Satu bulan telah berlalu. Hania duduk di samping ranjang rumah sakit, matanya tertuju pada wajah pucat Sean yang terbaring tak berdaya. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahan mereka, hari di mana mereka akan memulai babak baru dalam hidup. Namun, nasib berkata lain. Sean tertidur dalam koma, tak kunjung terbangun."Sean," bisik Hania, suaranya bergetar menahan kesedihan, "Apakah kau ingat hari ini seharusnya kita menikah? Kau tertidur terlalu lama, Sean. Aku merindukanmu."Sebulir air mata jatuh ke tangan Sean, membasahi kulitnya yang dingin. Hania terkesiap saat melihat jari-jari Sean bergerak. Seolah-olah dia merasakan kesedihan Hania, meresponnya dengan gerakan kecil yang tak terduga."Dokter!" Spontan Hania berteriak, hatinya berdebar kencang. "Jari-jarinya bergerak! Apakah ini pertanda baik?"Dokter dengan sigap memeriksa Sean. Setelah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Maaf, Nona Hania, tidak ada perubahan yang signifikan."Perlahan ekspresi wajahnya berubah, Hania terp
“Bunda–” pekik Sagara yang kemudian berlari setelah turun dari gendongan Bian. “Sagara! Astaghfirullah, bunda lupa jemput, Nak. Maafin, bunda,”ucap Hania seraya memeluk dan membelai bahu sang anak. “Tidak apa-apa, Bunda. Tadi ada Om Bian yang antar Sagara ke sini.”Hania dan Arum spontan menoleh pada laki-laki yang berdiri tak jauh dari mereka itu. “Mas Bian, terima kasih banyak. Maaf kalau merepotkan,” ucap Hania lembut. Bian menggeleng dan tersenyum. “Tidak merepotkan, Han. Tadi kebetulan aku lewat, jadi sekalian aku antara Sagara.”Hania tersenyum dan mengangguk. Jantung yang semula berdebar kencang kini perlahan menjadi tenang. Sagara sudah berada dalam dekapannya. “Ibu tidak becus, bisa-bisanya lupa tidak menjemput anaknya, kalau terjadi apa-apa bagaimana?” Arum bersuara cukup tajam. Kata-katanya membuat Bian juga merasa sedikit terkejut. Hania hanya menghela napas berat dan kemudian berkata, “Iya, maaf, Tante.”“Kamu pikir kata-katamu itu bisa membuat saya memaafkan kamu?
Setahun telah berlalu. Waktu seakan berhenti di ruang perawatan itu, hanya detak mesin yang menemani heningnya ruangan. Sean, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, terjebak dalam persimpangan hidup dan mati. Tubuhnya dihiasi oleh selang dan kabel, penopang hidupnya yang tak henti-hentinya berdetak.Hania, setia menemaninya, tak pernah meninggalkan sisi Sean. Wajahnya yang dulu ceria kini memudar, tergantikan oleh garis-garis kelelahan. Vin, ayah Sean, tak henti-hentinya mencoba membujuk Hania untuk melupakan Sean."Hania, kau lihat sendiri keadaan Sean. Dia tak bernyawa, tapi juga tak bernapas. Sudah berkali-kali aku mohon, menikahlah dengan pria lain. Aku sendiri tak tahu sampai kapan Sean akan seperti ini," ucap Vin, suaranya bergetar menahan kesedihan. Matanya tertuju pada tubuh Sean yang terbaring tak berdaya.Hania menatap Vin dengan mata yang berkaca-kaca, "Aku tahu, Om. Aku sendiri tak tahu, rasanya begitu sulit meninggalkan Sean. Aku tak tega, dia seperti ini karena kesalaha
Hania terduduk di tepi ranjang, tubuhnya lemas, pikirannya melayang jauh. Permintaan Bian untuk kembali menikahinya masih bergema di telinganya. Bian yang dulu, yang pernah menorehkan luka mendalam di hatinya, kini datang kembali dengan janji manis. Namun, hati Hania sudah tak lagi bergetar, tak lagi menaruh harap seperti dulu."Hania, Bunda ingin bicara sebentar." Suara Heni lembut, tetapi tegas, memecah lamunan Hania. Hania menoleh, mendapati sang bunda berdiri di ambang pintu, raut wajahnya penuh kekhawatiran."Apakah menunggu Sean adalah pilihan yang tepat? Keadaannya masih belum pasti, Hania. Kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Jangan terjebak dalam penantian yang tak menentu," lanjut Heni, tangannya terulur meraih bahu Hania.Hania terdiam, kata-kata sang bunda seakan bergema dengan ucapan Vin, ayah Sean. Dalam lubuk hatinya, ia pun merasakan keraguan. Namun, sulit rasanya untuk melepaskan Sean, pria yang telah mengisi hatinya dengan cinta yang begitu dalam."Bunda tida
Hania terdiam, menatap punggung Bian yang menjauh. Pikirannya melayang, mengingat kembali semua kenangan pahit yang pernah mereka lalui bersama. Luka lama kembali menganga, terasa perih saat disentuh ingatan."Apakah aku bisa mempercayainya lagi?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Hati Hania dipenuhi keraguan. Ia masih terluka, masih belum bisa melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukan Bian. Namun, ia juga melihat ketulusan di mata Bian, mendengar penyesalan dalam suaranya."Aku harus berpikir jernih," batinnya.Hania bangkit dari bangku taman, melangkah pulang. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri, untuk berpikir dengan jernih. Ia harus memutuskan, apakah ia akan membuka hatinya kembali untuk Bian, atau tetap berpegang teguh pada rasa sakit yang telah mengakar di hatinya.Di tengah perjalanan pulang, Hania bertemu dengan Heni yang baru saja keluar dari rumah. Heni terlihat khawatir, matanya langsung tertuju pada Hania."Hania, kamu sudah lama di luar? Kemana saja
Mentari pagi menyinari bumi, menyapa dengan hangatnya, tetapi tak mampu menembus kabut kegelisahan yang menyelimuti Hania. Matahari yang biasanya membangkitkan semangat, kini terasa hampa, tak bermakna. Hania terbangun dengan perasaan berat, tubuhnya lelah, pikirannya kacau. Bayangan ucapan ibunya masih menghantui, menjerumuskannya dalam jurang ketidakpastian. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi kakinya terasa berat, seakan terikat oleh beban yang tak tertanggungkan.Hania terdiam, menatap kosong ke luar jendela, mencoba mencari kekuatan untuk menghadapi hari yang baru. Belum saja ia bangkit, tiba-tiba teriakan dari luar ruangan mengagetkannya.“Bu Heni, Ibu, bangun, Bu.”Suara itu, suara ART-nya, terdengar panik, penuh dengan kekhawatiran. Hati Hania langsung berdesir, jantungnya berdebar kencang. Apa yang terjadi pada ibunya? Mengapa teriakan itu begitu mencekam? Hania terbelalak, tubuhnya menegang Ia terburu-buru bangkit dari tempat tidur, langkahnya gontai dengan napa
Mobil Hania melaju dengan pelan, meninggalkan rumah sakit dan membawa Heni kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, Hania hanya terdiam, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, bagaimana ia harus menghadapi kenyataan pahit ini.Sesampainya di rumah, Hania membantu Heni berbaring di tempat tidur. Ia mengelus lembut rambut ibunya, berusaha menenangkan hati ibunya yang tampak begitu lelah."Bunda, istirahatlah. Aku akan menjaga Bunda," bisik Hania, suaranya bergetar.Heni mengangguk lemah, matanya terpejam. Hania mencium kening ibunya, lalu beranjak pergi. Ia tak bisa tinggal di rumah saat ini, ia harus menjenguk Sean.Hania melajukan mobilnya menuju rumah sakit, tempat Sean dirawat. Hatinya terasa sesak, mengingat kejadian tragis yang menimpa Sean. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Sean saat kecelakaan, bagaimana ia terkapar tak sadarkan diri di tengah jalan.Hania memarkirkan mobilnya di depan rumah sakit, lalu bergegas masuk. Ia
Hania melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, matanya tertuju pada jalanan di depannya. Namun, fokusnya buyar, pikirannya melayang jauh, terbawa arus kesedihan yang menggerogoti hatinya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya dan menuruni rahangnya. Ia tak bisa menghentikannya, seolah air mata itu mewakili seluruh rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam di dalam dirinya.Tangisnya pecah, suara isak tangisnya memenuhi kabin mobil. Ia meremas setir dengan erat, seolah ingin meringkus seluruh rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia teringat ucapan Vin, "Percayalah, Hania. Sean akan mengerti. Dia akan bangga padamu." Namun, kata-kata itu tak mampu meredakan rasa sakit yang menghantamnya.Hania merindukan Sean, merindukan senyumannya, dan merindukan cintanya. Ia ingin sekali kembali ke rumah sakit, menemui Sean, menceritakan dan menjelaskan semuanya. Namun, ia tahu itu tak mungkin. Karena saat ini ia diharuskan untuk kuat, dan harus melangkah maju.Hania menghela napas bera