“Sean,” gumam Hania tanpa suara, matanya terpaku pada sosok laki-laki tampan yang semakin mendekat. Sorot mata Sean tampak serius, seakan menyelidiki.
“Apa yang terjadi, Hania? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Sean, tatapannya beralih antara Hania, Bian, dan Pak Haris. Ketiganya terdiam. Hania dan Pak Haris tampak khawatir, sementara Bian justru menunduk, raut wajahnya tak terbaca. “Apa kandunganmu baik-baik saja?” tanya Sean lagi, suaranya sedikit khawatir. Hania bingung harus menjawab apa. Ia tahu Sean pasti marah besar jika terjadi sesuatu pada benih yang tumbuh di perutnya. Mengadukan semua perlakuan Bian? Mustahil. “Em, tidak terjadi apa-apa, Sean. Hania hanya kelelahan,” sambar Pak Haris, membuat Sean seketika menoleh padanya. Tatapan Sean beralih pada Bian yang masih tampak acuh. “Di mana tanggung jawabmu sebagai suami? Kenapa kamu membiarkan istrimu terluka seperti ini? Di mana hatimu?” tanya Sean, suaranya bergetar menahan amarah. Bian tersentak, “Jaga ucapanmu! Ini bukan urusanmu, jangan ikut campur!” “Oh, tidak. Kamu salah! Ini justru menjadi urusanku, karena Hania sedang mengandung benihku, dan kalau sampai terjadi apa-apa, maka kamu orang pertama yang aku cari!” Keduanya berpandangan tajam, ketegangan memuncak di antara mereka. Bian tampak marah. Matanya memerah, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal erat hendak dilayangkan. Namun, sebelum Bian sempat bergerak, kedua anak buah Sean sudah lebih dulu mencengkeram erat tangannya. Bian meronta, menggeram, dan mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman anak buah Sean terlalu kuat. Sean mengamati Bian dengan tatapan dingin. “Kamu tidak akan bisa menyentuhku, Bian,” bisik Sean, suaranya terdengar dingin dan mengancam. “Kenapa selalu emosi yang kamu utamakan? Dan apa karena sikapmu ini yang membuat Hania jadi begini?” ucap Sean, suaranya dingin dan menusuk. Tatapannya tajam, seolah menembus jiwa Bian. "Bian, kalau kamu tidak sanggup menjaga istrimu dengan baik, maka aku siap mengambil alih,” tambahnya. Hania terkesiap, matanya membulat sempurna. Rasa terkejut dan kekhawatiran bercampur aduk dalam dirinya. Bian tampak terpaku, rahangnya mengeras, dan matanya menyala dengan amarah. Pak Haris, yang selama ini hanya menjadi penonton, mulai tampak gelisah. Suasana menjadi hening, hanya suara napas mereka yang terdengar. Sean, dengan tatapan yang penuh makna, mengamati reaksi mereka satu per satu. Keheningan mencengkeram mereka dalam waktu yang terasa lama. Akhirnya, Pak Haris memecah keheningan itu dengan suara yang sedikit gemetar, “Em, sudah-sudah, ini hanya kesalahpahaman. Sean, saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya, tapi kami berjanji akan menjaga Hania dan anakmu dengan baik.” Wajahnya tampak pucat, keringat dingin menetes di dahinya. Sean menatap Pak Haris dengan tatapan tajam, seolah menilai kejujuran dalam ucapannya. “Semoga begitu, Pak Haris. Dan kalau sampai hal ini terulang lagi, maka aku tidak akan main-main dengan ucapanku!” Hania terdiam, bingung harus bagaimana. Sean dan kedua anak buahnya itu akhirnya meninggalkan tempat. Pak Haris, yang selama ini tampak tegang, mengusap keringat dingin di dahinya dan menghela napas panjang. “Kamu lihat, Bian, ada laki-laki yang siaga untuk Hania. Tapi di sini kamu sebagai suaminya malah selalu menyakiti,” ucap Pak Haris, suaranya berbisik, penuh penekanan. Matanya menatap Bian dengan sorot kecewa. Mendengar ucapan sang ayah, Bian mengerang kesal. Bukannya menjawab, dia justru mendekati Hania dan memandangnya tajam. “Bahagia ya kamu, ada pahlawan super yang siap menjaga kamu kapan pun dan di mana pun? Huh, aku benar-benar tidak menyangka kalau hubungan kalian memang sedekat ini.” Nada bicaranya terdengar sarkastik, penuh dengan amarah. Seketika, ingatan Hania terbawa pada beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan Sean masih berhubungan dekat sebagai kekasih. Mereka berbagi momen-momen manis dan keseruan bersama, menciptakan kenangan yang tak terlupakan. “Aku berjanji, Hania, akan menjagamu sampai kapan pun, dan kalaupun nanti bukan aku yang menjadi jodohmu, tapi rasa cintaku tetap abadi untukmu,” ucap Sean dengan penuh keyakinan dan cinta. Hania terpaku dan terenyuh mendengar ucapan Sean yang begitu tulus saat itu. Rasa cinta yang begitu mendalam membuat sebuah kenyamanan yang tak tergantikan di antara mereka. Kenangan akan janji dan cinta mereka terpatri dalam hati Hania, mengingatkannya akan masa-masa indah yang pernah mereka lewati bersama. Saat ini ucapan Sean seolah semua terjadi, bukan Sean laki-laki yang menjadi suaminya, tapi Sean adalah laki-laki yang seolah ingin menjaganya dan tak ingin terjadi apa-apa padanya. Entah apakah ini kebetulan semata atau mungkin sudah takdir yang mengatur jalannya. Hania merasakan sedikit kelucuan hadir di tengah kebingungannya, bibirnya tersenyum samar sambil menatap hampa ke kejauhan. Namun, renungannya tiba-tiba terganggu oleh suara pintu yang tertutup dengan keras, membuatnya terperanjat dan memperhatikan dengan cemas Bian yang berjalan ke luar ruangan. Suasana yang tadinya sedikit ceria dan misterius kembali menjadi tegang dan penuh ketidakpastian. *** Di lain ruangan, Sean tampak berbincang dengan seorang dokter muda yang tak lain adalah temannya. “Apa benar tidak terjadi apa-apa pada kandungan Hania?” tanyanya dengan suara sedikit cemas, matanya menatap Indra dengan penuh harap. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Indra, sang dokter, tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. “Aku merasa pertanyaanmu ini mengandung rasa khawatir yang berlebihan. Pertanyaannya, apakah kamu mengkhawatirkan benihmu atau juga mengkhawatirkan Hania?” Indra menatap Sean dengan sorot mata yang tajam, seolah membaca pikirannya. Sean terdiam sejenak, memperhatikan wajah Indra dengan seksama. “Apa maksudmu? Jelas aku khawatir dengan janinnya, karena kalau terjadi apa-apa pada yang mengandung otomatis janinnya juga terancam, aku tidak mau itu terjadi,” jawab Sean, berusaha meyakinkan Indra. Ucapan itu sepertinya tak membuat Indra percaya. Ia masih memasang wajah seolah mengejek. “Sean, aku mengenal kamu sudah cukup lama, jadi gerak-gerikmu yang seperti ini aku tahu,” ucap Indra sambil tersenyum kecil. Kemudian, ia meraih map dan membukanya perlahan. “Kandungan Hania baik-baik saja, tapi seharusnya hal ini yang harus diperhatikan oleh suaminya, agar membuat Hania nyaman dan tidak stress,” jelas Indra memperhatikan Sean dengan seksama. Keduanya tak berkedip saling memandang, ketegangan terasa di antara mereka. Sean mengerutkan kening. “Dasar bodoh! Suami macam apa dia? Bukannya memberi kenyamanan malah membuat istrinya tertekan,” gumam Sean dengan mata memicing. Melihat hal ini membuat Indra tersenyum dan menggelengkan kepala. “Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. BERSAMBUNG.“Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. "Kamu sudah dewasa, apa lagi yang ditunggu?"Sean menggeleng, "Bukan begitu, Ndra. Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat."Indra mengernyit, "Bilang saja kamu belum bisa melupakan Hania."Sean terdiam. Entah mengapa, ucapan Indra terasa menusuk. Mungkin, sahabatnya itu benar. Sementara di tempat lain. Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Bunda" di layar. Senyum tipis seketika mengembang di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Bun," sapa Hania."Waalaikumsalam, Hania. Bagaimana kabarmu, Nak?" Suara sang bunda terdengar lembut, tetapi membuat senyum Hania memudar. Ia merasa sedang tak baik-baik saja, hanya bisa terdiam."Em, alhamdulillah, Bunda. Bunda gimana?" Hania berusaha menyembunyikan kekalutannya. Ia ingin jujur, tapi takut membebani pikiran sang bunda."Alhamdulillah, Bunda s
Di rumah Sean, suasana makan malam terasa mencekam.“Jadi bagaimana, Sean? Apa kamu bisa mengabulkan persyaratan itu? Kamu tahu sendiri kalau kamu tidak bisa memberikan cucu kandung dalam keluarga ini, maka hak waris belum seutuhnya menjadi milikmu.” Suara Ibu Sean terdengar dingin, menusuk telinganya.Sean terdiam, sendok makannya terhenti di tengah jalan menuju mulutnya.“Waktumu tidak banyak lagi, Sean. Hanya tersisa beberapa bulan ke depan,” tambah wanita tua berkacamata itu, suaranya sarat dengan ancaman terselubung.Sean menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah piringnya.“Mami tenang saja, tidak lama lagi persyaratan itu akan terpenuhi,” jawab Sean, suaranya terdengar datar, penuh tekad.Ibu Sean mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Lusa, aku akan pertemukan Mami dengan wanita yang mengandung anak kandungku,” tambah Sean, suaranya terdengar yakin.Ibu Sean tercengang. “Anak kandung? Bagaimana bisa, Sean, kamu kan belum menikah?”Sean tersenyum tipis, “Mi, bukankah
Hania masih terpaku, tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi Hania perempuan yang sedang mengandung anakmu, Sean?”Ucapan itu terdengar seperti suara petir, keras dan mengejutkan. Semua yang mendengar seketika menoleh, memperhatikan sumber suara.Seorang wanita tua berkacamata berdiri di sana, matanya tertuju pada kerumunan di hadapannya. Bukan seseorang yang asing, tapi seseorang yang cukup dikenal Bunda Heni.“Arum,” gumam Bunda Heni terkejut. “apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu?”Arum berjalan mendekat, matanya menyipit, heran karena Heni tidak mengetahui apa yang terjadi. Sean juga terkejut dengan kedatangan sang ibu, terutama karena ia membicarakan kebenaran di hadapan Bunda Heni.“Jadi kamu tidak tahu yang sebenarnya?” tanya Arum, suaranya dingin.Heni mengerutka
"Kenapa semua orang masih saja menyalahkanku?" gumam Hania lirih, air matanya mengalir deras."Karena kamu memang salah!" bentak Bian, amarah membara di matanya. "Jangan mengira kami menyalahkanmu tanpa alasan."Hania tersentak. Wajah Bian dipenuhi amarah yang mengerikan. Ia menggelengkan kepala cepat-cepat, seakan meyakinkan Bian jika ia tak bersalah. Namun, lagi-lagi Hania tak dapat berkutik. Ia hanya bisa diam, terjebak dalam ketakutan yang membeku. Seberapa besar pun ia membela diri, rasanya percuma, Bian tak akan pernah mempercayainya.***Sementara itu, Sean berjalan cepat melalui lorong rumah sakit, aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya kini terasa, ia hendak bertemu Indra, salah satu dokter dan sahabatnya di rumah sakit ini. Setelah beberapa bulan berlalu, kali ini Sean datang kembali. Tanpa mengetuk pintu ia masuk, membuat Indra seketika mengalihkan pandangannya."Sean–""Apa kamu tahu, karena kesalahan rumah sakit ini, Hania menderita," ucap Sean tanpa berbasa-basi. Ind
Kembali satu pertanyaan terlontar dari bibir bunda Heni. Membuat Hania lagi-lagi bingung hendak menjawab apa. “Hem, Bunda, maaf sepertinya Hania mau tidur, ngantuk banget. Sampai besok ya, Bun, assalamu'alaikum.”Hania mengakhiri panggilan sepihak, Heni yang terkejut dengan terputusnya panggilan itu. Mengapa Hania menutupi hal ini pada sang bunda? Apakah ini salah satu permintaan Haris, sang ayah mertua? “Maafin, Hania, Bun. Sepertinya waktunya belum tepat buat Bunda tahu bagaimana sikap Mas Bian selama ini. Aku tidak mau Bunda khawatir dan malah buat Bunda jadi sakit,” batin Hania, merenung. ***Keesokan harinya, cahaya mentari pagi menyinari meja di sudut restoran, tempat Hania sudah duduk menunggu. Hania menggenggam segelas jus jeruk, matanya sesekali melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Perutnya yang membuncit terbungkus gaun katun berwarna biru muda, membuatnya tampak semakin cantik.Tak lama kemudian, Sean datang. Terduduk tepat di hadapan Hania, ia berkata, "Maaf, a
"Kenapa Papa selalu membela Hania? Aku anakmu, Papa! Kenapa kau lebih mempercayai dia daripada aku?" Bian menggeram, suaranya bergetar menahan amarah. Ia berjalan cepat menuju dapur, tangannya mengepal erat.Hendak mengambil air minum untuk menyiram hatinya yang terasa panas. “Padahal sudah jelas-jelas Hania berselingkuh! Tapi Papa tetap membelanya. Tanpa memikirkan perasaanku sama sekali!" Bian mencengkeram gelas berisi air, matanya melotot tajam. Air itu tercurah ke lantai, tak terurus.Hania yang mendengar perkataan Bian, perlahan mendekat. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah. "Mas, aku mohon, jangan menuduhku seperti itu. Aku hamil karena kesalahan bayi tabung, bukan karena aku berselingkuh.”Seketika Bian menoleh, memperhatikan Hania yang berada di dekatnya. Tatapannya dingin menusuk dan rahangnya mengeras. "Kesalahan bayi tabung? Omong kosong! Jangan coba-coba mengelabui aku!" Bian berteriak, suaranya bergetar dengan amarah. Hania terhuyung mundur, wajahnya puca
“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd
"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan