Share

Bab 5. Kau Akan Menyesal

Author: Rich Mama
last update Last Updated: 2024-11-05 15:46:10

“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan.

Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya.

Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur.

Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya.

‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk.

Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Naura keluar dari kamar dan mulai untu memasak. Ia juga menyiapkan bekal untuk ibu mertuanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Saat ia berdiri di dapur, memasak sarapan dengan kepala yang masih sedikit sakit, pikirannya melayang. Ia mengingat hari-hari awal pernikahan mereka, ketika Dion adalah sosok yang penuh perhatian. Waktu itu, Dion tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, apalagi menyakitinya. Namun, pria yang berdiri di belakangnya sekarang adalah seseorang yang nyaris tidak ia kenali.

Namun, bayangan akan masa lalu itu terbuyarkan ketika Dion mendekatinya dari belakang.

“Aku butuh uang,” kata Dion, suaranya berat dan tanpa basa-basi.

Naura berbalik, terkejut. “Uang? Mas, aku baru saja memberimu uang untuk melunasi utangmu kemarin. Bukankah itu sudah lebih dari cukup?”

Dion mengernyit, jelas tidak senang dengan jawaban itu. “Itu tidak cukup! Jangan berlagak tidak tahu, Naura. Aku suamimu. Kau harus memenuhi kebutuhanku!”

Ketegangan di udara semakin pekat. Naura menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi. “Mas, aku sudah memberikan semuanya. Aku tidak punya uang lagi. Aku bahkan harus menyisihkan uang untuk kebutuhan rumah sakit ibumu …”

“Jadi sekarang kau mulai perhitungan kepada Ibuku?!” Dion terlihat tidak suka dengan perkataan Naura

“Bukan seperti itu maksudku, Mas—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan Dion sudah menyapu meja makan dengan kasar. Piring dan gelas yang sudah tertata rapi berjatuhan, makanan tercecer di lantai, beberapa pecah. Dion mengambil sendok dan melemparkannya ke arah Naura dengan gerakan cepat.

“AKHHH!”

Naura menjerit kecil, beruntung sendok itu hanya meleset sedikit dari wajahnya. Ia mundur dengan tubuh gemetar, takut akan amukan Dion yang sudah biasa ia hadapi. Dion mendengus marah, meliriknya dengan tajam.

“Kau wanita tidak berguna!” teriaknya, sebelum berjalan keluar rumah dengan langkah kasar, membanting pintu di belakangnya.

Naura berdiri mematung, tubuhnya bergetar, sementara air mata mulai membasahi pipinya. Setelah beberapa saat, ia berjongkok perlahan, mulai mengumpulkan pecahan piring di lantai dengan tangan yang gemetar.

‘Mengapa aku harus berakhir seperti ini? pikirnya, isakannya tertahan di tenggorokan.

**

Setelah semuanya beres, Naura bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Namun, saat ia membuka pintu rumah, sebuah mobil mewah sudah terparkir di depan rumahnya. Seorang pria turun dari mobil, mengenakan setelan rapi. Naura mengenali pria itu, asisten Reval.

“Ibu Naura, saya ditugaskan untuk menjemput Anda pagi ini,” ujar asisten itu sopan, sambil membukakan pintu mobil untuknya.

Naura menggeleng cepat. “Tidak perlu. Saya bisa naik bus. Lagipula, saya harus ke rumah sakit terlebih dahulu untuk menjenguk ibu mertua saya.”

Namun, asisten itu tetap membungkuk hormat. “Ini perintah langsung dari Pak Reval. Silakan naik, kami akan mengantarkan Anda ke mana pun Anda butuhkan.”

Naura merasa sungkan, tetapi akhirnya masuk ke mobil. Di dalam, ia memandang interior yang mewah dengan perasaan campur aduk. Ia tidak pernah membayangkan seseorang seperti Reval akan mengatur sesuatu seperti ini untuknya.

Dalam diam, pikirannya mulai membandingkan Dion dengan Reval. Dulu, Dion adalah pria yang ia cintai, pria yang pernah menjanjikan kebahagiaan. Namun, Dion tidak pernah memberinya perhatian atau kehangatan, bahkan di masa kejayaannya. Semua terasa hambar, jauh berbeda dengan kehadiran Reval … buru-buru Naura menghilangkan bayangan Reval.

Sesampainya di rumah sakit, Naura turun dari mobil. Namun, saat ia masuk ke lobi rumah sakit, ia dikejutkan oleh kehadiran Dion yang berdiri di sana.

“Mas? Kamu di sini sepagi ini?” tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.

Dion melangkah mendekat, ekspresinya berubah dingin dan penuh curiga. “Jadi, pria mana yang mengantarmu dengan mobil mewah itu? Kamu berkencan di belakangku sekarang, ya?” tuduh Dion, suaranya keras dan penuh nada meremehkan.

Naura membelalakkan mata, terkejut oleh tuduhan itu. “Tidak, Mas! Itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Itu hanya fasilitas dari perusahaan tempat aku bekerja!”

Dion mendengus sinis, menyeringai dengan tatapan merendahkan. “Perusahaan? Kamu pikir kariermu bisa secemerlang itu? Jangan mengada-ada, Naura. Aku tahu kamu tidak secerdas itu.”

Tuduhan Dion membuat emosi Naura memuncak. “Mas! Aku sudah melakukan segalanya untuk kita. Aku bekerja keras untukmu, untuk ibumu, dan ini yang kamu lakukan? Menuduhku tanpa alasan?”

Perdebatan mereka semakin memanas. Orang-orang mulai berhenti untuk menonton, suasana menjadi tidak nyaman. Dion yang terpancing emosi tiba-tiba mengangkat tangannya, siap menampar wajah Naura.

Namun, sebelum tangan itu mengenai pipinya, sebuah tangan lain mencekal pergelangan Dion dengan tegas.

Reval memandang Dion dengan tatapan tajam, senyumnya kecil tapi penuh sindiran. Tangannya yang mencengkeram pergelangan Dion tidak menunjukkan sedikitpun niat untuk melepaskannya. Aura dominannya begitu kuat hingga membuat Dion terlihat kecil dan kikuk di hadapannya.

“Memukul seorang wanita di depan umum?” ujar Reval, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Apa kau benar-benar ingin menunjukkan pada mereka betapa lemahnya dirimu?”

Dion berusaha melepaskan cengkeraman Reval, tapi sia-sia. “Lepaskan tanganmu! Ini bukan urusanmu!”

Reval mendekatkan wajahnya sedikit, sehingga hanya Dion yang bisa mendengar kata-katanya. “Oh, ini urusanku sekarang. Kau berani menyentuh pegawaiku, dan aku jamin kau akan menyesal.” Nada suaranya tetap tenang, namun ancamannya jelas.

Related chapters

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 6. Kedinginan atau Takut?

    Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar. “Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan. Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia. Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir. “Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura penuh selidik. Seolah ingin mengatakan bahwa Reval sengaja mengikuti dirinya sampai ke rumah sakit. “Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Dengan entengnya ia berjalan menjauh meninggalkan Naura yang masih terdiam kaku di tempatnya. Sementara Naura merasa tertohok mendengar jaw

    Last Updated : 2024-11-21
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 7. Sensasi Baru

    “Seharusnya saya tidak berada di sini,” sahut Naura, berusaha menguatkan suaranya. “Tapi kamu tetap datang,” Reval menanggapi tanpa kehilangan kendalinya. Tangannya tetap bertahan di pinggang Naura, sementara tatapannya bergeming. Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudah bertemu dengan pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya semakin tidak terkendali, sementara udara terasa lebih berat di ruangan itu. “Sa–saya ...,” katanya dengan nada ragu. Sebelum Naura sempat berbalik, Reval meraih kedua bahunya dengan lembut. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tegas, namun ada kelembutan yang tidak dapat diabaikan. “Kamu sudah ada di sini. Nikmati saja malam ini bersamaku.” Naura mengerjap gugup, merasa setiap kata Reval memenjarakan langkahnya. Ia berusaha melepaskan diri dari genggaman itu, namun Reval menggerakkan tangannya dengan tenang, tanpa sedikit pun memaksa. Sebelum Naura sadar apa yang terjadi, jaket tebal yang melingkupi tubuhnya sudah terjatuh di lantai. Naura m

    Last Updated : 2024-11-22
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 8. Untuk Kesekian Kalinya

    Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu m

    Last Updated : 2024-11-23
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 9. Mandi Bersama

    Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. “Ibu ....” Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit. Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar. Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya. Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri. ‘Ibu ... maaf ....’ Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskip

    Last Updated : 2024-11-24
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 10. Sebuah Pesan

    ‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian

    Last Updated : 2024-11-24
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 11. Asisten Pribadi?

    [Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.]Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya.Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya.Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu membawa aura d

    Last Updated : 2024-11-24
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 12. Makan Siang Bersama

    “Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan

    Last Updated : 2024-11-25
  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 13. Berdiri Tegak

    Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana

    Last Updated : 2024-11-25

Latest chapter

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 150. Menikmati Momen

    Reval melirik Naura dengan senyum misterius di sudut bibirnya. Naura menatapnya curiga. “Ke mana?” “Rahasia,” sahut Reval santai sambil menautkan jemarinya pada jemari Naura. Naura menoleh ke sekitar saat keluar dari ruangan CEO. Wanita itu buru-buru menarik tangannya dari genggaman Reval. “Pak Reval!” bisiknya panik. “Kita masih di kantor!” Reval mengangkat alisnya, tampak tak terganggu sama sekali. “Lalu?” Naura melotot kecil. “Lalu? Semua orang bisa melihat kita!” Reval terkekeh, tetapi akhirnya mengalah. Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya. “Baiklah, baiklah. Tapi ini bukan berarti aku menyerah.” Naura mendengkus, berusaha mengabaikan tatapan menggoda pria itu. Mereka berjalan keluar gedung, menuju parkiran. Reval membuka pintu mobil untuk Naura sebelum berjalan ke sisi lain dan masuk ke dalam. Mesin mobil dihidupkan, dan perjalanan dimulai. Naura hanya bisa pasrah. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jika Reval yang mengajak, itu berarti waktu makan siang

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 149. Milik Naura

    “Bukan seperti itu, Naura.” Reval mendekatinya, meletakkan tangannya di bahu Naura. “Dia bagian dari masa laluku, kenangan yang tidak akan pernah hilang. Tapi kamu …” Ia menghentikan kalimatnya, matanya yang penuh penyesalan dan ketulusan menatap Naura dalam-dalam. “Kamu adalah masa kini dan masa depanku.” Naura terdiam. Kata-kata itu seharusnya membuatnya merasa lebih baik, tetapi luka yang baru saja tergores di hatinya membutuhkan waktu untuk sembuh. Ia tahu Reval tidak berbohong, tetapi ada bagian dari dirinya yang tidak bisa begitu saja menerima bahwa ia harus berbagi tempat di hati Reval dengan seseorang yang sudah tiada. Sungguh perasaan yang sulit dipahami. Rasa cemburu yang berbeda. “Kenapa Bapak tidak pernah membicarakan ini pada saya?” Naura berbisik, suaranya penuh luka. “Kenapa Pak Reval membuat saya merasa seperti orang asing dalam hidup Bapak?” “Karena aku takut.” Reval menarik napas dalam-dalam. “Aku takut kehilangan kamu, Naura. Takut kamu akan merasa bahwa kamu h

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 148. Setelah Dia Pergi

    Jari-jarinya mencengkeram kertas itu lebih erat. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, luka, dan amarah yang tak terbendung. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk ke dalam jantungnya. Surat itu penuh dengan pengakuan, kehangatan, dan cinta yang begitu dalam. Cinta yang Naura pikir hanya miliknya. Tetapi satu kalimat membuat seluruh tubuhnya menegang. “Aku hanya bisa berharap kita bertemu di waktu yang tepat, ketika aku bisa memilihmu tanpa ragu, tanpa batasan.” Napas Naura memburu. Siapa wanita yang dimaksud oleh Reval? Jantungnya terasa seperti ingin melompat keluar dari dadanya. Ia memandang surat itu dengan tatapan kosong sebelum menurunkannya perlahan. Tidak mungkin ini untuknya. Surat ini tidak mungkin ditujukan untuknya. Suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah lorong. Naura buru-buru menyembunyikan surat itu di balik tumpukan amplop lain. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia takut Reval bisa mendengarnya dari kejauhan. Ketika sos

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 147. Menjeritkan Namamu

    Naura menatap layar komputernya dengan tatapan kosong. Dokumen yang seharusnya ia revisi sudah terbuka sejak tadi, tetapi tidak satu pun kata yang berhasil ia pahami. Jemarinya menggenggam mouse, tetapi tidak ada perintah yang ia jalankan. Fokusnya sepenuhnya terganggu. Pikirannya terus kembali ke satu hal. Siapa yang menemui Reval tadi? Yang membuat Naura resah adalah karena lelaki itu sama sekali tidak menyebutkan apa pun kepadanya. Naura menghela napas panjang, lalu melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Layar masih gelap, tidak ada notifikasi dari Reval. Tidak ada pesan yang mengingatkan tentang makan siang atau menyelipkan kata-kata manis yang mungkin berhasil membuatnya tersenyum. Ia menggigit bibir, berusaha menepis kegelisahannya. “Naura.” Suara Dinda membuatnya tersentak. Ia buru-buru menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri dengan kedua tangan menyilang. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” Dinda mengangkat alis. “Sejak tadi aku melihatmu cuma duduk diam menatap

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 146. Begitu Besar

    Reval tersenyum miring. “Karena itu membuatku ingin melakukan sesuatu.” Jantung Naura hampir meloncat keluar dari dadanya. Ia tahu ia harus menjauh, harus menghentikan ini sebelum semuanya semakin lepas kendali. Tapi tubuhnya seolah membangkang, terpaku di tempat. Dan dalam sekejap, Reval menariknya ke dalam pelukan. Naura tersentak. Kedua tangannya otomatis terangkat, tapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, Reval sudah menundukkan wajahnya. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” bisiknya tepat di telinga Naura, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri. “Me-memastikan apa?” suara Naura bergetar. Reval menatapnya dalam. “Bahwa kamu benar-benar milikku.” Sebelum Naura bisa memproses kata-kata itu, Reval sudah mendekatkan wajahnya. Napas hangat pria itu menyapu kulitnya, dan dalam sepersekian detik, bibirnya hampir menyentuh bibir Naura— Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuat mereka berdua tersentak. Naura langsung melangkah mundur dengan wajah memerah, sementara Reval mengumpat

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 145. Berpikir Jernih

    Naura menggeleng cepat. “Tidak apa-apa.” “Tadi lama sekali di depan. Kamu habis bertemu siapa?” bisik Dinda sambil meliriknya penuh selidik. “Tidak ada. Aku hanya ...” Naura menggigit bibirnya, mencari alasan. “Membaca pesan.” Dinda mengerutkan kening. “Pesan dari siapa?” Sebelum Naura bisa menjawab, rapat sudah dimulai. Namun, baru beberapa menit berjalan, ponsel Naura kembali bergetar. [Kamu tidak akan melirikku sekali saja?] Naura menegang. Ia mengangkat wajah dan melirik ke arah Reval sekilas. Pria itu tersenyum tipis. Naura langsung menunduk, merasakan panas di wajahnya. Sementara Reval masih menatapnya dengan ekspresi jahil. Rapat pun dimulai, tetapi Naura kesulitan berkonsentrasi. Reval sesekali meliriknya, bahkan pernah pura-pura mengatur dasinya hanya untuk menarik perhatiannya. Saat seorang kepala divisi sedang berbicara panjang lebar, Naura merasakan ponselnya bergetar lagi. Ia melirik layar. Tentu saja pesan dari Reval. [Kamu terlihat cantik hari ini.] Naura

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 144. Menatap Curiga

    Naura berjalan cepat menuju ruangannya, langkahnya masih terasa ragu setelah percakapan pagi tadi dengan Reval di dalam mobil. Rasa hangat yang pria itu tinggalkan di bibirnya masih membekas, tetapi pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab. Saat hendak membuka pintu ruangan, suara seorang wanita terdengar tergesa-gesa dari belakangnya. “Naura! Ke mana saja kamu? Bukankah seharusnya kamu sudah mulai bekerja lebih awal?” Langkah Naura terhenti. Ia menoleh dan mendapati Dinda berjalan cepat ke arahnya. Wajah sahabatnya itu dipenuhi ekspresi khawatir, kedua alisnya bertaut rapat. Naura menarik napas dalam, mencoba memasang senyum santai. “Hai, Dinda. Maaf ya? Aku jadi merepotkanmu.” Dinda berhenti tepat di depannya, masih dengan tatapan menyelidik. “Apakah kamu tahu, aku sampai nekat bertanya kepada Pak Reval?” Naura menegang seketika. “Kamu bertanya pada Pak Reval?” ulangnya, berusaha terdengar santai meskipun dadanya mulai berdebar. Dinda mengangguk. “Tentu saja

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 143. Menjauh

    Naura berusaha melepaskan diri, tetapi Reval mempererat pelukannya. “Saya sudah menyiapkan sarapan,” ujar Naura, berharap bisa mengalihkan perhatian pria itu. Namun, bukannya melepaskan, Reval malah menariknya lebih dekat. “Aku sudah mendapatkan sarapan yang lebih manis,” gumam Reval seraya mencium pipi Naura lebih lama. Naura memutar bola matanya. “Kalau Bapak tidak segera bangun, saya akan makan sendiri.” Reval tertawa kecil, akhirnya melepas Naura dengan enggan. “Baiklah, baiklah. Aku akan bangun.” Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan. Naura meletakkan piring di hadapan Reval, menunggu reaksi pria itu saat mencicipi masakannya. Reval mengambil sesendok nasi goreng, mengunyahnya perlahan. Alisnya terangkat sedikit, lalu ia mengangguk. “Hmm, enak.” Naura tersenyum lega. “Terima kasih.” Reval menatapnya dengan mata berbinar. “Kalau setiap pagi dimasakkan seperti ini, aku tidak keberatan untuk selalu bangun lebih pagi.” Naura terkekeh. “Saya tidak janji, Pak.”

  • Gairah Terlarang: Menjadi Boneka Pemuas sang Presdir   Bab 142. Manja

    Naura menatapnya dengan mata berkabut. Napasnya masih tersengal, tetapi ia berhasil mengangguk. “Saya percaya.” Jemari Reval membelai pipi Naura. “Aku harus tahu, Naura ... apa kamu merasakan hal yang sama seperti aku?” tanya Reval, tatapannya begitu dalam hingga membuat Naura tidak bisa menghindar. Naura menatap mata Reval yang begitu dekat, dan bibirnya sedikit terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak begitu cepat, seakan seluruh ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang tidak terucapkan. “Saya ....” Naura menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya tidak tahu, Pak Reval.” Suaranya terdengar ragu, tetapi ada kejujuran di sana, sebuah pengakuan yang bahkan membuat dirinya terkejut. Reval tersenyum kecil, tatapannya melunak. “Tidak tahu?” gumamnya sambil mengangkat satu alis. Jemarinya dengan lembut menyentuh dagu Naura, mengangkatnya sedikit agar wanita itu tetap menatapnya. “Apa yang kamu rasakan, Naura? Jangan takut untuk jujur.” Naura

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status