“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan.
Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Naura keluar dari kamar dan mulai untu memasak. Ia juga menyiapkan bekal untuk ibu mertuanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Saat ia berdiri di dapur, memasak sarapan dengan kepala yang masih sedikit sakit, pikirannya melayang. Ia mengingat hari-hari awal pernikahan mereka, ketika Dion adalah sosok yang penuh perhatian. Waktu itu, Dion tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, apalagi menyakitinya. Namun, pria yang berdiri di belakangnya sekarang adalah seseorang yang nyaris tidak ia kenali. Namun, bayangan akan masa lalu itu terbuyarkan ketika Dion mendekatinya dari belakang. “Aku butuh uang,” kata Dion, suaranya berat dan tanpa basa-basi. Naura berbalik, terkejut. “Uang? Mas, aku baru saja memberimu uang untuk melunasi utangmu kemarin. Bukankah itu sudah lebih dari cukup?” Dion mengernyit, jelas tidak senang dengan jawaban itu. “Itu tidak cukup! Jangan berlagak tidak tahu, Naura. Aku suamimu. Kau harus memenuhi kebutuhanku!” Ketegangan di udara semakin pekat. Naura menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi. “Mas, aku sudah memberikan semuanya. Aku tidak punya uang lagi. Aku bahkan harus menyisihkan uang untuk kebutuhan rumah sakit ibumu …” “Jadi sekarang kau mulai perhitungan kepada Ibuku?!” Dion terlihat tidak suka dengan perkataan Naura “Bukan seperti itu maksudku, Mas—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan Dion sudah menyapu meja makan dengan kasar. Piring dan gelas yang sudah tertata rapi berjatuhan, makanan tercecer di lantai, beberapa pecah. Dion mengambil sendok dan melemparkannya ke arah Naura dengan gerakan cepat. “AKHHH!” Naura menjerit kecil, beruntung sendok itu hanya meleset sedikit dari wajahnya. Ia mundur dengan tubuh gemetar, takut akan amukan Dion yang sudah biasa ia hadapi. Dion mendengus marah, meliriknya dengan tajam. “Kau wanita tidak berguna!” teriaknya, sebelum berjalan keluar rumah dengan langkah kasar, membanting pintu di belakangnya. Naura berdiri mematung, tubuhnya bergetar, sementara air mata mulai membasahi pipinya. Setelah beberapa saat, ia berjongkok perlahan, mulai mengumpulkan pecahan piring di lantai dengan tangan yang gemetar. ‘Mengapa aku harus berakhir seperti ini? pikirnya, isakannya tertahan di tenggorokan. ** Setelah semuanya beres, Naura bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Namun, saat ia membuka pintu rumah, sebuah mobil mewah sudah terparkir di depan rumahnya. Seorang pria turun dari mobil, mengenakan setelan rapi. Naura mengenali pria itu, asisten Reval. “Ibu Naura, saya ditugaskan untuk menjemput Anda pagi ini,” ujar asisten itu sopan, sambil membukakan pintu mobil untuknya. Naura menggeleng cepat. “Tidak perlu. Saya bisa naik bus. Lagipula, saya harus ke rumah sakit terlebih dahulu untuk menjenguk ibu mertua saya.” Namun, asisten itu tetap membungkuk hormat. “Ini perintah langsung dari Pak Reval. Silakan naik, kami akan mengantarkan Anda ke mana pun Anda butuhkan.” Naura merasa sungkan, tetapi akhirnya masuk ke mobil. Di dalam, ia memandang interior yang mewah dengan perasaan campur aduk. Ia tidak pernah membayangkan seseorang seperti Reval akan mengatur sesuatu seperti ini untuknya. Dalam diam, pikirannya mulai membandingkan Dion dengan Reval. Dulu, Dion adalah pria yang ia cintai, pria yang pernah menjanjikan kebahagiaan. Namun, Dion tidak pernah memberinya perhatian atau kehangatan, bahkan di masa kejayaannya. Semua terasa hambar, jauh berbeda dengan kehadiran Reval … buru-buru Naura menghilangkan bayangan Reval. Sesampainya di rumah sakit, Naura turun dari mobil. Namun, saat ia masuk ke lobi rumah sakit, ia dikejutkan oleh kehadiran Dion yang berdiri di sana. “Mas? Kamu di sini sepagi ini?” tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. Dion melangkah mendekat, ekspresinya berubah dingin dan penuh curiga. “Jadi, pria mana yang mengantarmu dengan mobil mewah itu? Kamu berkencan di belakangku sekarang, ya?” tuduh Dion, suaranya keras dan penuh nada meremehkan. Naura membelalakkan mata, terkejut oleh tuduhan itu. “Tidak, Mas! Itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Itu hanya fasilitas dari perusahaan tempat aku bekerja!” Dion mendengus sinis, menyeringai dengan tatapan merendahkan. “Perusahaan? Kamu pikir kariermu bisa secemerlang itu? Jangan mengada-ada, Naura. Aku tahu kamu tidak secerdas itu.” Tuduhan Dion membuat emosi Naura memuncak. “Mas! Aku sudah melakukan segalanya untuk kita. Aku bekerja keras untukmu, untuk ibumu, dan ini yang kamu lakukan? Menuduhku tanpa alasan?” Perdebatan mereka semakin memanas. Orang-orang mulai berhenti untuk menonton, suasana menjadi tidak nyaman. Dion yang terpancing emosi tiba-tiba mengangkat tangannya, siap menampar wajah Naura. Namun, sebelum tangan itu mengenai pipinya, sebuah tangan lain mencekal pergelangan Dion dengan tegas. Reval memandang Dion dengan tatapan tajam, senyumnya kecil tapi penuh sindiran. Tangannya yang mencengkeram pergelangan Dion tidak menunjukkan sedikitpun niat untuk melepaskannya. Aura dominannya begitu kuat hingga membuat Dion terlihat kecil dan kikuk di hadapannya. “Memukul seorang wanita di depan umum?” ujar Reval, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Apa kau benar-benar ingin menunjukkan pada mereka betapa lemahnya dirimu?” Dion berusaha melepaskan cengkeraman Reval, tapi sia-sia. “Lepaskan tanganmu! Ini bukan urusanmu!” Reval mendekatkan wajahnya sedikit, sehingga hanya Dion yang bisa mendengar kata-katanya. “Oh, ini urusanku sekarang. Kau berani menyentuh pegawaiku, dan aku jamin kau akan menyesal.” Nada suaranya tetap tenang, namun ancamannya jelas.Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan.Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia.Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir.“Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh.“Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ...Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian
“Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, suaranya datardan rendah, tanpa emosi yang tampak. Ia menatap Naura dengan intens, seolahmenilai tanpa perlu bertanya. “Kedinginan atau takut?”Naura terdiam sejenak, berusaha menguatkan diri.“Seharusnya saya tidak berada di sini,” jawabnya dengan suara yang hampirbergetar.Reval hanya mengangkat alis, tetap diam, tangannyabertahan di pinggang Naura tanpa gerakan berlebih. Tatapannya tetap tenang,seolah tidak ada urgensi untuk menjawab atau menanggapi lebih jauh.Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudahmenyentuh pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya makin cepat, namun Revaltetap tak bergerak, tetap mengawasi.“Apa yang anda inginkan?” tanya Naura, nada suaranyategas meski ada kecemasan di dalamnya.Reval meraih kedua bahunya dengan gerakan lambat,namun tidak pernah terburu-buru. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tetapdatar, namun perintah itu jelas.Naura merasa terperangkap, meski tanpa kata-kata, iatidak bisa menarik dir
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu menyel
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi.“Ibu ....”Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit.Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar.Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya.Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri.‘Ibu ... maaf ....’Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskipun sed
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
[Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.]Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya.Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya.Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu membawa aura d
“Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan
Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana
Reval mendesah pelan, tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan. “Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah memastikan pemesanan dua kamar beberapa hari yang lalu.”Resepsionis tampak cemas. “Kami sangat meminta maaf, Pak. Saat ini hotel kami penuh. Namun, kamar yang tersedia adalah suite dengan dua tempat tidur. Kami pastikan kamar itu nyaman.”Reval mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Naura. “Kamu keberatan?”Naura merasa jantungnya seperti ingin melompat keluar. “Ehm, saya ... saya kira—”“Ini hanya tiga hari. Kita bisa mengatur ini,” potong Reval santai.“Baik, Pak. Kami akan mengantar Anda ke kamar,” ujar resepsionis dengan suara penuh permohonan maaf.Saat pintu kamar suite terbuka, Naura tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu begitu luas, dengan sofa kulit di ruang tamu kecil, meja makan, dan balkon yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Dua tempat tidur besar terletak di sisi ruangan, dipisahkan oleh meja kecil. Meski begitu, hati Naura merasa resah. Mengap
Reval tidak langsung merespons. Ia hanya menggerakkan alis sedikit, tanda bahwa ia mendengar. Keheningan melingkupi mobil, menciptakan ketegangan yang hampir membuat Naura menyesal telah mengucapkan kata-kata itu.“Apakah ini ada hubungannya dengan suamimu, Dion?” akhirnya Reval bertanya, suaranya datar, tetapi ada nada menyelidik yang membuat Naura merasa seperti sedang diinterogasi.Naura tercekat. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Haruskah ia jujur? Haruskah ia mengakui bahwa Dion-lah alasan di balik permintaannya? Tapi apa yang akan Reval pikirkan tentangnya jika ia mengatakan yang sebenarnya?Kebingungan menghantamnya, seperti gelombang besar yang sulit dihentikan. Naura menunduk, menghindari tatapan Reval yang begitu tajam.“Tidak, Pak,” jawab Naura berbohong, suaranya hampir seperti bisikan.Reval mendengkus pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa.Naura merasa dadanya sesak. Ia tahu ia harus memberikan alasan. Dan alasan itu harus masuk akal. Namun, kebohongan yan
Naura mengangguk. “Sebagian besar sudah, Mas. Nanti aku akan berangkat langsung dari kantor.”Dion menghela napas. “Semoga perjalananmu lancar.”Naura mengangguk lagi, tetapi kali ini tanpa bicara. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata-kata Dion terdengar datar, tanpa emosi. Namun, Naura mencoba untuk tidak memikirkan itu terlalu dalam.Setelah selesai membereskan semua, Naura memasak sarapan sederhana. Meja makan menjadi tempat mereka bertemu lagi, tetapi seperti biasanya, keheningan mengisi ruang di antara mereka. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu.“Naura,” panggil Dion tiba-tiba, memecah suasana.Naura mengangkat wajahnya. “Iya, Mas?”“Nanti kalau di sana, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa makan, ya?” Kata-katanya terdengar tulus, tetapi Naura tahu, itu hanyalah basa-basi kecil sebelum ia meminta sesuatu lagi.“Baik, Mas,” jawab Naura singkat.Tiba di kantor, Naura sudah bersiap menunggu keberangkatan dengan Reval. Sebuah koper kecil tergeleta
Dion menegakkan tubuhnya sedikit. Ia menatap Naura dengan penuh harap, meskipun wajahnya masih dihiasi luka yang belum kering. “Apa syaratnya?”Ruangan itu terasa hening setelah Dion mengajukan pertanyaan. Hanya suara detak jam dinding yang terus berdetak seperti mengingatkan waktu yang berjalan tanpa henti. Naura menghela napas panjang. Matanya menatap lurus pada suaminya, mencoba mengukur reaksi dari apa yang akan ia katakan.“Besok aku harus menemani Pak Reval keluar kota, Mas. Mungkin sampai tiga hari,” jelas Naura dengan nada yang sedapat mungkin dibuat tenang.Dion mengerutkan kening sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Ya, itu tidak masalah. Asalkan aku dapatkan uangnya, Naura.”Jawaban Dion membuat hati Naura sedikit terguncang. Begitu sederhananya pria itu menyetujui, seolah kepergian istrinya bersama pria lain tidak membawa beban apa pun. Namun, Naura menahan lidahnya. Ia tidak ingin menambah panjang konflik malam ini.“Mas, kamu yakin tidak apa-apa aku pergi selama itu?”
Jantung Naura berdegup lebih cepat. Pesan itu singkat, tetapi Naura merasakan sesuatu yang tidak beres. Dalam pikirannya, berbagai kemungkinan buruk bermunculan, membuatnya merasa tak nyaman. Naura segera menyelesaikan laporan terakhir. Ia menyusun dokumen di mejanya dengan tergesa-gesa.Saat berjalan keluar dari ruangan, langkah cepat Naura menarik perhatian Dinda, rekannya.“Naura, kenapa terburu-buru?” tanya Dinda, menghentikan langkahnya.“Hai, Din.” Naura tersenyum tipis meski terlihat jelas wajahnya diliputi kecemasan. “Sepertinya ibu sangat membutuhkan aku di rumah. Aku duluan ya?”Tanpa menunggu jawaban, Naura berjalan ke arah pintu keluar. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, dan suara-suara bising di kantor seolah menghilang. Ia memesan ojek melalui aplikasi ponsel dan berdiri gelisah di pinggir jalan, menunggu pengemudi tiba.Tak lama, ojek datang, dan Naura segera naik. Angin sore menerpa wajahnya saat motor melaju, tetapi bukannya membuatnya merasa tenang, angin itu jus
Langit sore mulai menggelap, seolah menandakan hujan yang akan segera turun. Naura berdiri di tepi trotoar depan apartemen Reval, dengan ponsel di tangannya. Ia mencoba memesan taksi melalui aplikasi, tetapi sinyal yang tidak stabil membuatnya frustrasi. Pandangannya sesekali melirik ke arah pintu apartemen, memastikan tidak ada tanda-tanda Reval keluar untuk mengajaknya kembali ke kantor. Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan pikirannya. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela bagian depan perlahan turun, memperlihatkan wajah Ervan. Senyum ramah pria itu muncul, tetapi Naura hanya memandanginya dengan alis terangkat. “Bu Naura, ayo masuk,” ujar Ervan, seolah-olah itu hal yang sudah diputuskan tanpa perlu diskusi. Naura menggeleng halus. “Tidak usah, Ervan. Saya sudah memesan taksi. Lagi pula, sebentar lagi sudah jam lembur.” Ervan tertawa kecil, lalu melirik arlojinya. Ia kemudian keluar dari mobil. “Taksi di sekitar sini biasanya lama datangnya,
“Pak ... saya tidak ...” Naura tergagap, mencoba mencari alasan, tetapi otaknya tidak bekerja dengan baik. Reval menyipitkan matanya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang seolah mengejek. “Apa aku terlihat menakutkan?” Naura menggeleng cepat. “Bukan, Pak. Saya hanya ....” Kata-katanya terhenti ketika Reval mengulurkan tangan, menyentuh sudut bibir Naura dengan jemarinya yang panjang. Sentuhan itu ringan, hampir seperti angin, tetapi cukup untuk membuat Naura terdiam. “Kenapa kamu selalu tampak gelisah di dekatku?” bisik Reval, suaranya penuh dengan godaan yang samar. Naura menahan napas. Jantungnya berdebar tak karuan, seperti lonceng alarm yang berdentang tanpa henti. Ia mencoba membuang wajah, tetapi Reval malah semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka nyaris tak bersisa. ‘Kenapa dia justru menanyakan hal ini? Apakah dia benar-benar tidak paham dengan statusku yang masih istri sah Mas Dion?’ Naura mengumpat di dalam hatinya, namun tak mampu meluahk
Naura duduk di ujung ranjang, tangannya menggenggam ujung roknya dengan gelisah. Ia memandang ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, di mana suara gemericik air terdengar samar dari dalam. “Apa yang dilakukan Pak Reval? Kenapa lama sekali?” gumam Naura. Waktu terasa berjalan lambat. Keheningan yang menyelimuti kamar membuat pikirannya berlarian ke berbagai arah. Setelah beberapa menit berlalu, suara dari dalam kamar mandi memecah keheningan. “Naura, ambilkan handukku!” Suara Reval terdengar jelas, tegas, namun tetap rendah seperti biasa. Naura terlonjak sedikit. “Ba–baik, Pak,” jawabnya gugup. Wanita itu segera berdiri, mencari-cari handuk di lemari yang terletak di sudut ruangan. Setelah menemukannya, ia berjalan ke arah pintu kamar mandi dengan langkah ragu. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu, tetapi sebelum sempat melakukannya, suara Reval terdengar lagi dari dalam. “Masuk saja.” Naura menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia memutar ke
Ruangan itu masih sunyi, hanya ditemani suara pelan dari pendingin udara yang berhembus lembut. Naura terbangun perlahan, matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Sebentar, di mana ini? pikirnya, sebelum menyadari bahwa ia masih berada di kamar apartemen Reval. Tubuhnya terasa kaku, tetapi yang lebih mengganggunya adalah sesuatu yang berat di pinggangnya. Perlahan, ia menoleh ke samping dan langsung membeku. Tangan Reval bertengger di pinggangnya, menjaganya tetap dekat dengan tubuh pria itu. Jantung Naura langsung berdegup kencang. Ia menelan ludah, menatap wajah Reval yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Kedua mata pria itu masih terpejam, napasnya terdengar tenang, dan rambutnya sedikit berantakan, membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan citra dingin yang biasa ditampilkan di kantor. Namun, ini bukan saatnya untuk mengagumi. Naura tahu ia harus segera bergerak. Ia tidak bisa terus berada di sini, terperangkap dalam situasi yang membuatnya gelisah.