Gimana nih?????
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
[Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.]Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya.Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya.Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu membawa aura d
“Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan
Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana
Reval tidak menggubrisnya. “Kamu terluka. Jangan memaksakan diri,” ucap Reval dingin, tetapi tangannya tetap kokoh memegang Naura. Ia membawanya menuju mobil hitamnya yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Naura merasa malu dan tidak nyaman. “Pak, saya bisa naik taksi saja. Tidak perlu repot-repot,” ucapnya sambil mencoba melepaskan dirinya. Reval menatapnya tajam, lalu membuka pintu mobil. “Masuk.” Itu lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan. Naura tidak punya pilihan lain selain menuruti. Ia duduk di samping Reval. “Jalan!” Mobil meluncur dengan cepat. --- Di dalam mobil, suasana hening. Naura mencoba menenangkan dirinya, meski rasa sakit di pergelangan kakinya masih terasa. Ia melirik Reval dari sudut matanya. Wajah pria itu terlihat serius. “Pak Reval, saya benar-benar tidak apa-apa. Saya hanya butuh sedikit waktu untuk istirahat, itu saja.” Naura mencoba membuka pembicaraan, meskipun nadanya ragu. Reval mendengkus pelan. “Istirahat t
Tiba-tiba, Reval mendekatkan wajahnya tanpa memberikan waktu bagi Naura untuk bereaksi. Dengan gerakan pasti, ia menangkup wajah Naura. Sebelum Naura sempat berkata apa-apa, bibirnya menyentuh bibir Naura dengan lembut, tetapi menuntut. Naura tersentak, tubuhnya menegang di bawah kendali Reval. Bibir Reval yang hangat melumat bibirnya dengan gerakan yang teratur, mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuhnya. Ciuman panas itu cukup untuk membuat perasaan Naura berantakan. Ciuman itu penuh kendali, membuatnya seolah-olah kehilangan gravitasi. Tangannya, yang tadinya berada di pangkuan, mengepal erat untuk menahan gelombang sensasi yang menyusup ke setiap sarafnya. Naura masih terdiam, tubuhnya kaku. Otaknya berusaha keras memahami apa yang baru saja terjadi, namun respons tubuhnya jauh lebih lambat. Ia tidak melawan, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Reval memperdalam ciumannya, menggerakkan bibirnya dengan intensitas yang mengguncang ketenangan Naura. Seolah-olah wa
Reval terkejut sejenak, tubuhnya membeku saat bibir Callista menyentuh pipinya. Namun, hanya sejenak. Seketika, rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah dingin seperti es. Ia menarik tubuhnya sedikit menjauh, menciptakan jarak yang jelas antara dirinya dan Callista. “Singkirkan tanganmu,” ucapnya dengan nada rendah, tapi tegas, mengandung ancaman terselubung. Matanya yang tajam seperti belati menatap Callista yang masih tersenyum percaya diri, seolah tidak menyadari kemarahan yang sedang membara. Callista tertawa kecil, mengabaikan ketegangan di wajah Reval. Ia mengalihkan pandangannya ke Adelia, menggamit lengannya dengan gaya manja yang membuat Reval semakin muak. “Tante, lihatlah. Reval bahkan tidak menghargai keberadaanku di sini. Padahal aku sudah berusaha keras untuk membuat hubungan kami lebih baik,” ujarnya dengan suara yang sengaja dilembutkan, seolah dirinya adalah korban. Adelia menghela napas panjang, ekspresi lelah terpancar di wajahnya. Ia menatap Reval dengan ma
Naura menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Ia memikirkan tuduhannya, emosi yang tadi meluap begitu saja. Namun, yang lebih menghantuinya adalah kenyataan yang disembunyikan dari Dion. Sebuah kebenaran yang tidak berani ia akui, bahkan kepada dirinya sendiri. Bahwa ia yang telah mengkhianati Dion. Dion memperhatikan Naura yang terlihat tidak seperti biasanya. Wajah yang biasanya ceria kini tampak lesu, dengan sorot mata yang tidak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia menghela napas panjang, mengusap tengkuknya sebelum berbicara lagi. “Nau, aku tahu akhir-akhir ini kamu banyak pikiran,” ucap Dion. “Tapi, coba kita bicarakan baik-baik. Jangan asal tuduh. Aku ini suamimu, bukan musuh.” Kata-kata itu terasa menusuk telinga Naura. Suara Dion yang mencoba memulihkan suasana justru semakin membebani pikirannya. Matanya tetap menatap lantai, mencoba menghindari kontak mata. “Mas Dion,” ia memulai dengan suara yang hampir tidak terdengar, “maaf ....” “Bukan soal maaf, N
“Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Naura, sedikit ragu.Ervan membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Raut wajahnya seakan menyimpan sesuatu, tetapi akhirnya ia hanya menggeleng.“Tidak, Ibu Naura.”Naura menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.“Baiklah. Kalau begitu, aku pamit dulu.”Naura segera melangkah pergi, ia berusaha fokus menyelesaikan pekerjaannya.Ketika jam makan siang tiba, Naura memilih untuk menyendiri. Wanita itu sengaja mencari restoran agak jauh dari kantor.Setiap langkah terasa begitu berat, tetapi Naura tetap berjalan. Suasana restoran itu tidak terlalu ramai, seperti yang ia harapkan.Ia memilih meja di sudut ruangan. Tempat yang biasa ia duduki bersama Reval.Sebuah meja kecil di dekat jendela, dengan pemandangan jalanan kota yang sibuk.Tempat yang penuh kenangan.Naura menghela napas panjang. Kali ini, tidak ada suara tawa Reval, tidak ada tatapan tajamnya, tidak ada obrolan ringan yang biasanya mengisi waktu makan siangnya.Yang ada hanyalah dirinya s
Ervan menelan ludah. Ia berdeham dengan canggung. Dinda masih belum bisa berpikir dengan jernih. Wajahnya terasa panas, dan ia bisa merasakan jari-jari Ervan masih dengan lembut menopang punggungnya. “A-aku ... aku baik-baik saja,” gumam Dinda pelan. Namun, tubuhnya masih dalam dekapan Ervan. Dan itu membuatnya semakin salah tingkah. Ervan menyadari hal itu dan segera melepaskan Dinda dengan gerakan hati-hati. “Maaf. Aku refleks.” Dinda buru-buru berdiri tegak dan merapikan bajunya, berharap Ervan tidak menyadari betapa panasnya wajahnya saat ini. “T-tidak, tidak apa-apa. Terima kasih ... kalau saja tadi kamu tidak menangkapku, mungkin aku sudah babak belur.” Ervan tersenyum kecil, tetapi matanya masih menyiratkan sisa keterkejutan. “Aku kebetulan lewat dan melihatmu hampir jatuh. Instingku langsung bergerak.” Dinda mengangguk kikuk, merasa bodoh karena tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Ervan juga tampak sama canggungnya. Ia menggaruk tengkuknya, sesuatu yang selalu
Naura merasakan aliran darahnya seakan berhenti sesaat. Callista? Ia menatap layar ponselnya sekali lagi. Nama yang tertera di sana memang Reval, tetapi suara yang ia dengar jelas milik Callista. Dinda yang masih berdiri di sampingnya menatap penuh tanya, tetapi Naura terlalu sibuk mengendalikan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. “Halo? Naura?” suara Callista kembali terdengar, kali ini lebih lembut, tetapi menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Naura menelan ludah. “Iya, aku Naura.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Hanya terdengar embusan napas Callista sebelum akhirnya wanita itu kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Aku ingin bertemu denganmu.” Naura mengernyit. “Bertemu denganku? Untuk apa?” Dinda kini semakin penasaran, matanya menatap Naura penuh keingintahuan, tetapi Naura mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar Dinda menunggu. “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu,” ujar Callista. “Aku rasa … ini penting.” Naura menghe
Naura menarik napas dalam, mencoba mengontrol gejolak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia menatap Dinda dengan ekspresi setenang mungkin. Dinda menatap Naura dengan mata berbinar, tampak begitu bersemangat menceritakan gosip yang tengah hangat diperbincangkan di kantor. “Nona Callista.” Kata itu seperti palu godam yang menghantam dada Naura. Seketika, suara di sekitarnya memudar. Udara yang tadi bisa ia hirup dengan leluasa kini seakan menipis, menyisakan rongga kosong di dadanya. Callista? Tangannya mencengkeram tali tas lebih erat, berusaha menstabilkan dirinya yang tiba-tiba merasa limbung. Seharusnya ia tidak terkejut. Callista memang selalu berada di sekitar Reval, dan wanita itu bukan orang asing di kehidupan mereka. Tapi mendengarnya langsung seperti ini … tetap saja membuatnya sesak. “Naura, kamu kenapa?” suara Dinda membuyarkan lamunannya. Naura segera menampilkan senyum tipis. “Em, tidak apa-apa kok, Din. Aku masuk dulu ya?” Ia melangkah cepat menuju lift, berhara
Naura sontak sedikit menjauhkan kepalanya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Ia menarik napas pelan, mencoba meredakan kegelisahan dalam hatinya. “Kenapa mendadak, Mas?” tanya Naura menatap Dion melalui cermin. Dion tersenyum samar. “Nggak ada alasan khusus, Sayang. Aku hanya ingin menebus waktu yang terbuang. Selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan kerja, sampai lupa membahagiakanmu.” Naura mengerutkan kening. Sejak kapan Dion sibuk kerja? Setahu Naura, Dion lebih sering menghilang tanpa kabar. Malam-malam pulang larut atau bahkan tidak pulang sama sekali. Sekarang, tiba-tiba berbicara soal liburan berdua? Naura menatap bayangan suaminya di cermin. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami dari sikap Dion pagi ini. “Jadi bagaimana? Kamu mau kan?” Dion berbisik lagi, tangannya kini bergerak naik, menyentuh bahu Naura dengan lembut. Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi tanda tanya. “Kita lihat nanti saja, Mas. Aku juga perlu mempersiapkan semuanya. Selain itu, aku be
Kedua mata Naura melirik jam digital di atas nakas. 01.45 AM. Malam sudah sangat larut. Naura menyingkap selimut, menurunkan kakinya ke lantai. Hawa dingin segera menyergap kulitnya, tetapi bukan itu yang mengganggunya. Ada perasaan tidak nyaman yang menekan dadanya, sebuah firasat yang sulit dijelaskan. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membuka perlahan. Koridor rumah gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu di ruang tengah. Nafasnya tertahan saat menatap sekeliling. Rumah terasa terlalu sepi. “Mas Dion?” panggilnya pelan, suara seraknya nyaris tenggelam dalam keheningan malam. Tidak ada jawaban. Naura melangkah ke dapur, berharap suaminya ada di sana untuk mengambil minum seperti yang sering dilakukan. Namun, dapur kosong. Tidak ada jejak Dion di sana. Tidak ada gelas yang diletakkan di meja. Bahkan kulkas masih tertutup rapat, tidak menunjukkan tanda-tanda baru saja digunakan. Dadanya mulai terasa berat. Nafasnya tersendat. Matanya kemudian melirik ke arah
Callista berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Dion terlalu kuat. “Lepaskan aku! Ini tidak termasuk dalam kesepakatan kita!” Dion terkekeh, matanya berkilat dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Kata siapa?” Callista mendelik, wajahnya mengeras. “Aku tidak pernah menawarkan diriku, Dion. Aku hanya ingin menyelesaikan urusan denganmu, bukan melayani keinginan kotormu.” Dion menyipitkan matanya. “Oh, jadi kamu berani menentangku?” Callista berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Ia tahu Dion, mengenalnya lebih baik daripada siapa pun. Jika pria itu sudah menunjukkan sisi gelapnya, maka tidak ada gunanya melawan dengan keras kepala. Tetapi Callista bukan wanita lemah. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan tangannya dengan sedikit lebih lembut. “Dion, dengarkan aku. Aku tidak mau ada masalah. Kita sudah punya kesepakatan, bukan?” Dion tidak bergeming. Matanya menatap Callista dengan penuh penilaian sebelum bibirnya melengkung dalam sen
Dion mengerjap, matanya membesar. “Callista?” Wanita itu tersenyum miring, lalu dengan anggun memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Apa kabar kamu, Dion? Sudah lama aku tidak melihatmu.” Dion melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Callista berdiri tegak kembali. Matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan. Callista masih seperti dulu. Berpenampilan mewah, tubuhnya dibalut gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Parfum mahalnya masih tercium kuat, mengingatkan Dion pada masa-masa yang ingin ia lupakan. “Aku pikir kamu masih di luar negeri,” gumam Dion. Callista menyeringai. “Aku pulang beberapa bulan lalu. Kau tidak tahu?” Dion menggeleng. “Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak menghubungimu.” Callista melipat tangan di depan dadanya. “Kamu terlalu sibuk dengan istrimu, kan?” Dion menatap Callista tajam. Wanita itu terkekeh pelan. “Kamu ingat, Dion? Waktu itu kamu membawa kabur uangku.” Dion mengepalkan tangan. “Aku tidak punya pilihan.” “Dan
Dion terdiam sejenak. “Naura lebih banyak menghabiskan waktu dengan bosnya. Aku yakin itu anak Reval. Bukan anakku.” Lastri tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Dion! Istri kamu baru saja mengandung anak pertama kalian, dan alih-alih bersyukur, kamu malah menuduhnya?!” Dion menutup matanya sejenak. “Bu, aku tidak menuduh. Seminggu ini Naura tidak pulang ke rumah. Dia tidur bersama Reval, Bu. Bagaimana aku bisa yakin jika anak itu adalah anakku, Bu?” Lastri terdiam. Dion melanjutkan. “Aku melihat semuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, berbicara dengan cara yang berbeda. Dan lebih dari itu ....” Dion mengusap wajahnya dengan kasar. “Naura berubah sejak saat itu, Bu. Sejak dia mendapatkan uang untuk membayar operasi ibu. Dia yang mulai terlihat gelisah, pikirannya sering melayang. Dan malam ini, ketika dokter mengumumkan kehamilannya, aku melihat sesuatu di matanya.” Lastri mempersempit matanya. “Apa yang kamu lihat?” Dion menatap ibunya lurus-lurus. “Keraguan.” Dion me