Bab 4. Menuntaskan Hasrat

Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak.

“Tunggu … apa maksud Bapak jika besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik.

Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol.

“Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan.

Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah berat.

Reval menutup pintu tanpa kata, membiarkan Naura tenggelam dalam pikiran-pikirannya yang semakin berkecamuk.

**

Setelah pengusiran yang dilakukan Reval kepadanya, Naura tidak mungkin kembali ke rumah sakit, karena hari ini ia benar-benar lelah sekali. jadi, ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya.

Naura tiba di rumah dan disambut dengan kegelapan dan kesunyian seperti biasanya.

Lampu ruang tamu masih mati, dan suasana terasa begitu dingin, seperti rumah yang kehilangan kehangatan. Setelah menutup pintu dengan perlahan, ia melangkah ke kamar dan menemukan ruangan itu kosong. Dion belum pulang, lagi.

Mungkin Dion tidak akan pulang malam ini, pikirnya, dengan rasa yang bercampur antara lega dan kesepian. Naura memutuskan untuk membersihkan dirinya.

Di kamar mandi, ia menatap wajahnya di cermin. Bibirnya masih terasa aneh, seolah sentuhan Reval tadi masih membekas. Ia menggigit bibir bawahnya perlahan, mencoba mengusir bayangan itu. Namun pikirannya terus berputar.

‘Ini semua demi rumah tanggaku …’ Naura merapal kalimat itu berkali-kali dalam hatinya, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi perasaan itu tidak hilang.

Suara ketukan pintu utama membuyarkan pikirannya. Ia segera mengenakan pakaian seadanya dan bergegas keluar. Ketukan itu semakin keras, membuatnya sedikit panik.

Saat membuka pintu, Naura menemukan Dion berdiri di ambang pintu, tubuhnya limbung, wajahnya merah, dan napasnya berbau alkohol. Dengan seorang sopir taksi berdiri di belakangnya.

“Maaf, Bu. Suami Ibu belum membayar ongkos taksi,” ujar sopir itu, nada suaranya terdengar lelah.

Naura menghela napas, mengeluarkan uang dari dompetnya, dan menyerahkan kepada sopir tersebut. Ia kemudian memapah tubuh Dion yang berat ke dalam rumah, membawanya ke kamar mereka.

Dion bergumam tidak jelas, dan Naura mencium aroma alkohol yang semakin menusuk. Saat mereka tiba di kamar, Dion mulai menarik Naura ke ranjang.

“Naura … aku suamimu. Aku ingin dirimu, Naura,” gumam Dion, nada bicaranya melantur tetapi tetap memaksa.

Naura menahannya, mencoba melepaskan diri dari genggamannya. “Mas, aku lelah. Kumohon, biarkan aku istirahat malam ini.”

Namun Dion terus memaksa, tangannya semakin kuat, suaranya semakin mendesak. Tubuh Naura akhirnya menyerah pada tuntutan suaminya. Mereka berakhir melakukan hubungan suami istri di tengah keheningan malam, tetapi tidak ada cinta yang terasa di sana, hanya keterpaksaan yang mendominasi.

Di tengah semuanya, Naura merasa hatinya bergejolak. Ada rasa bersalah yang dalam, bukan hanya pada Dion, tetapi juga pada dirinya sendiri. Ia merasa seperti wanita murahan, terjebak di antara keinginan Reval dan tuntutan Dion.

Ketika akhirnya Dion selesai menuntaskan hasratnya dan terlelap, Naura tetap terjaga. Pandangannya kosong, menatap langit-langit kamar yang gelap. Air matanya jatuh perlahan, membasahi bantal.