penting di rumah sakit ini.
“Kenapa? Ada sesuatu?” tanya Julian saat melihat Kira mengernyitkan keningnya.Kira mendongak, mengalihkan tatapannya dari layar ponsel pada pria berkemeja putih itu. “Em... sepertinya aku harus pulang sekarang.”“Benarkah? Sayang sekali, padahal aku ingin mengobrol banyak sama kamu.” Julian tampak kecewa. Lalu mengangguk. “Baiklah, nggak apa-apa. Semoga kita bisa bertemu lagi.”Kira berdiri dan menganggukkan kepalanya. “Senang bertemu denganmu lagi, Julian. Kalau begitu, aku permisi.”Kira keluar dari ruangan Julian, ia bergegas memesan taksi online karena pria tidak sabaran seperti Kai sudah menyuruhnya pulang. Kira juga penasaran, apa gerangan yang akan dibicarakan Kai dengannya?Tak sampai satu jam kemudian, Kira sudah sampai di rumah. Dan ia melihat Kai sedang duduk di ruang keluarga dengan kaki kanan menyilang di atas kaki kiri, sementara tangannya bersedekap.“Kenapa jam segini sudah pulang, Mas?” tanya Kira sambil menghampiri pria itu.“Kenapa memangnya?” Kai balik bertanya de
“Kira… kalau kamu butuh tempat untuk berlindung, berdirilah di belakangku. Aku siap melindungimu dan membantumu. Kapanpun,” ucap Julian sungguh-sungguh.Kira tertegun. Kata-kata Julian membuat lidahnya mendadak terasa kelu. Ia menunduk, menatap tangannya yang ada dalam genggaman Julian. Tangan itu terasa hangat, tapi entah mengapa Kira merasa ada yang salah. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman pria itu.“Julian…,” gumam Kira akhirnya. “Kamu orang baik. Sangat baik bahkan, tapi aku nggak bisa mempermainkan perasaanmu.”“Aku tahu, Kira,” sahut Julian dengan tenang, ada kekecewaan yang terdengar dalam nada suaranya. “Aku tahu kamu belum siap, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian, Kira. Ada aku yang selalu siap membantumu.”Kira mengangguk, akan tetapi ia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Julian yang terlalu baik untuknya itu.Belum sempat Kira berkata-kata, ponselnya–yang sejak tadi ia abaikan, kembali bergetar. Sejujurnya sejak tadi ponse
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t
“....Tapi jangan berharap lebih, Mas. Aku sudah kehabisan alasan untuk bertahan... selain ibuku.”Kata-kata yang diucapkan Kira membuat Kai tertegun. Tangan Kai mengepal. Rahangnya berkedut. Ada salah satu bagian dari dalam dirinya yang merasa sakit mendengar ucapan Kira.Kira pergi meninggalkan Kai yang membeku di tempatnya berdiri. Ia berjalan cepat menaiki tangga dengan perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang dada. Ia memang sudah kehabisan alasan untuk bersama Kai, selain karena ibunya yang butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit.Saat Kira akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangannya, hingga badan Kira berputar dan berakhir berhadapan dengan Kai.Pria itu menatap Kira dengan tatapan kusut. “Aku serius saat mengatakan akan memperbaiki semuanya, Kira,” ucap Kai dengan suara rendah. “Aku tidak bercanda.”Kira melihat ada keseriusan yang tergambar dalam sorot mata suami di atas kertasnya itu. Lalu Kira tersenyum kecut. “Bukannya aku sudah tanya bagaim
‘Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Kira.’Kai tidak bisa memejamkan matanya malam itu. Peringatan dari Julian sore tadi terus terngiang-ngiang di telinga.Sial!Kenapa dirinya harus merasa terancam dengan kehadiran sosok Julian?Apalagi setelah Julian mengatakan secara terang-terangan bahwa dia menyukai Kira.Kai duduk di tepian ranjang, tangannya mengepal kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa harus peduli pada hubungan Kira dan laki-laki itu? Padahal jika itu dulu, Kai mungkin tidak akan peduli sedikit pun pada apa yang dilakukan Kira.Lamunan Kai buyar tatkala ia mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Kai bertanya-tanya dalam hati.Dengan terpaksa Kai meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ia terdiam saat melihat nama Violet terpampang di layar.Saat itu juga, Kai mengusap wajahnya gusar. Benar. Seharusnya ia memperdulikan kekasihnya saja. Wanita yang lebih dulu ia cintai bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Kira berlangsung.Namun, en
“Apapun hubunganku dengan wanita itu, itu bukan urusanmu, Julian.” “Tapi Kira adalah urusanku!” “Aku suaminya!” “Suami?” Julian mendengus kasar. Ia maju satu langkah, mendekati Kai sambil menatapnya tajam. “Suami mana yang tega membiarkan istrinya melahirkan sendirian demi wanita lain, Kai?” Mata Kai kembali membulat mendengar kata-kata itu. Ucapan Julian bagai batu yang menghantam dadanya begitu kuat, mengingatkan Kai akan kesalahannya di masa lalu. Sementara itu, Kira yang sejak tadi tampak syok setelah mendengar Julian yang tahu mengenai pernikahannya dengan Kai, kini semakin terkejut dengan fakta yang diketahui Julian. Padahal Kira sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada Julian terkait hubungannya dengan Kai. Kira menatap Julian dengan tatapan penuh kebingungan. Julian menoleh ke arah Kira, lalu tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan nada tajamnya barusan. “Maaf, aku
“Kai? Sedang apa kamu di sini?” Julian maju mendekati Kai dengan satu alis terangkat.Kira masih membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menepati janjinya untuk kembali kepadanya.Kai lantas menatap Julian dengan tajam. “Aku ada urusan dengan Kira,” ujarnya, dingin, lalu menghampiri Kira dan meraih tangannya, yang membuat Kira terkejut dengan sikap Kai yang tiba-tiba itu.Kira menatap kedua lelaki itu bergantian. Seolah-olah ingin menyadarkan Kai bahwa saat ini mereka ada di hadapan Julian, dan Kai harus menjaga sikap jika tidak ingin Julian curiga.“Tu-Tuan, ada urusan apa?”Panggilan ‘tuan’ yang disematkan Kira membuat rahang Kai semakin mengeras. Kai menggenggam pergelangan tangan Kira dengan erat. “Kita bicara!”“Maaf, Tuan Kaisar.” Julian menahan tangan Kai yang menggenggam tangan Kira. Ia menatap Kai dengan sama tajamnya. “Hari ini Kira adalah pendampingku. Lagi pula… hari ini hari libur, kamu nggak berhak mengganggu Kira dengan urusan pekerjaan.
Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fokusnya terbagi antara jalanan di depannya, dan ponsel yang terus memanggil nomor telepon Kira. Akan tetapi, tidak ada satupun panggilannya yang Kira angkat. Ke mana wanita itu? Kai bertanya-tanya dalam hati. Ya, pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi, setelah memastikan Violet aman bersama Livia. Kai tidak bisa mengabaikan perasaannya, yang terus menerus gelisah karena teringat Kira. Mobil akhirnya berhenti di parkiran Dufan. Sementara itu ponselnya masih memanggil nomor telepon Kira. Namun, lagi-lagi panggilannya berakhir dengan sia-sia. Kini Kai berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kali ini ia menghubungi Ani, menanyakan apakah Kira sudah tiba di rumah atau belum? “Belum ada, Tuan. Non Kira belum pulang,” jawab Ani di seberang sana. Kai mengusap wajah dengan gusar. Ia menyesal karena tidak meminta orang suruhannya untuk mengikuti Kira hari ini. Sebab, tadinya Kai ber
‘Aku bisa tanpa kamu.’Kata-kata Kira yang diucapkan beberapa saat yang lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Kai.Kai tidak mengerti, entah mengapa kata-kata itu mampu menusuk jantungnya, membuat Kai tidak fokus mengemudi dan beberapa kali ia hampir menabrak mobil di hadapannya ketika berhenti di lampu merah.Kekecewaan yang tergambar di wajah Kira–yang sempat Kai lihat saat ia berbalik meninggalkannya, membuat dada Kai terasa sesak. Namun, Kai juga tidak bisa mengabaikan rasa khawatirnya pada Violet yang saat ini dilarikan ke UGD.Setibanya di rumah sakit beberapa saat kemudian, Kai langsung berlari menuju UGD sesuai lokasi yang disebutkan manajer Violet.Seorang wanita berambut pendek menghampiri Kai begitu Kai tiba. “Tuan? Mbak Violet lagi diperiksa oleh dokter,” ucap Livia–manajer Violet.“Apa yang terjadi? Kenapa bisa Violet kecelakaan waktu pemotretan?” tanya Kai dengan raut muka khawatir yang tak disembunyikan.“Violet jatuh dari tebing buatan di lokasi pemotretan outdoor, T
‘Kira, aku janji, aku akan datang menemuimu lagi. Jadi, tunggu aku di dalam, hm? Aku akan pergi sebentar saja. Tiketnya sudah aku kirimkan ke handphone kamu.’Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Kai sebelum pria itu pergi dari hadapan Kira.Kira tercenung. Ia masih membeku di tempatnya berdiri. Tanpa sadar, matanya menggenang dan memanas. Hatinya dirundung perasaan nyeri karena pria itu lebih memilih menemui kekasihnya ketimbang menemaninya masuk ke dalam tempat wisata itu.Pada akhirnya… tetap saja Violet yang menjadi prioritas utama Kai, dibanding Kira.Kira tersenyum kecut. Ia terlalu banyak berharap sehingga akhirnya merasa kecewa.Kira menarik napas dalam-dalam dan mendongakkan kepala sembari mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air mata yang mendesak keluar.Ia lantas memeriksa pesan dari Kai. Pria itu telah mengirimkan e-tiket ke nomor ponselnya. Kira mengunduh e-tiket tersebut dan kembali tercenung karena mel