Share

Ch 4 Benih Salah Sasaran

“Saya mendapatkan informasi bahwa janin yang sedang dikandung oleh Hania adalah anak saya.”

Seketika semua terbelalak kala mendengar pernyataan dari Sean. 

"Sean, apa maksudmu? Jangan mengada-ngada. Kita tidak pernah melakukan hal itu!" sambar Hania, wajahnya dipenuhi kecemasan.

"Aku tidak mengada-ngada, Hania. Aku serius. Benih yang sedang kamu kandung itu milikku."

Hania membuang wajah, ekspresinya frustrasi. Ia menggelengkan kepala, merasa tak berdaya. Ingatannya kosong, tak ada satu pun kenangan yang terukir tentang pertemuannya dengan Sean sebelum di rumah sakit.

 

Sean melangkah menjauh, memasukan kedua tangannya di saku celana, kemudian ia menjelaskan. "Saat itu …." 

Sean terduduk berhadapan dengan seorang dokter laki-laki. "Bagaimana, apa kerjamu berhasil?" tanya Sean, menatap tajam dokter muda tersebut.

Dokter itu menggelengkan kepala, membuat Sean mengerutkan dahi. 

"Sean, kita salah sasaran," ucapnya. Sean melebarkan mata.

"Benihmu tidak tertanam dalam rahim wanita bayaranmu itu. Benihmu tertanam pada seorang wanita lain yang sudah bersuami," jelas dokter. Sean terbelalak dan menggelengkan kepala.

"Kenapa kalian ceroboh sekali? Kalian ini kubayar, kenapa tidak becus? Kalau sudah seperti ini aku harus bagaimana?”

Perlahan dokter meraih sebuah map di laci mejanya. "Ini data perempuan yang mengandung benihmu.”

Sean meraih map itu dengan cepat, kemudian membukanya dan membaca dengan seksama. Matanya terbelalak setelah membaca data itu. Raut wajahnya berubah, seolah tak percaya.

"Apa, Hania? Jadi perempuan yang mengandung benihku adalah Hania?" ucap Sean terkejut.

Semua yang mendengar ikut terkejut dan menggelengkan kepala tak percaya.

"Karena itu saya datang ke sini untuk bertanggung jawab atas kehamilan Hania. Biarkan saya membantu Anda untuk membiayai kehamilan Hania," ucap Sean. Bian terdiam.

Cukup lama terdiam sebelum akhirnya, Bian terkekeh lalu berkata, "Silakan saja, karena saya tidak peduli dengan Hania ataupun kehamilannya itu!"

Hania merasa malu di hadapan Sean. Bian menunjukan sikap acuh tak acuhnya itu. Setelah menjelaskan apa yang terjadi, Sean pun berlalu pergi bersama kedua bodyguardnya, meninggalkan kebingungan di hati Hania.

"Kenapa ini harus terjadi? Apa alasan Sean hingga harus bertindak seperti ini, dan kenapa juga harus aku wanita salah sasaran itu?" gumam Hania, merenung memikirkan ketidakmungkinan yang terjadi.

Akan tetapi, di sisi lain, Hania merasa tenang. Ia akhirnya dapat membuktikan jika ia tak pernah berkhianat dari Bian. Ia dapat membuktikan jika ia bukan wanita buruk seperti yang dituduhkan.

 

 ***

"Mas, sekarang kamu percaya kan kalau aku tidak pernah mengkhianati kamu," ucap Hania malam itu.

Di bawah cahaya rembulan dan langit malam yang tenang, Hania dan Bian duduk bersama, tetapi tidak saling memandang. Suasana sepi dan hening, tetapi terasa terbebani dengan ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. 

Bian, yang sejauh ini enggan menatap wajah Hania, akhirnya memperhatikannya dengan pandangan tajam. "Halah, mungkin itu hanya akal-akalanmu saja," ucap Bian, "sebenarnya kamu pernah berbuat dengan mantan kekasihmu itu, kan!?"

Hania melebarkan mata. Mengapa Bian masih saja mencari-cari kesalahannya? Hania terdiam, menghela napas berat, merasakan kehancuran di dalam hatinya.

"Jangan mencoba merayuku, Hania. Ingat! Sampai kapan pun hatiku tidak pernah bisa terbuka untuk kamu."

Suara hening malam itu terasa menusuk. Perasaan Hania seketika hancur. Ucapan yang seharusnya bisa memberikan ketenangan justru menyakitkan baginya. Hatinya terasa tercabik oleh keputusan dan perasaan yang tak pernah terbalas dengan baik oleh suaminya.

Apakah ini peran Bian sebagai seorang suami? Yang selalu menyakiti hati dan tak pernah menganggap istrinya ada?

"Tapi, Mas, mau sampai kapan kita seperti ini? Kita sudah menikah, Mas, tapi kamu tidak pernah sedikit pun menganggap aku, lalu untuk apa kita bertahan?"

Bian kembali menatapnya dengan tajam. "Apa kamu pikir aku bahagia hidup denganmu, Hania? Tidak! Asal kamu tahu aku bertahan hanya karena terpaksa," jawab Bian.

Sungguh pedih terdengar. Hania menggelengkan kepala heran dan pandangan matanya nanar.

"Kamu bener-bener, ya, Mas, percuma jika aku berusaha mencintai kamu, tapi kamu tidak pernah menganggap perasaanku," ucap Hania dengan mata berkaca-kaca.

"Seharusnya kamu tahu, Han, aku tidak pernah menginginkanmu. Aku tidak sudi punya istri yang mengandung anak pria lain,” tambah Bian yang membuat Hania kembali melebarkan mata. 

“Tapi ini bukan keinginanku, Mas, aku juga tidak mau ada di posisi seperti ini.”

Hancur! Hancur berkeping-keping, pedih sekali rasa hati Hania. Kata-kata Bian seperti pisau tajam yang menusuk relung hatinya, menghancurkan harapan yang selama ini ia jaga.

"Entahlah, Mas, harus bagaimana lagi aku saat ini?" rintih Hania, bersandar lemah.

"Kamu tidak perlu berbuat apa-apa, kamu hanya harus diam dan ikuti saja alur hidupmu bersamaku, tapi dengan satu syarat jangan pernah menuntut rasa cintaku untukmu."

Hania kembali menegakkan tubuhnya, memperhatikan Bian dengan pandangan tajam. Sorot mata itu seolah penuh keyakinan dan harapan.

"Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, untuk apa berumah tangga kalau hanya karena terpaksa? Jadi aku mau ... kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah," ucap Hania membuat Bian terbelalak.

 

BERSAMBUNG.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status