Keesokan harinya. "Bunda, ini sekolah Saga yang baru?" tanya laki-laki kecil berseragam biru itu, matanya berbinar melihat bangunan sekolah yang baru.“Iya, Saga, mulai sekarang Saga sekolahnya di sini. Inget ya kalau bunda belum jemput Saga jangan keluar dulu dari sekolah. Saga cuma boleh pulang sama bunda, kalau ada orang lain yang ajak Saga pulang, Saga jangan mau, mengerti, Nak?”“Saga ngerti, Bunda.”“Anak hebat, yasudah, sekarang Saga masuk ya, tuh ditunggu bu guru,” ucap Hania memperhatikan wanita yang sudah tersenyum menanti kedatangan Sagara. Dengan bahagia Sagara berlari meninggalkan Hania, pandangan Hania tak berkedip, bibirnya pun tak berhenti tersenyum hingga kini sosok sang anak tak lagi terlihat. Wanita berhijab bersetelan blazer itu segera meninggalkan tempat menuju sebuah butik. Kedatangannya disambut begitu baik, beberapa pekerja butik itu pun menunduk sopan di hadapan Hania. “Selamat pagi, Bu Hania,” sapa salah satunya. Hania mengangguk dan tersenyum lembut, me
Hari demi hari berlalu. Lagi-lagi, takdir mempertemukan Sean dengan Sagara. Kali ini, Sean mendapati anak laki-laki itu menangis, terduduk di sebuah bangku tak jauh dari sekolahnya. Sean terdiam sesaat, lalu menghampiri Sagara. "Kamu tidak apa-apa? Ada yang menyakitimu?" tanyanya lembut. Sagara mendongak, air mata membanjiri wajah. Hati Sean teriris melihatnya. Ia perlahan duduk dan meraih wajah anak itu dengan lembut. "Tenanglah, ceritakan apa yang terjadi?" katanya, mengusap air mata Sagara."Om–" Suara Sagara bergetar, membuat Sean merasakan sesuatu yang aneh. Seakan-akan ia mengenalnya begitu dalam. Namun, ia tak pernah tahu bahwa anak laki-laki kecil di hadapannya ini adalah anak kandungnya."Ceritakan padaku, kenapa kamu menangis?" Perlahan Sagara menceritakan bahwa sekolah akan mengundang para ayah dan ibu untuk datang besok. "Lalu, kenapa kamu bersedih?" tanya Sean."Saga ngga punya ayah, Om," jawabnya lirih. "Saga ngga tahu siapa ayah!? Bunda tidak pernah cerita tentang ay
Keesokan harinya. Seperti janji Sean pada Saga jika ia akan datang ke sekolahnya untuk menghadiri panggilan dari sekolah. Sean terduduk di tempat biasa yang Saga singgahi. Dari kejauhan pandangan Saga langsung tertuju pada Sean, “Bunda, itu Om ganteng, kita ke sana ya,” ajak Saga meraih tangan Hania dan membawanya melangkah mendekati Sean. Belum jauh kakinya melangkah Hania merasa ingin ke toilet. “Saga, maaf bunda mau ke toilet sebentar ya, bunda kebelet,” ucap Hania dengan tubuh sedikit menunduk. “Yaudah, Bun, biar Saga aja yang nemuin Om ganteng, nanti langsung Saga ajak masuk ya,” ucapnya, Hania tersenyum dan mengangguk. Kemudian meninggalkan Sagara. “Om ganteng–” teriak Saga, Sean spontan menoleh. “Saga–” Sagara memeluk tubuh Sean dengan erat, seolah merasa kerinduan yang begitu dalam. Dengan lembut Sean pun menerima pelukannya. “Saga seneng kalau Om ganteng beneran datang, terima kasih ya Om ganteng.” Wajah itu tampak begitu bahagia. Sean tersenyum dan hany
"Mami, apa maksudnya?" tanya Sean dengan tatapan heran. "Bukankah benar, Sean, kita hampir tidak bisa bertemu Sagara lagi. Perempuan ini berniat membawa Sagara pergi." Deg! Jantung Hania seakan mencelos saat kalimat itu terlontar. Sebelum Arum melanjutkan kalimatnya yang semakin tidak enak didengar, Vin lebih dulu meminta asisten rumah tangganya untuk membawa Sagara pergi dari tempat itu."Hania, aku tahu niatmu kembali untuk meminta ganti rugi pada Sean, kan?" ucap Arum dengan nada sinis. "Kamu tidak ikhlas mengurus Sagara selama ini."Hania langsung melebarkan matanya, tidak menyangka jika Arum akan berkata demikian. Bukan hanya Hania, Sean dan Vin pun sama-sama terkejut."Astaghfirullah, Tante. Aku tidak berniat seperti itu."Arum mengernyitkan bibirnya, "Omong kosong.""Sagara itu anakku juga, Tante, aku tidak mungkin memanfaatkan dia.""Lalu, untuk apa kamu kembali jika bukan untuk itu?""Aku kembali memang untuk Sagara, Tante. Dia merindukan kasih sayang seorang ayah. Aku tid
Di tempat lain. Kembali menceritakan tentang Bian. "Apa? Terancam bangkrut?" Bian mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Bagaimana bisa, Pah?""Ini semua karena ulahmu," jawab Pak Haris, tatapannya tajam."Aku? Kenapa malah menyalahkan aku?" Bian memprotes, suaranya meninggi."Kamu tahu apa yang menyebabkan kita terancam bangkrut? Itu karena Heni menarik semua sahamnya di perusahaan kita," jelas Pak Haris, nada bicaranya datar.Bian terdiam, matanya terbelalak tak percaya. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pah?"Pak Haris melangkah sedikit menjauh, pandangannya tertuju ke depan. "Jika kamu bisa membawa Hania kembali, kemungkinan Heni akan membantu kita lagi."Bian mengerutkan kening, tak mengerti. "Hania lagi? Apa aku harus mencari Hania dan menikahinya lagi?""Hanya itu satu-satunya cara, Bian. Jika kamu tetap mengutamakan egomu, ya sudah, kita bangkrut," tegas Pak Haris.Bian terdiam, pikirannya kacau. Sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Di
"Bu Hania, tadi ada seorang pria yang mencari Ibu," ujar pegawainya dengan sopan setelah Hania kembali ke tempatnya.Hania mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa pria tersebut. "Apakah kamu tahu namanya?" tanyanya."Maaf, Bu, saya tidak bertanya. Beliau hanya menanyakan alamat rumah Ibu, tapi saya tidak memberitahunya," jawab pegawainya.Hania terdiam sejenak, merenungkan kejadian itu. Namun, lamunannya terhenti saat Sean dan Sagara tiba."Bunda—" Sagara memanggil dengan suara yang sedikit bergetar.Hania spontan menoleh, "Bunda, tolong bilang sama Ayah dong, jangan pergi dulu. Saga masih mau sama Ayah," pinta Sagara dengan tatapan penuh harap.Hania dan Sean saling berpandangan, seolah bertanya bagaimana cara menyelesaikan situasi ini."Tapi, Ayah harus pulang, Saga. Ayah besok harus kerja, kasihan Ayah kalau nemenin Saga main terus," jelas Hania dengan nada lembut."Tapi Saga bosan, Bunda. Saga nggak mau main sendiri. Apalagi besok sekolah libur satu minggu, itu lama, Bun," ren
“Sagara, udah dulu ya mainnya, Oma capek, istirahat dulu sebentar,” ucap Arum yang kemudian terduduk dan disusul oleh sang cucu. “Iya, Oma, Saga juga capek,” ucapnya dengan wajah penuh keringat. Arum menyeka keringat itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Cucu, Oma, sampai keringatan begini.”“Ngga papa, Oma, meski capek Sara seneng bisa main sama Oma.”“Oh ya? Kalau begitu kenapa Sagara tidak tinggal di sini saja? Kan biar Sagara bisa main sama Oma terus, sama Ayah, dan sama Opa.”“Tapi, bagaimana sama Bunda, Oma? Bunda kasihan kalau tinggal sendiri.”Wajah Arum seketika berubah kala mendengar ucapan Sagara. “Sagara, Oma kasih tahu ya. Bunda Hania itu tidak pernah menyukai kalau kamu tingga di sini. Jadi mendingan kamu jangan pulang ke rumah bundamu lagi ya. Emang kamu mau tidak bisa main ke sini lagi?”Sagara terdiam, ia memikirkan ucapan sang nenek. “Ngga, Oma, bunda ngga seperti itu. Bunda baik kok. Bunda ngizinin Saga main sama Ayah, Oma, juga Opa.”“Itu sekarang, Saga. Ka
"Sagara, Oma Arum mungkin salah paham. Bunda Hania itu sangat menyayangimu, jangan sedih ya," kata Sean, berusaha meyakinkan Sagara.“Jadi apa yang dibilang Oma itu ngga benar ya, Yah?”Sean menggeleng pelan, kemudian merengkuh tubuh sang anak, membelai punggungnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Tidak, Nak. Bunda Hania sangat menyayangimu kamu, melebihi dirinya sendiri,” ucap laki-laki bertubuh tegap itu dari relung hati yang paling dalam. “Kalau gitu, Saga mau pulang ya, Yah, Saga pengen ketemu Bunda, boleh?” tanya si kecil menatap wajah sang ayah penuh harap. “Boleh, dong. Nanti Ayah antar.”Sagara tersenyum bahagia, seolah beban pikirannya selama ini terleraikan. Kecewa dengan sang ibu, setelah Sagara tenang dan tak lagi bersedih kini Sean pun beranjak mencari keberadaan Arum yang sedang duduk membaca majalah. “Mi, aku mau bicara,” ucapnya. Arum mendongak dan meletakkan majalah di genggamannya. “Ada apa, Sean?”“Apa maksud, Mami? Kenapa Mami pengaruhi Sagara dengan a