Hania melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, matanya tertuju pada jalanan di depannya. Namun, fokusnya buyar, pikirannya melayang jauh, terbawa arus kesedihan yang menggerogoti hatinya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya dan menuruni rahangnya. Ia tak bisa menghentikannya, seolah air mata itu mewakili seluruh rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam di dalam dirinya.Tangisnya pecah, suara isak tangisnya memenuhi kabin mobil. Ia meremas setir dengan erat, seolah ingin meringkus seluruh rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia teringat ucapan Vin, "Percayalah, Hania. Sean akan mengerti. Dia akan bangga padamu." Namun, kata-kata itu tak mampu meredakan rasa sakit yang menghantamnya.Hania merindukan Sean, merindukan senyumannya, dan merindukan cintanya. Ia ingin sekali kembali ke rumah sakit, menemui Sean, menceritakan dan menjelaskan semuanya. Namun, ia tahu itu tak mungkin. Karena saat ini ia diharuskan untuk kuat, dan harus melangkah maju.Hania menghela napas bera
Beberapa hari kemudian, suasana di rumah Hania terasa berbeda. Hawa haru dan sedikit tegang menyelimuti ruangan. Dekorasi sederhana menghiasi ruang tamu, menandakan sebuah momen sakral yang akan segera berlangsung. Hania berdiri di tengah ruangan, menunggu momen yang telah lama ia impikan, tetapi juga ditakdirkan dengan rasa pahit.Hani terlihat anggun dalam balutan kebaya putih, hijab putihnya tersusun rapi. Namun, di balik kecantikan dan kecerian yang ia paksakan, tersimpan sebuah rasa sesak di dadanya. "Saya terima nikah dan kawinnya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Kalimat sakral itu menggema di ruangan, menandai dimulainya babak baru dalam hidup Hania. Bian, pria yang kini menjadi suaminya lagi, mengucapkannya dengan lantang dan penuh keyakinan. Hania mendengarnya dengan jelas, rasanya seperti di dunia lain.Hania merasa terombang-ambing di antara rasa bahagia dan sedih. Ia bahagia karena telah berhasil menuruti permintaan ibunya , tetapi sedih karena harus melepaskan
"Ada apa, Han?" tanya Bian, suaranya sedikit khawatir."Mas–" ucap Hania gugup, matanya menunduk. "Aku mandi dulu ya, gerah banget rasanya."Seketika Bian tersenyum mendengar jawaban Hania. Ia mengerti bahwa mungkin Hania masih sedikit ragu, mungkin masih teringat akan masa lalu."Oh, kupikir ada apa," Bian berkata sambil tersenyum, "Yasudah kalau mau mandi dulu, atau kita bisa mandi bersama?" tanyanya dengan tatapan menggoda.Hania terdiam, pipinya memerah. Ia tidak menyangka bahwa Bian akan mengajaknya mandi bersama. Jantungnya berdebar kencang, menandakan bahwa ia sedikit tergoda dengan ajakan Bian. "Ah, tidak usah, Mas," jawab Hania, suaranya sedikit terbata."Loh, kenapa? Seru loh, dulu kan kita tidak pernah melakukan ini," ucap Bian seolah memaksa, mendekati Hania dengan tatapan yang semakin menggoda."Lebih baik nanti saja, ya. Lebih enak di atas ranjang," ucapnya berbisik, suaranya lembut penuh makna. Kata-katanya membuat bulu kuduk Bian meremang, ia merasakan sensasi yang m
Hari ini, Vin dan Arum melangkah berat menuju rumah sakit. Setahun sudah Sean terbaring koma, harapan untuk melihatnya kembali sadar terasa menipis. Udara di ruangan Sean terasa dingin dan hampa, hanya suara alat medis yang berdengung. Sean terbaring lemah, tubuhnya dipenuhi selang dan kabel, bukti perjuangannya untuk bertahan hidup."Dadd, kenapa Sean masih belum bangun juga ya?" tanya Arum lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. Air mata mengalir di pipinya.Vin mendekat, menggenggam tangan Arum. "Sabar, Mi. Sean pasti akan bangun. Dia kuat, dia pasti bisa melewati ini." Namun, kata-kata Vin terasa hampa di telinga Arum. Dia hanya bisa menatap Sean dengan tatapan kosong, berharap keajaiban terjadi.Tiba-tiba, jari-jari Sean bergerak, perlahan tapi pasti. Keduanya terbelalak tak percaya. Detik itu, waktu seakan berhenti. Jantung mereka berdebar kencang, harapan kembali menyala. Apakah ini pertanda? Apakah Sean akan bangun?Arum langsung mendekat, tangannya gemetar saat meraih tan
“Namanya … aku tak mengingat namanya. Hanya saja wajahnya samar-samar berputar di ingatanku,” jawab Sean, suaranya penuh frustrasi.Vin dan Arum saling memandang, harapan dan kekhawatiran bercampur aduk di dalam hati mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa orang yang dimaksud Sean adalah Hania.“Aku merasa dia adalah orang paling dekat denganku, tapi aku tidak bisa mengingat lebih banyak.”Vin meraih tangan Sean, “Tidak apa-apa, Nak. Kami tahu siapa yang kamu maksud. Nanti daddy akan menemuinya, mungkin dia bisa membantumu mengingat lebih banyak tentang dirimu yang dulu.”“Tidak, mami tidak setuju,” sambar Arum, matanya melebar dengan ekspresi tegas.Vin dan Sean seketika memperhatikannya, kebingungan meliputi wajah mereka. “Mami tidak setuju jika Daddy mencari wanita itu. Biarkan saja Sean melupakan dia, karena itu memang lebih baik.”Sean merasakan ketegangan di antara orang tuanya. Ia bingung mendengarnya, tetapi samar-samar, kenangan akan kejadian ini mulai menghampiri pikirannya
Hania terdiam, matanya kosong menatap jalanan yang membentang di depan. Pikirannya melayang jauh, terjebak dalam pusaran rasa bersalah. "Sean sudah bangun dari komanya. Apakah dia akan marah padaku? Karena aku mengkhianatinya?" batinnya, suara hati itu bergema dalam kepalanya seperti bisikan angin malam.Bian, yang fokus menyetir, menoleh memperhatikan Hania. Seolah merasakan gelisah yang menyelimuti istrinya, Bian bertanya dengan lembut, "Han, kamu sedang memikirkan Sean?"Hania tersentak. "Ah, ti-tidak, Mas," jawabnya gugup, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.Bian tersenyum tipis, matanya menangkap raut wajah Hania yang tak bisa disembunyikan. "Han, aku tahu saat ini kamu sedang memikirkan Sean. Dan aku tidak masalah, karena aku sadar perasaanmu memang untuknya."Hania menoleh, pandangannya bertemu dengan mata Bian yang penuh pengertian. Hati Hania berdesir, tak enak mendengar ucapan Bian yang seolah membenarkan perasaannya. "Mas, maafkan aku. Aku tidak bermaksud ....""Tidak
Hari ini, setelah keadaan Sean sudah membaik dan dapat beraktivitas lagi. Ia kembali diperkenalkan dengan perannya sebagai pemimpin perusahaan keluarga. Harapannya, di lingkungan yang familiar ini, Sean dapat memicu ingatan yang terlupakan dan perlahan-lahan pulih dari amnesianya.Sean dan Vin melangkah memasuki ruangan Direktur Utama, sebuah ruang yang terpancar kemewahan dalam setiap sudutnya. Udara terasa dingin dan hening, seolah menantikan kehadiran sang pemilik."Ini ruanganmu, Sean," ucap Vin, suaranya bergema di ruangan yang luas itu. Sean menoleh, matanya menjelajahi setiap detail ruangan. Meja kerja besar dengan permukaan kayu yang berkilau, kursi kulit berukir, dan rak-rak yang penuh dengan buku-buku berjilid kulit.Pandangan Sean terhenti pada sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto dirinya, mengenakan jas hitam yang tampak begitu gagah. Namun, sesuatu terasa janggal. Senyum yang terukir di wajahnya tampak aneh, seperti sebuah topeng yang dipaksakan. Mata yang biasan
Pertemuan bisnis di restoran mewah itu berlangsung dengan lancar. Adrian, perwakilan dari perusahaan properti, menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap proyek yang ditawarkan Sean dan Vin. Mereka membahas detail proposal investasi, mencari titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sean, walaupun terkadang pikirannya masih kacau, berusaha menunjukkan sikap profesional dan bersemangat dalam membahas proyek tersebut. Vin, yang memahami kondisi Sean, membantu menjawab pertanyaan Adrian dan menjelaskan keunggulan proyek yang mereka tawarkan. "Sean, apa pendapatmu tentang strategi pemasaran yang akan kita terapkan untuk proyek ini?" tanya Vin, mencoba menarik perhatian Sean yang merenung. Sean menggeleng pelan, mencoba menarik diri dari lamunannya. "Maaf, Dadd. Aku sedang berusaha fokus pada pembicaraan kita." "Tidak apa-apa, Sean," jawab Vin dengan lembut. "Kita akan melanjutkan pembicaraan nanti. Sekarang, fokuslah pada Adrian," bisik Vin. Sean mencoba menarik nap