Sebuah kehamilan tak terduga mengguncang pernikahan Bian dan Hania. Tanpa pernah berhubungan intim, Hania mendapati dirinya mengandung buah hati. Misteri di balik kehamilan ini mengusik ketenangan mereka. Apakah ini keajaiban atau sebuah rencana jahat yang terselubung? Hania, dihantui rasa kebingungan, bertekad mengungkap kebenaran. Ia harus mengungkap rahasia yang terkubur dan menghadapi kenyataan pahit yang mungkin mengubah segalanya. Misteri Janin di Rahim Istriku - Sebuah kisah pernikahan yang akan membuatmu terpaku hingga akhir.
View MoreLibur sekolah tiba, menghidupkan suasana rumah dengan keceriaan dan tawa. Sagara, anak kecil nan polos, menikmati waktu bermain bersama Hania. Mereka bermain petak umpet, membuat kue bersama, dan bercerita tentang berbagai hal.Tiba-tiba …."Bunda, Saga pengen punya adik," ucap Sagara, matanya berbinar-binar, menatap Hania dengan penuh harap. Ia mencoba meniru ucapan teman-temannya di sekolah yang memiliki adik. Namun, ucapan polos Sagara itu menghentikan tawa Hania. Ekspresi wajahnya berubah, mencerminkan rasa sedih dan kerinduan.Hania terdiam, menatap Sagara dengan tatapan kosong. Ia tak mampu menjawab pertanyaan polos anaknya itu. Hati Hania terasa sesak, dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan.Sagara, yang tak mengerti apa yang dirasakan ibunya, menarik tangan Hania, mencoba menarik perhatiannya. "Bunda, Saga pengen punya adik. Teman-teman Saga di sekolah punya adik, mereka seru main bareng."Hania mengelus kepala Sagara, mencoba untuk tersenyum. "Iya, Sayang, Nanti dibuatkan adik y
Hania dan Bunda Heni terdiam, matanya mengikuti kepergian Bian. Mereka tak bisa menahan Bian, tak bisa memaksanya untuk tetap berada di sana. Mereka hanya bisa berharap Bian akan kembali, akan mau mendengarkan penjelasan Dokter Tari, akan mau mempertimbangkan solusi yang ditawarkan."Hania, apa yang harus kita lakukan?" Bunda Heni bertanya, suaranya bergetar. Ia merasa tak berdaya melihat Bian yang terpuruk dalam kesedihan.Hania pun tak tahu jawabannya. Ia hanya bisa memeluk Bunda Heni erat, mencari penghiburan di pelukan hangat sang ibu. Mereka berdua sama-sama merasa kehilangan, sama-sama merasa tak berdaya."Kita akan menunggu Mas Bian, Bun," Hania berkata, suaranya bergetar. "Kita akan terus mendukungnya, apa pun yang terjadi."Bunda Heni mengangguk pelan. Entah bagaimana perasaan Heni saat ini, ia telah lama menginginkan seorang cucu, tapi sekarang malah takdir berkata lain. Apakah ia kecewa dengan Bian, menantunya? Hania beranjak, hatinya dipenuhi kekhawatiran. "Mas Bian,
Di tengah-tengah perjalanan Bian, laju mobilnya memelan kala suara dering ponsel berdering. Nama Bunda Heni tertera dilayar benda pipih itu. Cepat-cepat Bian menjawabnya. “Assalamu'alaikum, Bun.”“Walaikumsalam, Bian. Bian segera ke rumah sakit ya ajak istrimu.”Bian mengerutkan dahi, rumah sakit? Apa yang terjadi pada ibu mertuanya itu? “Memangnya ada apa ya, Bun? Bunda sakit?”“Oh tidak. Ini tadi bunda tidak sengaja bertemu dokter Tari. Beliau menyampaikan pesan jika ingin menyampaikan sesuatu pada kalian. Nah karena bunda pengen nemenin kalian jadi kalian aja yang ke sini sekarang ya,” jawab Heni. Bian mengerti dan mengangguk. “Baik, Bun. Aku dan Hania akan segera ke sana.” Bian pun memutar balik laju mobilnya, kembali ke rumah untuk menjemput Hania. Ia sejenak melupakan permasalahan akan Sean, ada permasalahan yang lebih penting yang harus ia urus terlebih dulu. Dokter Tari adalah seorang dokter kandungan yang diajak konsultasi oleh Hania dan Bian. Sementara hasil tes belum ke
Pintu rumah terbanting keras. Hania terhuyung masuk, tubuhnya lemas. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, kini tumpah tak terbendung. Ia terduduk di lantai ruang tamu, tubuhnya meringkuk seperti anak kucing yang ketakutan.Tangisnya pecah, membahana di ruangan yang sunyi. Bayangan Sean terlintas di benaknya, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Hania teringat ucapan Arum, "Puas kamu melihat Sean seperti ini?" Kata-kata itu menusuk hatinya, menggores luka yang tak kunjung sembuh.Hania terisak, "Sean ... aku tak pernah bermaksud melukaimu ... aku tak pernah ingin melihatmu seperti ini ...."Pernikahannya dengan Bian, yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan, justru menjadi petaka bagi Sean. Sean, yang selalu mencintainya, terpuruk dalam depresi. Hati Hania hancur berkeping-keping. Ia merasa bersalah, merasa bertanggung jawab atas penderitaan Sean."Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, Sean ...." Hania berbisik, suaranya teredam oleh tangisnya. "Aku ingin menolongmu, tapi
Hari ini Hania berkunjung ke rumah sang bunda. Setelah semua hal waris Hania yang memegang, Heni tak lagi ikut campur, ia beristirahat total menyambut usia senjanya. Hania melangkah memasuki rumah sang bunda, sebuah rumah sederhana yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Heni, sang bunda, duduk di ruang tamu, raut wajahnya tampak menua, tetapi senyumnya masih hangat seperti biasanya."Bagaimana, Han? Semua berjalan lancar?" tanya Heni, suaranya lembut, penuh perhatian."Alhamdulillah, Bun. Semua berjalan lancar, Mas Bian yang membantu urusanku," jawab Hania, senyum tipis menghiasi wajahnya. Heni mengangguk, merasa bahagia karena menilai Hania dapat melakukan tugas dengan baik."Oiya, Han, bagaimana? Apa kamu sudah hamil?" Sebuah pertanyaan yang membuat ekspresi wajah Hania seketika berubah. Rona merah merayap di pipinya, matanya menunduk.Sudah beberapa bulan ia menikah, tapi entahlah mengapa ia tak kunjung hamil? Hania menggeleng, "Belum, Bun. Mungkin Allah belum kasih aku keper
"Tante, silakan menjauh. Saya akan mencoba membuka pintu ini," ucap Bian, suaranya bergetar sedikit saat ia menatap pintu kayu yang terkunci rapat.Arum melangkah mundur, wajahnya pucat pasi. Ketakutan terpancar jelas di matanya. "Sean...," gumamnya lirih, tangannya gemetar tak menentu.Bian menghela napas dalam-dalam, kemudian mengarahkan kakinya ke arah pintu. Ia menendang dengan sekuat tenaga, namun pintu itu tetap tak bergeming. "Sean, kau di dalam sana? Apakah kau baik-baik saja?" teriak Bian, suaranya bergema di ruangan itu.Sekali lagi Bian mencoba mendobrak pintu, namun tetap tak berhasil. Ia mulai panik. Bian tak menyerah. Ia terus berusaha membuka pintu, hingga akhirnya dengan satu tendangan kuat, pintu itu terbuka dengan suara gemuruh.Bian dan Arum langsung berlari masuk. Mata mereka terbelalak melihat pemandangan di dalam ruangan. Sean terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, berserakan pecahan cermin, dan di tangannya, tergeng
Keesokan harinya. Matahari pagi menyinari kamar Sagara, tetapi senyum ceria yang biasanya menghiasi wajahnya tak terlihat. Kepalanya tertunduk, bibirnya mengerucut, dan air mata mulai menetes. "Bunda, Saga kangen Ayah," rengeknya, suaranya bergetar menahan tangis. "Bunda anter Saga ke rumah Ayah, ya?" Hania, sang bunda, terdiam. Hatinya tersayat melihat putranya merindukan sang ayah. Namun, hatinya sendiri belum sepenuhnya siap bertemu Sean. Bagaimana mungkin ia bisa menemuinya lagi? Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Sagara tentang kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi? "Bunda, Saga mau ketemu Ayah," Sagara kembali merengek, air matanya semakin deras. "Bunda, Saga janji Saga bakal baik-baik aja kalau sama Ayah." Hania tertegun. Janji Sagara, yang polos dan tulus, membuatnya semakin terpuruk dalam dilema. Ia tak ingin menyakiti hati putranya, tetapi ia juga tak ingin kembali membuat Sean terluka dan bersedih. "Sagara, sayang," Hania berusaha menguatkan dirinya. "Kita tung
Hania tercengang, matanya membelalak tak percaya. "Sean–" Mulutnya terasa kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.Seketika, air mata Sean terjatuh, membasahi pipinya. "Jadi benar, Han. Kamu sudah menikah dengan dia?" Suaranya bergetar hebat, dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan.Hania terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu membalas pertanyaan Sean. Hatinya terasa sesak, dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan."Hania ...." Sean mengulang, suaranya serak. Ia mendekat, langkahnya berat, seakan membawa beban dunia. Hania terus menggeleng pelan, tak mampu berkata-kata."Kenapa, Han?" Sean bertanya lagi, suaranya bergetar menahan amarah. "Kenapa kamu harus menikahi dia? Kenapa kamu harus meninggalkan aku, Hania?"Hania terdiam, air matanya mengalir deras. Ia ingin menjelaskan, ingin menceritakan semuanya, tapi kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya."Kenapa kamu mengkhianati janji kita?" Sean menanyakan pertanyaan yang sama, suaranya meninggi. "Kenapa kamu harus menikah dengan
Hari demi hari berlalu, menorehkan kisah cinta Hania dan Bian yang semakin berwarna. Setiap pagi, Hania selalu menyiapkan sarapan untuk Bian, lengkap dengan secangkir kopi panas. Hubungan pernikahan itu berjalan sesuai harapan. Sementara di balik kebahagiaan itu, bayangan masa lalu Sean mulai menghantui. Setiap kali Sean terbangun dari tidurnya, ia merasakan kegelisahan yang tak tertahankan. Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik ingatannya. Dalam mimpinya, ia melihat wajah Hania, tetapi dengan tatapan yang penuh kesedihan. Sejak kecelakaan itu membuat ingatannya menghilang, akhir-akhir ini ia merasa ingatannya mulai kembali, tetapi seperti terpecah-pecah, setiap hari ingatan itu mulai tersusun, mengantarkannya pada masa lalu yang samar-samar."Hania!" Pekikan Sean menggema di kamar, mengagetkan dirinya sendiri. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu lagi, mimpi yang selalu menghantuinya. Wanita berhijab dengan tatapan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments