Share

Bab 6. Sedikit Berantakan

Penulis: Rich Mama
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 23:48:10

Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.

“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan.

Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut.

“Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia.

Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir.

“Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh.

“Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ...

Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian Reval beberapa menit yang lalu. Tetapi, kenyataannya? Ia hanya salah paham.

“Pasti hanya kebetulan,” gumam Naura. Ia melirik ke arah kanan. Baru sadar jika asisten Reval masih berdiri di dekatnya.

“Kenapa masih di sini? Bukankah seharusnya kamu mengikutinya?” Kedua mata Naura menunjuk ke arah mana Reval tadi pergi.

Sang asisten terdiam sejenak. Ia menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal sama sekali. Lelaki itu tampaknya merasa bingung.

“Aku harus pergi!” Naura pun melangkah pergi meninggalkan asisten tersebut.

Naura berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, suara langkah kakinya menggema di lantai yang dingin. Jantungnya masih berdegup cepat, bukan hanya karena pertemuan singkat dengan Dion, tetapi juga karena kehadiran Reval yang mendadak. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, fokus pada tujuan utamanya, menjenguk ibu mertuanya.

Sesampainya di depan pintu ruangan, Naura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu. Di dalam, ibu mertuanya, Bu Lastri, terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya tampak pucat, tetapi matanya yang tajam langsung menatap Naura begitu ia masuk.

“Kamu terlambat,” ujar Bu Lastri dengan suara parau, tetapi nadanya tetap penuh kepedulian.

Naura mengangguk cepat, menundukkan kepala untuk menyembunyikan raut lelahnya. “Maaf, Bu. Saya langsung ke sini setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah.”

“Kamu tidak perlu minta maaf, Naura. Ibu hanya merindukanmu. Yang penting sekarang, kamu ada di sini.”

Naura meletakkan bungkusan makanan di meja kecil di sebelah tempat tidur. “Ini sarapan Ibu. Naura juga sudah menyiapkan jus seperti biasa.”

Bu Lastri tersenyum. Sementara Naura mendekati jendela, menarik gorden agar sinar matahari masuk, menerangi ruangan yang terasa pengap. Ia tidak berbicara lebih banyak, membiarkan suasana di ruangan itu tenggelam dalam keheningan.

Tak lama kemudian, Naura mulai menyuapi ibu mertuanya. Wanita itu berusaha menampakkan wajah cerianya.

“Ke mana Dion, Nak?” tanya Bu Lastri pelan.

“Em, itu Bu. Sepertinya ada urusan mendadak dari kantornya.”

Beberapa menit telah berlalu. Sarapan selesai. Naura membereskan meja kecil di dekatnya. Di saat itu ponselnya bergetar. Ia mengeluarkannya dari saku, melihat nama Dion terpampang di layar.

Naura menatap layar itu dengan keraguan, lalu melirik sekilas ke arah Bu Lastri yang masih sibuk menikmati jus buatannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar ruangan sebelum menjawab telepon itu.

“Mas Dion?” sapanya pelan, berusaha menjaga nadanya tetap netral.

“Kenapa lama sekali angkat teleponnya? Kamu sengaja, ya?” Suara Dion terdengar tajam di ujung sana.

“Mas, datanglah ke sini. Naura minta maaf soal tadi. Itu bos aku. Dia sudah meminjamkan banyak uang kepada kita, Mas. Tidak seharusnya Mas Dion melawannya.”

“Alah alasan. Jangan pernah membuatku terlihat bodoh lagi. Ingat itu!” Dion memutus sambungan tanpa menunggu jawaban.

Naura memandang ponsel di tangannya dengan napas terengah, perasaan marah dan takut bercampur aduk di dadanya. Tangannya mengepal, tetapi ia cepat-cepat melonggarkan genggamannya sebelum kembali ke ruangan.

Namun, begitu ia membuka pintu, pandangannya menangkap sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Reval berdiri di sana, di ujung lorong, berbicara dengan seorang dokter. Dari caranya berdiri, Reval tampak santai, tetapi ada ketegasan dalam sikapnya yang tidak bisa diabaikan. Mata Naura bertemu dengannya sesaat, dan ia merasakan kehadiran Reval seperti mengisi udara di sekitar mereka.

Reval mengangkat alis sedikit, seolah bertanya mengapa Naura berdiri mematung di pintu. Dengan cepat, Naura mengalihkan pandangannya dan melangkah masuk ke ruangan. Namun, detak jantungnya semakin cepat, seakan tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya.

Ketika sore tiba, akhirnya Dion datang kembali ke rumah sakit setelah Naura memohon berkali-kali kepadanya dan berjanji akan memberikan uang.

“Mas, Naura mau mandi dulu. Mas Dion jagain ibu, ya?” pamit Naura.

“Hmmm ....” Dion terlihat enggan untuk menjawab.

Naura paham apa maksud dari suaminya. Ia terpaksa memberikan uang sisa simpanannya kepada Dion.

“Gitu dong sejak tadi,” ucap Dion seraya merebut uang di tangan Naura.

Naura hanya bisa membatin. ‘Mas Dion benar-benar keterlaluan.’

Naura segera berjalan cepat meninggalkan Dion. Di saat itu ia melihat Reval berdiri tenang seolah sedang menantinya.

“Bersiaplah, Naura. Tiga jam lagi di tempat yang sama.”

Naura menelan ludah berat. Ternyata Reval tidak memberikan kepadanya kesempatan untuk menunda-nunda lagi.

Tanpa memberikan jawaban, Naura pun pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia memilih untuk kabur dari asisten Reval dan naik ojek saja.

Ketika tiba di depan rumah, langkahnya terhenti karena melihat sebuah bingkisan tergeletak di lantai.

“Apa ini?” gumam Naura penasaran.

Ia segera masuk ke dalam rumah dan memeriksa isi bingkisan tersebut. Pakaian kurang bahan lagi dan sebuah tulisan di kertas.

[Pakai ini.]

Tanpa perlu bertanya, Naura sudah tahu siapa pengirim bingkisan tersebut. Lagi-lagi ia harus meneguk ludahnya dengan susah payah.

“Apakah dia sudah gila?” Naura membuang napas kasar. Seketika ia merasa gelisah.

Selesai mandi dan berias, Naura memperhatikan penampilannya. Ia sungguh merasa tidak nyaman. Tangannya segera terulur untuk mengambil jaket kesayangannya.

“Nah, begini lebih baik.”

Melihat jam di ponsel, Naura segera bersiap. Ia tidak ingin terlambat datang dan membuat Reval murka.

Mengingat saat tadi Reval marah kepada Dion, membuatnya bergidik ngeri.

Naura keluar dari halaman rumah dan mendapat asisten Reval sudah menunggu.

“Silahkan masuk,” ucap sang asisten ramah.

Naura tak menjawab. Ia segera masuk ke dalam mobil.

Di Velvet Crown Hotel. Naura harus menginjakkan kaki untuk kedua kalinya. Udara dingin menggigit kulit Naura di saat ia sudah berdiri di depan pintu kamar yang ditempati Reval.

Jantungnya berdegup kencang saat ia mengangkat tangan untuk mengetuk. Sebelum tangannya menyentuh pintu, pintu itu terbuka dari dalam.

Reval berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang tergulung hingga siku dan celana bahan gelap. Rambutnya sedikit berantakan, dan aroma maskulin yang khas menyeruak ke hidung Naura.

“Kamu datang juga,” kata Reval dengan senyum licik penuh makna. Ia membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Naura segera masuk.

Naura tak bersuara. Ia masih terdiam di tempatnya hingga ia bisa merasakan sebuah tangan kekar menarik pinggangnya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar tertutup dengan kencang.

Bab terkait

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 7. Sensasi Baru

    “Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, suaranya datardan rendah, tanpa emosi yang tampak. Ia menatap Naura dengan intens, seolahmenilai tanpa perlu bertanya. “Kedinginan atau takut?”Naura terdiam sejenak, berusaha menguatkan diri.“Seharusnya saya tidak berada di sini,” jawabnya dengan suara yang hampirbergetar.Reval hanya mengangkat alis, tetap diam, tangannyabertahan di pinggang Naura tanpa gerakan berlebih. Tatapannya tetap tenang,seolah tidak ada urgensi untuk menjawab atau menanggapi lebih jauh.Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudahmenyentuh pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya makin cepat, namun Revaltetap tak bergerak, tetap mengawasi.“Apa yang anda inginkan?” tanya Naura, nada suaranyategas meski ada kecemasan di dalamnya.Reval meraih kedua bahunya dengan gerakan lambat,namun tidak pernah terburu-buru. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tetapdatar, namun perintah itu jelas.Naura merasa terperangkap, meski tanpa kata-kata, iatidak bisa menarik dir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 8. Untuk Kesekian Kalinya

    Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 9. Mandi Bersama

    Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi.“Ibu ....”Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit.Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar.Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya.Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri.‘Ibu ... maaf ....’Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskipun sed

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 10. Sebuah Pesan

    ‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 11. Asisten Pribadi?

    [Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.]Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya.Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya.Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu membawa aura d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 12. Makan Siang Bersama

    “Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 13. Berdiri Tegak

    Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 14. Tidak Nyaman

    Reval tidak menggubrisnya. “Kamu terluka. Jangan memaksakan diri,” ucap Reval dingin, tetapi tangannya tetap kokoh memegang Naura. Ia membawanya menuju mobil hitamnya yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Naura merasa malu dan tidak nyaman. “Pak, saya bisa naik taksi saja. Tidak perlu repot-repot,” ucapnya sambil mencoba melepaskan dirinya. Reval menatapnya tajam, lalu membuka pintu mobil. “Masuk.” Itu lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan. Naura tidak punya pilihan lain selain menuruti. Ia duduk di samping Reval. “Jalan!” Mobil meluncur dengan cepat. --- Di dalam mobil, suasana hening. Naura mencoba menenangkan dirinya, meski rasa sakit di pergelangan kakinya masih terasa. Ia melirik Reval dari sudut matanya. Wajah pria itu terlihat serius. “Pak Reval, saya benar-benar tidak apa-apa. Saya hanya butuh sedikit waktu untuk istirahat, itu saja.” Naura mencoba membuka pembicaraan, meskipun nadanya ragu. Reval mendengkus pelan. “Istirahat t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26

Bab terbaru

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 101. Menarik Perhatiannya

    Naura menelan ludah. Ia kemudian menyesap teh perlahan, membiarkan rasa hangat mengalir di tenggorokannya, menenangkan seluruh syaraf yang tegang. Dalam diam, ia berusaha menyembunyikan hatinya yang begitu terpengaruh oleh kehadiran Reval juga oleh cara lelaki itu merawatnya dengan perhatian yang tak pernah ia duga.“Apa kamu merasa lebih baik?” suara Reval memecah keheningan.Naura mengangguk pelan, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa rasa nyaman ini berbahaya. “Terima kasih,” bisiknya. “Untuk tehnya ... dan untuk semuanya.”Reval hanya tersenyum samar. “Apakah kamu merasa lapar?” tanya Reval sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Naura yang masih memegang cangkir teh hangat di tangannya.Naura terdiam sejenak, mengalihkan pandangan ke jendela hotel yang mulai basah oleh hujan di luar. Suara derasnya menambah kesan sunyi di dalam ruangan. Perutnya sebenarnya sudah lama meronta, tetapi ia terlalu terbiasa mengabaikan kebutuhannya sendiri. “Sedikit,” jawab Nau

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 100. Jika Aku Peduli

    Hatinya melompat mendengar kata-kata itu, tetapi ia segera menutupinya dengan senyum tipis yang sinis. “Penting? Untuk apa? Agar Bapak bisa bermain dengan emosi saya setiap kali Anda bosan?” “Tidak.” Reval menggeleng pelan, seolah jawaban itu sudah lama ia pikirkan. “Aku tidak bermain-main. Aku tidak pernah menganggap kamu sebagai mainan, Naura.” “Lalu kenapa? Kenapa Pak Reval terus membuat saya bingung seperti ini?” Naura mendesak, matanya mulai terasa panas. Ia benci kelemahannya sendiri, benci betapa mudahnya lelaki ini memengaruhinya. Reval terdiam sejenak, mengamati wajah Naura seakan mencari sesuatu yang tak terucapkan. “Karena aku tidak bisa berhenti.” Naura mengerutkan kening, hatinya semakin kacau. “Berhenti apa?” “Berhenti peduli.” Reval menghela napas, seolah ucapan itu membawa beban yang lama ia pendam. “Berhenti memikirkan kamu setiap saat. Berhenti ingin selalu berada di dekatmu.” Sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Kata-kata

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 99. Kamu Penting

    Naura terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebagian dari dirinya merasa bahwa Reval benar, ia terlalu sensitif. Tapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa Reval sering kali bersikap terlalu dingin dan mendominasi. “Saya tidak berniat mencari masalah,” gumam Naura akhirnya. “Saya hanya ingin diperlakukan dengan sedikit lebih baik.” Reval menatapnya selama beberapa detik, lalu menghela napas lagi. Ia memutar kemudi dan melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa-apa lagi. Setibanya di hotel, Naura langsung membuka pintu mobil dan keluar tanpa menunggu Reval. Ia berjalan cepat menuju lobi, berusaha mengabaikan tatapan beberapa tamu yang kebetulan lewat. “Naura,” panggil Reval dari belakang. Ia berhenti, tetapi tidak menoleh. “Apa lagi, Pak?” Reval berjalan mendekat, hingga berdiri di sampingnya. “Kita belum selesai membicarakan ini.” Naura menatapnya dengan tajam. “Kita bisa membahasnya besok. Lagipula tadi Bapak juga bilang jika Bapak lelah.” “Tidak, sekarang

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 98. Mencari Celah

    Tubuh Naura membeku sesaat, matanya menatap muatan besar yang bergerak semakin cepat ke bawah. Sebelum ia sempat berpikir untuk melarikan diri, seseorang menarik tangannya dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang dan jatuh di atas tanah berdebu. Debum keras terdengar, membuat tanah bergetar. Naura terengah-engah, menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya tadi. Ia mendongak dan mendapati Reval berlutut di sampingnya, napasnya terdengar berat. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. Naura hanya mengangguk, masih belum bisa berkata-kata. Reval segera berdiri dan mengulurkan tangannya pada Naura. “Kamu harus lebih berhati-hati. Proyek ini bukan tempat untuk melamun.” Naura menerima uluran tangan itu, merasa pipinya memanas karena merasa bodoh. “Maaf, Pak. Saya tidak menyadari—” “Simpan penjelasanmu,” potong Reval. “Yang penting kamu selamat.” Nada suaranya terdengar dingin, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lain

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 97. Jatuh

    Setelah makan siang yang penuh ketegangan terselubung, Reval memutar kunci mobilnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memegang ponsel. Ia tampak serius, berbicara dengan seseorang di ujung sana dengan nada tegas. Naura duduk diam di kursi penumpang, mencoba mengalihkan perhatian dari suara Reval dengan menatap jalanan yang mulai dipadati kendaraan. Perutnya masih terasa kenyang, tetapi pikirannya tidak tenang. Sikap Reval yang samar atau tidak jelas, membuatnya kesulitan menebak apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan darinya. “Baik, aku akan sampai dalam lima belas menit,” ujar Reval sebelum menutup panggilannya. Ia melirik Naura sekilas, lalu mengarahkan mobil kembali ke arah proyek. “Pak, apakah kita kembali ke lokasi proyek?” tanya Naura, mencoba memecah keheningan. Reval mengangguk. “Ada yang perlu aku cek lagi. Kamu ikut.” Naura mendesah pelan, merasa tidak memiliki pilihan. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya p

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 96. Menggigit

    Reval mendekat, menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan. “Naura, dengarkan aku baik-baik. Apa yang terjadi di luar sana, apa yang orang lain lakukan, tidak pernah memengaruhi bagaimana aku bekerja atau bagaimana aku melihat situasi ini. Clara tidak berarti apa-apa.” Naura merasa wajahnya memanas mendengar penegasan itu. Tetapi sebelum ia bisa merespons, Reval melanjutkan. “Dan satu hal lagi,” kata Reval, suaranya menjadi lebih lembut. “Kamu tidak perlu merasa terganggu oleh hal-hal seperti itu. Fokuslah pada pekerjaan kita. Itu yang penting.” Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi rasa tidak nyaman. Wanita itu menggenggam tangan, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin, ia hanya terlalu sensitif. “Naura.” Wanita itu menoleh, melihat wajah Reval yang begitu dekat dengannya. “Jangan lupa, besok pagi kita masih banyak kegiatan. Jangan tidur terlalu larut.” Reval mengecup singkat kening Naura. Membuat wanita itu terdiam kaku di tempatnya. Kecupan singka

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 95. Menikmatinya?

    Naura merasa wajahnya memanas. Ia hanya mengangguk singkat dan melangkah keluar. Di dalam lift, mereka berdiri berdampingan, tetapi tidak ada yang berbicara. Naura mencuri pandang ke arah Reval, mencoba membaca ekspresinya, tetapi seperti biasa, ia tidak menunjukkan apa-apa. Ketika mereka hendak turun dari mobil, Reval membukakan pintu untuknya. “Kamu sudah melakukannya dengan baik hari ini,” ucap Reval singkat, tetapi ada nada tulus dalam suaranya. Naura terkejut mendengar pujian itu. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi.” Reval mengangguk, lalu berjalan pergi. Naura berdiri di sana sejenak, merenungkan kata-kata pria itu. Meski hanya sederhana, pujian itu memberinya semangat baru untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Namun, ketika ia melangkah masuk ruangan, di sana sudah ada dua orang yang menunggu. Mereka akhirnya duduk bersama dua klien di meja bundar yang dikelilingi kursi empuk. Percakapan mengalir dengan santai, sesekali dipenuhi suara gelas yang berad

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 94. Cantik

    Suasana mendadak begitu sunyi. Kehangatan yang ditinggalkan lelaki itu seolah terserap oleh dinding-dinding kamar yang kini terasa dingin dan luas. Naura menghela napas panjang, kemudian berbalik menatap kamarnya yang luas dan elegan. Kamar hotel itu begitu mewah dengan perabotan kayu berkilap, seprai putih bersih yang tertata rapi, dan balkon besar yang menghadap ke taman di luar. Namun, bukannya merasa nyaman, Naura justru merasa asing. Ia berjalan pelan ke jendela besar yang menampilkan pemandangan senja. Langit oranye membentang di atas pohon-pohon kelapa yang melambai tertiup angin. Di kejauhan, burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Betapa damainya dunia di luar sana. Berbeda jauh dengan badai kecil yang mengisi hatinya saat ini. Naura menyandarkan dahinya ke kaca yang dingin. Ingatan tentang kejadian tadi kembali terlintas di benaknya. Sentuhan Reval di tangannya, ciuman yang terasa terlalu hangat, terlalu nyata. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 93. Benar-benar Gila

    Naura meliriknya sekilas dari sudut matanya. “Apa maksud Pak Reval?” “Pak Handoko. Dia mengira kita pasangan,” jawab Reval sambil menyetir dengan fokus. “Kamu bisa saja menjelaskan kalau itu hanya kesalahpahaman.” Naura menghela napas pelan, menahan emosi yang mulai menggelegak. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa membuat suasana semakin aneh. Lagipula, itu kesalahan Bapak.” Reval tersenyum tipis, meskipun matanya tetap tertuju ke jalan. “Kesalahanku?” “Ya,” jawab Naura tegas. “Bapak yang memegang tangan saya di bawah meja. Saya tidak mungkin menjelaskannya di depan semua orang tanpa membuat mereka curiga.” Reval mengangguk pelan, seolah memahami maksudnya. “Baiklah, aku akui itu salahku. Tapi kamu terlalu memikirkannya. Pak Handoko hanya bercanda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Naura menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Percakapan itu seharusnya selesai, tetapi ada sesuatu tentang sikap Reval yang membuatnya gelisah. Lelaki itu sering kali

DMCA.com Protection Status