Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi kali ini ia tidak sendiri. Di dekapannya, ada bayi mungil yang baru saja diantar oleh seorang suster. Bayi yang menjadi bukti nyata dari sebuah kesalahan, sebuah kekeliruan, tapi juga sebuah keajaiban.Hania mengingat kembali semua yang terjadi. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang menyelimuti dirinya saat mengetahui kehamilannya yang tidak terduga. Namun, saat melihat wajah mungil ini, semua rasa sakit itu sirna.Hania menatap wajah mungil yang tertidur lelap di pelukannya. Bayi laki-laki itu, dengan pipi tembem dan bibir mungil yang sedikit terbuka, tampak begitu damai. Mata Hania berkaca-kaca, air mata bahagia bercampur dengan rasa syukur yang tak terhingga."Kamu kuat, Sayang," bisiknya lembut, jari-jarinya mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih sayang."Kamu adalah hadiah terindah," lanjutnya, "meskipun awalnya kehadiranmu sangat mengejutkan, tapi kamu tetap bagian dari hidupku."Hania mencium kening bayi itu dengan lembut.
"Aku mengerti perasaanmu, Han, dan aku juga mengerti perasaan, Mami. Aku ...." Sean berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Hania, matanya penuh dengan kerinduan dan kelembutan.Hania terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia menunggu jawaban yang akan Sean lontarkan. Apakah Sean akan benar-benar mengambil anaknya?"Aku tidak bisa memaksa Hania, Mi. Bagaimanapun, dia ibunya, dan aku akan menjadi orang yang tidak berperasaan jika memisahkan Hania dari bayinya," ujar Sean. Arum tercengang mendengarnya.Ia tidak menyangka Sean akan berkata demikian. Bagaimana dengan nasibnya? Bukankah semua mimpinya sudah ada di depan mata? Mendapatkan hak waris sepenuhnya setelah ada seorang cucu kandung dalam rumahnya.Akan tetapi, Sean seolah melupakan hal itu dan hanya memikirkan perasaan Hania. Hania, di sisi lain, dapat tersenyum lega. Jawaban Sean membuatnya bahagia."Sean, jangan bersikap aneh. Kamu memiliki anak bukan untuk Hania. Jangan hiraukan perasaannya," kata Arum.Sebelum S
Sean termenung seorang diri, kali ini bukan hanya Hania yang mengganggu pikirannya, tapi juga bayi laki-laki yang ia beri nama Sagara Vincent Smith yang sejak tadi berputar-putar dalam ingatannya. Rasa rindu seolah membuncah hatinya. Di rumah Bian, Sagara menangis tanpa henti, membangunkan Bian yang sedang tidur. Bian mengerjap, terganggu oleh tangisan yang terus bergema.Hania berusaha menenangkan Sagara dengan menggendong dan memberi susu, tetapi tangisannya tak kunjung reda. Seolah-olah Sagara merasakan kerinduan sang ayah."Hania, hentikan tangisan bayimu!"Hania tersentak mendengar teriakan itu. Rasa cemas menggerogoti hatinya."Berisik sekali. Kamu tahu aku sedang istirahat," tambah Bian, kini berdiri di dekat Hania, mengamati Sagara yang digendongnya."Maaf, Mas, tapi aku juga tidak tahu kenapa Sagara menangis terus," jawab Hania."Kamu ini tidak becus menjadi seorang ibu, begitu saja tidak bisa," kata Bian dengan nada tajam.Hania terdiam, hatinya teriris mendengar kata-kata
"Ya, begitulah sikap istrimu, Mas. Dia memanfaatkan bayinya, padahal dia yang ingin bertemu mantan kekasihnya sekaligus selingkuhannya itu," kata Keysa, senyumnya mengejek, matanya memancarkan kebencian.Raut wajah Bian menegang, rahangnya mengeras, seolah tak terima dengan perlakuan Hania."Mas, kenapa kamu ragu? Bukankah kamu mau menceraikan Mbak Hania? Terus kenapa sampai sekarang kamu masih mempertahankan dia? Mas mau dibuat malu terus dengan kelakuannya?" tanya Keysa, suaranya meninggi.Bian terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia terjebak di antara benar dan salah ucapan adiknya."Dulu alasannya karena Papa, dan sekarang setelah Papa melepaskan keputusan itu malah Mas Bian yang ragu. Jangan-jangan Mas Bian mulai jatuh cinta ya sama istri pengkhianat itu?" tambah Keysa, nada bicaranya tajam."Siapa bilang? Aku tidak jatuh cinta. Hanya saja aku merasa ini waktunya belum tepat. Aku belum berhasil membuat Hania menderita," jawab Bian, suaranya terdengar dingin."Halah, Mas, katakan saja
Bian terdiam, matanya tertuju pada satu titik. Keysa mengamati dengan senyum tipis. Dalam hati, ia berkata, "Aku tak bisa hanya menunggu. Mengharapkan Mas Bian akan membutuhkan waktu terlalu lama."Tatapan Keysa seolah memancarkan kepuasan melihat Hania dan Bian berselisih paham. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang."Rencanamu berhasil. Mbak Hania yakin Mas Bian berselingkuh," ucap Keysa. "Tenang saja, cepat atau lambat Mas Bian akan menjadi milikmu. Aku mendukungmu."Suara tawa bahagia terdengar dari seberang. Tawa nyaring seorang wanita membuat Keysa ikut tersenyum.***Di tempat lain, Vin, Sean, dan Arum tengah menikmati makan malam. Suasana makan malam kali ini diwarnai pertanyaan-pertanyaan dari Vin."Jadi, Hania adalah wanita yang kau bayar untuk menerima bayi tabungmu?" tanya Vin, suaranya serius. Sean menghentikan aktivitas mengunyahnya, pandangannya tertuju pada sang ayah."Bukan, Dad," jawab Sean singkat.Vin mengerutkan kening. "Bukan? Lalu, kenapa Hania yang meng
Di rumah, Hania mengelus lembut pipi Sagara yang mungil, matanya menatap penuh kasih sayang. Jam di dinding menunjukkan pukul 23.00, tetapi bayi mungil itu belum juga menunjukkan tanda-tanda mengantuk."Sagara, kenapa belum tidur, Nak? Ini sudah malam, Sayang. Sagara harus beristirahat," bisik Hania lembut, berusaha menenangkan Sagara yang masih terjaga.Hania mencoba berbagai cara untuk membuat Sagara tertidur, mulai dari menyanyikan lagu nina bobo hingga mengganti popoknya. Namun, Sagara tampak masih bersemangat, sesekali tertawa kecil mendengar suara Hania."Kalau mainannya sudah lelah, Sagara tidur ya, bunda ngantuk," ucap Hania, suaranya terdengar sedikit lelah. Ia berharap Sagara bisa memahami maksudnya dan segera tertidur.Hania menghela napas, meletakkan Sagara di ranjang bayi yang empuk. Ia mencoba berbaring di sampingnya, berharap kehangatan tubuhnya dapat menenangkan Sagara. Namun, Sagara tetap terjaga, matanya menatap langit-langit kamar dengan penuh keingintahuan."Sagara
Hania dan Sean tersentak mendengar suara langkah kaki mendekat. Segera mereka menoleh, dan tercengang melihat sosok Arum yang datang dengan raut wajah penuh amarah."Lebih baik Sagara ikut dengan kami daripada kamu tidak bisa menjaganya," ucap Arum dengan nada tinggi.Hania terpaku, matanya berkaca-kaca menahan luapan emosi. "Mami—""Sean, kamu lihat sendiri, kan? Hania tidak mampu menjaga anakmu, hingga tengah malam begini ia dibawa ke rumah sakit. Apa kamu yakin akan tetap membiarkan Sagara bersama dia?" potong Arum, tatapannya tajam.Sean mengerutkan kening, menatap Hania dan Sagara bergantian. Melihat Hania tertekan membuatnya tak tega. "Tapi, Tante, aku tidak melakukan apa pun pada Sagara," bela Hania, suaranya bergetar."Tidak melakukan apa pun? Nyatanya Sagara berada di sini sekarang," balas Arum tajam.Hania menggeleng, tak tahu harus berkata apa lagi. Ia merasa dirinya difitnah, tapi tak memiliki bukti untuk membantah."Cukup, Mi! Jangan menyalahkan Hania," sambar Sean tegas,
Mentari pagi menyinari bumi, menandakan hari baru telah tiba. Bian kembali ke rumah, tapi mendapati suasana rumah yang sepi."Hania! Hania!" panggil Bian, tapi tak ada jawaban.Keysa, yang sedari tadi tersenyum sinis, mendekatinya. "Mau dipanggil ratusan kali pun, Mbak Hania tidak akan dengar, Mas. Dia belum pulang," ucap Keysa.Bian melebarkan matanya, tak percaya. "Belum pulang? Dia pergi bersama Sean dan sampai sekarang belum pulang? Keterlaluan."Dengan cepat, Bian beranjak kembali ke mobilnya. Ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit, berniat mencari Hania. Namun, kabar mengejutkan yang Bian terima di rumah sakit membuatnya menggeram kesal. Sean dan Hania sudah keluar dari rumah sakit sejak dini hari tadi.Bian merasa dipermainkan dan tak dihargai. Ia tak habis pikir, mengapa Hania bisa begitu mudah meninggalkan rumah dan pergi bersama Sean hingga lupa waktu pulang. “Pergi ke mana mereka? Kurang ajar! Bisa-bisanya Hania mempermainkan aku lagi.”***Di sebuah villa di lereng pegu