Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura.
“I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung meraihnya dan membukanya, menghitung isinya dengan cepat seperti seorang pedagang di pasar. “Bagus. Ini cukup buat bayar beberapa bulan,” katanya santai, sebelum menyelipkan amplop itu ke dalam jaketnya. Naura menahan air matanya. “Mas … ini uang buat Ibu. Buat perawatan beliau.” Dion mengangkat bahu dengan ekspresi tanpa dosa. “Ya udah. Yang penting beres kan? Lagian, kamu juga gampang cari uang segini.” Kata-kata itu membuat Naura gemetar. Ia memandang Dion, suaminya, dengan tatapan penuh luka. “Gampang? Mas, aku kerja siang-malam, lembur, pinjam ke sana-sini, bahkan sampai harus mengorbankan harga diri …” “Terus?” potong Dion dingin. “Kamu istri, kan? Itu memang tugas kamu. Apa susahnya bantu suami?” Naura terdiam, napasnya tercekat. Ia menatap pria itu dengan pandangan kosong, lalu berbicara dengan suara rendah tapi penuh kepedihan. “Kalau tugas istri itu seperti yang kamu pikir, Mas … aku ingin tahu, apa tugas suami?” Dion tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mendengkus kesal dan melangkah pergi, meninggalkan Naura sendirian di koridor rumah sakit. ** Setelah kejadian di rumah sakit, Naura saat ini kembali berada di dalam taksi. Malam ini adalah awal dari perjanjiannya dengan Reval. Perut Naura terasa mual hanya membayangkannya. Ia seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Naura meyakinkan diri. Iya melakukan semua itu untuk keluarga. Ketika Naura tiba di hotel mewah yang telah Reval sebutkan, kakinya hampir tidak bisa melangkah. Jantung wanita itu berdebar begitu kencang hingga membuat napasnya tersengal. Gedung yang menjulang tinggi di depannya seolah mengejek kelemahan Naura. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan ini? Dengan berat hati Naura melangkah masuk melewati pintu otomatis dan menuju resepsionis. Wanita di balik meja itu tersenyum ramah saat Naura menyebut nama Reval. “Silahkan, Ibu. Pak Reval sudah menunggu Anda di lantai atas,” ujar wanita itu lembut. Seolah itu hal yang sangat biasa. Naura menekan tombol lift dengan tangan gemetar. Ketika pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk. Wanita itu merasa seperti sedang memasuki dunia lain. Dunia yang tidak seharusnya ia masuki. Namun, pikiran Naura kembali pada Dion dan ibu mertuanya. Pada utang-utang yang menumpuk dan ancaman penagih yang datang setiap hari. Tidak ada jalan lain. Ia berjalan sambil memaksakan diri untuk tetap tenang. Pintu lift terbuka dengan lembut di lantai tertinggi. Naura melangkah keluar dan di depannya berdiri sebuah pintu besar dengan desain yang mewah. Tangannya bergetar saat membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Pintu terbuka dan Reval berdiri di sana. Lelaki itu tampak sempurna dengan setelan jasnya. Mata hitamnya menatap Naura dengan intensitas yang membuat Naura merasakan sesuatu yang berdesir. Ada yang berbeda dari caranya menatap malam ini. Lebih menguasai. “Masuklah,” ucap Reval pelan. Suaranya begitu tenang dan dalam. Naura melangkah masuk tanpa sadar dan tak lama kemudian pintu tertutup di belakangnya. Ruangan itu memancarkan kemewahan, namun kehadiran Reval lah yang paling mendominasi. Lelaki itu berdiri di dekat jendela besar, punggungnya menghadap Naura, tangan di saku celana. Ia tidak langsung menoleh ketika Naura masuk, membiarkan wanita itu bergulat dengan kegugupannya sendiri. Perlahan, Reval berbalik. Ekspresinya datar, namun tatapannya membuat Naura merasa kecil. Ia mendekat, tidak terburu-buru. Kakinya hampir tak bersuara di atas lantai marmer. Ketika jaraknya hanya satu langkah dari Naura, ia berhenti. Dengan gerakan perlahan, Reval mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh, tetapi untuk mengambil helai rambut Naura yang jatuh di pipinya. Tidak ada kelembutan di gerakannya, hanya ketelitian, seperti seseorang yang sedang merapikan sesuatu miliknya. “Kamu datang tepat waktu,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti gumaman. Tidak ada pujian, tidak ada basa-basi. Hanya pernyataan yang dingin. Kata-kata itu terdengar biasa, namun mampu membuat tubuh Naura gemetar. Ia hanya bisa terdiam kaku di saat jemari Reval menyentuh pipinya dengan penuh kelembutan. Seharusnya Naura merasa jijik ataupun takut, tetapi ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam dirinya. Hati wanita itu berdebar keras. Bukan hanya karena ketakutan, namun juga karena rasa yang tak bisa ia pahami. Dion selalu keras dan hanya manis saat ada maunya. Sangat berbeda dengan Reval yang memperlakukan Naura dengan lembut, bahkan di saat seperti ini. Rasanya Naura ingin menolak, ingin melarikan diri. Tetapi ada sesuatu hal lain dalam cara Reval berbicara dan menatapnya. Membuat Naura merasa terikat. Reval tersenyum, mengambil dokumen dari atas meja kecil di dekat sofa. “Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin memastikan semuanya tertulis dengan jelas. Uang itu sudah langsung ditransfer ke rekeningmu tadi.” Naura menatap dokumen itu dengan ragu. Tangannya bergetar saat Reval menyerahkan pena kepadanya. “Tanda tangani ini, dan semua masalahmu selesai,” katanya. Naura menggigit bibir. Matanya berpindah-pindah antara dokumen di tangannya dan Reval yang berdiri tak jauh darinya. Jantung Naura berdegup kencang. Apa yang harus ia katakan kepada Dion nanti? Jemari Reval mengusap bahu Naura dengan lembut. Kedua matanya menatap dalam ke mata Naura, seolah menuntut wanita itu untuk segera memberikan kenikmatan untuknya. Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Naura menandatangani dokumen itu. “Bagus,” ucap Reval, senyum kembali menghiasi wajahnya. “Sekarang, kenapa kita tidak mulai menikmati malam ini?” “T-tapi—” Naura tergugu, ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa ia harus melayani bosnya sendiri dan mengkhianati sang suami. Reval melangkah mundur dan menjauh, lalu datang kembali dengan membawa sebuah kotak di tangannya. Lelaki itu tidak langsung menjelaskan ketika memberikan kotak tersebut. Ia hanya mendorongnya ke arah Naura dengan satu tangan, matanya tetap menatap wanita di depannya tanpa ekspresi. “Ini, apa, Pak?” suara Naura nyaris hilang, dan Reval hanya mengangkat alis sedikit, seolah heran mengapa pertanyaan itu perlu diajukan. “Lihat sendiri,” jawabnya singkat, suaranya tidak lebih keras dari desiran angin. Saat Naura membuka kotak itu, Reval tidak bergerak. Hanya matanya yang mengamati ekspresi wanita itu, seperti sedang membaca setiap reaksi tanpa perlu bertanya. Di dalam kotak itu terdapat lingerie hitam yang tipis dan berdesain mewah. Sangat berbeda dari pakaian sederhana yang biasa ia kenakan. Ketika Naura mendongak, ia mendapati Reval masih berdiri diam, satu tangan di sakunya, yang lain terulur sedikit ke meja di dekatnya, memegang segelas anggur dengan santai. “Pakai,” katanya akhirnya, suara bariton itu seperti perintah yang tidak bisa ditawar. Ketika Naura ragu dan hendak melangkah pergi, suara Reval menghentikan wanita itu seperti belenggu tak terlihat. “Di sini.”Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksudmu besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah be
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk m
Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan.Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia.Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir.“Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh.“Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ...Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian
“Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, nadanya hampir seperti bisikan. Ia menatap Naura dalam-dalam, dan tatapan itu seolah menembus semua pertahanannya. “Kedinginan atau takut?” “Seharusnya saya tidak berada di sini,” sahut Naura, berusaha menguatkan suaranya.“Tapi kamu tetap datang,” Reval menanggapi tanpa kehilangan kendalinya. Tangannya tetap bertahan di pinggang Naura, sementara tatapannya bergeming. Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudah bertemu dengan pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya semakin tidak terkendali, sementara udara terasa lebih berat di ruangan itu. “Sa–saya ...,” katanya dengan nada ragu. Sebelum Naura sempat berbalik, Reval meraih kedua bahunya dengan lembut. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tegas, namun ada kelembutan yang tidak dapat diabaikan. “Kamu sudah ada di sini. Nikmati saja malam ini bersamaku.”Naura mengerjap gugup, merasa setiap kata Reval memenjarakan langkahnya. Ia berusaha melepaskan diri dari genggaman itu, namun Reval me
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu, tetapi di bawah pandangan Reval, ia merasa aman. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia han
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi.“Ibu ....”Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit.Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar.Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya.Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri.‘Ibu ... maaf ....’Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskipun sed
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hatinya mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Pak Reval, jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Reval berhenti, namun sudut bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan senyum kecil yang terasa mengejek
Suara detak jam dinding samar-samar terdengar dalam ruangan yang sunyi itu. Naura berdiri di depan meja besar milik Reval dengan tatapan ragu. Pandangannya sesekali teralihkan ke arah pintu, berharap ada alasan untuk pergi, namun kenyataannya tidak semudah itu.Reval menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam dengan tenang, tetapi matanya menyimpan sorot tajam yang membuat Naura merasa terintimidasi. Wajahnya seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan.“Kamu pasti sudah tahu jawabannya, bukan?” Suara Reval terdengar rendah namun tegas, memecah keheningan.Naura mencoba menenangkan dirinya. Napasnya pelan namun terasa berat. “Saya mengerti, Pak. Saya harus siap kapan pun Bapak membutuhkan saya. Termasuk ...”Kata-katanya menggantung di udara. Tenggorokannya terasa kering, sulit baginya untuk melanjutkan kalimat. Ia tahu apa yang diinginkan Reval, namun menyatakannya dengan suara lantang adalah tantangan besar. Sejujurnya, Naura bersyukur karena Reval sempat membiarkannya
“Tidak mungkinkan Pak Reval yang melakukannya?” Naura terduduk lemas di kursinya. Merasa menyesal karena menghabiskan makanan tanpa mencari tahu terlebih dahulu siapa pengirimnya. “Biarlah. Siapa suruh makanan itu ada di meja kerjaku.” Pukul lima sore, Naura merasakan sedikit bosan. Tubuhnya terasa begitu lelah. “Mungkin membuat secangkir coklat panas bisa menenangkan pikiran.” Dengan sisa tenaga yang ada, Naura memilih untuk pergi ke pantry. Langkah-langkah sepatu hak rendah Naura terdengar pelan di sepanjang koridor kantor. Ia membawa secangkir kopi hangat, berniat untuk sedikit bersantai di pantry sebelum kembali menghadapi tumpukan laporan. Saat memasuki pantry, ia melihat Andi, rekan kerjanya yang ramah, sedang menuangkan air panas ke dalam gelas berisi teh celup. “Hai, Mbak Naura!” sapa Andi sambil tersenyum lebar. “Lagi nyari inspirasi juga di sini?” Naura tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Istirahat sebentar dari angka-angka yang nggak habis-habis.” Andi mengangguk
Kalimat itu menghantam Naura seperti gelombang besar yang menghancurkan ketenangannya. Ia membuka matanya perlahan, menatap Reval dengan campuran ketakutan dan kemarahan. Jantung Naura berdetak begitu kencang hingga ia merasa tubuhnya gemetar. “Anda salah,” balas Naura, mencoba menegaskan dirinya meskipun suara itu hampir tidak terdengar. “Apa yang Anda pikirkan tidak benar. Saya tidak pernah ...” Reval mengangkat alis, memotong kalimat Naura dengan tatapan yang penuh dominasi. “Tidak pernah apa? Menginginkanku?” ia bertanya, nadanya seperti ejekan yang menggores harga diri Naura. Naura merasa wajahnya semakin memanas, tetapi kali ini bukan karena malu. Itu karena amarah. “Anda tidak tahu apa-apa tentang saya, Pak,” ujar Naura dengan suara yang sedikit lebih tegas. “Dan apa pun yang Anda pikirkan tentang saya, itu salah.” Ruangan itu hening sejenak. Suasana mencekam yang melingkupi mereka seperti menekan seluruh udara keluar dari paru-paru Naura. Ia ingin pergi, meninggalka
Naura membeku. Ia tak menyangka situasinya akan seperti ini. “Saya … maaf, saya tidak tahu kalau Bapak sedang sibuk.” Naura berdiri dengan gelisah di dekat pintu, tatapannya tertunduk. Ia menyesal telah menerobos masuk tanpa izin. Suasana di ruangan itu begitu mencekam, membuatnya merasa seperti seorang siswa yang sedang dimarahi guru. Ia menelan ludah saat Reval berbicara. “Saya minta maaf. Saya benar-benar tidak tahu,” kata Naura dengan suara pelan, sambil menunduk dalam-dalam. Ia melirik Ervan yang masih berdiri tidak jauh dari meja Reval. Tatapan pria itu sulit ditebak. Seperti campuran antara bingung dan penasaran. Naura menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk segera keluar dari situasi canggung ini. “Kalau begitu saya permisi, Pak,” lanjut Naura, suaranya hampir bergetar. Ia melangkah mundur, bersiap meninggalkan ruangan. Namun, suara Reval yang tegas menghentikan langkahnya. “Tidak perlu.” Naura membeku. Ia mendongak perlahan, menatap Reval yang kini m
“Ibu sudah sarapan, Nyonya,” jawab Bi Mirna sambil tersenyum. “Ini bibi mau antarkan jus buat Ibu Lastri.” Naura mengangguk pelan. “Terima kasih ya, Bi. Sudah dibuatkan sarapan juga,” katanya dengan tulus. “Sama-sama, Nyonya. Bibi mau ke kamar Ibu Lastri dulu,” ujar Bi Mirna sebelum melangkah pergi membawa nampan berisi jus jeruk itu. Setelah Bi Mirna pergi, Naura kembali duduk di meja makan. Ia melanjutkan makan paginya, tetapi pikiran tentang Dion tidak bisa diabaikannya begitu saja. Ia mengingat-ingat semalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Dion harus pergi pagi-pagi sekali. Semuanya terasa normal. Naura menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Dion mungkin hanya lupa memberitahu. Namun, rasa gelisah tetap menyelinap di hatinya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, memeriksa apakah ada pesan dari Dion. Tidak ada. “Dia terlalu sibuk,” pikir Naura, mencoba memberikan alasan. Tetapi alasan itu tidak membuat hatinya lega. Ia memandang piring nasi goreng d
Naura berbalik dengan cepat. Dion berdiri di ambang pintu dapur, alisnya berkerut dalam. Wajahnya penuh tanya, matanya langsung terarah pada Naura dan Mirna yang tampak bersalah. “Mas Dion ....” Naura tergagap, mencari alasan. Suaranya serak, seperti tertahan oleh beban yang semakin berat. Ia takut jika Dion mendengar semuanya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Dion lagi. Naura merasa seluruh tubuhnya kaku. Tangannya yang basah karena keringat menyeka ujung meja dapur. Tentu saja, ia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. “Kami hanya membicarakan tentang kesehatan Ibu Lastri, Pak Dion,” jawab Mirna dengan nada tenang. Dion mengerutkan alis, semakin curiga. “Oh, jadi seperti itu?” Naura melirik Mirna dengan panik. Perasaan takut yang menghantui sejak tadi semakin menekan dadanya. Apa yang harus ia katakan? Ia tahu Dion bukan tipe orang yang mudah dibohongi. “Naura, apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?” Dion mendekatkan wajahnya. Suaranya tegas, tetapi tidak
Naura menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Ia memikirkan tuduhannya, emosi yang tadi meluap begitu saja. Namun, yang lebih menghantuinya adalah kenyataan yang disembunyikan dari Dion. Sebuah kebenaran yang tidak berani ia akui, bahkan kepada dirinya sendiri. Bahwa ia yang telah mengkhianati Dion. Dion memperhatikan Naura yang terlihat tidak seperti biasanya. Wajah yang biasanya ceria kini tampak lesu, dengan sorot mata yang tidak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia menghela napas panjang, mengusap tengkuknya sebelum berbicara lagi. “Nau, aku tahu akhir-akhir ini kamu banyak pikiran,” ucap Dion. “Tapi, coba kita bicarakan baik-baik. Jangan asal tuduh. Aku ini suamimu, bukan musuh.” Kata-kata itu terasa menusuk telinga Naura. Suara Dion yang mencoba memulihkan suasana justru semakin membebani pikirannya. Matanya tetap menatap lantai, mencoba menghindari kontak mata. “Mas Dion,” ia memulai dengan suara yang hampir tidak terdengar, “maaf ....” “Bukan soal maaf, N
Reval terkejut sejenak, tubuhnya membeku saat bibir Callista menyentuh pipinya. Namun, hanya sejenak. Seketika, rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah dingin seperti es. Ia menarik tubuhnya sedikit menjauh, menciptakan jarak yang jelas antara dirinya dan Callista. “Singkirkan tanganmu,” ucapnya dengan nada rendah, tapi tegas, mengandung ancaman terselubung. Matanya yang tajam seperti belati menatap Callista yang masih tersenyum percaya diri, seolah tidak menyadari kemarahan yang sedang membara. Callista tertawa kecil, mengabaikan ketegangan di wajah Reval. Ia mengalihkan pandangannya ke Adelia, menggamit lengannya dengan gaya manja yang membuat Reval semakin muak. “Tante, lihatlah. Reval bahkan tidak menghargai keberadaanku di sini. Padahal aku sudah berusaha keras untuk membuat hubungan kami lebih baik,” ujarnya dengan suara yang sengaja dilembutkan, seolah dirinya adalah korban. Adelia menghela napas panjang, ekspresi lelah terpancar di wajahnya. Ia menatap Reval dengan ma
Tiba-tiba, Reval mendekatkan wajahnya tanpa memberikan waktu bagi Naura untuk bereaksi. Dengan gerakan pasti, ia menangkup wajah Naura. Sebelum Naura sempat berkata apa-apa, bibirnya menyentuh bibir Naura dengan lembut, tetapi menuntut. Naura tersentak, tubuhnya menegang di bawah kendali Reval. Bibir Reval yang hangat melumat bibirnya dengan gerakan yang teratur, mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuhnya. Ciuman panas itu cukup untuk membuat perasaan Naura berantakan. Ciuman itu penuh kendali, membuatnya seolah-olah kehilangan gravitasi. Tangannya, yang tadinya berada di pangkuan, mengepal erat untuk menahan gelombang sensasi yang menyusup ke setiap sarafnya. Naura masih terdiam, tubuhnya kaku. Otaknya berusaha keras memahami apa yang baru saja terjadi, namun respons tubuhnya jauh lebih lambat. Ia tidak melawan, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Reval memperdalam ciumannya, menggerakkan bibirnya dengan intensitas yang mengguncang ketenangan Naura. Seolah-olah wa