Hania dan Sean tersentak mendengar suara langkah kaki mendekat. Segera mereka menoleh, dan tercengang melihat sosok Arum yang datang dengan raut wajah penuh amarah."Lebih baik Sagara ikut dengan kami daripada kamu tidak bisa menjaganya," ucap Arum dengan nada tinggi.Hania terpaku, matanya berkaca-kaca menahan luapan emosi. "Mami—""Sean, kamu lihat sendiri, kan? Hania tidak mampu menjaga anakmu, hingga tengah malam begini ia dibawa ke rumah sakit. Apa kamu yakin akan tetap membiarkan Sagara bersama dia?" potong Arum, tatapannya tajam.Sean mengerutkan kening, menatap Hania dan Sagara bergantian. Melihat Hania tertekan membuatnya tak tega. "Tapi, Tante, aku tidak melakukan apa pun pada Sagara," bela Hania, suaranya bergetar."Tidak melakukan apa pun? Nyatanya Sagara berada di sini sekarang," balas Arum tajam.Hania menggeleng, tak tahu harus berkata apa lagi. Ia merasa dirinya difitnah, tapi tak memiliki bukti untuk membantah."Cukup, Mi! Jangan menyalahkan Hania," sambar Sean tegas,
Mentari pagi menyinari bumi, menandakan hari baru telah tiba. Bian kembali ke rumah, tapi mendapati suasana rumah yang sepi."Hania! Hania!" panggil Bian, tapi tak ada jawaban.Keysa, yang sedari tadi tersenyum sinis, mendekatinya. "Mau dipanggil ratusan kali pun, Mbak Hania tidak akan dengar, Mas. Dia belum pulang," ucap Keysa.Bian melebarkan matanya, tak percaya. "Belum pulang? Dia pergi bersama Sean dan sampai sekarang belum pulang? Keterlaluan."Dengan cepat, Bian beranjak kembali ke mobilnya. Ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit, berniat mencari Hania. Namun, kabar mengejutkan yang Bian terima di rumah sakit membuatnya menggeram kesal. Sean dan Hania sudah keluar dari rumah sakit sejak dini hari tadi.Bian merasa dipermainkan dan tak dihargai. Ia tak habis pikir, mengapa Hania bisa begitu mudah meninggalkan rumah dan pergi bersama Sean hingga lupa waktu pulang. “Pergi ke mana mereka? Kurang ajar! Bisa-bisanya Hania mempermainkan aku lagi.”***Di sebuah villa di lereng pegu
Hujan masih mengguyur deras di luar, sementara Sean memejamkan mata perlahan, seakan ingin menghalau dingin yang menusuk tulang. Melihat Sean tampak kurang nyaman, Hania beranjak dari tidurnya dan meraih selimut tebal untuk membalut tubuh laki-laki itu. Wajah tampannya yang kembali terlihat jelas membuat Hania terpaku sejenak, enggan mengalihkan pandangan."Terima kasih, Sean. Kamu selalu menjadi laki-laki terdepan untukku," gumam Hania dalam hati, matanya masih tertuju pada wajah Sean.Meskipun saat ini tidak ada hubungan apa pun di antara mereka, Hania bersyukur karena Sean masih sangat memperdulikannya. Kehangatan yang terpancar dari perhatian Sean menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi Hania saat ini. ***Sementara marah Bian semakin membara. Hania menghilang tanpa jejak, nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Pikiran negatif tentang Hania dan Sean terus menghantuinya."Mereka pasti sedang bersenang-senang di sana. Hania, kamu benar-benar menghinaku!" gerutunya, rahangnya mengera
Beberapa hari berselang, Hania kembali ke rumah dengan Sagara di gendongannya. Langkahnya yang semula ringan terhenti saat melihat Bian duduk dengan tatapan tajam. Suasana hening menyelimuti ruangan, Hania dan Bian sama-sama enggan memulai percakapan. "Hania," suara Bian akhirnya memecah keheningan, "Istri macam apa kamu? Pergi dengan laki-laki lain hingga beberapa hari tidak pulang. Apakah itu perbuatan yang baik? Seharusnya dengan penampilanmu yang begini kamu bisa membedakan yang benar dan yang salah. Tapi kamu tidak!" Hati Hania berdesir, ucapan sang suami sunggu menusuk hatinya. Ia menyadari kesalahannya. Namun, alih-alih membalas dengan amarah, Hania memilih duduk di sebelah Bian dengan tenang. "Mas, ada yang ingin kubicarakan," ucap Hania perlahan. Sebelum memulai pembicaraan, Hania memanggil asisten rumah tangganya untuk membawa Sagara ke kamar. Bian, yang masih terlihat marah, tak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang sejak tadi ia genggam. "Mas, aku ingin
Bian melajukan mobilnya menuju tempat kerjanya, tapi tiba-tiba teringat ucapan Sean yang memintanya hadir di rumah sakit. Awalnya, Bian menolak datang karena merasa tidak peduli dengan urusan Hania dan Sean. Namun, entah apa yang menggerakkan hatinya, ia akhirnya berputar arah dan menuju ke rumah sakit.Di rumah sakit, Sean sudah lebih dulu terduduk di ruang rapat, didampingi oleh pemilik rumah sakit dan beberapa Dokter, termasuk Dokter Indra.“Apa yang terjadi, Indra?” tanya Sean lirih.Dokter Indra memperhatikan wajah Sean sejenak sebelum menaruh selembar kertas di tangannya. “Nanti kau akan mengetahuinya sendiri, Sean. Yang jelas, rumah sakit ingin membuktikan bahwa kesalahan yang terjadi bukanlah murni kesalahan pihak rumah sakit,” jelas Dokter Indra.“Bian datang?” tanya Dokter Indra. Sean menggeleng, “Dia tidak peduli.” Belum lama Sean berhenti berbicara, sosok Bian muncul di ambang pintu, membuat semua mata di ruangan itu seketika tertuju padanya. “Selamat pagi,” sapa Bian yan
"Apa, pergi?" Keysa mengerutkan kening, matanya melebar. Namun, kemudian bibirnya terkembang dalam sebuah tawa. "Akhirnya, dia meninggalkan rumah ini. Itulah yang kuharapkan, Mas."Tawa Keysa bergema, nyaring dan penuh kelegaan. Bian merasakan sebuah keanehan dalam dirinya. Biasanya ia tak merasa seperti ini. Perginya Hania, seolah-olah, meninggalkan sebuah kekosongan dalam dirinya.Bian terdiam, matanya menerawang ke arah jendela. Bayangan Hania terlintas dalam benaknya, wajahnya yang cantik, senyumnya yang manis, dan tatapan matanya yang penuh makna. "Mas Bian," Keysa memanggil, "kamu kenapa? Kamu masih memikirkan Mbak Hania?"Bian tersentak, ia tersadar dari lamunannya. "Tidak," jawabnya cepat, "Hanya saja … aku merasa aneh. Rasanya seperti ada yang hilang.""Hilang?" Keysa mengerutkan kening. "Hilang apa? Kamu kehilangan dia?"Bian menghela napas. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Aku hanya merasa … kosong."Keysa menatap Bian dengan tatapan penuh tanya. Ini bukan Bian yang ia k
Sean menghentikan mobilnya di halaman rumah Heni, ibu Hania. Ia melangkah masuk, hatinya berdebar-debar ingin segera bertemu dengan wanita yang dirindukannya. "Maaf, Tuan, mencari siapa?" tanya seorang ART yang menyambutnya. "Hania," ucap Sean, tatapannya penuh harap. "Apakah dia ada di sini?" "Nona Hania baru saja pergi, Tuan," jawab ART itu. Sean mengerutkan kening, kekecewaan mulai merayap di hatinya. "Pergi ke mana?" tanyanya dengan suara sedikit meninggi. "Saya kurang tahu, Tuan. Apakah saya berbicara dengan Tuan Sean?" tanya ART itu. Sean mengangguk, heran dengan pertanyaan wanita itu. "Nona Hania menitipkan ini untuk Tuan Sean," ucap ART itu, mengulurkan sebuah kertas lipatan di hadapan Sean. Sean segera menerima dan membaca isi kertas tersebut. [Assalamu'alaikum, Sean. Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi. Maaf kalau aku harus membawa Sagara, karena aku tidak mungkin meninggalkannya. Aku berjanji akan menjaganya setulus hati. Sean, terima kasih
Pencarian Sean tak terhenti sampai di situ. Rombongan laki-laki bertubuh tegap dan berseragam serba hitam terus mencari keberadaan Hania. Lima tahun berlalu, meski hingga saat ini Hania belum berhasil ditemukan, tapi tekad Sean tak pernah padam. *** "Hania telah kembali, Tuan." Suara itu menusuk telinga Sean membuatnya tersentak. Dia sedang berjalan menyusuri pusat perbelanjaan yang ramai, aroma parfum dan makanan memenuhi hidungnya. Jas hitamnya yang terkesan elegan kontras dengan wajahnya yang tegang, sorot matanya tajam dan penuh dengan rasa penasaran. "Tetap pantau, jangan sampai kehilangan jejak. Aku akan menemui kalian setelah meeting hari ini selesai," ucap Sean dengan terus melangkah. Dalam hati, Sean bertanya-tanya, apakah Hania benar-benar sudah kembali? Tiba-tiba …. Brukk! Sean bertabrakan dengan seorang anak laki-laki kecil berusia kurang lebih lima tahun. "Aduh," desah anak kecil itu saat tubuhnya tersungkur di lantai marmer yang dingin. Dengan penampilan ber