Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura.
“I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung meraihnya dan membukanya, menghitung isinya dengan cepat seperti seorang pedagang di pasar. “Bagus. Ini cukup buat bayar beberapa bulan,” katanya santai, sebelum menyelipkan amplop itu ke dalam jaketnya. Naura menahan air matanya. “Mas … ini uang buat Ibu. Buat perawatan beliau.” Dion mengangkat bahu dengan ekspresi tanpa dosa. “Ya udah. Yang penting beres kan? Lagian, kamu juga gampang cari uang segini.” Kata-kata itu membuat Naura gemetar. Ia memandang Dion, suaminya, dengan tatapan penuh luka. “Gampang? Mas, aku kerja siang-malam, lembur, pinjam ke sana-sini, bahkan sampai harus mengorbankan harga diri …” “Terus?” potong Dion dingin. “Kamu istri, kan? Itu memang tugas kamu. Apa susahnya bantu suami?” Naura terdiam, napasnya tercekat. Ia menatap pria itu dengan pandangan kosong, lalu berbicara dengan suara rendah tapi penuh kepedihan. “Kalau tugas istri itu seperti yang kamu pikir, Mas … aku ingin tahu, apa tugas suami?” Dion tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mendengkus kesal dan melangkah pergi, meninggalkan Naura sendirian di koridor rumah sakit. ** Setelah kejadian di rumah sakit, Naura saat ini kembali berada di dalam taksi. Malam ini adalah awal dari perjanjiannya dengan Reval. Perut Naura terasa mual hanya membayangkannya. Ia seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Naura meyakinkan diri. Iya melakukan semua itu untuk keluarga. Ketika Naura tiba di hotel mewah yang telah Reval sebutkan, kakinya hampir tidak bisa melangkah. Jantung wanita itu berdebar begitu kencang hingga membuat napasnya tersengal. Gedung yang menjulang tinggi di depannya seolah mengejek kelemahan Naura. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan ini? Dengan berat hati Naura melangkah masuk melewati pintu otomatis dan menuju resepsionis. Wanita di balik meja itu tersenyum ramah saat Naura menyebut nama Reval. “Silahkan, Ibu. Pak Reval sudah menunggu Anda di lantai atas,” ujar wanita itu lembut. Seolah itu hal yang sangat biasa. Naura menekan tombol lift dengan tangan gemetar. Ketika pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk. Wanita itu merasa seperti sedang memasuki dunia lain. Dunia yang tidak seharusnya ia masuki. Namun, pikiran Naura kembali pada Dion dan ibu mertuanya. Pada utang-utang yang menumpuk dan ancaman penagih yang datang setiap hari. Tidak ada jalan lain. Ia berjalan sambil memaksakan diri untuk tetap tenang. Pintu lift terbuka dengan lembut di lantai tertinggi. Naura melangkah keluar dan di depannya berdiri sebuah pintu besar dengan desain yang mewah. Tangannya bergetar saat membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Pintu terbuka dan Reval berdiri di sana. Lelaki itu tampak sempurna dengan setelan jasnya. Mata hitamnya menatap Naura dengan intensitas yang membuat Naura merasakan sesuatu yang berdesir. Ada yang berbeda dari caranya menatap malam ini. Lebih menguasai. “Masuklah,” ucap Reval pelan. Suaranya begitu tenang dan dalam. Naura melangkah masuk tanpa sadar dan tak lama kemudian pintu tertutup di belakangnya. Ruangan itu memancarkan kemewahan, namun kehadiran Reval lah yang paling mendominasi. Lelaki itu berdiri di dekat jendela besar, punggungnya menghadap Naura, tangan di saku celana. Ia tidak langsung menoleh ketika Naura masuk, membiarkan wanita itu bergulat dengan kegugupannya sendiri. Perlahan, Reval berbalik. Ekspresinya datar, namun tatapannya membuat Naura merasa kecil. Ia mendekat, tidak terburu-buru. Kakinya hampir tak bersuara di atas lantai marmer. Ketika jaraknya hanya satu langkah dari Naura, ia berhenti. Dengan gerakan perlahan, Reval mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh, tetapi untuk mengambil helai rambut Naura yang jatuh di pipinya. Tidak ada kelembutan di gerakannya, hanya ketelitian, seperti seseorang yang sedang merapikan sesuatu miliknya. “Kamu datang tepat waktu,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti gumaman. Tidak ada pujian, tidak ada basa-basi. Hanya pernyataan yang dingin. Kata-kata itu terdengar biasa, namun mampu membuat tubuh Naura gemetar. Ia hanya bisa terdiam kaku di saat jemari Reval menyentuh pipinya dengan penuh kelembutan. Seharusnya Naura merasa jijik ataupun takut, tetapi ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam dirinya. Hati wanita itu berdebar keras. Bukan hanya karena ketakutan, namun juga karena rasa yang tak bisa ia pahami. Dion selalu keras dan hanya manis saat ada maunya. Sangat berbeda dengan Reval yang memperlakukan Naura dengan lembut, bahkan di saat seperti ini. Rasanya Naura ingin menolak, ingin melarikan diri. Tetapi ada sesuatu hal lain dalam cara Reval berbicara dan menatapnya. Membuat Naura merasa terikat. Reval tersenyum, mengambil dokumen dari atas meja kecil di dekat sofa. “Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin memastikan semuanya tertulis dengan jelas. Uang itu sudah langsung ditransfer ke rekeningmu tadi.” Naura menatap dokumen itu dengan ragu. Tangannya bergetar saat Reval menyerahkan pena kepadanya. “Tanda tangani ini, dan semua masalahmu selesai,” katanya. Naura menggigit bibir. Matanya berpindah-pindah antara dokumen di tangannya dan Reval yang berdiri tak jauh darinya. Jantung Naura berdegup kencang. Apa yang harus ia katakan kepada Dion nanti? Jemari Reval mengusap bahu Naura dengan lembut. Kedua matanya menatap dalam ke mata Naura, seolah menuntut wanita itu untuk segera memberikan kenikmatan untuknya. Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Naura menandatangani dokumen itu. “Bagus,” ucap Reval, senyum kembali menghiasi wajahnya. “Sekarang, kenapa kita tidak mulai menikmati malam ini?” “T-tapi—” Naura tergugu, ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa ia harus melayani bosnya sendiri dan mengkhianati sang suami. Reval melangkah mundur dan menjauh, lalu datang kembali dengan membawa sebuah kotak di tangannya. Lelaki itu tidak langsung menjelaskan ketika memberikan kotak tersebut. Ia hanya mendorongnya ke arah Naura dengan satu tangan, matanya tetap menatap wanita di depannya tanpa ekspresi. “Ini, apa, Pak?” suara Naura nyaris hilang, dan Reval hanya mengangkat alis sedikit, seolah heran mengapa pertanyaan itu perlu diajukan. “Lihat sendiri,” jawabnya singkat, suaranya tidak lebih keras dari desiran angin. Saat Naura membuka kotak itu, Reval tidak bergerak. Hanya matanya yang mengamati ekspresi wanita itu, seperti sedang membaca setiap reaksi tanpa perlu bertanya. Di dalam kotak itu terdapat lingerie hitam yang tipis dan berdesain mewah. Sangat berbeda dari pakaian sederhana yang biasa ia kenakan. Ketika Naura mendongak, ia mendapati Reval masih berdiri diam, satu tangan di sakunya, yang lain terulur sedikit ke meja di dekatnya, memegang segelas anggur dengan santai. “Pakai,” katanya akhirnya, suara bariton itu seperti perintah yang tidak bisa ditawar. Ketika Naura ragu dan hendak melangkah pergi, suara Reval menghentikan wanita itu seperti belenggu tak terlihat. “Di sini.”Waduh, gimana ya perasaan Naura???
Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tub
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksud Bapak jika besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk m
Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar. “Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan. Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia. Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir. “Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura penuh selidik. Seolah ingin mengatakan bahwa Reval sengaja mengikuti dirinya sampai ke rumah sakit. “Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Dengan entengnya ia berjalan menjauh meninggalkan Naura yang masih terdiam kaku di tempatnya. Sementara Naura merasa tertohok mendengar jaw
“Seharusnya saya tidak berada di sini,” sahut Naura, berusaha menguatkan suaranya. “Tapi kamu tetap datang,” Reval menanggapi tanpa kehilangan kendalinya. Tangannya tetap bertahan di pinggang Naura, sementara tatapannya bergeming. Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudah bertemu dengan pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya semakin tidak terkendali, sementara udara terasa lebih berat di ruangan itu. “Sa–saya ...,” katanya dengan nada ragu. Sebelum Naura sempat berbalik, Reval meraih kedua bahunya dengan lembut. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tegas, namun ada kelembutan yang tidak dapat diabaikan. “Kamu sudah ada di sini. Nikmati saja malam ini bersamaku.” Naura mengerjap gugup, merasa setiap kata Reval memenjarakan langkahnya. Ia berusaha melepaskan diri dari genggaman itu, namun Reval menggerakkan tangannya dengan tenang, tanpa sedikit pun memaksa. Sebelum Naura sadar apa yang terjadi, jaket tebal yang melingkupi tubuhnya sudah terjatuh di lantai. Naura m
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu m
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. “Ibu ....” Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit. Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar. Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya. Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri. ‘Ibu ... maaf ....’ Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskip
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
Dion mengerjap, matanya membesar. “Callista?”Wanita itu tersenyum miring, lalu dengan anggun memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Apa kabar kamu, Dion? Sudah lama aku tidak melihatmu.”Dion melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Callista berdiri tegak kembali. Matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan.Callista masih seperti dulu. Berpenampilan mewah, tubuhnya dibalut gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Parfum mahalnya masih tercium kuat, mengingatkan Dion pada masa-masa yang ingin ia lupakan.“Aku pikir kamu masih di luar negeri,” gumam Dion.Callista menyeringai. “Aku pulang beberapa bulan lalu. Kau tidak tahu?”Dion menggeleng.“Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak menghubungimu.” Callista melipat tangan di depan dadanya. “Kamu terlalu sibuk dengan istrimu, kan?”Dion menatap Callista tajam.Wanita itu terkekeh pelan. “Kamu ingat, Dion? Waktu itu kamu membawa kabur uangku.”Dion mengepalkan tangan. “Aku tidak punya pilihan.”“Dan sekarang?”
Dion terdiam sejenak. “Naura lebih banyak menghabiskan waktu dengan bosnya. Aku yakin itu anak Reval. Bukan anakku.”Lastri tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Dion! Istri kamu baru saja mengandung anak pertama kalian, dan alih-alih bersyukur, kamu malah menuduhnya?!”Dion menutup matanya sejenak. “Bu, aku tidak menuduh. Seminggu ini Naura tidak pulang ke rumah. Dia tidur bersama Reval, Bu. Bagaimana aku bisa yakin jika anak itu adalah anakku, Bu?”Lastri terdiam.Dion melanjutkan. “Aku melihat semuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, berbicara dengan cara yang berbeda. Dan lebih dari itu ....” Dion mengusap wajahnya dengan kasar. “Naura berubah sejak saat itu, Bu. Sejak dia mendapatkan uang untuk membayar operasi ibu. Dia yang mulai terlihat gelisah, pikirannya sering melayang. Dan malam ini, ketika dokter mengumumkan kehamilannya, aku melihat sesuatu di matanya.”Lastri mempersempit matanya. “Apa yang kamu lihat?”Dion menatap ibunya lurus-lurus.“Keraguan.”Dion menggeleng
Deg!Naura merasakan sesuatu menyesak di dadanya. Ia mengerjap, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.“Mas ... kamu tidak percaya?”Dion berjalan mendekat, wajahnya masih sulit ditebak. “Jangan-jangan itu anak Reval?”Seperti ada tamparan keras yang menghantam pipinya.Naura menggeleng dengan mata berkaca-kaca. “Mas, ini anakmu. Bagaimana kamu bisa meragukannya? Aku yakin jika ini anak kita, Mas.”Dion menatapnya dalam diam, tetapi ada sesuatu di matanya. Sebuah keraguan.Keraguan yang begitu nyata dan menyakitkan.Suasana ruangan terasa begitu dingin, menusuk ke dalam hati Naura lebih dalam daripada udara malam di luar sana.Dion berbalik, menarik napas dalam-dalam, lalu mengepalkan tangannya. Pikirannya penuh dengan adegan yang terus menghantuinya.Hampir seminggu Naura tidak pulang ke rumah. Ia yakin jika istrinya tersebut pasti tinggal bersama Reval. Dan tidak mungkin Naura tidak melakukan apa-apa dengan lelaki itu.Naura menatap Dion penuh harap, tetapi pria itu teta
Reval melangkah masuk ke dalam restoran dengan perasaan hampa. Kepalan tangannya masih erat, seolah mencoba menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Sorot matanya tajam, tetapi di balik itu, ada luka yang tidak bisa ia sembunyikan.Di hadapannya, keluarganya sudah menunggu dengan ekspresi yang berbeda-beda.Alexa langsung bertepuk tangan kecil, wajahnya tampak sumringah melihat kakaknya kembali seorang diri. “Aku sudah bilang, kan? Kak Reval terlalu percaya diri. Lihat sekarang, buktinya dia tetap memilih Dion!”Reval menghela napas, tidak menanggapi. Ia menarik kursi dengan sedikit kasar, lalu duduk tanpa banyak bicara.Dari sudut lain meja, sang mama mengamati ekspresi putranya dengan sorot puas. Ia menyandarkan tubuhnya, menyesap anggur di tangannya dengan tenang sebelum berkata, “Bagaimana, Reval? Sekarang kamu tahu sendiri sifat asli Naura. Dia tidak benar-benar mencintaimu. Selama ini dia hanya memanfaatkan kelemahanmu.”Reval mengangkat kepalanya, menatap sang mama dalam di
Naura mengangkat kepalanya, memaksakan senyum. “Tidak apa-apa.” Dion menghela napas lega. “Aku senang kamu ada di sini. Aku janji, Naura … aku nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku nggak akan menyia-nyiakan kamu lagi.” Naura mengangguk kecil, meski hatinya terasa semakin sesak. Di luar sana, Reval masih berdiri. Pandangan mereka bertemu lagi, dan kali ini, Naura bisa melihat jelas luka yang berpendar di mata pria itu. Namun, Naura segera membuang muka. Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Pesan masuk. [Lihat aku, Naura.] Jantungnya berdebar. Naura mengangkat kepalanya perlahan, dan saat ia melakukannya, Reval mengulurkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak beludru kecil. Naura membelalakkan mata. Cincin. Reval membawakan cincin untuknya. Dan saat itu, Naura merasakan sesuatu menghantam dadanya begitu keras. Dion mungkin berjanji akan berubah. Ibu Lastri mungkin sangat menyayanginya. Tapi hanya ada satu pria yang berani memperjuangkannya dengan cara yang begitu ter
Naura menarik napas panjang. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi melihat harapan di wajah Ibu Lastri, ia akhirnya mengangguk. “Baiklah,” ucapnya lirih. Dion tersenyum lega. “Terima kasih, Naura. Aku janji, aku akan membuat semuanya lebih baik.” Malam itu, Naura mengenakan dress sederhana berwarna krem. Ia berdiri di depan kaca, menatap pantulannya sendiri. Hatinya masih terasa berat, tetapi ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik. Ketika mereka tiba di restoran, langkah Naura terhenti seketika. Jantungnya berdegup lebih kencang. Di seberang jalan, tepat di depan restoran tempatnya berdiri, ada Revalence Dining. Restoran milik Reval. Naura menelan ludah. Tangannya refleks menggenggam clutch di tangannya lebih erat. Kenapa harus di sini? Kenapa harus sedekat ini dengan Reval? Dion meraih tangannya, membuatnya tersadar. “Ayo, Naura. Meja kita sudah disiapkan.” Naura mengangguk kecil. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan hati
Seperti petir yang menggelegar di siang bolong, pernyataan itu langsung mengubah atmosfer ruangan. Wajah Ibu Lastri memucat, sementara Dion tersentak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Naura, jangan bicara seperti itu ....” Ibu Lastri langsung menggenggam tangan Naura erat, air matanya mulai menggenang. “Pikirkan lagi, Nak. Jangan gegabah mengambil keputusan.” “Ibu, ini bukan keputusan yang Naura buat dalam semalam. Naura sudah berpikir panjang,” ucap Naura, mencoba tetap tenang meskipun dadanya sesak. “Tapi, Nak ....” suara Ibu Lastri bergetar, jemarinya semakin erat mencengkeram tangan Naura. “Ibu mohon ... jangan tinggalkan Dion ... dan jangan tinggalkan ibu.” Dion yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. “Naura ... aku tahu aku salah. Aku bodoh, aku egois ... aku sudah menyia-nyiakanmu.” Suaranya serak, nadanya penuh dengan penyesalan. “Aku janji ... aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Tolong beri aku kesempatan kedua.” Naura mengalihk
Naura mengangguk. “Saya tidak bisa terus seperti ini, Pak Reval. Saya tidak bisa menjalani dua kehidupan dalam satu waktu. Saya harus menyelesaikan masalah saya dengan Mas Dion.” Ruangan itu terasa sunyi sesaat. Reval menatapnya dalam-dalam, seakan mencari kebimbangan dalam mata wanita itu. Tapi, yang ia temukan hanyalah keteguhan hati. Akhirnya, ia menghela napas panjang. “Baiklah,” ucap Reval, suaranya sedikit berat. “Kalau itu yang kamu mau.” Naura tersenyum kecil, lega karena Reval tidak berusaha menahannya. Tapi, sebelum ia bisa melangkah, Reval kembali bersuara. “Tapi, aku ingin kamu tahu satu hal, Naura.” Naura menoleh. Reval menatapnya lekat, suaranya terdengar lebih dalam. “Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap di sini, menunggumu. Apa pun yang terjadi di rumahmu nanti, aku ingin kamu ingat ... bahwa aku selalu ada.” Naura merasakan tenggorokannya mengering. Ia ingin membalas sesuatu, tapi kata-katanya terasa macet di tenggorokan. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk
Beberapa hari telah berlalu. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela besar, menciptakan pola-pola lembut di atas lantai. Aroma lembut parfum Reval memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang, tetapi ada ketegangan tipis yang menggantung di udara. Naura sedang bercermin seraya merapikan rambutnya. Wajahnya terlihat tenang setelah menghabiskan banyak waktu bersama Reval selama kurang lebih satu minggu. Reval yang berdiri di belakangnya. Sebuah lipstik berwarna pink tergenggam di tangan pria itu, jemarinya yang panjang dan kuat tampak santai, tetapi sorot matanya penuh konsentrasi. “Kamu tidak perlu bergerak,” bisik Reval, suaranya rendah, nyaris seperti perintah. Ia memiringkan kepalanya sedikit, matanya tajam namun lembut, seperti seseorang yang sedang menyusun karya seni. Naura mengangkat matanya perlahan, namun hanya untuk menemukan wajah Reval sudah begitu dekat dengannya. Dadanya seakan membeku sesaat. Ia merasakan hawa napas pria itu menyentuh pipinya, begitu hangat, hamp