Home / Pernikahan / Misteri Janin Di Rahim Istriku / Ch 6 Laki-Laki Siaga Untuk Hania

Share

Ch 6 Laki-Laki Siaga Untuk Hania

“Sean,” gumam Hania tanpa suara, matanya terpaku pada sosok laki-laki tampan yang semakin mendekat. Sorot mata Sean tampak serius, seakan menyelidiki.

“Apa yang terjadi, Hania? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Sean, tatapannya beralih antara Hania, Bian, dan Pak Haris. Ketiganya terdiam. Hania dan Pak Haris tampak khawatir, sementara Bian justru menunduk, raut wajahnya tak terbaca.

“Apa kandunganmu baik-baik saja?” tanya Sean lagi, suaranya sedikit khawatir.

Hania bingung harus menjawab apa. Ia tahu Sean pasti marah besar jika terjadi sesuatu pada benih yang tumbuh di perutnya. Mengadukan semua perlakuan Bian? Mustahil.

“Em, tidak terjadi apa-apa, Sean. Hania hanya kelelahan,” sambar Pak Haris, membuat Sean seketika menoleh padanya.

Tatapan Sean beralih pada Bian yang masih tampak acuh. “Di mana tanggung jawabmu sebagai suami? Kenapa kamu membiarkan istrimu terluka seperti ini? Di mana hatimu?” tanya Sean, suaranya bergetar menahan amarah.

Bian tersentak, “Jaga ucapanmu! Ini bukan urusanmu, jangan ikut campur!”

“Oh, tidak. Kamu salah! Ini justru menjadi urusanku, karena Hania sedang mengandung benihku, dan kalau sampai terjadi apa-apa, maka kamu orang pertama yang aku cari!” Keduanya berpandangan tajam, ketegangan memuncak di antara mereka.

Bian tampak marah. Matanya memerah, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal erat hendak dilayangkan. Namun, sebelum Bian sempat bergerak, kedua anak buah Sean sudah lebih dulu mencengkeram erat tangannya. Bian meronta, menggeram, dan mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman anak buah Sean terlalu kuat.

Sean mengamati Bian dengan tatapan dingin. “Kamu tidak akan bisa menyentuhku, Bian,” bisik Sean, suaranya terdengar dingin dan mengancam.

“Kenapa selalu emosi yang kamu utamakan? Dan apa karena sikapmu ini yang membuat Hania jadi begini?” ucap Sean, suaranya dingin dan menusuk. Tatapannya tajam, seolah menembus jiwa Bian. "Bian, kalau kamu tidak sanggup menjaga istrimu dengan baik, maka aku siap mengambil alih,” tambahnya.

Hania terkesiap, matanya membulat sempurna. Rasa terkejut dan kekhawatiran bercampur aduk dalam dirinya. Bian tampak terpaku, rahangnya mengeras, dan matanya menyala dengan amarah. Pak Haris, yang selama ini hanya menjadi penonton, mulai tampak gelisah.

Suasana menjadi hening, hanya suara napas mereka yang terdengar. Sean, dengan tatapan yang penuh makna, mengamati reaksi mereka satu per satu.

Keheningan mencengkeram mereka dalam waktu yang terasa lama. Akhirnya, Pak Haris memecah keheningan itu dengan suara yang sedikit gemetar, “Em, sudah-sudah, ini hanya kesalahpahaman. Sean, saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya, tapi kami berjanji akan menjaga Hania dan anakmu dengan baik.” Wajahnya tampak pucat, keringat dingin menetes di dahinya.

Sean menatap Pak Haris dengan tatapan tajam, seolah menilai kejujuran dalam ucapannya. “Semoga begitu, Pak Haris. Dan kalau sampai hal ini terulang lagi, maka aku tidak akan main-main dengan ucapanku!”

Hania terdiam, bingung harus bagaimana. Sean dan kedua anak buahnya itu akhirnya meninggalkan tempat. Pak Haris, yang selama ini tampak tegang, mengusap keringat dingin di dahinya dan menghela napas panjang.

“Kamu lihat, Bian, ada laki-laki yang siaga untuk Hania. Tapi di sini kamu sebagai suaminya malah selalu menyakiti,” ucap Pak Haris, suaranya berbisik, penuh penekanan. Matanya menatap Bian dengan sorot kecewa.

Mendengar ucapan sang ayah, Bian mengerang kesal. Bukannya menjawab, dia justru mendekati Hania dan memandangnya tajam. “Bahagia ya kamu, ada pahlawan super yang siap menjaga kamu kapan pun dan di mana pun? Huh, aku benar-benar tidak menyangka kalau hubungan kalian memang sedekat ini.” Nada bicaranya terdengar sarkastik, penuh dengan amarah.

Seketika, ingatan Hania terbawa pada beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan Sean masih berhubungan dekat sebagai kekasih. Mereka berbagi momen-momen manis dan keseruan bersama, menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

“Aku berjanji, Hania, akan menjagamu sampai kapan pun, dan kalaupun nanti bukan aku yang menjadi jodohmu, tapi rasa cintaku tetap abadi untukmu,” ucap Sean dengan penuh keyakinan dan cinta. Hania terpaku dan terenyuh mendengar ucapan Sean yang begitu tulus saat itu.

Rasa cinta yang begitu mendalam membuat sebuah kenyamanan yang tak tergantikan di antara mereka. Kenangan akan janji dan cinta mereka terpatri dalam hati Hania, mengingatkannya akan masa-masa indah yang pernah mereka lewati bersama.

Saat ini ucapan Sean seolah semua terjadi, bukan Sean laki-laki yang menjadi suaminya, tapi Sean adalah laki-laki yang seolah ingin menjaganya dan tak ingin terjadi apa-apa padanya. Entah apakah ini kebetulan semata atau mungkin sudah takdir yang mengatur jalannya.

Hania merasakan sedikit kelucuan hadir di tengah kebingungannya, bibirnya tersenyum samar sambil menatap hampa ke kejauhan. Namun, renungannya tiba-tiba terganggu oleh suara pintu yang tertutup dengan keras, membuatnya terperanjat dan memperhatikan dengan cemas Bian yang berjalan ke luar ruangan.

Suasana yang tadinya sedikit ceria dan misterius kembali menjadi tegang dan penuh ketidakpastian.

***

Di lain ruangan, Sean tampak berbincang dengan seorang dokter muda yang tak lain adalah temannya. “Apa benar tidak terjadi apa-apa pada kandungan Hania?” tanyanya dengan suara sedikit cemas, matanya menatap Indra dengan penuh harap.

Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Indra, sang dokter, tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. “Aku merasa pertanyaanmu ini mengandung rasa khawatir yang berlebihan. Pertanyaannya, apakah kamu mengkhawatirkan benihmu atau juga mengkhawatirkan Hania?” Indra menatap Sean dengan sorot mata yang tajam, seolah membaca pikirannya.

Sean terdiam sejenak, memperhatikan wajah Indra dengan seksama. “Apa maksudmu? Jelas aku khawatir dengan janinnya, karena kalau terjadi apa-apa pada yang mengandung otomatis janinnya juga terancam, aku tidak mau itu terjadi,” jawab Sean, berusaha meyakinkan Indra.

Ucapan itu sepertinya tak membuat Indra percaya. Ia masih memasang wajah seolah mengejek. “Sean, aku mengenal kamu sudah cukup lama, jadi gerak-gerikmu yang seperti ini aku tahu,” ucap Indra sambil tersenyum kecil. Kemudian, ia meraih map dan membukanya perlahan.

“Kandungan Hania baik-baik saja, tapi seharusnya hal ini yang harus diperhatikan oleh suaminya, agar membuat Hania nyaman dan tidak stress,” jelas Indra memperhatikan Sean dengan seksama. Keduanya tak berkedip saling memandang, ketegangan terasa di antara mereka.

Sean mengerutkan kening. “Dasar bodoh! Suami macam apa dia? Bukannya memberi kenyamanan malah membuat istrinya tertekan,” gumam Sean dengan mata memicing.

Melihat hal ini membuat Indra tersenyum dan menggelengkan kepala. “Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh.

BERSAMBUNG.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status