Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi.
“Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya. Wajahnya memerah, namun ia tidak berani mengangkat kepala, mencoba menghindari pandangan Reval yang terus terfokus pada dirinya. Rasa cemas semakin menggerogoti hatinya. Reval menatap tajam Naura dan penuh kendali. Tanpa berkata sepatah kata pun, langkahnya perlahan mendekat, membiarkan jarak di antara mereka semakin menyusut. Naura bisa merasakan hawa dingin yang datang bersamanya, seperti sebuah peringatan yang samar-samar namun nyata. Matanya tetap terfokus pada Naura, sementara setiap gerakan Reval terkesan sangat terkontrol, seolah ia mengukur setiap detik yang ada. Naura merasa tubuhnya tertarik, meskipun hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit ia pahami. “Jangan mundur,” suara Reval terdengar lembut namun penuh tekanan, seolah itu lebih sebagai perintah daripada permintaan. Naura terdiam, perasaan ragu menguasai dirinya, namun tubuhnya tetap tak bisa bergerak mundur. Dengan satu gerakan tegas, Reval meraih pipi Naura dengan tangan kanannya, jari-jarinya terasa dingin dan kuat, menahan wajahnya agar tetap menghadap kepadanya. Tatapan Naura tertumbuk pada mata Reval yang penuh makna, seakan berusaha menemukan jawaban dari kedalaman yang tak pernah ia kenal. Tanpa kata-kata lagi, Reval menundukkan wajahnya sedikit, jarak di antara mereka kini sangat tipis. Naura bisa merasakan nafasnya yang berat, membungkus udara di sekitar mereka. Sebuah desahan halus terlepas dari bibirnya, menandakan keputusan yang telah ia buat. Dengan gerakan lambat namun pasti, Reval menyentuhkan bibirnya pada bibir Naura. Ciuman itu tidak tergesa-gesa, namun ada sesuatu yang menuntut di dalamnya, sesuatu yang meminta lebih dari sekadar sentuhan fisik. Bibir Reval menyentuh dengan kelembutan yang kontradiktif, namun ketegasan dalam setiap gesekan terasa mengalir dalam setiap detik. Seolah ingin memastikan bahwa Naura merasakan setiap inci kedekatannya. Naura terpaku, rasanya seperti ada gelombang yang merambat dalam dirinya, lembut, namun mengguncang. Ada rasa yang datang dan pergi begitu cepat, membuatnya seolah tidak bisa bernapas, namun ia tetap terperangkap dalam ciuman itu. Reval menarik sedikit mundur, hanya sejenak, sebelum kembali mendekat dengan intensitas yang lebih dalam. Kali ini, ciumannya lebih dalam, lebih menuntut. Ia menggenggam pipi Naura lebih erat, jari-jarinya menekan lembut, namun penuh kekuatan. “Jangan ragu,” bisiknya, suara itu rendah dan mengalir, hampir seperti sebuah peringatan, namun tidak mengurangi kelembutannya. Naura menutup matanya, tubuhnya seolah terhanyut dalam setiap gerakan Reval, merasakan sentuhan yang begitu penuh dan mendalam. Reval menarik sedikit mundur, meskipun jarak di antara mereka masih terasa begitu dekat. Nafasnya terengah-engah, namun tatapannya tetap tajam, penuh kendali. Naura bisa merasakan jantungnya yang berdegup cepat, tak mampu menahan getaran yang merasuki setiap serat tubuhnya. Hanya ada keheningan yang membungkus mereka, namun udara terasa semakin panas dan penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Reval perlahan mengangkat tangan kanannya, jemarinya yang dingin menyentuh bibir Naura yang masih bergetar. Dengan gerakan lembut, ia mengusap bibir Naura yang baru saja disentuh olehnya, seolah mengingatkan kembali pada ciuman yang baru saja terjadi. Naura menunduk, cemas akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ia merasakan jari-jari Reval yang menelusuri bibirnya dengan sangat hati-hati, menahan setiap detik yang terasa begitu menggoda. Setiap sentuhan membuatnya semakin terperangkap dalam ketidakpastian, tetapi juga dalam rasa yang sulit dijelaskan. “Bibirmu terasa begitu lembut,” bisik Reval, suaranya rendah, di telinga Naura. Kalimat itu seperti sebuah pujian, namun ada sesuatu yang menggoda di baliknya, seolah menguji ketahanannya. “Kamu tahu, aku bisa merasakan betapa kamu ingin lebih dari ini,” lanjutnya, suaranya semakin dalam, penuh dengan ketegangan yang memancar dari setiap kata yang keluar dari bibirnya. Naura menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar kencang. Ada rasa cemas, ada pula rasa ingin yang datang begitu kuat, tetapi ia berusaha menahan diri. Namun, sentuhan jari Reval yang masih mengusap bibirnya itu seolah membuat dinding pertahanan Naura perlahan runtuh. “Tak perlu menahan diri,” Reval melanjutkan, suaranya begitu dekat, membuat setiap kata yang diucapkannya terasa seperti godaan yang tak bisa dihindari. “Aku tahu kamu ingin melakukannya lagi. Dan aku juga tahu apa yang kamu rasakan saat aku menyentuhmu.” Reval memiringkan kepalanya, matanya masih terfokus pada Naura, seolah mencari tanda persetujuan yang tak terucapkan. “Besok malam,” suara Reval yang terdengar rendah itu membelah keheningan, penuh penekanan. “Kita akan melanjutkan permainan ini. Aku ingin melihat seberapa jauh kamu siap untuk menjalankan kesepakatan kita.”Ngerjain banget Pak Reval ya?????
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksud Bapak jika besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur un
Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar. “Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan. Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia. Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir. “Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura penuh selidik. Seolah ingin mengatakan bahwa Reval sengaja mengikuti dirinya sampai ke rumah sakit. “Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Dengan entengnya ia berjalan menjauh meninggalkan Naura yang masih terdiam kaku di tempatnya. Sementara Naura merasa tertohok mendengar jaw
“Seharusnya saya tidak berada di sini,” sahut Naura, berusaha menguatkan suaranya. “Tapi kamu tetap datang,” Reval menanggapi tanpa kehilangan kendalinya. Tangannya tetap bertahan di pinggang Naura, sementara tatapannya bergeming. Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudah bertemu dengan pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya semakin tidak terkendali, sementara udara terasa lebih berat di ruangan itu. “Sa–saya ...,” katanya dengan nada ragu. Sebelum Naura sempat berbalik, Reval meraih kedua bahunya dengan lembut. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tegas, namun ada kelembutan yang tidak dapat diabaikan. “Kamu sudah ada di sini. Nikmati saja malam ini bersamaku.” Naura mengerjap gugup, merasa setiap kata Reval memenjarakan langkahnya. Ia berusaha melepaskan diri dari genggaman itu, namun Reval menggerakkan tangannya dengan tenang, tanpa sedikit pun memaksa. Sebelum Naura sadar apa yang terjadi, jaket tebal yang melingkupi tubuhnya sudah terjatuh di lantai. Naura m
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu m
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. “Ibu ....” Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit. Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar. Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya. Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri. ‘Ibu ... maaf ....’ Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskip
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
[Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.] Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya. Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya. Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu memba
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. “Ini semua gara-gara kamu, Dion!” suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. “Kenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.” Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. “Sial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!” Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. “Maksudmu?” “Aku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!” Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. “Naura!” Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te
Naura menggeleng cepat. “Tidak. Saya sudah ganti baju yang lebih nyaman. Masa Bapak tetap dengan pakaian basah seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan itu.” Reval menatapnya lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini benar-benar keras kepala. “Jadi kalau aku tidak ganti baju, kamu tidak mau makan?” tanya Reval sekali lagi untuk memastikan. Naura mengangguk mantap. Reval mendesah panjang. “Baiklah,” ujar Reval pasrah. Naura tersenyum puas. “Ayo kita cari baju untuk Bapak.” Mereka kembali berkeliling dan kali ini, Naura yang mengambil alih pencarian. Ia dengan serius memilihkan pakaian untuk Reval, membandingkan warna dan bahan dengan ekspresi sangat fokus, seolah sedang mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Reval hanya bisa mengamati dari belakang, tersenyum kecil melihat keseriusan Naura. “Bagaimana dengan ini?” Naura mengangkat sebuah kaus berwarna hitam dengan gambar kelapa dan tulisan besar Life’s a Beach. Reval melirik kaus itu, lalu menaikkan satu alisnya. “Aku t
Reval masih menatap Naura setelah ciuman panjang mereka terhenti. Napas keduanya masih tersengal, dan mata mereka tetap terkunci dalam keheningan yang berbicara lebih dari seribu kata. Perlahan, Reval mengangkat tangannya, membelai lembut pipi Naura dengan ujung jemarinya. Jari-jarinya menyusuri pipi halus itu dengan penuh kelembutan, lalu bergerak menyelipkan helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga Naura. “Aku mencintaimu, Naura.” Suaranya rendah, dalam, namun tegas. Tidak ada keraguan di sana. Naura membeku. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kata-kata Reval begitu tiba-tiba, begitu nyata, hingga Naura tidak siap untuk menghadapinya. Reval memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi Naura yang kebingungan. “Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanyanya lagi, suaranya lebih lembut kali ini. Naura menunduk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia
Ekspresi Reval mengeras. “Itu bukan urusan kita, Naura.” “Tapi dia masih tak sadarkan diri—” “Dia akan baik-baik saja. Ada dokter dan perawat di sini. Naura, kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas seseorang yang tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Naura terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Reval yang membuat hatinya bergetar. Seakan pria itu bukan hanya berbicara tentang Callista, tetapi juga tentang Dion. Ia tahu Reval benar. Callista bukan tanggung jawabnya. Dion juga bukan. Namun, rasa iba itu tetap ada, menggantung di sudut hatinya. “Saya tidak ingin pergi dalam keadaan seperti ini,” gumamnya. Reval menghembuskan napas panjang. “Naura.” Ia meraih bahu gadis itu, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, apa yang akan berubah?” Naura menggigit bibir. Ia tidak bisa menjawab. “Kamu hanya akan terus terjebak dalam rasa sakit dan keraguan.” Suara Reval melembut. Kini Naura merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti perasaannya. Reval berbicara dengan n
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu. “Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan. “Reval! Ka–kamu ...” “Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?” Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya. Dion dan Callista memang berselingkuh. Bukan jebakan. Mereka benar-benar mengkhianati dirinya. Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain. Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap. “Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menj
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion. “Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.” Suara Naura pecah di akhir kalimat. Dan saat itu, pertahanannya runtuh. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan. Reval tak bisa lagi hanya diam. Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah. “Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval. “Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya. Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah. Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jad