Bak disambar petir, Kira terkejut mendengarnya. Pengakuan Kai membuat Kira merasa ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.
“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Kira dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut nyeri seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. “Anakmu? Maksudmu, anakmu dengan... siapa?”
“Anakku dengan kekasihku, Violet. Memang kamu pikir siapa lagi?”
Dunia Kira hancur dalam sekejap. Hatinya luluh lantak berkeping-keping. Ia memang sudah tahu hubungan rahasia Kai dan Violet semenjak awal pernikahan mereka. Namun, Kira sama sekali tidak menyangka Kai memiliki anak dari wanita itu.
Tangan Kira mengepal. Lututnya terasa lemas, tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang di hadapan Kai kala mengetahui fakta menyakitkan tersebut.
Dengan bibir bergetar, Kira berkata, “Jadi... kamu ingin aku menyusui anak dari wanita simpananmu?”
“Dia kekasihku. Bukan wanita simpananku,” timpal Kai dengan suara dingin.
Kira mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. “Apa bedanya? Dia tetap wanita pilihanmu.” Kepalan tangannya semakin mengerat. Lalu berkata tegas, “Tidak! Aku tidak mau menuruti permintaanmu! Aku bukan sapi perah yang bisa dimanfaatkan sesuka hati.”
“Anakku lahir prematur. Dia butuh ASI untuk bertahan.”
“Anakku! Anakku! Anakku!” seru Kira dengan mata menggenang. “Kamu berkata seolah-olah hanya dialah anakmu. Apa kamu lupa pada anakmu yang juga sudah meninggal, Mas?”
Rahang Kai mengeras, tatapannya yang tajam semakin menusuk, membuat siapapun yang ditatapnya merasa terintimidasi. Begitu pula dengan Kira, hanya saja Kira berusaha menyembunyikan rasa takut dan gugupnya di hadapan pria itu.
Alih-alih menanggapi ucapan Kira barusan, Kai justru malah berkata, “Baik, kamu boleh menolaknya. Tapi, jangan salahkan aku kalau aku menghentikan semua perawatan intensif untuk ibumu yang masih terbaring di rumah sakit itu.” ancam Kai tanpa perasaan.
“A-apa?” Kira mundur satu langkah dengan mata membulat. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk sembilu. “Kamu nggak mungkin melakukannya ‘kan, Mas?”
Kai mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku bisa melakukan apa saja. Kamu tahu itu.”
Kira merasakan lututnya semakin lemas. Hatinya hancur berkeping-keping. Wajahnya pucat pasi dan matanya meneteskan air mata. Sekarang Kira mengerti kenapa Kai tidak pulang ke rumah akhir-akhir ini.
Ia benci Kai karena pria itu mengabaikannya saat melahirkan dan lebih memilih menemani wanita lain. Ia benci Kai karena perbuatannya selama ini yang membuat Kira sakit hati. Namun, di sisi lain ia tidak bisa mengabaikan seorang bayi tak berdosa yang membutuhkan ASI dan tidak ingin anak itu mengalami nasib seperti anaknya. Dan juga ia tidak ingin kehilangan ibunya, satu-satunya keluarga Kira yang tersisa.
Pada akhirnya Kira mengangguk pasrah. “Baiklah, aku akan melakukannya.”
“Bagus,” kata Kai dengan ekspresi datar. “Aku akan berkata pada perawat untuk segera mengurusnya.”
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Kai berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Kira yang berdiri di koridor rumah sakit dengan hati yang hancur. Tangan Kira mengepal kuat di sisi tubuhnya, menahan perasaan sakit dan hina yang semakin dalam.
Namun, saat itu juga, Kira berjanji pada dirinya sendiri. Ini bukan tentang Kai, bukan tentang wanita itu. Ini tentang seorang bayi yang tidak berdosa. Dan ini tentang ibunya yang harus tetap hidup.
Jadi, ia akan melakukannya. Ia akan menjadi ibu bagi bayi yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri.
Seorang perawat tiba-tiba menghampiri Kira dan membawanya ke dalam NICU.
“Anak yang akan mendapatkan donor ASI dari Bu Kira adalah anak yang di sebelah sana,” kata perawat itu sambil menunjuk inkubator di paling ujung, mereka berjalan menuju ke arah sana.
“Namanya Luna. Sudah hampir satu minggu ada di inkubator tapi pertumbuhannya sangat lambat,” ujar sang perawat.
Satu minggu?
Kira tercenung. Satu minggu yang lalu ia kehilangan anaknya. Jadi, itu artinya... anaknya dan anak Violet lahir di hari yang sama?
Kira menatap bayi itu dengan perasaan campur aduk, antara marah, sedih dan kasihan bercampur menjadi satu.
Matanya kembali berkaca-kaca. Jadi, anak inilah yang membuat Kai mengabaikannya pada saat ia melahirkan Aksa? Namun Kira sama sekali tidak menyalahkan anak itu. Anak itu sama sekali tidak berdosa.
“Bagaimana dengan ibunya?” Hati Kira berdenyut nyeri kala mengingat wanita yang melahirkan Luna. “Apa dia nggak bisa memberinya ASI?”
Perawat itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab, “Kondisi ibu kandungnya belum stabil, jadi nggak bisa memproduksi ASI. Itu sebabnya kami sangat berterima kasih atas bantuan Ibu Kira.”
Kira mengalihkan tatapannya kembali pada bayi mungil di dalam inkubator. Luna tampak begitu rapuh, tubuhnya kecil dengan selang-selang yang masih menempel di tubuhnya.
Tangan Kira terangkat perlahan, menyentuh kaca inkubator dengan lembut. “Luna...,” bisiknya lirih.
Entah sejak kapan air matanya mulai mengalir lagi. Tidak ada yang tahu, tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya—bagaimana jadinya jika Aksa juga memiliki kesempatan hidup seperti ini?
“Kalau Ibu Kira siap, kita bisa mulai sekarang,” ujar perawat dengan suara hati-hati.
Kira mengangguk pelan. Mereka menuju ruang laktasi dan Kira memerah ASI-nya yang melimpah di sana. Setelah itu ia menyerahkan beberapa kantong ASI pada perawat.
Saat Kira sedang berjalan di koridor untuk pulang, tanpa sengaja ia melihat Kai memasuki sebuah ruang perawatan. Penasaran, Kira menghampiri pintu yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup itu. Ia diam-diam berdiri di sana, dan menyaksikan Kai menghampiri seorang wanita yang terbaring di atas ranjang pasien.
“Sayang, kenapa kamu bangun?” Suara Kai terdengar begitu lembut.
Hati Kira terasa seperti disayat-sayat mendengarnya. Sepanjang pernikahan mereka, Kai tidak pernah berkata selembut itu kepadanya. Kai selalu berbicara dingin, bahkan tatapannya selalu penuh kebencian.
“Bagaimana anak kita, Honey?” tanya wanita bernama Violet itu dengan suara lemah. “Dia sudah mendapatkan donor ASI?”
“Kamu jangan khawatir, aku sudah mendapatkannya.”
Kira melihat Kai duduk di kursi yang ada di samping ranjang.
“Siapa pendonornya?”
Kai terdengar mengesah panjang. “Kira. Dia yang mendonorkan ASI-nya untuk anak kita.”
“Apa? Kira? Tapi kenapa harus dia, Kai?”
“Sayang, kita nggak punya pilihan lain.” Kai terlihat menggenggam tangan Violet. “Ini demi anak kita. Aku sudah mencari kesana-sini untuk mendapatkan pendonor ASI, tapi cuma Kira yang memenuhi kualifikasi.”
“Tapi aku nggak suka wanita itu.” Violet terlihat memberengut.
Kai mencondongkan tubuhnya ke hadapan Violet, lalu mencium bibir wanita itu dengan mesra. Kira yang menyaksikannya seketika hatinya kembali hancur lebur.
Ia segera membuang muka, tidak ingin menyaksikan pemandangan yang menyesakkan dada itu. Dada Kira terasa berdenyut nyeri. Kira mengepalkan tangannya.
Ia akan pergi, tapi suara bariton Kai tiba-tiba mengejutkannya.
“Sedang apa kamu di sini?”
***
“Sedang apa kamu di sini?” Suara dingin Kai menyentak Kira. Entah sejak kapan pria itu berdiri di dekat pintu.Kira berusaha untuk tidak tergagap-gagap saat menjawab, “Aku baru selesai memerah ASI untuk... anak kalian.” Ia merasakan hatinya berdenyut nyeri kala mengucapkan kata ‘anak kalian’. “Lalu aku lewat sini dan nggak sengaja melihat kamu.”“Kenapa?” Kai menjejalkan kedua tangannya ke saku celana. “Kamu ingin aku berterima kasih padamu karena sudah memberikan ASI untuk anakku?”Kata-kata Kai yang tidak berperasaan itu membuat Kira kembali mengepalkan tangan. “Tidak!” sergahnya tegas. “Aku nggak butuh ucapan terima kasih dari kamu ataupun dari wanitamu itu.”Kai mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu ia mengedikkan dagu seolah tengah mengusir Kira pergi. “Tunggu apa lagi? Mau sampai kapan kamu diam di sini?”Kira tahu Kai sedang mengusirnya. Ia juga tidak ingin berlama-lama berada di dekat Kai. Satu ruangan dengan lelaki itu membuat dadanya terasa sesak dan nyeri, seperti terhimp
“Jadi, kapan kamu akan menceraikan Kira?”Pertanyaan itu membuat Kai seketika menatap Violet dengan kening berkerut. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”Jemari Violet memilin ujung kemeja yang dikenakan Kai. “Kamu menikahi dia ‘kan karena Kakek Cakra dan karena dia hamil,” ujarnya mengingatkan. “Sekarang dia sudah melahirkan dan nggak ada anak yang mengikat kalian berdua. Selain itu, Kakek Cakra juga sudah meninggal, nggak ada lagi yang memaksa kamu mempertahankan pernikahan kalian.”Kai mengembuskan napas panjang. “Kita bahas itu lain kali. Aku sedang nggak mau membahasnya.”“Kenapa?” rengek Violet manja. “Kamu ‘kan tinggal menceraikan dia, Honey. Apa susahnya?”“Aku nggak bisa melakukannya sekarang,” ujar Kai, “bagaimanapun juga aku butuh ASI dia untuk anak kita.”Jawaban Kai membuat Violet merasa tidak puas. “Kan kita bisa memanfaatkan ASI dia walaupun dia bukan istri kamu lagi.”Lagi-lagi Kai mengembuskan napas panjang, pria itu mengurai pelukannya dari Violet dan menatap kekasihn
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Kira,” desis Kai dengan tatapan intens yang sulit sekali diartikan.Kira jengah. Ia akhirnya mendongak dan membalas tatapan Kai dengan datar. Namun, Kira menyesal telah melakukannya. Karena saat ia mendongak, wajahnya dan wajah Kai nyaris saja bertemu. Hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.Sejujurnya Kira enggan mengakui, tapi wajah suaminya itu memang tampan, membuat Kai digandrungi banyak wanita. Namun satu-satunya wanita paling beruntung yang bisa memiliki Kai hanyalah Violet.Mengingat hal itu, Kira seketika mengepalkan tangan, hatinya berdenyut nyeri ketika menyadari bahwa ia adalah wanita yang dibenci Kai.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menjauhkan dirinya dari Kai dengan berdiri. Ia memilih mengalah daripada berdebat dengan Kai yang tidak akan ada ujungnya. Kira merasa lelah. “Aku akan membuatkanmu sarapan, tapi tolong menjauh dariku.”Pada saat yang sama, ponsel Kai berdering. Pria itu mengembuskan n
Kira sudah siap pergi ke rumah sakit pagi itu untuk mengantarkan ASI bagi Luna. Ia memesan taksi online, karena sekali lagi Kira mengingat bahwa Kai tidak memfasilitasi mobil dan sopir untuknya semenjak mereka menikah. Dan Kira sama sekali tidak mengharapkan hal itu dari Kai.Kira keluar kamar sambil membawa cooler bag berisi ASIP. Ia memantau taksi yang sebentar lagi akan sampai.Saat Kira ke luar rumah, ia melihat Kai sedang duduk di bagian depan mobilnya. Pria itu sudah siap pergi ke kantor. Jas hitam memeluk tubuhnya begitu pas. Seolah-olah jas itu memang dibuat hanya untuk seorang Kaisar Antariksa Milard.Kira bertanya-tanya dalam hati, kenapa sampai jam segini Kai masih belum berangkat?Namun, Kira enggan menyuarakan pertanyaan itu.“Kenapa lama sekali?” tanya Kai tiba-tiba sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Kening Kira berkerut bingung. “Apanya yang lama?”Kai mengedikkan dagu ke arah Kira. “Kamu,” jawabnya, “aku sudah menunggumu dari tadi.”Ucapan Kai semakin
Kira menghela napas panjang, jemarinya terus mengelus dinding inkubator Luna. Ada banyak perasaan yang membuncah dalam dadanya, tapi ia tak tahu harus mengungkapkannya bagaimana.“Kamu tahu nggak? Aku pernah punya bayi juga. Namanya Aksa. Dia seharusnya lahir bersamamu, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya.”Dada Kira kembali terasa sesak. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh.“Tapi aku yakin, Aksa ada di tempat yang lebih baik sekarang.”Ia menatap wajah Luna yang begitu tenang di dalam sana. Kira sadar, bayi ini mungkin tidak akan pernah mengingat momen ini. Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan bayinya sendiri, Kira merasa… lebih baik.“Kamu harus tumbuh jadi anak yang kuat, ya,” bisiknya lagi. “Dan kalau nanti kamu besar, aku harap kamu selalu dikelilingi orang-orang yang mencintaimu.”Tanpa Kira sadari, Kai memperhatikan dan mendengar setiap ucapannya tak jauh di belakangnya. Kai menatap punggung Kira dengan tatapan sulit diartikan.Selesai mengajak
Kira membanting pintu mobil Kai, yang sayangnya tidak menimbulkan suara yang begitu berarti karena mewahnya mobil tersebut.Dengan hati perih Kira berjalan kaki dengan langkah cepat di trotoar jalan sambil menahan air matanya yang menggenang agar tidak tumpah.Setelah semua yang terjadi, kenapa Kai baru menanyakan hal itu sekarang? Kemana pria itu saat Kira berjuang sendirian melahirkan Aksa? Kemana Kai saat Kira memintanya untuk datang ke pemakaman?Dengan pandangan memburam, Kira memesan ojek online. Tak lama ojek yang ia pesan pun tiba. Kira merindukan Aksa, jadi saat itu ia pergi ke tempat di mana Aksa dimakamkan.Kini, Kira sudah berjongkok di samping kuburan putranya. Di sana ia menumpahkan air mata yang sejak tadi tertahan.“Maafin Mama, Nak, Mama nangis karena kangen Aksa,” lirih Kira di sela-sela isak tangisnya. “Aksa, apa kabar, Sayang? Mama di sini baik-baik saja, kok,” dustanya sambil mengusap batu nisan Aksa dengan tangan yang bergetar. “Kamu pasti ingin Mama bahagia, ‘ka
Pukul lima sore, Kira memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar komplek untuk menggerakkan badannya.Setelah pulang dari makam Aksa pagi tadi, Kira tidak banyak beraktifitas.Ia memang sudah berhenti bekerja dari minimarket saat kehamilannya sudah besar satu bulan yang lalu.Awalnya Kira berencana akan fokus mengurus Aksa setelah melahirkan, tapi siapa sangka takdir justru berkata lain.Kira menghela napas berat, setiap tarikan napasnya terasa begitu menyakitkan kala mengingat putranya yang malang itu.Kira melangkahkan kakinya sambil berusaha melapangkan dadanya atas takdir yang menimpa dirinya.Rumah Kai memang berada di kawasan komplek elit, sehingga tidak banyak—atau bahkan tidak ada orang yang berlalu lalang di jalanan yang sepi itu. Setiap rumah dipagari gerbang dan dinding yang tinggi. Jadi Kira leluasa berjalan kaki sendirian.Tiba-tiba sebuah mobil hitam melintas dari arah belakang, dan berhenti tak jauh di hadapan Kira.Kening Kira berkerut, ia merasa seperti mengenali mobil
Kai melangkah lebar-lebar di lorong rumah sakit. Ia menuju ruang NICU dan menghampiri inkubator Luna. Mata elangnya meredup, menatap lembut bayi mungil itu dengan tatapan penuh kasih.Tangan Kai terulur, menyentuh celah kecil di dinding inkubator itu sambil berbisik pada bayi yang tengah memejamkan matanya, “Halo, Cantik. Daddy datang lagi. Tidur kamu nyenyak sekali.”Kai tersenyum kecil, ia berharap bisa secepatnya menggendong Luna. Namun ia harus menahan diri karena Luna belum saatnya keluar dari inkubator.Setelah cukup lama memandangi putrinya dari sang kekasih itu, Kai pun keluar dari NICU dan secara kebetulan berpapasan dengan Dokter Ratna sesaat setelah Kai menutup pintu.“Selamat sore, Pak Kaisar,” sapa sang dokter.Baik dokter maupun perawat di NICU sudah tahu bahwa Kaisar adalah ayahnya Luna.“Selamat sore, Dok. Bagaimana kondisi Luna?” tanya Kai tanpa basa-basi.Dokter Ratna tersenyum. “Perkembangan Luna sudah cukup baik, beberapa hari terakhir ini berat badan Luna sudah be
Kai menatap Kira yang terjatuh di atas kasur dengan napas yang memburu, penuh emosi. Dadanya naik turun, berusaha menahan amarah yang sudah ada di ambang batas.Tatapan tajamnya menyusuri tubuh Kira yang masih dibalut dress satin berwarna peach, yang menampilkan lekuk tubuh indahnya dan bahunya yang polos.“Kamu pikir, aku tidak marah melihat kamu bersama laki-laki lain, berpakaian seperti itu dan tertawa bebas seolah-olah kamu tidak punya suami?!!” bentak Kai dengan mata yang menyala-nyala seperti bara, suaranya bergema di ruangan, membuat Kira berjengit dan jantungnya berdegup kencang.Kira menatap Kai dengan tatapan terluka. Ia tahu, sebagai seorang wanita yang sudah bersuami memang tidak pantas pergi bersama lelaki lain. Namun, ia tak mengerti kenapa Kai bisa sampai semurka ini? Padahal sejak awal, Kai-lah yang menetapkan jarak di antara mereka.“Lalu kamu pikir, aku nggak marah melihat kamu dan Violet berhubungan selama ini?!” tukas Kira dengan tajam sambil mundur, menghindari Ka
“Maaf ya, gara-gara aku… kita jadi pulang lebih cepat,” ucap Kira penuh sesal pada Julian.Julian yang tengah menyetir pun menoleh, tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa. Lagian aku juga nggak terlalu betah berlama-lama di acara seperti itu.”Kira tersenyum kecil, lalu menghela napas berat. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia tidak enak pada Julian, tapi di sisi lain ia lega bisa pulang lebih awal demi menghindari Kai dan Violet, yang mungkin saat ini masih menikmati acara.Suasana di antara mereka terasa hening sesaat. Julian sesekali menoleh ke arah Kira yang menjadi pendiam.Sekarang, Julian bisa mengambil kesimpulan bahwa Kai dan Kira memang pasangan suami istri, tapi tampaknya hubungan mereka tidak baik. Di belakang Kira, Kai memiliki hubungan gelap dengan wanita bernama Violet tadi.‘Kamu juga punya hubungan dengan wanita lain selama ini, lalu kenapa aku tidak boleh?’‘Sudahlah, Mas. Jangan begini. Kita lagi ada di tempat umum, gimana kalau ada yang lihat? Bukannya kamu sen
Kira terhenyak.Ia menghentikan langkahnya, lalu ia mendongakkan wajah. Seorang pria bertubuh jangkung berdiri menjulang di hadapannya, menatap Kira dengan tatapan tajam. Rahang pria itu mengeras.“Akh!” pekik Kira dengan pelan saat Kai tiba-tiba menarik tangannya, lalu membawanya ke tempat yang lebih sepi. “Apa yang kamu lakukan, Mas?!” protesnya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Kai.Namun cekalan tangan pria itu begitu kuat. Hingga akhirnya, Kai melepaskan tangan Kira dan memenjarakan Kira di dinding.Dengan sekuat tenaga, Kai menaruh satu telapak tangannya di dinding, tepat di samping kepala Kira, membuat Kira sempat tersentak kaget.“Jadi, ini urusan kamu malam ini?” bisik Kai sambil mencapit dagu Kira dengan jemarinya, hingga wajah Kira mendongak. Kai menundukkan wajahnya ke wajah Kira. “Menjadi pendamping laki-laki lain dengan berpenampilan seperti ini?” Kai menatap tajam mata Kira, lalu tatapan tajamnya turun ke lekuk bahu Kira yang terbuka, membuat rahangnya
Pria yang mengenakan tuksedo hitam itu berjalan dengan penuh percaya diri dan berkharisma. Setiap wanita yang melihatnya akan kembali menoleh untuk yang kedua kali dan terpana.Namun, ia tidak sendirian. Ia datang bersama sang kekasih yang menemaninya sore ini.“Honey, aku nggak suka banyak cewek yang tertarik sama kamu,” gerutu Violet yang menggandeng lengan Kai di sampingnya. Namun, bibir merahnya tetap menyunggingkan senyuman dengan manis.“Jangan cemburu,” timpal Kai sambil menatap ke depan lurus-lurus. “Wanita yang memilikiku cuma kamu.”Terang saja ucapan itu membuat mata Violet berbinar-binar. Mereka baru saja memasuki ballroom dan sudah disambut oleh sapaan dari klien yang mengenali Kai. Acara sore itu termasuk acara privat, sehingga mereka bebas dari wartawan. Dan yang datang hanyalah orang-orang penting.Setelah orang yang menyapanya pergi, Kai pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ballroom, mencari keberadaan sang pemilik acara.Namun, tatapan Kai justru berakhir pada seo
[Kira, jangan lupa sore ini jam 5 aku jemput.]Kira membaca pesan yang dikirimkan Julian lima menit yang lalu. Ia tersenyum kecil.Pandangan Kira lalu bergeser ke arah kotak berbentuk persegi panjang dan paper bag yang tergeletak di atas kasur. Kotak itu berisi gaun berwarna peach, sementara paper bag berisi high heels. Keduanya pemberian Julian–yang dikirimkan ke kantor dua hari yang lalu.Kira menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Apakah ia harus mengenakan pakaian pemberian Julian tersebut atau tidak?Namun jika tidak, Kira tidak punya pilihan gaun lain, selain gaun yang pernah ia gunakan waktu acara makan malam di rumah keluarga Kai tempo hari. Akan tetapi ia tidak mungkin mengenakan pakaian yang sama dua kali ke pesta.Setelah berpikir cukup lama, Kira akhirnya memutuskan untuk menggunakan pakaian pemberian Julian, sebagai bentuk penghargaan darinya.Pukul tiga sore, Kira mulai bersiap-siap mandi, lalu mengenakan gaun berwarna peach tersebut. Kira mematut dirinya di cermin, dan i
Keesokan paginya, Kira berangkat pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin satu mobil dengan Kai setelah pertengkaran mereka tadi malam.Namun, saat Kira tiba di luar rumah, ia terkejut kala mendapati Kai tengah berdiri bersandar pada pintu mobil yang terparkir di halaman. Pria itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Sudah kuduga, kamu akan berangkat pagi-pagi sekali,” komentar Kai sembari melirik arloji.Kira mendengus dan membuang muka. Ia pikir, Kai masih tidur sebab saat ini belum genap pukul enam. Namun ternyata ia kecele. Pria itu justru sudah siap pergi lebih dulu ketimbang dirinya.Tanpa banyak bicara, Kira berjalan melewati Kai, hendak pergi. Namun, Kai berhasil meraih tangan Kira dan menahannya.“Mau ke mana kamu?” tanya Kai dengan santai, seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka malam tadi.Kira menarik tangannya dari genggaman Kai. Ia menatap pria itu dengan datar. “Aku mau pergi ke kantor, sendiri,” jawabny
Kira baru selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Dari suara mesinnya yang halus, Kira bisa menebak kalau itu adalah mobil Kai. Namun, kenapa pria itu sudah pulang jam segini? Bukankah tadi Kai bilang akan lembur?Kira mengenyahkan rasa penasarannya. Ia memilih pakaian kasual yang busui friendly dari lemari, setelah makan malam nanti rencananya ia akan pergi menemui Luna.Sesaat setelah Kira mengenakan pakaiannya dan menyisir rambut, ia pun turun ke lantai bawah untuk makan malam.Begitu tiba di anak tangga terbawah, ia melihat Kai sedang berjalan menghampirinya dengan raut muka tak ramah. Tatapan pria itu begitu tajam, menatap Kira tanpa mengalihkan tatapannya ke arah lain sedetik pun.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Kira basa-basi. “Nggak jadi lemburnya, ya?”“Kamu pulang dengan siapa tadi?” tanya Kai tiba-tiba dengan suara dingin, tanpa menghiraukan per
Kira tersenyum kecil saat melihat Julian berdiri dari sofa dan menghampirinya. Julian memandang ke sekeliling Kira.“Kamu sendirian?” tanya Julian saat Kira sudah berdiri di hadapannya.Kira mengangguk. “Iya, sendirian. Kenapa?”“Aku pikir kamu pulang bareng bos kamu.” Julian tersenyum kecil.Kira terdiam sejenak, lalu terkekeh dan menggeleng. “Nggak, lah. Dia ada lembur.”Keduanya berjalan keluar dari lobi dan menuju parkiran. Julian membukakan pintu mobil untuk Kira, lalu ia menutup pintu saat Kira sudah masuk. Dan berjalan memutari bagian depan mobilnya.“Dengar, ya, aku nggak mau geer, tapi aku penasaran, kamu sengaja datang ke sini untuk jemput aku?” tanya Kira dengan nada bercanda saat Julian sudah melajukan kendaraannya.“Kamu pikir, aku ke sana untuk menjemput orang lain?” Julian balas bertanya sambil tersenyum kecil.Meski sudah tahu bahwa Kira sudah menikah dengan Kaisar, tapi entah mengapa Julian pena
Kira kembali ke ruangannya setelah selesai makan siang di kantin. Ia melihat Lia sudah ada di ruangannya, maka itu berarti Kai juga sudah ada di dalam sana, pikir Kira.Kira baru akan mulai fokus pada pekerjaannya saat Lia tiba-tiba datang menghampiri.“Kamu dari mana?” tanya Lia sambil duduk di kursi depan meja Kira.“Habis makan siang, Mbak, di kantin.” Kira tersenyum kecil sembari menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.“Yaah… padahal tadi Tuan Kaisar bawa makan siang buat kamu, lho!”Mendengarnya, Kira merasa terkejut. “Bawa makan siang buat aku?” Kira tersenyum masam. “Masa, sih? Kayaknya nggak mungkin deh.”“Eh, serius! Tadi dia masuk ke sini sambil bawa makanan buat kamu, kamunya nggak ada, dia sampai nyari kamu, tahu?”Kira melihat ke sekeliling ruangannya. Namun ia tidak menemukan makanan yang dikatakan Lia di sudut manapun. Kira kembali tersenyum dan berkata, “Gimana pertemuan dengan Pak Julian? Lancar?” tanyanya untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.Lia ter