Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura.
“I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung meraihnya dan membukanya, menghitung isinya dengan cepat seperti seorang pedagang di pasar. “Bagus. Ini cukup buat bayar beberapa bulan,” katanya santai, sebelum menyelipkan amplop itu ke dalam jaketnya. Naura menahan air matanya. “Mas … ini uang buat Ibu. Buat perawatan beliau.” Dion mengangkat bahu dengan ekspresi tanpa dosa. “Ya udah. Yang penting beres kan? Lagian, kamu juga gampang cari uang segini.” Kata-kata itu membuat Naura gemetar. Ia memandang Dion, suaminya, dengan tatapan penuh luka. “Gampang? Mas, aku kerja siang-malam, lembur, pinjam ke sana-sini, bahkan sampai harus mengorbankan harga diri …” “Terus?” potong Dion dingin. “Kamu istri, kan? Itu memang tugas kamu. Apa susahnya bantu suami?” Naura terdiam, napasnya tercekat. Ia menatap pria itu dengan pandangan kosong, lalu berbicara dengan suara rendah tapi penuh kepedihan. “Kalau tugas istri itu seperti yang kamu pikir, Mas … aku ingin tahu, apa tugas suami?” Dion tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mendengkus kesal dan melangkah pergi, meninggalkan Naura sendirian di koridor rumah sakit. ** Setelah kejadian di rumah sakit, Naura saat ini kembali berada di dalam taksi. Malam ini adalah awal dari perjanjiannya dengan Reval. Perut Naura terasa mual hanya membayangkannya. Ia seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Naura meyakinkan diri. Iya melakukan semua itu untuk keluarga. Ketika Naura tiba di hotel mewah yang telah Reval sebutkan, kakinya hampir tidak bisa melangkah. Jantung wanita itu berdebar begitu kencang hingga membuat napasnya tersengal. Gedung yang menjulang tinggi di depannya seolah mengejek kelemahan Naura. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan ini? Dengan berat hati Naura melangkah masuk melewati pintu otomatis dan menuju resepsionis. Wanita di balik meja itu tersenyum ramah saat Naura menyebut nama Reval. “Silahkan, Ibu. Pak Reval sudah menunggu Anda di lantai atas,” ujar wanita itu lembut. Seolah itu hal yang sangat biasa. Naura menekan tombol lift dengan tangan gemetar. Ketika pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk. Wanita itu merasa seperti sedang memasuki dunia lain. Dunia yang tidak seharusnya ia masuki. Namun, pikiran Naura kembali pada Dion dan ibu mertuanya. Pada utang-utang yang menumpuk dan ancaman penagih yang datang setiap hari. Tidak ada jalan lain. Ia berjalan sambil memaksakan diri untuk tetap tenang. Pintu lift terbuka dengan lembut di lantai tertinggi. Naura melangkah keluar dan di depannya berdiri sebuah pintu besar dengan desain yang mewah. Tangannya bergetar saat membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Pintu terbuka dan Reval berdiri di sana. Lelaki itu tampak sempurna dengan setelan jasnya. Mata hitamnya menatap Naura dengan intensitas yang membuat Naura merasakan sesuatu yang berdesir. Ada yang berbeda dari caranya menatap malam ini. Lebih menguasai. “Masuklah,” ucap Reval pelan. Suaranya begitu tenang dan dalam. Naura melangkah masuk tanpa sadar dan tak lama kemudian pintu tertutup di belakangnya. Ruangan itu memancarkan kemewahan, namun kehadiran Reval lah yang paling mendominasi. Lelaki itu berdiri di dekat jendela besar, punggungnya menghadap Naura, tangan di saku celana. Ia tidak langsung menoleh ketika Naura masuk, membiarkan wanita itu bergulat dengan kegugupannya sendiri. Perlahan, Reval berbalik. Ekspresinya datar, namun tatapannya membuat Naura merasa kecil. Ia mendekat, tidak terburu-buru. Kakinya hampir tak bersuara di atas lantai marmer. Ketika jaraknya hanya satu langkah dari Naura, ia berhenti. Dengan gerakan perlahan, Reval mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh, tetapi untuk mengambil helai rambut Naura yang jatuh di pipinya. Tidak ada kelembutan di gerakannya, hanya ketelitian, seperti seseorang yang sedang merapikan sesuatu miliknya. “Kamu datang tepat waktu,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti gumaman. Tidak ada pujian, tidak ada basa-basi. Hanya pernyataan yang dingin. Kata-kata itu terdengar biasa, namun mampu membuat tubuh Naura gemetar. Ia hanya bisa terdiam kaku di saat jemari Reval menyentuh pipinya dengan penuh kelembutan. Seharusnya Naura merasa jijik ataupun takut, tetapi ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam dirinya. Hati wanita itu berdebar keras. Bukan hanya karena ketakutan, namun juga karena rasa yang tak bisa ia pahami. Dion selalu keras dan hanya manis saat ada maunya. Sangat berbeda dengan Reval yang memperlakukan Naura dengan lembut, bahkan di saat seperti ini. Rasanya Naura ingin menolak, ingin melarikan diri. Tetapi ada sesuatu hal lain dalam cara Reval berbicara dan menatapnya. Membuat Naura merasa terikat. Reval tersenyum, mengambil dokumen dari atas meja kecil di dekat sofa. “Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin memastikan semuanya tertulis dengan jelas. Uang itu sudah langsung ditransfer ke rekeningmu tadi.” Naura menatap dokumen itu dengan ragu. Tangannya bergetar saat Reval menyerahkan pena kepadanya. “Tanda tangani ini, dan semua masalahmu selesai,” katanya. Naura menggigit bibir. Matanya berpindah-pindah antara dokumen di tangannya dan Reval yang berdiri tak jauh darinya. Jantung Naura berdegup kencang. Apa yang harus ia katakan kepada Dion nanti? Jemari Reval mengusap bahu Naura dengan lembut. Kedua matanya menatap dalam ke mata Naura, seolah menuntut wanita itu untuk segera memberikan kenikmatan untuknya. Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Naura menandatangani dokumen itu. “Bagus,” ucap Reval, senyum kembali menghiasi wajahnya. “Sekarang, kenapa kita tidak mulai menikmati malam ini?” “T-tapi—” Naura tergugu, ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa ia harus melayani bosnya sendiri dan mengkhianati sang suami. Reval melangkah mundur dan menjauh, lalu datang kembali dengan membawa sebuah kotak di tangannya. Lelaki itu tidak langsung menjelaskan ketika memberikan kotak tersebut. Ia hanya mendorongnya ke arah Naura dengan satu tangan, matanya tetap menatap wanita di depannya tanpa ekspresi. “Ini, apa, Pak?” suara Naura nyaris hilang, dan Reval hanya mengangkat alis sedikit, seolah heran mengapa pertanyaan itu perlu diajukan. “Lihat sendiri,” jawabnya singkat, suaranya tidak lebih keras dari desiran angin. Saat Naura membuka kotak itu, Reval tidak bergerak. Hanya matanya yang mengamati ekspresi wanita itu, seperti sedang membaca setiap reaksi tanpa perlu bertanya. Di dalam kotak itu terdapat lingerie hitam yang tipis dan berdesain mewah. Sangat berbeda dari pakaian sederhana yang biasa ia kenakan. Ketika Naura mendongak, ia mendapati Reval masih berdiri diam, satu tangan di sakunya, yang lain terulur sedikit ke meja di dekatnya, memegang segelas anggur dengan santai. “Pakai,” katanya akhirnya, suara bariton itu seperti perintah yang tidak bisa ditawar. Ketika Naura ragu dan hendak melangkah pergi, suara Reval menghentikan wanita itu seperti belenggu tak terlihat. “Di sini.”Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksudmu besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah be
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk m
Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan.Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia.Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir.“Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh.“Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ...Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian
“Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, suaranya datardan rendah, tanpa emosi yang tampak. Ia menatap Naura dengan intens, seolahmenilai tanpa perlu bertanya. “Kedinginan atau takut?”Naura terdiam sejenak, berusaha menguatkan diri.“Seharusnya saya tidak berada di sini,” jawabnya dengan suara yang hampirbergetar.Reval hanya mengangkat alis, tetap diam, tangannyabertahan di pinggang Naura tanpa gerakan berlebih. Tatapannya tetap tenang,seolah tidak ada urgensi untuk menjawab atau menanggapi lebih jauh.Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudahmenyentuh pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya makin cepat, namun Revaltetap tak bergerak, tetap mengawasi.“Apa yang anda inginkan?” tanya Naura, nada suaranyategas meski ada kecemasan di dalamnya.Reval meraih kedua bahunya dengan gerakan lambat,namun tidak pernah terburu-buru. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tetapdatar, namun perintah itu jelas.Naura merasa terperangkap, meski tanpa kata-kata, iatidak bisa menarik dir
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu menyel
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi.“Ibu ....”Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit.Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar.Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya.Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri.‘Ibu ... maaf ....’Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskipun sed
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
Suasana mendadak begitu sunyi. Kehangatan yang ditinggalkan lelaki itu seolah terserap oleh dinding-dinding kamar yang kini terasa dingin dan luas.Naura menghela napas panjang, kemudian berbalik menatap kamarnya yang luas dan elegan. Kamar hotel itu begitu mewah dengan perabotan kayu berkilap, seprai putih bersih yang tertata rapi, dan balkon besar yang menghadap ke taman di luar. Namun, bukannya merasa nyaman, Naura justru merasa asing.Ia berjalan pelan ke jendela besar yang menampilkan pemandangan senja. Langit oranye membentang di atas pohon-pohon kelapa yang melambai tertiup angin. Di kejauhan, burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Betapa damainya dunia di luar sana. Berbeda jauh dengan badai kecil yang mengisi hatinya saat ini.Naura menyandarkan dahinya ke kaca yang dingin. Ingatan tentang kejadian tadi kembali terlintas di benaknya. Sentuhan Reval di tangannya, ciuman yang terasa terlalu hangat, terlalu nyata. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis kena
Naura meliriknya sekilas dari sudut matanya. “Apa maksud Pak Reval?”“Pak Handoko. Dia mengira kita pasangan,” jawab Reval sambil menyetir dengan fokus. “Kamu bisa saja menjelaskan kalau itu hanya kesalahpahaman.”Naura menghela napas pelan, menahan emosi yang mulai menggelegak. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa membuat suasana semakin aneh. Lagipula, itu kesalahan Bapak.”Reval tersenyum tipis, meskipun matanya tetap tertuju ke jalan. “Kesalahanku?”“Ya,” jawab Naura tegas. “Bapak yang memegang tangan saya di bawah meja. Saya tidak mungkin menjelaskannya di depan semua orang tanpa membuat mereka curiga.”Reval mengangguk pelan, seolah memahami maksudnya. “Baiklah, aku akui itu salahku. Tapi kamu terlalu memikirkannya. Pak Handoko hanya bercanda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”Naura menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Percakapan itu seharusnya selesai, tetapi ada sesuatu tentang sikap Reval yang membuatnya gelisah. Lelaki itu sering kali menci
Nada suara Selena membuat Naura merasa seperti sedang dihakimi. Namun, ia hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Saya akan berusaha melakukan yang terbaik.” Percakapan itu terhenti ketika Reval memanggil Selena. Wanita itu segera menghampirinya, meninggalkan Naura dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba mengalihkan fokusnya kembali ke pekerjaannya, tetapi bayangan Selena yang begitu dekat dengan Reval terus mengganggu pikirannya. Setelah inspeksi di lapangan selesai, Reval meminta semua orang untuk kembali ke ruang pertemuan. Mereka akan membahas temuan di lapangan dan menyusun rencana tindak lanjut. Naura kembali ke tempat duduknya, membuka laptop, dan bersiap mencatat. Namun, kali ini Reval berbicara langsung kepadanya. “Naura, aku butuh laporan singkat tentang semua yang kita bahas hari ini. Kirimkan ke emailku sebelum pukul delapan malam.” Naura mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan segera menyelesaikannya.” Reval memberikan anggukan singkat sebelum kembali fokus pada tim
“Saya sudah memastikan jalurnya. Tidak ada jalan pintas lagi. Kita ikuti jalur utama sesuai petunjuk,” jelas Naura. “Pastikan semua barang kita sudah di mobil, Naura,” ujar Reval sambil merapikan rambutnya. Naura mengangguk yakin. “Siap, Pak Reval. Saya pastikan tidak ada yang berkurang.” Reval tersenyum kecil. “Bagus. Kita tidak punya waktu untuk kesalahan kedua.” Setelah semuanya siap, mereka melanjutkan perjalanan. Jalan yang dilalui terasa lebih familiar, mungkin karena Naura lebih hati-hati kali ini. Di sepanjang perjalanan, Reval sesekali melirik Naura yang duduk di sebelahnya, sibuk memperhatikan layar ponselnya untuk memastikan arah. “Kamu terlalu serius,” celetuk Reval. Naura menoleh, menatapnya bingung. “Saya tidak mau kita tersesat lagi. Itu benar-benar membuang waktu.” Reval terkekeh pelan. “Iya, tapi jangan sampai kamu lupa menikmati pemandangan ini.” Tangan pria itu menunjuk ke luar jendela, di mana perbukitan hijau terbentang dengan indah. Naura meno
Naura tersentak mundur, tangannya secara refleks memeluk tubuhnya. Wajahnya memerah seketika, panas yang memancar dari pipinya membuatnya ingin segera lari dari ruangan itu. “Pak Reval!” Ia berseru dengan suara pelan, hampir seperti protes, meski tidak tahu bagaimana caranya membalas ucapan lelaki itu tanpa mempermalukan dirinya sendiri. Reval hanya menyeringai tipis, seolah puas dengan reaksi yang ditimbulkan. “Aku hanya memberi tahu. Bukan berarti aku keberatan dengan apa yang kamu kenakan sekarang. Kalau saja kita tidak ada kepentingan. Aku akan mengurungmu seharian di sini tanpa berganti pakaian,” tambah Reval, nada suaranya tetap santai. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, mengamati Naura dengan pandangan yang sulit ditebak. Naura merasakan degup jantungnya semakin tidak karuan. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi rasa malu dan salah tingkah justru membuat gerakannya semakin kikuk. Ia berjalan cepat ke arah tempat tidur untuk mengambil jaket yang sebelumnya dilemparka
Pintu kamar mandi terbuka perlahan, uap hangat keluar menyertai suara langkah kaki yang lembut. Tubuh Naura bersandar lemah pada dada Reval yang kokoh. Ia digendong dengan lengan kuat lelaki itu, seperti seseorang yang tidak akan pernah dibiarkan jatuh. Napas Naura terasa teratur, meski pipinya masih merah. Entah karena panas uap atau perasaan canggung yang belum juga surut sejak insiden di kamar mandi tadi. “Turunkan saya Pak Reval,” gumam Naura dengan suara pelan, tetapi Reval seolah tidak mendengar. Ia tetap melangkah menuju ranjang tanpa ragu. Reval hanya melirik sekilas ke arah wajahnya, ekspresinya tenang, sulit ditebak. “Tenang saja,” kata Reval singkat, nadanya datar seperti biasa. Namun, ada sesuatu dengan cara ia menatap yang membuat Naura justru memilih diam dan membiarkan lelaki itu melakukan apa yang ia mau. Ia merebahkan tubuh Naura di atas ranjang, gerakannya penuh kehati-hatian. Tangan Naura tanpa sadar mencengkeram selimut, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Malam semakin larut, membawa keheningan yang menenangkan di kamar Reval. Lampu di sisi tempat tidur redup, hanya menyisakan temaram yang cukup untuk menerangi bayangan wajah mereka. Naura terbaring dengan kepala bersandar di dada Reval, mendengarkan detak jantungnya yang perlahan kembali normal. Suara napas mereka berpadu. Reval merengkuh tubuh Naura lebih erat, seolah tidak ingin kehilangan kehangatan yang ia rasakan. Tangannya dengan lembut membelai rambut Naura, membuat perempuan itu merasa terlindungi. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, tetapi kebisuan itu berbicara lebih dari yang mampu mereka ungkapkan dengan suara. Naura mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat bulan yang menggantung rendah di langit malam. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang sulit dijelaskan. “Kamu nyaman?” suara Reval tiba-tiba memecah keheningan. Naura mengangguk, meski ia tahu lelaki itu tidak dapat melihatnya dengan jelas. “Saya ... saya baik-baik saja,” jawabnya pelan, suaranya terden
Udara di ruangan itu terasa semakin panas, meskipun di luar hujan semakin deras. Reval tetap melanjutkan dengan ritme yang lembut namun penuh intensitas, seperti menyalakan api kecil yang perlahan tumbuh menjadi kobaran yang sulit dipadamkan. Naura merasa dirinya seolah kehilangan gravitasi, melayang di antara kenyataan dan dunia yang mereka ciptakan bersama. Desahannya semakin terdengar lirih, seakan menjadi alunan melodi yang menambah kedalaman dari momen tersebut. Tangan Naura terangkat, jari-jarinya perlahan menyentuh rambut Reval. Awalnya ragu, namun semakin lama gerakannya menjadi lebih mantap, jemarinya tenggelam dalam helai-helai rambut pria itu. Ia meremasnya perlahan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang sedang terjadi bukan sekadar ilusi. Ada sesuatu dalam sentuhan itu. Bukan hanya sekadar gerakan spontan, tetapi sebuah luapan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tangan Naura seakan menjadi medium bagi hatinya, menyampaikan emosi yang selama i
Bibir Reval melumat bibir Naura, tak memberi ruang untuk menolak. Lidahnya bermain dengan lidah Naura, saling berbenturan, meliuk, dan menggoda dengan intensitas yang membakar. Naura merasa tubuhnya lemas, jantungnya berdetak begitu kencang hingga rasanya ingin meledak. Ada kekuatan yang begitu mendominasi dalam ciuman ini, seperti ada kekuasaan yang tak bisa ia hindari. Naura tak tahu apakah itu ciuman yang dipaksakan ataukah ia juga tak mampu menahan tarikannya. Apa pun itu, bibir Reval seakan melebihi batas kendali dirinya, dan Naura pun terperangkap di dalamnya. Tanpa sadar Naura memejamkan kedua matanya. Ia membalas pergerakan Reval. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Reval. Keduanya pun saling mencumbu. Naura tidak bisa berhenti. Kali ini ia tidak mampu menahan dorongan yang mengalir begitu kuat dalam dirinya. Bibir mereka bertemu lebih dalam, lebih mendalam dari sebelumnya, seperti ada sesuatu yang memaksa mereka untuk terus terhubung. Tanga