"Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, untuk apa berumah tangga kalau hanya karena terpaksa? Jadi aku mau ... kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah," ucap Hania membuat Bian terbelalak kemudian mengernyitkan bibir, pandangannya sinis memperhatikan wanita berhijab di hadapannya itu.
“Huh, katakan saja kalau kamu ingin kembali dengan mantan kekasihmu itu.” Hania menggeleng cepat, memandang Bian dengan pandangan nanar. “Ingat, Han, aku tidak akan pernah menceraikanmu! Apalagi alasanmu hanya untuk laki-laki itu.” "Tapi, Mas, aku tidak …." Belum usai Hania berkata, Bian beranjak melangkah meninggalkan tempat, membuat ucapan Hania terhenti. "Mas Bian …." Panggilan Hania tak dihiraukan. Bian terus berjalan menjauh dan membiarkan Hania memperhatikan tubuh bagian belakangnya. Hania terdiam, hatinya tercabik antara kekecewaan dan keputusasaan. *** Beberapa bulan kemudian. "Hania! Hania!" Terdengar teriakan Bian menggema di dalam satu ruangan rumah besar itu. Ekspresi wajahnya tampak kebingungan. Hania yang mendengar dengan cepat mendekat. "Iya Mas, ada apa?" tanyanya, langkahnya terhenti di depan pintu ruangan kerja Bian. "Apa kamu tahu kertas-kertas yang aku taruh di atas meja kerjaku ini?" tanya Bian, suaranya terdengar sedikit panik. Hania mengerutkan keningnya, matanya menyapu meja kerja Bian yang sudah tertata rapi. "Kertas? Oh, tadi aku yang membersihkannya, Mas, dan sampahnya sudah kuantar ke tukang sampah," jawab Hania santai. "Apa ada masalah, Mas?" Mendengar ucapan itu, Bian mendekat, matanya menyipit tajam. "Kamu membuang kertas-kertas itu? Dasar bodoh!" raungnya. Hania terkesiap, jantungnya berdebar kencang. "Maaf, Mas," ucapnya lirih. "Aku tidak tahu kalau itu penting." "Itu bukan sembarang kertas, Han. Itu adalah dokumen penting yang harus kubawa ke kantor besok! Dan sekarang kamu membuatku harus mengulang semuanya dari awal!" Hania menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku benar-benar tidak tahu, Mas. Aku hanya ingin membantu membersihkan ruangan." Bian mengeratkan rahangnya dengan ekspresi tajam, matanya menatap langsung ke arah Hania yang tampak gugup. Suaranya lantang memenuhi ruangan yang sunyi. "Sudah berapa kali aku katakan, Han? Jangan pernah ikut campur urusanku, apalagi untuk membereskan ruangan ini, itu bukan urusanmu! Kenapa kamu bengal sekali?" Amarah yang meluap dari Bian membuat Hania, wanita yang tengah mengandung dengan perut yang semakin membesar, benar-benar merasa ketakutan. Suasana tegang terasa begitu kental di antara keduanya, membuat udara di ruangan terasa semakin berat dan hening. Kata maaf terus Rahma ucapkan penuh penyesalan. Namun, sepertinya Bian tak mengindahkan kata-kata itu. "Dasar istri tak berguna! Mau sampai kapan kamu selalu merepotkan aku? Kamu selalu menyusahkan, semakin lama bukan semakin membaik, malah semakin membuat kesal. Hania, apa kamu lupa fungsimu di sini hanya untuk diam? Jadi jangan pernah ikut campur urusan pribadiku dan pekerjaanku. Ingat itu!" ucap Bian, menunjuk tepat di wajah Hania, membuatnya terdiam gemetar. Rasa sakit dan kecewa Hania seolah tersirat jelas dalam tatapan matanya yang terpaku ke lantai. Hania, tanpa mampu berkata-kata atau mengangkat wajahnya, terus menunduk sambil menangis. Dia merasa tak berdaya di hadapan suaminya. Kata-kata kasar yang terus dilontarkan seolah menusuk hatinya yang sudah terluka. "Muak aku melihatmu! Muak!" tambah Bian penuh penekanan, yang kemudian beranjak pergi meninggalkan Hania seorang diri. Hania terduduk lemas, tubuhnya gemetar. "Lagi-lagi aku salah! Kapan, kapan aku terlihat benar di mata Mas Bian? Apa aku seburuk itu? Hingga suamiku tak pernah bisa menghargai aku. Aku lelah, ya Allah! Aku lelah!" Suara teriakan Hania penuh dengan keputusasaan dan luka yang begitu dalam. Wanita hamil yang sedang tak berdaya itu terus menangis tersedu, tapi tiba-tiba Hania merasakan sakit pada perutnya, seperti sebuah tusukan yang menusuk-nusuk. Wajahnya yang semula pucat kini semakin pucat akibat rasa sakit dan kesedihan yang melanda. Air matanya yang sudah mengalir deras, kini terhenti sejenak akibat fokusnya beralih pada rasa sakit yang mendera. "Perutku, aduh, sakit!" desah Hania, meringis kesakitan. Usia kandungan yang baru menginjak enam bulan itu tidak mungkin hendak melahirkan. Hania merasa khawatir jika terjadi sesuatu pada kehamilannya, berusaha sebisa mungkin untuk beranjak. Dengan langkah gontai, Hania berusaha keluar dari ruangan untuk mencari pertolongan. "Mas Bian … perutku sakit, Mas, tolong aku!" ucap Hania dengan suara yang terdengar gemetar sambil terus berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Namun, tak ada sahutan atau respon apa pun atas ucapannya, membuat kegelisahan Hania semakin memuncak. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi oleh rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Akan tetapi, Haris, sang mertua yang melangkah hendak menuju dapur tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Hania tertatih. "Hania, kamu kenapa?" tanyanya cemas. "Pah, perutku sakit, tolong aku!" "Yasudah, kita ke rumah sakit sekarang!" Dengan sigap, sang ayah mertua membawa Hania ke rumah sakit, dengan harapan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap kehamilan Hania. *** Setibanya di rumah sakit, Hania segera diberikan perawatan medis yang cepat dan tepat. Dokter dan tim medis dengan sigap menangani kondisi kesehatan Hania, memberikan perawatan yang dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Dengan tubuh yang lemah, Hania terbaring di tempat tidur rumah sakit. Tatapan matanya penuh dengan ketegangan dan kekhawatiran, sementara ia merasakan sentuhan dingin dari linen medis yang menemaninya. Suasana ruangan yang tenang hanya terganggu oleh suara detak jam dinding yang terus berdenting, menandakan waktu yang terus berjalan di saat yang penuh dengan ketidakpastian. Saat ini, Hania berada di ruang perawatan, di mana kondisinya terus dipantau dengan cermat oleh tim medis dan dokter yang merawatnya. Hania tidak lagi sendirian, kali ini ia ditemani oleh Haris, sang ayah mertua, dan Bian, suaminya. Meskipun mereka berada bersama, suasana ruangan terasa hening tanpa suara yang berseliweran di antara mereka. Haris terduduk di satu sisi ruangan, sedangkan Bian tenggelam dalam dunianya dengan sibuk memperhatikan ponsel. Ketika ketiganya tengah dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing bagi Hania, "Apa yang terjadi?" Pertanyaan itu membuyarkan keheningan dan seketika membuat ketiganya menoleh ke arah sumber suara. Mata mereka melebar kaget saat melihat seseorang muncul di ambang pintu, menciptakan momen kejutan yang tak terduga. BERSAMBUNG.“Sean,” gumam Hania tanpa suara, matanya terpaku pada sosok laki-laki tampan yang semakin mendekat. Sorot mata Sean tampak serius, seakan menyelidiki. “Apa yang terjadi, Hania? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Sean, tatapannya beralih antara Hania, Bian, dan Pak Haris. Ketiganya terdiam. Hania dan Pak Haris tampak khawatir, sementara Bian justru menunduk, raut wajahnya tak terbaca. “Apa kandunganmu baik-baik saja?” tanya Sean lagi, suaranya sedikit khawatir. Hania bingung harus menjawab apa. Ia tahu Sean pasti marah besar jika terjadi sesuatu pada benih yang tumbuh di perutnya. Mengadukan semua perlakuan Bian? Mustahil. “Em, tidak terjadi apa-apa, Sean. Hania hanya kelelahan,” sambar Pak Haris, membuat Sean seketika menoleh padanya. Tatapan Sean beralih pada Bian yang masih tampak acuh. “Di mana tanggung jawabmu sebagai suami? Kenapa kamu membiarkan istrimu terluka seperti ini? Di mana hatimu?” tanya Sean, suaranya bergetar menahan amarah. Bian tersentak, “Jaga ucapanmu
“Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. "Kamu sudah dewasa, apa lagi yang ditunggu?"Sean menggeleng, "Bukan begitu, Ndra. Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat."Indra mengernyit, "Bilang saja kamu belum bisa melupakan Hania."Sean terdiam. Entah mengapa, ucapan Indra terasa menusuk. Mungkin, sahabatnya itu benar. Sementara di tempat lain. Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Bunda" di layar. Senyum tipis seketika mengembang di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Bun," sapa Hania."Waalaikumsalam, Hania. Bagaimana kabarmu, Nak?" Suara sang bunda terdengar lembut, tetapi membuat senyum Hania memudar. Ia merasa sedang tak baik-baik saja, hanya bisa terdiam."Em, alhamdulillah, Bunda. Bunda gimana?" Hania berusaha menyembunyikan kekalutannya. Ia ingin jujur, tapi takut membebani pikiran sang bunda."Alhamdulillah, Bunda s
Di rumah Sean, suasana makan malam terasa mencekam.“Jadi bagaimana, Sean? Apa kamu bisa mengabulkan persyaratan itu? Kamu tahu sendiri kalau kamu tidak bisa memberikan cucu kandung dalam keluarga ini, maka hak waris belum seutuhnya menjadi milikmu.” Suara Ibu Sean terdengar dingin, menusuk telinganya.Sean terdiam, sendok makannya terhenti di tengah jalan menuju mulutnya.“Waktumu tidak banyak lagi, Sean. Hanya tersisa beberapa bulan ke depan,” tambah wanita tua berkacamata itu, suaranya sarat dengan ancaman terselubung.Sean menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah piringnya.“Mami tenang saja, tidak lama lagi persyaratan itu akan terpenuhi,” jawab Sean, suaranya terdengar datar, penuh tekad.Ibu Sean mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Lusa, aku akan pertemukan Mami dengan wanita yang mengandung anak kandungku,” tambah Sean, suaranya terdengar yakin.Ibu Sean tercengang. “Anak kandung? Bagaimana bisa, Sean, kamu kan belum menikah?”Sean tersenyum tipis, “Mi, bukankah
Hania masih terpaku, tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi Hania perempuan yang sedang mengandung anakmu, Sean?”Ucapan itu terdengar seperti suara petir, keras dan mengejutkan. Semua yang mendengar seketika menoleh, memperhatikan sumber suara.Seorang wanita tua berkacamata berdiri di sana, matanya tertuju pada kerumunan di hadapannya. Bukan seseorang yang asing, tapi seseorang yang cukup dikenal Bunda Heni.“Arum,” gumam Bunda Heni terkejut. “apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu?”Arum berjalan mendekat, matanya menyipit, heran karena Heni tidak mengetahui apa yang terjadi. Sean juga terkejut dengan kedatangan sang ibu, terutama karena ia membicarakan kebenaran di hadapan Bunda Heni.“Jadi kamu tidak tahu yang sebenarnya?” tanya Arum, suaranya dingin.Heni mengerutka
"Kenapa semua orang masih saja menyalahkanku?" gumam Hania lirih, air matanya mengalir deras."Karena kamu memang salah!" bentak Bian, amarah membara di matanya. "Jangan mengira kami menyalahkanmu tanpa alasan."Hania tersentak. Wajah Bian dipenuhi amarah yang mengerikan. Ia menggelengkan kepala cepat-cepat, seakan meyakinkan Bian jika ia tak bersalah. Namun, lagi-lagi Hania tak dapat berkutik. Ia hanya bisa diam, terjebak dalam ketakutan yang membeku. Seberapa besar pun ia membela diri, rasanya percuma, Bian tak akan pernah mempercayainya.***Sementara itu, Sean berjalan cepat melalui lorong rumah sakit, aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya kini terasa, ia hendak bertemu Indra, salah satu dokter dan sahabatnya di rumah sakit ini. Setelah beberapa bulan berlalu, kali ini Sean datang kembali. Tanpa mengetuk pintu ia masuk, membuat Indra seketika mengalihkan pandangannya."Sean–""Apa kamu tahu, karena kesalahan rumah sakit ini, Hania menderita," ucap Sean tanpa berbasa-basi. Ind
Kembali satu pertanyaan terlontar dari bibir bunda Heni. Membuat Hania lagi-lagi bingung hendak menjawab apa. “Hem, Bunda, maaf sepertinya Hania mau tidur, ngantuk banget. Sampai besok ya, Bun, assalamu'alaikum.”Hania mengakhiri panggilan sepihak, Heni yang terkejut dengan terputusnya panggilan itu. Mengapa Hania menutupi hal ini pada sang bunda? Apakah ini salah satu permintaan Haris, sang ayah mertua? “Maafin, Hania, Bun. Sepertinya waktunya belum tepat buat Bunda tahu bagaimana sikap Mas Bian selama ini. Aku tidak mau Bunda khawatir dan malah buat Bunda jadi sakit,” batin Hania, merenung. ***Keesokan harinya, cahaya mentari pagi menyinari meja di sudut restoran, tempat Hania sudah duduk menunggu. Hania menggenggam segelas jus jeruk, matanya sesekali melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Perutnya yang membuncit terbungkus gaun katun berwarna biru muda, membuatnya tampak semakin cantik.Tak lama kemudian, Sean datang. Terduduk tepat di hadapan Hania, ia berkata, "Maaf, a
"Kenapa Papa selalu membela Hania? Aku anakmu, Papa! Kenapa kau lebih mempercayai dia daripada aku?" Bian menggeram, suaranya bergetar menahan amarah. Ia berjalan cepat menuju dapur, tangannya mengepal erat.Hendak mengambil air minum untuk menyiram hatinya yang terasa panas. “Padahal sudah jelas-jelas Hania berselingkuh! Tapi Papa tetap membelanya. Tanpa memikirkan perasaanku sama sekali!" Bian mencengkeram gelas berisi air, matanya melotot tajam. Air itu tercurah ke lantai, tak terurus.Hania yang mendengar perkataan Bian, perlahan mendekat. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah. "Mas, aku mohon, jangan menuduhku seperti itu. Aku hamil karena kesalahan bayi tabung, bukan karena aku berselingkuh.”Seketika Bian menoleh, memperhatikan Hania yang berada di dekatnya. Tatapannya dingin menusuk dan rahangnya mengeras. "Kesalahan bayi tabung? Omong kosong! Jangan coba-coba mengelabui aku!" Bian berteriak, suaranya bergetar dengan amarah. Hania terhuyung mundur, wajahnya puca
“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd