Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.
“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan. Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia. Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir. “Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh. “Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ... Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian Reval beberapa menit yang lalu. Tetapi, kenyataannya? Ia hanya salah paham. “Pasti hanya kebetulan,” gumam Naura. Ia melirik ke arah kanan. Baru sadar jika asisten Reval masih berdiri di dekatnya. “Kenapa masih di sini? Bukankah seharusnya kamu mengikutinya?” Kedua mata Naura menunjuk ke arah mana Reval tadi pergi. Sang asisten terdiam sejenak. Ia menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal sama sekali. Lelaki itu tampaknya merasa bingung. “Aku harus pergi!” Naura pun melangkah pergi meninggalkan asisten tersebut. Naura berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, suara langkah kakinya menggema di lantai yang dingin. Jantungnya masih berdegup cepat, bukan hanya karena pertemuan singkat dengan Dion, tetapi juga karena kehadiran Reval yang mendadak. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, fokus pada tujuan utamanya, menjenguk ibu mertuanya. Sesampainya di depan pintu ruangan, Naura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu. Di dalam, ibu mertuanya, Bu Lastri, terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya tampak pucat, tetapi matanya yang tajam langsung menatap Naura begitu ia masuk. “Kamu terlambat,” ujar Bu Lastri dengan suara parau, tetapi nadanya tetap penuh kepedulian. Naura mengangguk cepat, menundukkan kepala untuk menyembunyikan raut lelahnya. “Maaf, Bu. Saya langsung ke sini setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah.” “Kamu tidak perlu minta maaf, Naura. Ibu hanya merindukanmu. Yang penting sekarang, kamu ada di sini.” Naura meletakkan bungkusan makanan di meja kecil di sebelah tempat tidur. “Ini sarapan Ibu. Naura juga sudah menyiapkan jus seperti biasa.” Bu Lastri tersenyum. Sementara Naura mendekati jendela, menarik gorden agar sinar matahari masuk, menerangi ruangan yang terasa pengap. Ia tidak berbicara lebih banyak, membiarkan suasana di ruangan itu tenggelam dalam keheningan. Tak lama kemudian, Naura mulai menyuapi ibu mertuanya. Wanita itu berusaha menampakkan wajah cerianya. “Ke mana Dion, Nak?” tanya Bu Lastri pelan. “Em, itu Bu. Sepertinya ada urusan mendadak dari kantornya.” Beberapa menit telah berlalu. Sarapan selesai. Naura membereskan meja kecil di dekatnya. Di saat itu ponselnya bergetar. Ia mengeluarkannya dari saku, melihat nama Dion terpampang di layar. Naura menatap layar itu dengan keraguan, lalu melirik sekilas ke arah Bu Lastri yang masih sibuk menikmati jus buatannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar ruangan sebelum menjawab telepon itu. “Mas Dion?” sapanya pelan, berusaha menjaga nadanya tetap netral. “Kenapa lama sekali angkat teleponnya? Kamu sengaja, ya?” Suara Dion terdengar tajam di ujung sana. “Mas, datanglah ke sini. Naura minta maaf soal tadi. Itu bos aku. Dia sudah meminjamkan banyak uang kepada kita, Mas. Tidak seharusnya Mas Dion melawannya.” “Alah alasan. Jangan pernah membuatku terlihat bodoh lagi. Ingat itu!” Dion memutus sambungan tanpa menunggu jawaban. Naura memandang ponsel di tangannya dengan napas terengah, perasaan marah dan takut bercampur aduk di dadanya. Tangannya mengepal, tetapi ia cepat-cepat melonggarkan genggamannya sebelum kembali ke ruangan. Namun, begitu ia membuka pintu, pandangannya menangkap sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Reval berdiri di sana, di ujung lorong, berbicara dengan seorang dokter. Dari caranya berdiri, Reval tampak santai, tetapi ada ketegasan dalam sikapnya yang tidak bisa diabaikan. Mata Naura bertemu dengannya sesaat, dan ia merasakan kehadiran Reval seperti mengisi udara di sekitar mereka. Reval mengangkat alis sedikit, seolah bertanya mengapa Naura berdiri mematung di pintu. Dengan cepat, Naura mengalihkan pandangannya dan melangkah masuk ke ruangan. Namun, detak jantungnya semakin cepat, seakan tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya. Ketika sore tiba, akhirnya Dion datang kembali ke rumah sakit setelah Naura memohon berkali-kali kepadanya dan berjanji akan memberikan uang. “Mas, Naura mau mandi dulu. Mas Dion jagain ibu, ya?” pamit Naura. “Hmmm ....” Dion terlihat enggan untuk menjawab. Naura paham apa maksud dari suaminya. Ia terpaksa memberikan uang sisa simpanannya kepada Dion. “Gitu dong sejak tadi,” ucap Dion seraya merebut uang di tangan Naura. Naura hanya bisa membatin. ‘Mas Dion benar-benar keterlaluan.’ Naura segera berjalan cepat meninggalkan Dion. Di saat itu ia melihat Reval berdiri tenang seolah sedang menantinya. “Bersiaplah, Naura. Tiga jam lagi di tempat yang sama.” Naura menelan ludah berat. Ternyata Reval tidak memberikan kepadanya kesempatan untuk menunda-nunda lagi. Tanpa memberikan jawaban, Naura pun pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia memilih untuk kabur dari asisten Reval dan naik ojek saja. Ketika tiba di depan rumah, langkahnya terhenti karena melihat sebuah bingkisan tergeletak di lantai. “Apa ini?” gumam Naura penasaran. Ia segera masuk ke dalam rumah dan memeriksa isi bingkisan tersebut. Pakaian kurang bahan lagi dan sebuah tulisan di kertas. [Pakai ini.] Tanpa perlu bertanya, Naura sudah tahu siapa pengirim bingkisan tersebut. Lagi-lagi ia harus meneguk ludahnya dengan susah payah. “Apakah dia sudah gila?” Naura membuang napas kasar. Seketika ia merasa gelisah. Selesai mandi dan berias, Naura memperhatikan penampilannya. Ia sungguh merasa tidak nyaman. Tangannya segera terulur untuk mengambil jaket kesayangannya. “Nah, begini lebih baik.” Melihat jam di ponsel, Naura segera bersiap. Ia tidak ingin terlambat datang dan membuat Reval murka. Mengingat saat tadi Reval marah kepada Dion, membuatnya bergidik ngeri. Naura keluar dari halaman rumah dan mendapat asisten Reval sudah menunggu. “Silahkan masuk,” ucap sang asisten ramah. Naura tak menjawab. Ia segera masuk ke dalam mobil. Di Velvet Crown Hotel. Naura harus menginjakkan kaki untuk kedua kalinya. Udara dingin menggigit kulit Naura di saat ia sudah berdiri di depan pintu kamar yang ditempati Reval. Jantungnya berdegup kencang saat ia mengangkat tangan untuk mengetuk. Sebelum tangannya menyentuh pintu, pintu itu terbuka dari dalam. Reval berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang tergulung hingga siku dan celana bahan gelap. Rambutnya sedikit berantakan, dan aroma maskulin yang khas menyeruak ke hidung Naura. “Kamu datang juga,” kata Reval dengan senyum licik penuh makna. Ia membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Naura segera masuk. Naura tak bersuara. Ia masih terdiam di tempatnya hingga ia bisa merasakan sebuah tangan kekar menarik pinggangnya. Bersamaan dengan itu, pintu kamar tertutup dengan kencang.“Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, suaranya datardan rendah, tanpa emosi yang tampak. Ia menatap Naura dengan intens, seolahmenilai tanpa perlu bertanya. “Kedinginan atau takut?”Naura terdiam sejenak, berusaha menguatkan diri.“Seharusnya saya tidak berada di sini,” jawabnya dengan suara yang hampirbergetar.Reval hanya mengangkat alis, tetap diam, tangannyabertahan di pinggang Naura tanpa gerakan berlebih. Tatapannya tetap tenang,seolah tidak ada urgensi untuk menjawab atau menanggapi lebih jauh.Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudahmenyentuh pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya makin cepat, namun Revaltetap tak bergerak, tetap mengawasi.“Apa yang anda inginkan?” tanya Naura, nada suaranyategas meski ada kecemasan di dalamnya.Reval meraih kedua bahunya dengan gerakan lambat,namun tidak pernah terburu-buru. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tetapdatar, namun perintah itu jelas.Naura merasa terperangkap, meski tanpa kata-kata, iatidak bisa menarik dir
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu menyel
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi.“Ibu ....”Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit.Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar.Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya.Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri.‘Ibu ... maaf ....’Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskipun sed
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
[Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.]Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya.Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya.Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu membawa aura d
“Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan
Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana
Reval tidak menggubrisnya. “Kamu terluka. Jangan memaksakan diri,” ucap Reval dingin, tetapi tangannya tetap kokoh memegang Naura. Ia membawanya menuju mobil hitamnya yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Naura merasa malu dan tidak nyaman. “Pak, saya bisa naik taksi saja. Tidak perlu repot-repot,” ucapnya sambil mencoba melepaskan dirinya. Reval menatapnya tajam, lalu membuka pintu mobil. “Masuk.” Itu lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan. Naura tidak punya pilihan lain selain menuruti. Ia duduk di samping Reval. “Jalan!” Mobil meluncur dengan cepat. --- Di dalam mobil, suasana hening. Naura mencoba menenangkan dirinya, meski rasa sakit di pergelangan kakinya masih terasa. Ia melirik Reval dari sudut matanya. Wajah pria itu terlihat serius. “Pak Reval, saya benar-benar tidak apa-apa. Saya hanya butuh sedikit waktu untuk istirahat, itu saja.” Naura mencoba membuka pembicaraan, meskipun nadanya ragu. Reval mendengkus pelan. “Istirahat t
Dion tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju meja, menarik kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan menghembuskan napas panjang. “Nggak usah nanya-nanya hal yang nggak penting, Nau,” jawab Dion, nadanya terdengar ogah-ogahan.Naura menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Aku nanya karena aku peduli, Mas. Mas pulang malam, penampilan berantakan, terus langsung marah-marah. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dion diam, tidak segera menjawab. Namun, sikapnya yang diam hanya membuat Naura semakin curiga. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan suaminya. “Mas, aku tanya baik-baik. Jangan diam saja seperti ini,” desaknya.Akhirnya, Dion menegakkan tubuhnya. Ia menatap Naura dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan suara pelan tapi cukup tajam. “Aku kalah lagi.”Naura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dion. Kalah? Apa maksudnya? Tapi kemudian, pema
Gesekan koin yang kasar melawan kulitnya meninggalkan bekas kemerahan baru, namun Naura tidak peduli. Ia terus melanjutkan, berpikir bahwa tanda itu akan tampak seperti bekas kerokan biasa. Setelah beberapa saat, ia berhenti. Napasnya sedikit terengah, sementara kulit lehernya kini terlihat lebih merah dari sebelumnya. Namun, tanda asli itu sudah tidak begitu mencolok, atau setidaknya ia berharap demikian. Naura menatap hasil usahanya dengan cemas, mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan semuanya. “Semoga ini cukup,” kata Naura pelan, seperti doa. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekas itu bukan satu-satunya jejak yang ditinggalkan Reval. Beberapa waktu telah berlalu, Naura membuka pintu kamarnya perlahan. Ia tahu bahwa Bi Mirna mungkin masih ada di sekitar. Wanita itu sangat perhatian, tetapi terkadang perhatian yang diberikan justru membuat Naura merasa tidak nyaman, terutama dalam situasi seperti ini. Suara dering telepon di ruang tamu membuat Naura sedik
Naura mencoba tersenyum kecil, meskipun dalam hati ia merasa panik. Ia mengusap lehernya dengan canggung sambil mencari alasan yang masuk akal. “Em, ini mungkin kena gigit serangga, Bi. Soalnya rumah ayah Naura melewati ladang pertanian juga.” Bi Mirna masih menatapnya dengan dahi yang sedikit berkerut, tetapi akhirnya mengangguk. “Oh, begitu ya, Nyonya? Kalau begitu nanti bibi siapkan salep, siapa tahu bisa membantu.” “Tidak perlu, Bi. Terima kasih ya? Sekarang Naura mau ke kamar dulu.” Naura langsung bergegas meninggalkan dapur sebelum Bi Mirna bisa bertanya lebih lanjut. Ia merasakan tatapan wanita paruh baya itu masih mengikuti punggungnya hingga ia masuk ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Naura menyandarkan tubuhnya pada daun pintu dan menghembuskan napas panjang. Ia berusaha menenangkan detak jantung yang masih tidak beraturan. Rasa panas di wajahnya belum sepenuhnya hilang. “Apa yang kupikirkan tadi?” gumamnya pada diri sendiri. Ia menggeleng-gelengkan kepala
“Iya, Bu. Maaf baru bisa pulang sekarang,” jawab Naura, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ibu Lastri hanya mengangguk kecil, tetapi tatapan matanya tak lepas dari Naura, seperti tengah menilai sesuatu. Suasana kamar yang hening hanya diisi oleh detak jarum jam di dinding dan suara napas mereka berdua. “Duduklah, Naura,” ujar Ibu Lastri sambil menunjuk kursi di dekat ranjang. Naura mengikuti perintah itu, menarik kursi perlahan sebelum duduk di atasnya. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi rasa penasaran bercampur gugup terus menghantuinya. “Kata Bibi, Ibu mau bicara penting, ya? Ada apa, Bu? Apakah ada masalah?” tanya Naura penuh antusias. “Naura,” suara Ibu Lastri memecah keheningan. Tatapannya tajam seperti sedang mencurigai menantunya. “Apa kamu sangat dekat dengan bos kamu?” Deg! Naura membeku. Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan. Bagaimana mungkin Ibu Lastri menanyakan hal itu? Bukanka
Naura menggeliat pelan, matanya perlahan terbuka. Langit-langit kamar yang asing segera mengingatkannya pada tempat di mana ia berada. Akan tetapi, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang berat menekan pinggangnya. Ia menoleh perlahan dan melihat wajah Reval yang tertidur lelap, begitu dekat hingga ia bisa merasakan helaan napas pria itu di kulitnya. Naura terpaku sejenak, mengamati wajah Reval yang damai dalam tidurnya. Tidak ada tanda-tanda kekakuan atau dinginnya sikap yang biasa ia tunjukkan. Kini, ia hanya seorang pria yang kelelahan, dengan tangan kokohnya yang memeluk Naura erat, seakan enggan melepaskannya bahkan dalam tidur. Perlahan, Naura mencoba memindahkan tangan itu. Gerakannya sangat hati-hati, nyaris tanpa suara. Tapi begitu ia berhasil membebaskan diri, perutnya berbunyi keras, memecah keheningan kamar. Ia memegang perutnya dengan ekspresi malu, meskipun tidak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri. “Lapar sekali…,” gumamnya pelan. Pandangannya melirik pintu k
Ketika bibir mereka bersentuhan untuk kedua kalinya, itu tidak terasa tergesa-gesa. Kali ini, Reval memimpin dengan kehangatan yang membuat dunia di sekitar Naura seperti lenyap. Naura terperangah, tetapi tidak melawan. Bibir Reval bergerak lembut, seolah memberi kesempatan pada Naura untuk memilih, namun setiap gerakan kecil darinya seolah meruntuhkan pertahanan yang coba Naura bangun. Jantungnya berdetak begitu keras, membuat pikirannya kacau. Ia tidak tahu apa yang lebih menyesakkan. Sensasi dari ciuman itu atau konflik dalam dirinya yang enggan mengakuinya. Tangan Reval bergerak perlahan, menyentuh sisi wajah Naura dengan ujung jarinya, seperti memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana. Sentuhan itu membuat Naura meremang, lututnya lemas hingga ia harus menggenggam sprei untuk mencari keseimbangan. Reval menekan sedikit lebih dalam, menciptakan irama yang membuat napas Naura tersengal. Tangannya yang lain kini menyentuh pinggang Naura, menahannya agar tetap di tempat. T
Langkah Naura terasa berat ketika memasuki kamar Reval. Hatinya masih bimbang, tetapi perintah lelaki itu membuatnya tak punya pilihan. Sesampainya di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sosok Reval yang terbaring di sofa. Napasnya tertahan sejenak. Reval tertidur dengan posisi yang tampak tidak nyaman. Tubuhnya setengah terkulai, dengan kepala bersandar pada sisi sofa dan satu tangan menjuntai ke lantai. Dada pria itu naik turun perlahan, menunjukkan kedamaian yang jarang Naura lihat darinya. Wajah Reval, yang biasanya penuh intensitas dan otoritas, tampak begitu tenang dan lelah. Sepertinya dugaan Naura benar. Reval pasti kecapekan. Naura ingat betapa sibuknya pria itu tadi malam, terutama ketika dirinya yang merasa tidak enak badan. “Apa mungkin dia menjagaku?” pikirnya tiba-tiba. Namun, Naura segera menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. Tidak mungkin. Reval peduli sampai sejauh itu. Memangnya dia siapa? Naura mengamati sekeliling kamar, mencoba mengalihkan pik
“Tidak, saya baik-baik saja,” jawab Naura cepat, mencoba tersenyum untuk menutupi kegelisahannya. Meski begitu, Naura menangkap sesuatu dalam tatapan mata Reval. Lelaki itu sepertinya terlihat lelah. Sementara Reval masih diam, memperhatikan wajah Naura yang tampak memerah. Lelaki itu mengangkat alis, lalu duduk di sofa dengan santai. Tatapannya tak kehilangan ketajaman. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih tegang, seolah-olah Naura sedang berdiri di depan hakim yang siap memutuskan nasibnya. “Benarkah?” tanya Reval kemudian, nadanya datar, tetapi ada sesuatu yang membuat jantung Naura berdetak lebih cepat. “Sejak tadi aku melihatmu gelisah. Ada apa?” Naura menelan ludah. Tangannya yang saling menggenggam di depan tubuhnya semakin erat. Ia tahu kebohongannya pagi tadi kepada ibu mertuanya masih menghantuinya. Meski begitu, ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan Reval. “Sudah saya bilang. Saya tidak ada apa-apa Pak Reval,” jawab Naura lagi, kali ini lebih teg
Naura membiarkan ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Pesan masuk menyusul, membuat Naura terpaksa memeriksanya segera. Dia membuka pesan itu dengan gerakan lambat, seolah-olah kata-kata di dalamnya adalah beban yang harus dia pikul. Mata Naura menyusuri kalimat demi kalimat dalam pesan tersebut. Amira mengatakan bahwa dia membutuhkan uang untuk membayar biaya administrasi ujian yang sudah dekat. Tidak hanya itu, Amira juga menyebutkan bahwa ayah mereka harus segera kontrol ke dokter dan membeli obat. Naura terdiam. Pesan itu seolah menjadi palu yang menghantam hatinya. Amira tidak pernah meminta jika tidak dalam keadaan benar-benar membutuhkan. Gadis itu terlalu mandiri untuk ukuran seorang siswa yang masih bergantung pada keluarganya. Dan sekarang, permintaannya mencerminkan kepanikan yang tersembunyi di balik kata-kata sederhana. Naura menghela napas panjang. Pikirannya langsung melayang ke rekeningnya yang mulai menipis. Bulan ini dia belum menerima gaji