"Sagara, Oma Arum mungkin salah paham. Bunda Hania itu sangat menyayangimu, jangan sedih ya," kata Sean, berusaha meyakinkan Sagara.“Jadi apa yang dibilang Oma itu ngga benar ya, Yah?”Sean menggeleng pelan, kemudian merengkuh tubuh sang anak, membelai punggungnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Tidak, Nak. Bunda Hania sangat menyayangimu kamu, melebihi dirinya sendiri,” ucap laki-laki bertubuh tegap itu dari relung hati yang paling dalam. “Kalau gitu, Saga mau pulang ya, Yah, Saga pengen ketemu Bunda, boleh?” tanya si kecil menatap wajah sang ayah penuh harap. “Boleh, dong. Nanti Ayah antar.”Sagara tersenyum bahagia, seolah beban pikirannya selama ini terleraikan. Kecewa dengan sang ibu, setelah Sagara tenang dan tak lagi bersedih kini Sean pun beranjak mencari keberadaan Arum yang sedang duduk membaca majalah. “Mi, aku mau bicara,” ucapnya. Arum mendongak dan meletakkan majalah di genggamannya. “Ada apa, Sean?”“Apa maksud, Mami? Kenapa Mami pengaruhi Sagara dengan a
Hania menatap Sean, seolah membaca isi hatinya. Dengan lembut, ia meraih tangan Sean dan menggenggamnya erat.“Tenang, Sean. Apa pun yang terjadi, aku hanya ingin bersama kamu,” ucap Hania, tatapannya penuh cinta dan rasa sayang, tak berkedip menatap Sean.Pandangan mereka bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di antara keduanya. Cinta yang terpendam semakin nyata, mengalir deras di antara mereka.“Mas Bian, memang pernah mengisi hidupku, tapi tidak pernah mengisi rasa cinta di hatiku. Selama menjadi istrinya, aku memang selalu berusaha menjadi istri yang baik, tapi tidak dengan rasa cintanya, semua itu tetap tak aku temukan. Sean, kamu percaya denganku?” tanya Hania, suaranya lembut penuh keyakinan.Sean tak berkedip, seolah tak rela jika pemandangan indah di hadapannya ini terlewat begitu saja. Ia mengangguk, mengungkapkan persetujuannya dengan tatapan yang penuh cinta dan kepercayaan."Aku percaya padamu, Han," jawab Sean, suaranya terdengar mantap. "Aku tahu, kamu sela
Hari demi hari berlalu. Hubungan Hania dan Sean yang semakin dekat bahkan mereka merencanakan sebuah pernikahan. “Apa, menikah? Tidak, mami tidak setuju!”Sean tersentak mendengar ucapan sang ibu, meminta izin menikahi Hania bukan ini harapan jawabannya. "Sean, kenapa kamu memaksa keadaan? Sudah cukup perempuan itu menjadi masa lalumu, mami tidak ikhlas jika kamu sampai menikah dengannya.""Tapi kenapa, Mi? Bukankah Hania itu perempuan yang baik? Aku sangat mencintainya, Mi, aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya."Arum mengernyitkan bibir, matanya berkaca-kaca. "Baik? Itu menurutmu, Sean. Kamu sudah buta dibuatnya. Dia hanya ingin memanfaatkanmu.”Sean terdiam, wajahnya muram. "Mi, Hania bukan wanita seperti itu, Aku tahu dia mencintaiku, dan aku mencintainya.""Cinta? Cinta apa yang kau bicarakan? Dia hanya tertarik pada hartamu, Sean.”"Mi, untuk apa dia memanfaatkan hartaku? Dia sendiri punya keluarga kaya. Dia tidak butuh uangku.""Jangan bodoh, Sean! Dia akan
Sesampainya di rumah sakit, Sean langsung dibawa ke ruang IGD. Hania diizinkan untuk menunggu di ruang tunggu. Ia duduk di kursi, menunggu kabar dari tim medis.Beberapa menit kemudian. "Nona, silakan ikut saya," kata seorang perawat, mendekati Hania. "Dokter ingin berbicara dengan Anda."Hania berdiri, ia mengikuti perawat itu menuju ruang dokter."Silakan duduk, nona," kata dokter, menunjuk kursi di hadapannya. "Saya mengerti Anda pasti sangat khawatir. Tapi, saya harus memberitahu Anda bahwa kondisi pasien cukup serius."Hania terdiam, ekspresi wajahnya begitu cemas, menunggu penjelasan dokter."Pasien mengalami benturan keras di kepala. Ia mengalami gegar otak dan pendarahan di otak. Kami harus melakukan operasi untuk menghentikan pendarahannya."Hania tercengang, menatap dokter dengan mata berkaca-kaca. "Apakah ... apakah Sean akan baik-baik saja?" tanya Hania, suaranya bergetar."Kami akan melakukan yang terbaik, nona. Tapi, kami tidak bisa menjamin hasilnya." Dokter menata
Satu bulan telah berlalu. Hania duduk di samping ranjang rumah sakit, matanya tertuju pada wajah pucat Sean yang terbaring tak berdaya. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahan mereka, hari di mana mereka akan memulai babak baru dalam hidup. Namun, nasib berkata lain. Sean tertidur dalam koma, tak kunjung terbangun."Sean," bisik Hania, suaranya bergetar menahan kesedihan, "Apakah kau ingat hari ini seharusnya kita menikah? Kau tertidur terlalu lama, Sean. Aku merindukanmu."Sebulir air mata jatuh ke tangan Sean, membasahi kulitnya yang dingin. Hania terkesiap saat melihat jari-jari Sean bergerak. Seolah-olah dia merasakan kesedihan Hania, meresponnya dengan gerakan kecil yang tak terduga."Dokter!" Spontan Hania berteriak, hatinya berdebar kencang. "Jari-jarinya bergerak! Apakah ini pertanda baik?"Dokter dengan sigap memeriksa Sean. Setelah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Maaf, Nona Hania, tidak ada perubahan yang signifikan."Perlahan ekspresi wajahnya berubah, Hania terp
“Bunda–” pekik Sagara yang kemudian berlari setelah turun dari gendongan Bian. “Sagara! Astaghfirullah, bunda lupa jemput, Nak. Maafin, bunda,”ucap Hania seraya memeluk dan membelai bahu sang anak. “Tidak apa-apa, Bunda. Tadi ada Om Bian yang antar Sagara ke sini.”Hania dan Arum spontan menoleh pada laki-laki yang berdiri tak jauh dari mereka itu. “Mas Bian, terima kasih banyak. Maaf kalau merepotkan,” ucap Hania lembut. Bian menggeleng dan tersenyum. “Tidak merepotkan, Han. Tadi kebetulan aku lewat, jadi sekalian aku antara Sagara.”Hania tersenyum dan mengangguk. Jantung yang semula berdebar kencang kini perlahan menjadi tenang. Sagara sudah berada dalam dekapannya. “Ibu tidak becus, bisa-bisanya lupa tidak menjemput anaknya, kalau terjadi apa-apa bagaimana?” Arum bersuara cukup tajam. Kata-katanya membuat Bian juga merasa sedikit terkejut. Hania hanya menghela napas berat dan kemudian berkata, “Iya, maaf, Tante.”“Kamu pikir kata-katamu itu bisa membuat saya memaafkan kamu?
Setahun telah berlalu. Waktu seakan berhenti di ruang perawatan itu, hanya detak mesin yang menemani heningnya ruangan. Sean, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, terjebak dalam persimpangan hidup dan mati. Tubuhnya dihiasi oleh selang dan kabel, penopang hidupnya yang tak henti-hentinya berdetak.Hania, setia menemaninya, tak pernah meninggalkan sisi Sean. Wajahnya yang dulu ceria kini memudar, tergantikan oleh garis-garis kelelahan. Vin, ayah Sean, tak henti-hentinya mencoba membujuk Hania untuk melupakan Sean."Hania, kau lihat sendiri keadaan Sean. Dia tak bernyawa, tapi juga tak bernapas. Sudah berkali-kali aku mohon, menikahlah dengan pria lain. Aku sendiri tak tahu sampai kapan Sean akan seperti ini," ucap Vin, suaranya bergetar menahan kesedihan. Matanya tertuju pada tubuh Sean yang terbaring tak berdaya.Hania menatap Vin dengan mata yang berkaca-kaca, "Aku tahu, Om. Aku sendiri tak tahu, rasanya begitu sulit meninggalkan Sean. Aku tak tega, dia seperti ini karena kesalaha
Hania terduduk di tepi ranjang, tubuhnya lemas, pikirannya melayang jauh. Permintaan Bian untuk kembali menikahinya masih bergema di telinganya. Bian yang dulu, yang pernah menorehkan luka mendalam di hatinya, kini datang kembali dengan janji manis. Namun, hati Hania sudah tak lagi bergetar, tak lagi menaruh harap seperti dulu."Hania, Bunda ingin bicara sebentar." Suara Heni lembut, tetapi tegas, memecah lamunan Hania. Hania menoleh, mendapati sang bunda berdiri di ambang pintu, raut wajahnya penuh kekhawatiran."Apakah menunggu Sean adalah pilihan yang tepat? Keadaannya masih belum pasti, Hania. Kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Jangan terjebak dalam penantian yang tak menentu," lanjut Heni, tangannya terulur meraih bahu Hania.Hania terdiam, kata-kata sang bunda seakan bergema dengan ucapan Vin, ayah Sean. Dalam lubuk hatinya, ia pun merasakan keraguan. Namun, sulit rasanya untuk melepaskan Sean, pria yang telah mengisi hatinya dengan cinta yang begitu dalam."Bunda tida