"Kenapa Papa selalu membela Hania? Aku anakmu, Papa! Kenapa kau lebih mempercayai dia daripada aku?" Bian menggeram, suaranya bergetar menahan amarah. Ia berjalan cepat menuju dapur, tangannya mengepal erat.Hendak mengambil air minum untuk menyiram hatinya yang terasa panas. “Padahal sudah jelas-jelas Hania berselingkuh! Tapi Papa tetap membelanya. Tanpa memikirkan perasaanku sama sekali!" Bian mencengkeram gelas berisi air, matanya melotot tajam. Air itu tercurah ke lantai, tak terurus.Hania yang mendengar perkataan Bian, perlahan mendekat. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah. "Mas, aku mohon, jangan menuduhku seperti itu. Aku hamil karena kesalahan bayi tabung, bukan karena aku berselingkuh.”Seketika Bian menoleh, memperhatikan Hania yang berada di dekatnya. Tatapannya dingin menusuk dan rahangnya mengeras. "Kesalahan bayi tabung? Omong kosong! Jangan coba-coba mengelabui aku!" Bian berteriak, suaranya bergetar dengan amarah. Hania terhuyung mundur, wajahnya puca
“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd
"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan
"Mungkin saja mereka memang sedang berpura-pura. Huh, pintar sekali," gumam Bian, tatapannya tajam dan mengintimidasi."Sudah jelas, Mas. Apalagi perpisahan mereka di masa lalu bukan keinginannya, mereka terpaksa. Sudah pasti perasaan cinta masih ada di antara mereka," sambar Keysa. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Bian beranjak pergi tanpa meninggalkan pesan. Keysa terus memperhatikan kepergian kakaknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.***Di rumah sakit. Heni memasuki ruangan Hania, matanya tertuju pada putrinya yang terbaring di ranjang. "Hania–" sapa Heni lembut.Hania menoleh, wajahnya terpancar kelegaan saat melihat ibunya. "Bunda," jawabnya, dan tak lama kemudian keduanya berpelukan erat."Bagaimana keadaanmu, Nak? Sudah membaik?" tanya Heni, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Alhamdulillah, Bun, Hania merasa jauh lebih baik. Oiya, Bunda sendiri? Mas Bian …?" ucap Hania, tapi kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi wajah ibunya berubah."Tidak tahu, Nak. Bunda
Heni menggeleng pelan. "Saya bukan tipe orang yang mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan, Mas. Jadi tenang saja, saya tidak akan menarik saham saya di perusahaan Anda."Haris tampak lega mendengar jawaban Heni. Seolah terbebas dari beban, jadi ternyata alasan ini yang membuat Haris begitu gigih mempertahankan Hania dan meminta Bian selalu bersikap baik padanya.Beberapa hari berada di ruangan yang sama membuat Hania merasa jenuh. Udara segar tak kunjung masuk, membuat suasana hatinya tak kunjung membaik. Hanya aroma obat-obatan yang terus menerus menusuk indra penciumannya."Huh, aku bosan sekali," keluh Hania sambil duduk di tepi tempat tidur.Hania melangkah dengan hati-hati, tangannya meraih tiang infus yang hendak dibawanya untuk berjalan. Namun, Sean tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Hania hendak berjalan."Han, kamu mau ke mana?" tanya Sean."Sean, aku sangat bosan. Aku ingin mencari udara segar," jawab Hania yang masih terdiam, belum melanjutkan langkahnya."Tunggu seb
Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi kali ini ia tidak sendiri. Di dekapannya, ada bayi mungil yang baru saja diantar oleh seorang suster. Bayi yang menjadi bukti nyata dari sebuah kesalahan, sebuah kekeliruan, tapi juga sebuah keajaiban.Hania mengingat kembali semua yang terjadi. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang menyelimuti dirinya saat mengetahui kehamilannya yang tidak terduga. Namun, saat melihat wajah mungil ini, semua rasa sakit itu sirna.Hania menatap wajah mungil yang tertidur lelap di pelukannya. Bayi laki-laki itu, dengan pipi tembem dan bibir mungil yang sedikit terbuka, tampak begitu damai. Mata Hania berkaca-kaca, air mata bahagia bercampur dengan rasa syukur yang tak terhingga."Kamu kuat, Sayang," bisiknya lembut, jari-jarinya mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih sayang."Kamu adalah hadiah terindah," lanjutnya, "meskipun awalnya kehadiranmu sangat mengejutkan, tapi kamu tetap bagian dari hidupku."Hania mencium kening bayi itu dengan lembut.
"Aku mengerti perasaanmu, Han, dan aku juga mengerti perasaan, Mami. Aku ...." Sean berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Hania, matanya penuh dengan kerinduan dan kelembutan.Hania terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia menunggu jawaban yang akan Sean lontarkan. Apakah Sean akan benar-benar mengambil anaknya?"Aku tidak bisa memaksa Hania, Mi. Bagaimanapun, dia ibunya, dan aku akan menjadi orang yang tidak berperasaan jika memisahkan Hania dari bayinya," ujar Sean. Arum tercengang mendengarnya.Ia tidak menyangka Sean akan berkata demikian. Bagaimana dengan nasibnya? Bukankah semua mimpinya sudah ada di depan mata? Mendapatkan hak waris sepenuhnya setelah ada seorang cucu kandung dalam rumahnya.Akan tetapi, Sean seolah melupakan hal itu dan hanya memikirkan perasaan Hania. Hania, di sisi lain, dapat tersenyum lega. Jawaban Sean membuatnya bahagia."Sean, jangan bersikap aneh. Kamu memiliki anak bukan untuk Hania. Jangan hiraukan perasaannya," kata Arum.Sebelum S
Sean termenung seorang diri, kali ini bukan hanya Hania yang mengganggu pikirannya, tapi juga bayi laki-laki yang ia beri nama Sagara Vincent Smith yang sejak tadi berputar-putar dalam ingatannya. Rasa rindu seolah membuncah hatinya. Di rumah Bian, Sagara menangis tanpa henti, membangunkan Bian yang sedang tidur. Bian mengerjap, terganggu oleh tangisan yang terus bergema.Hania berusaha menenangkan Sagara dengan menggendong dan memberi susu, tetapi tangisannya tak kunjung reda. Seolah-olah Sagara merasakan kerinduan sang ayah."Hania, hentikan tangisan bayimu!"Hania tersentak mendengar teriakan itu. Rasa cemas menggerogoti hatinya."Berisik sekali. Kamu tahu aku sedang istirahat," tambah Bian, kini berdiri di dekat Hania, mengamati Sagara yang digendongnya."Maaf, Mas, tapi aku juga tidak tahu kenapa Sagara menangis terus," jawab Hania."Kamu ini tidak becus menjadi seorang ibu, begitu saja tidak bisa," kata Bian dengan nada tajam.Hania terdiam, hatinya teriris mendengar kata-kata