Mobil Hania melaju dengan pelan, meninggalkan rumah sakit dan membawa Heni kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, Hania hanya terdiam, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, bagaimana ia harus menghadapi kenyataan pahit ini.Sesampainya di rumah, Hania membantu Heni berbaring di tempat tidur. Ia mengelus lembut rambut ibunya, berusaha menenangkan hati ibunya yang tampak begitu lelah."Bunda, istirahatlah. Aku akan menjaga Bunda," bisik Hania, suaranya bergetar.Heni mengangguk lemah, matanya terpejam. Hania mencium kening ibunya, lalu beranjak pergi. Ia tak bisa tinggal di rumah saat ini, ia harus menjenguk Sean.Hania melajukan mobilnya menuju rumah sakit, tempat Sean dirawat. Hatinya terasa sesak, mengingat kejadian tragis yang menimpa Sean. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Sean saat kecelakaan, bagaimana ia terkapar tak sadarkan diri di tengah jalan.Hania memarkirkan mobilnya di depan rumah sakit, lalu bergegas masuk. Ia
Hania melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, matanya tertuju pada jalanan di depannya. Namun, fokusnya buyar, pikirannya melayang jauh, terbawa arus kesedihan yang menggerogoti hatinya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya dan menuruni rahangnya. Ia tak bisa menghentikannya, seolah air mata itu mewakili seluruh rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam di dalam dirinya.Tangisnya pecah, suara isak tangisnya memenuhi kabin mobil. Ia meremas setir dengan erat, seolah ingin meringkus seluruh rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia teringat ucapan Vin, "Percayalah, Hania. Sean akan mengerti. Dia akan bangga padamu." Namun, kata-kata itu tak mampu meredakan rasa sakit yang menghantamnya.Hania merindukan Sean, merindukan senyumannya, dan merindukan cintanya. Ia ingin sekali kembali ke rumah sakit, menemui Sean, menceritakan dan menjelaskan semuanya. Namun, ia tahu itu tak mungkin. Karena saat ini ia diharuskan untuk kuat, dan harus melangkah maju.Hania menghela napas bera
Beberapa hari kemudian, suasana di rumah Hania terasa berbeda. Hawa haru dan sedikit tegang menyelimuti ruangan. Dekorasi sederhana menghiasi ruang tamu, menandakan sebuah momen sakral yang akan segera berlangsung. Hania berdiri di tengah ruangan, menunggu momen yang telah lama ia impikan, tetapi juga ditakdirkan dengan rasa pahit.Hani terlihat anggun dalam balutan kebaya putih, hijab putihnya tersusun rapi. Namun, di balik kecantikan dan kecerian yang ia paksakan, tersimpan sebuah rasa sesak di dadanya. "Saya terima nikah dan kawinnya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Kalimat sakral itu menggema di ruangan, menandai dimulainya babak baru dalam hidup Hania. Bian, pria yang kini menjadi suaminya lagi, mengucapkannya dengan lantang dan penuh keyakinan. Hania mendengarnya dengan jelas, rasanya seperti di dunia lain.Hania merasa terombang-ambing di antara rasa bahagia dan sedih. Ia bahagia karena telah berhasil menuruti permintaan ibunya , tetapi sedih karena harus melepaskan
"Ada apa, Han?" tanya Bian, suaranya sedikit khawatir."Mas–" ucap Hania gugup, matanya menunduk. "Aku mandi dulu ya, gerah banget rasanya."Seketika Bian tersenyum mendengar jawaban Hania. Ia mengerti bahwa mungkin Hania masih sedikit ragu, mungkin masih teringat akan masa lalu."Oh, kupikir ada apa," Bian berkata sambil tersenyum, "Yasudah kalau mau mandi dulu, atau kita bisa mandi bersama?" tanyanya dengan tatapan menggoda.Hania terdiam, pipinya memerah. Ia tidak menyangka bahwa Bian akan mengajaknya mandi bersama. Jantungnya berdebar kencang, menandakan bahwa ia sedikit tergoda dengan ajakan Bian. "Ah, tidak usah, Mas," jawab Hania, suaranya sedikit terbata."Loh, kenapa? Seru loh, dulu kan kita tidak pernah melakukan ini," ucap Bian seolah memaksa, mendekati Hania dengan tatapan yang semakin menggoda."Lebih baik nanti saja, ya. Lebih enak di atas ranjang," ucapnya berbisik, suaranya lembut penuh makna. Kata-katanya membuat bulu kuduk Bian meremang, ia merasakan sensasi yang m
Hari ini, Vin dan Arum melangkah berat menuju rumah sakit. Setahun sudah Sean terbaring koma, harapan untuk melihatnya kembali sadar terasa menipis. Udara di ruangan Sean terasa dingin dan hampa, hanya suara alat medis yang berdengung. Sean terbaring lemah, tubuhnya dipenuhi selang dan kabel, bukti perjuangannya untuk bertahan hidup."Dadd, kenapa Sean masih belum bangun juga ya?" tanya Arum lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. Air mata mengalir di pipinya.Vin mendekat, menggenggam tangan Arum. "Sabar, Mi. Sean pasti akan bangun. Dia kuat, dia pasti bisa melewati ini." Namun, kata-kata Vin terasa hampa di telinga Arum. Dia hanya bisa menatap Sean dengan tatapan kosong, berharap keajaiban terjadi.Tiba-tiba, jari-jari Sean bergerak, perlahan tapi pasti. Keduanya terbelalak tak percaya. Detik itu, waktu seakan berhenti. Jantung mereka berdebar kencang, harapan kembali menyala. Apakah ini pertanda? Apakah Sean akan bangun?Arum langsung mendekat, tangannya gemetar saat meraih tan
“Namanya … aku tak mengingat namanya. Hanya saja wajahnya samar-samar berputar di ingatanku,” jawab Sean, suaranya penuh frustrasi.Vin dan Arum saling memandang, harapan dan kekhawatiran bercampur aduk di dalam hati mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa orang yang dimaksud Sean adalah Hania.“Aku merasa dia adalah orang paling dekat denganku, tapi aku tidak bisa mengingat lebih banyak.”Vin meraih tangan Sean, “Tidak apa-apa, Nak. Kami tahu siapa yang kamu maksud. Nanti daddy akan menemuinya, mungkin dia bisa membantumu mengingat lebih banyak tentang dirimu yang dulu.”“Tidak, mami tidak setuju,” sambar Arum, matanya melebar dengan ekspresi tegas.Vin dan Sean seketika memperhatikannya, kebingungan meliputi wajah mereka. “Mami tidak setuju jika Daddy mencari wanita itu. Biarkan saja Sean melupakan dia, karena itu memang lebih baik.”Sean merasakan ketegangan di antara orang tuanya. Ia bingung mendengarnya, tetapi samar-samar, kenangan akan kejadian ini mulai menghampiri pikirannya
Hania terdiam, matanya kosong menatap jalanan yang membentang di depan. Pikirannya melayang jauh, terjebak dalam pusaran rasa bersalah. "Sean sudah bangun dari komanya. Apakah dia akan marah padaku? Karena aku mengkhianatinya?" batinnya, suara hati itu bergema dalam kepalanya seperti bisikan angin malam.Bian, yang fokus menyetir, menoleh memperhatikan Hania. Seolah merasakan gelisah yang menyelimuti istrinya, Bian bertanya dengan lembut, "Han, kamu sedang memikirkan Sean?"Hania tersentak. "Ah, ti-tidak, Mas," jawabnya gugup, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.Bian tersenyum tipis, matanya menangkap raut wajah Hania yang tak bisa disembunyikan. "Han, aku tahu saat ini kamu sedang memikirkan Sean. Dan aku tidak masalah, karena aku sadar perasaanmu memang untuknya."Hania menoleh, pandangannya bertemu dengan mata Bian yang penuh pengertian. Hati Hania berdesir, tak enak mendengar ucapan Bian yang seolah membenarkan perasaannya. "Mas, maafkan aku. Aku tidak bermaksud ....""Tidak
Hari ini, setelah keadaan Sean sudah membaik dan dapat beraktivitas lagi. Ia kembali diperkenalkan dengan perannya sebagai pemimpin perusahaan keluarga. Harapannya, di lingkungan yang familiar ini, Sean dapat memicu ingatan yang terlupakan dan perlahan-lahan pulih dari amnesianya.Sean dan Vin melangkah memasuki ruangan Direktur Utama, sebuah ruang yang terpancar kemewahan dalam setiap sudutnya. Udara terasa dingin dan hening, seolah menantikan kehadiran sang pemilik."Ini ruanganmu, Sean," ucap Vin, suaranya bergema di ruangan yang luas itu. Sean menoleh, matanya menjelajahi setiap detail ruangan. Meja kerja besar dengan permukaan kayu yang berkilau, kursi kulit berukir, dan rak-rak yang penuh dengan buku-buku berjilid kulit.Pandangan Sean terhenti pada sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto dirinya, mengenakan jas hitam yang tampak begitu gagah. Namun, sesuatu terasa janggal. Senyum yang terukir di wajahnya tampak aneh, seperti sebuah topeng yang dipaksakan. Mata yang biasan
Anggi berdiri tegak, matanya menyiratkan keangkuhan yang menusuk. "Bukankah aku pernah berkata, Sean? Aku tidak akan membiarkanmu bahagia. Dan sekarang, jika kau tidak bahagia, maka aku telah berhasil dalam misiku." Nada bicaranya dingin, seperti es yang menusuk tulang.Sean merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat, ingin sekali menghantam wajah wanita di hadapannya. Namun, ia menahan diri. Ia tahu, seorang wanita bukanlah tandingannya, setidaknya dalam hal fisik."Kau benar-benar licik, Anggi," desis Sean, suaranya bergetar menahan amarah. "Kau rela melihatku menderita demi kepuasanmu sendiri."Anggi terkekeh pelan, suaranya seperti tawa iblis yang mengerikan. "Menderita? Kau terlalu lemah untuk merasakan penderitaan, Sean. Kau hanya perlu sedikit waktu untuk menyadari bahwa kebahagiaan yang kau inginkan tidak akan pernah kau dapatkan."Tatapan mereka bertemu, penuh dengan amarah dan kebencian. Udara di antara mereka terasa panas dan menyesakkan. Sean merasakan amarah men
Beberapa hari berlalu, mencekam dan penuh harap bagi keluarga Sean. Kegelisahan menggerogoti setiap detiknya. Bayangan Anggi Indrajaya, sosok yang selama ini menjadi misteri, menghantuinya. Akhirnya, telepon berdering, memutus lamunan Vin yang kelam. Sebuah suara tenang, tetapi tegas, terdengar dari seberang.“Saya sudah mendapat informasi tentang Anggi Indrajaya, Tuan. Saat ini ia sedang berada di sebuah restoran mewah seorang diri. Suasana di sana cukup sepi, menunjukkan ia sedang menunggu seseorang atau sesuatu. Saya akan kirimkan alamat restorannya. Lebih baik Tuan menemuinya sendiri,” ucap suara itu, nada seriusnya terasa menusuk.Jeda singkat terasa amat panjang, seakan-akan waktu berhenti berdetak. Vin merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran antara ketegangan dan penasaran Pertemuan ini, akan menentukan segalanya.Ia segera mengakhiri panggilan, menunggu pesan singkat yang menentukan nasib perusahaannya. Bayangan Anggi, dengan segala misterinya, semakin jelas dalam bena
"Sean, daddy tahu apa yang terjadi. Tak perlu kau jelaskan," ujar Vin, suaranya tenang, penuh keyakinan. "Daddy datang untuk membantu. Daddy akan berbicara dengan mereka yang membatalkan kontrak perusahaanmu." Sean tercengang, matanya terpaku pada wajah sang ayah, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tapi, Dadd ...." "Tenanglah, Sean. Semua akan baik-baik saja!" Vin menepuk bahu Sean dengan lembut, senyum hangat terukir di wajahnya. "Daddy akan memastikannya." Tatapan Sean perlahan melembut, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Seolah beban berat di pundaknya sedikit berkurang, digantikan oleh secercah harapan yang terpancar dari mata sang ayah. *** Waktu terus berlalu, setiap detiknya terasa mencekam. Vin, dengan kecepatan dan ketegasan yang luar biasa, membongkar satu per satu permasalahan pelik yang membelit perusahaan Sean. Bayangan kecurigaan mulai menggelayut, apakah ini sekadar rangkaian kesalahan, atau ada tangan jahat yang sengaja menghancurka
"Apakah sudah ada informasi mengenai penyebab pembatalan kontrak ini?" Suara Sean terdengar dingin, tertekan, di seberang telepon. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, mencerminkan kegundahan yang mendalam."Belum ada informasi pasti, Tuan. Namun, kabar buruk datang lagi. Tim HC juga baru saja membatalkan kontraknya."Sean terdiam sejenak, seolah tertusuk duri tajam. Napasnya tersengal, "Apa? Lagi? Ini sudah keterlaluan! Kenapa semua ini terjadi? Saya tidak peduli bagaimana caranya, cari tahu apa yang sedang terjadi di balik semua ini!""Baik, Tuan. Kami akan segera menyelidiki."Panggilan terputus, meninggalkan Sean di tengah badai kekhawatiran. Pria yang dikenal lembut dan tenang itu kini tercabik-cabik oleh amarah dan kekecewaan. Bayangan perusahaan yang terpuruk, mimpi yang runtuh, dan masa depan yang tak menentu menghantuinya. Ia terjebak dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban, dihantui ketakutan akan kehancuran yang tak terhindarkan.Sean mengusap wajahnya kasar, jari-jarinya m
Ada perubahan signifikan pada penampilan Anggi. Jika sebelumnya ia selalu tampil sederhana, kali ini ia terlihat sangat rapi dan elegan, layaknya seorang wanita karir sukses. Rambutnya tertata sempurna, pakaiannya mahal dan berkelas.Perubahan penampilannya itu semakin menambah aura misterius dan berbahaya yang terpancar darinya. Entah apa yang menyebabkan perubahan drastis ini, tetapi satu hal yang pasti, ia tampak lebih dingin dan penuh perhitungan.Setelah mengamati keluarga Sean cukup lama, Anggi meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menghubungi seseorang. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, berbeda jauh dengan raut wajahnya yang penuh amarah.“Jangan menunggu waktu lama,” ucapnya dengan tatapan tajam, “Aku sangat muak melihat mereka. Secepatnya kalian hancurkan perusahaannya.” Nada perintahnya tegas dan lugas, tanpa ruang untuk penolakan.Ancaman tersirat dalam setiap kata-kata yang diucapkannya, menunjukkan niatnya untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga Sean d
Hania menanti kedatangan Sean dengan cemas. Bayangan Anggi, wanita yang telah mengusik ketenangan rumah tangganya, masih menghantuinya. Tatapannya mengikuti setiap langkah Sean begitu ia masuk kamar."Bagaimana, Mas? Kamu sudah bicara dengan Anggi?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.Sean mengangguk mantap, tetapi raut wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa ketegangan. "Sudah, Han. Dia sudah pergi," jawabnya, kata-kata itu diucapkan dengan nada yang lebih berat daripada yang diharapkan Hania. Ada sesuatu yang tersirat di balik kata-kata itu.Hania mendesah lega, rasa syukur memenuhi hatinya. Namun, lega itu tak sepenuhnya menghilangkan rasa was-was. "Alhamdulillah," ucapnya lirih, "akhirnya hubungan kita dijauhkan dari perempuan seperti Anggi, Mas."Sean duduk di samping Hania, tangannya meraih dan menggenggam erat tangan istrinya. Tatapannya intens, mencari kedalaman mata Hania, mencari kepastian dan ketenangan. "Kamu tenang ya," bisiknya, suaranya lembut, tetapi tegas. "Tidak akan a
Tangan Anggi tiba-tiba menggenggam lengan Sean dengan sangat erat, dan matanya yang penuh air mata itu menatap dengan intens. “Jangan ... kalau kamu melangkah lebih jauh ... semua akan berubah,” kata Anggi pelan, dengan suara yang tiba-tiba penuh ancaman."Apa maksudmu? Anggi, lepaskan saya!"***Hania duduk di sofa, memandang kosong ke arah jendela. Matanya yang semula cerah kini terlihat lelah, terjaga hanya karena gelisah yang tak kunjung hilang. Pikirannya berkecamuk. Tidak ada lagi kebahagiaan yang terasa murni sejak Anggi datang ke dalam kehidupan mereka. Setiap sudut rumah yang dulu penuh tawa kini dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Dan Hania merasa itu semua bermula sejak Anggi muncul.Dia bukan hanya menggoyahkan kedamaian rumah tangga mereka, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Anggi bukan lagi sekedar pembantu. Dia sudah menjadi ancaman yang nyata. Bukan hanya bagi Sean, tetapi juga bagi Hania sendiri, yang setiap hari me
Hari itu terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean. Di luar jendela, cuaca tampak cerah, tetapi di dalam rumahnya, perasaan sesak itu masih tetap menggantung. Setiap langkah yang diambilnya menuju ruang tamu seolah membawa beban yang lebih berat. Hania, istrinya tercinta, semakin menjauh darinya, diselimuti oleh keraguan yang tak kunjung padam.Foto itu, meski telah dijelaskan dengan segala upaya, tetap menjadi bayangan gelap yang terus menghantui mereka. Sean tahu, jika dia tidak segera menemukan bukti untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah, semuanya bisa berakhir. Kepercayaan Hania padanya akan hancur, dan hubungan mereka bisa hancur begitu saja. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak setelah segala yang mereka bangun bersama, tidak setelah bayi mereka yang baru lahir, yang masih memerlukan perhatian penuh dari kedua orangtuanya."Sean, aku tahu kamu bisa mengatasinya," suara Arum tiba-tiba terdengar dari belakangnya, mengalihkan perhatian Sean dari pikirannya. Arum berd
"Apa maksudmu, Han?" Sean terkejut dengan pertanyaan sang istri yang seorang menyerang. Dengan mata memerah Hania menunjukan foto tersebut. Dadanya naik turun, ia merasa begitu sakit hati. Sean terbelalak, ia tak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya. Sean menggeleng berulang kali, ekspresi wajahnya menampakan ketidakpercayaan. ***Pagi itu, Hania duduk terpaku di meja makan. Cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui jendela dapur seolah tak mampu menembus ketegangan yang melingkupi udara di rumah mereka. Ponsel Sean yang masih tergeletak di atas meja, dengan foto yang telah mengusik pikirannya, kini menjadi simbol dari segala kebingungannya.Hania menatap foto itu sekali lagi, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Tapi setiap kali matanya beralih pada gambar itu, hatinya terasa semakin hancur. Sean, suaminya yang selama ini ia percayai, terlihat tertidur lelap di samping Anggi. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu? Bagaimana bisa foto seperti itu ada tanpa penjel