Hania terduduk di tepi ranjang, tubuhnya lemas, pikirannya melayang jauh. Permintaan Bian untuk kembali menikahinya masih bergema di telinganya. Bian yang dulu, yang pernah menorehkan luka mendalam di hatinya, kini datang kembali dengan janji manis. Namun, hati Hania sudah tak lagi bergetar, tak lagi menaruh harap seperti dulu."Hania, Bunda ingin bicara sebentar." Suara Heni lembut, tetapi tegas, memecah lamunan Hania. Hania menoleh, mendapati sang bunda berdiri di ambang pintu, raut wajahnya penuh kekhawatiran."Apakah menunggu Sean adalah pilihan yang tepat? Keadaannya masih belum pasti, Hania. Kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Jangan terjebak dalam penantian yang tak menentu," lanjut Heni, tangannya terulur meraih bahu Hania.Hania terdiam, kata-kata sang bunda seakan bergema dengan ucapan Vin, ayah Sean. Dalam lubuk hatinya, ia pun merasakan keraguan. Namun, sulit rasanya untuk melepaskan Sean, pria yang telah mengisi hatinya dengan cinta yang begitu dalam."Bunda tida
Hania terdiam, menatap punggung Bian yang menjauh. Pikirannya melayang, mengingat kembali semua kenangan pahit yang pernah mereka lalui bersama. Luka lama kembali menganga, terasa perih saat disentuh ingatan."Apakah aku bisa mempercayainya lagi?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Hati Hania dipenuhi keraguan. Ia masih terluka, masih belum bisa melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukan Bian. Namun, ia juga melihat ketulusan di mata Bian, mendengar penyesalan dalam suaranya."Aku harus berpikir jernih," batinnya.Hania bangkit dari bangku taman, melangkah pulang. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri, untuk berpikir dengan jernih. Ia harus memutuskan, apakah ia akan membuka hatinya kembali untuk Bian, atau tetap berpegang teguh pada rasa sakit yang telah mengakar di hatinya.Di tengah perjalanan pulang, Hania bertemu dengan Heni yang baru saja keluar dari rumah. Heni terlihat khawatir, matanya langsung tertuju pada Hania."Hania, kamu sudah lama di luar? Kemana saja
Mentari pagi menyinari bumi, menyapa dengan hangatnya, tetapi tak mampu menembus kabut kegelisahan yang menyelimuti Hania. Matahari yang biasanya membangkitkan semangat, kini terasa hampa, tak bermakna. Hania terbangun dengan perasaan berat, tubuhnya lelah, pikirannya kacau. Bayangan ucapan ibunya masih menghantui, menjerumuskannya dalam jurang ketidakpastian. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi kakinya terasa berat, seakan terikat oleh beban yang tak tertanggungkan.Hania terdiam, menatap kosong ke luar jendela, mencoba mencari kekuatan untuk menghadapi hari yang baru. Belum saja ia bangkit, tiba-tiba teriakan dari luar ruangan mengagetkannya.“Bu Heni, Ibu, bangun, Bu.”Suara itu, suara ART-nya, terdengar panik, penuh dengan kekhawatiran. Hati Hania langsung berdesir, jantungnya berdebar kencang. Apa yang terjadi pada ibunya? Mengapa teriakan itu begitu mencekam? Hania terbelalak, tubuhnya menegang Ia terburu-buru bangkit dari tempat tidur, langkahnya gontai dengan napa
Mobil Hania melaju dengan pelan, meninggalkan rumah sakit dan membawa Heni kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, Hania hanya terdiam, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, bagaimana ia harus menghadapi kenyataan pahit ini.Sesampainya di rumah, Hania membantu Heni berbaring di tempat tidur. Ia mengelus lembut rambut ibunya, berusaha menenangkan hati ibunya yang tampak begitu lelah."Bunda, istirahatlah. Aku akan menjaga Bunda," bisik Hania, suaranya bergetar.Heni mengangguk lemah, matanya terpejam. Hania mencium kening ibunya, lalu beranjak pergi. Ia tak bisa tinggal di rumah saat ini, ia harus menjenguk Sean.Hania melajukan mobilnya menuju rumah sakit, tempat Sean dirawat. Hatinya terasa sesak, mengingat kejadian tragis yang menimpa Sean. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Sean saat kecelakaan, bagaimana ia terkapar tak sadarkan diri di tengah jalan.Hania memarkirkan mobilnya di depan rumah sakit, lalu bergegas masuk. Ia
Hania melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, matanya tertuju pada jalanan di depannya. Namun, fokusnya buyar, pikirannya melayang jauh, terbawa arus kesedihan yang menggerogoti hatinya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya dan menuruni rahangnya. Ia tak bisa menghentikannya, seolah air mata itu mewakili seluruh rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam di dalam dirinya.Tangisnya pecah, suara isak tangisnya memenuhi kabin mobil. Ia meremas setir dengan erat, seolah ingin meringkus seluruh rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia teringat ucapan Vin, "Percayalah, Hania. Sean akan mengerti. Dia akan bangga padamu." Namun, kata-kata itu tak mampu meredakan rasa sakit yang menghantamnya.Hania merindukan Sean, merindukan senyumannya, dan merindukan cintanya. Ia ingin sekali kembali ke rumah sakit, menemui Sean, menceritakan dan menjelaskan semuanya. Namun, ia tahu itu tak mungkin. Karena saat ini ia diharuskan untuk kuat, dan harus melangkah maju.Hania menghela napas bera
Beberapa hari kemudian, suasana di rumah Hania terasa berbeda. Hawa haru dan sedikit tegang menyelimuti ruangan. Dekorasi sederhana menghiasi ruang tamu, menandakan sebuah momen sakral yang akan segera berlangsung. Hania berdiri di tengah ruangan, menunggu momen yang telah lama ia impikan, tetapi juga ditakdirkan dengan rasa pahit.Hani terlihat anggun dalam balutan kebaya putih, hijab putihnya tersusun rapi. Namun, di balik kecantikan dan kecerian yang ia paksakan, tersimpan sebuah rasa sesak di dadanya. "Saya terima nikah dan kawinnya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Kalimat sakral itu menggema di ruangan, menandai dimulainya babak baru dalam hidup Hania. Bian, pria yang kini menjadi suaminya lagi, mengucapkannya dengan lantang dan penuh keyakinan. Hania mendengarnya dengan jelas, rasanya seperti di dunia lain.Hania merasa terombang-ambing di antara rasa bahagia dan sedih. Ia bahagia karena telah berhasil menuruti permintaan ibunya , tetapi sedih karena harus melepaskan
"Ada apa, Han?" tanya Bian, suaranya sedikit khawatir."Mas–" ucap Hania gugup, matanya menunduk. "Aku mandi dulu ya, gerah banget rasanya."Seketika Bian tersenyum mendengar jawaban Hania. Ia mengerti bahwa mungkin Hania masih sedikit ragu, mungkin masih teringat akan masa lalu."Oh, kupikir ada apa," Bian berkata sambil tersenyum, "Yasudah kalau mau mandi dulu, atau kita bisa mandi bersama?" tanyanya dengan tatapan menggoda.Hania terdiam, pipinya memerah. Ia tidak menyangka bahwa Bian akan mengajaknya mandi bersama. Jantungnya berdebar kencang, menandakan bahwa ia sedikit tergoda dengan ajakan Bian. "Ah, tidak usah, Mas," jawab Hania, suaranya sedikit terbata."Loh, kenapa? Seru loh, dulu kan kita tidak pernah melakukan ini," ucap Bian seolah memaksa, mendekati Hania dengan tatapan yang semakin menggoda."Lebih baik nanti saja, ya. Lebih enak di atas ranjang," ucapnya berbisik, suaranya lembut penuh makna. Kata-katanya membuat bulu kuduk Bian meremang, ia merasakan sensasi yang m
Hari ini, Vin dan Arum melangkah berat menuju rumah sakit. Setahun sudah Sean terbaring koma, harapan untuk melihatnya kembali sadar terasa menipis. Udara di ruangan Sean terasa dingin dan hampa, hanya suara alat medis yang berdengung. Sean terbaring lemah, tubuhnya dipenuhi selang dan kabel, bukti perjuangannya untuk bertahan hidup."Dadd, kenapa Sean masih belum bangun juga ya?" tanya Arum lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. Air mata mengalir di pipinya.Vin mendekat, menggenggam tangan Arum. "Sabar, Mi. Sean pasti akan bangun. Dia kuat, dia pasti bisa melewati ini." Namun, kata-kata Vin terasa hampa di telinga Arum. Dia hanya bisa menatap Sean dengan tatapan kosong, berharap keajaiban terjadi.Tiba-tiba, jari-jari Sean bergerak, perlahan tapi pasti. Keduanya terbelalak tak percaya. Detik itu, waktu seakan berhenti. Jantung mereka berdebar kencang, harapan kembali menyala. Apakah ini pertanda? Apakah Sean akan bangun?Arum langsung mendekat, tangannya gemetar saat meraih tan