Hania terdiam, matanya kosong menatap jalanan yang membentang di depan. Pikirannya melayang jauh, terjebak dalam pusaran rasa bersalah. "Sean sudah bangun dari komanya. Apakah dia akan marah padaku? Karena aku mengkhianatinya?" batinnya, suara hati itu bergema dalam kepalanya seperti bisikan angin malam.Bian, yang fokus menyetir, menoleh memperhatikan Hania. Seolah merasakan gelisah yang menyelimuti istrinya, Bian bertanya dengan lembut, "Han, kamu sedang memikirkan Sean?"Hania tersentak. "Ah, ti-tidak, Mas," jawabnya gugup, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.Bian tersenyum tipis, matanya menangkap raut wajah Hania yang tak bisa disembunyikan. "Han, aku tahu saat ini kamu sedang memikirkan Sean. Dan aku tidak masalah, karena aku sadar perasaanmu memang untuknya."Hania menoleh, pandangannya bertemu dengan mata Bian yang penuh pengertian. Hati Hania berdesir, tak enak mendengar ucapan Bian yang seolah membenarkan perasaannya. "Mas, maafkan aku. Aku tidak bermaksud ....""Tidak
Hari ini, setelah keadaan Sean sudah membaik dan dapat beraktivitas lagi. Ia kembali diperkenalkan dengan perannya sebagai pemimpin perusahaan keluarga. Harapannya, di lingkungan yang familiar ini, Sean dapat memicu ingatan yang terlupakan dan perlahan-lahan pulih dari amnesianya.Sean dan Vin melangkah memasuki ruangan Direktur Utama, sebuah ruang yang terpancar kemewahan dalam setiap sudutnya. Udara terasa dingin dan hening, seolah menantikan kehadiran sang pemilik."Ini ruanganmu, Sean," ucap Vin, suaranya bergema di ruangan yang luas itu. Sean menoleh, matanya menjelajahi setiap detail ruangan. Meja kerja besar dengan permukaan kayu yang berkilau, kursi kulit berukir, dan rak-rak yang penuh dengan buku-buku berjilid kulit.Pandangan Sean terhenti pada sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto dirinya, mengenakan jas hitam yang tampak begitu gagah. Namun, sesuatu terasa janggal. Senyum yang terukir di wajahnya tampak aneh, seperti sebuah topeng yang dipaksakan. Mata yang biasan
Pertemuan bisnis di restoran mewah itu berlangsung dengan lancar. Adrian, perwakilan dari perusahaan properti, menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap proyek yang ditawarkan Sean dan Vin. Mereka membahas detail proposal investasi, mencari titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sean, walaupun terkadang pikirannya masih kacau, berusaha menunjukkan sikap profesional dan bersemangat dalam membahas proyek tersebut. Vin, yang memahami kondisi Sean, membantu menjawab pertanyaan Adrian dan menjelaskan keunggulan proyek yang mereka tawarkan. "Sean, apa pendapatmu tentang strategi pemasaran yang akan kita terapkan untuk proyek ini?" tanya Vin, mencoba menarik perhatian Sean yang merenung. Sean menggeleng pelan, mencoba menarik diri dari lamunannya. "Maaf, Dadd. Aku sedang berusaha fokus pada pembicaraan kita." "Tidak apa-apa, Sean," jawab Vin dengan lembut. "Kita akan melanjutkan pembicaraan nanti. Sekarang, fokuslah pada Adrian," bisik Vin. Sean mencoba menarik nap
Hari demi hari berlalu, menorehkan kisah cinta Hania dan Bian yang semakin berwarna. Setiap pagi, Hania selalu menyiapkan sarapan untuk Bian, lengkap dengan secangkir kopi panas. Hubungan pernikahan itu berjalan sesuai harapan. Sementara di balik kebahagiaan itu, bayangan masa lalu Sean mulai menghantui. Setiap kali Sean terbangun dari tidurnya, ia merasakan kegelisahan yang tak tertahankan. Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik ingatannya. Dalam mimpinya, ia melihat wajah Hania, tetapi dengan tatapan yang penuh kesedihan. Sejak kecelakaan itu membuat ingatannya menghilang, akhir-akhir ini ia merasa ingatannya mulai kembali, tetapi seperti terpecah-pecah, setiap hari ingatan itu mulai tersusun, mengantarkannya pada masa lalu yang samar-samar."Hania!" Pekikan Sean menggema di kamar, mengagetkan dirinya sendiri. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu lagi, mimpi yang selalu menghantuinya. Wanita berhijab dengan tatapan
Hania tercengang, matanya membelalak tak percaya. "Sean–" Mulutnya terasa kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.Seketika, air mata Sean terjatuh, membasahi pipinya. "Jadi benar, Han. Kamu sudah menikah dengan dia?" Suaranya bergetar hebat, dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan.Hania terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu membalas pertanyaan Sean. Hatinya terasa sesak, dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan."Hania ...." Sean mengulang, suaranya serak. Ia mendekat, langkahnya berat, seakan membawa beban dunia. Hania terus menggeleng pelan, tak mampu berkata-kata."Kenapa, Han?" Sean bertanya lagi, suaranya bergetar menahan amarah. "Kenapa kamu harus menikahi dia? Kenapa kamu harus meninggalkan aku, Hania?"Hania terdiam, air matanya mengalir deras. Ia ingin menjelaskan, ingin menceritakan semuanya, tapi kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya."Kenapa kamu mengkhianati janji kita?" Sean menanyakan pertanyaan yang sama, suaranya meninggi. "Kenapa kamu harus menikah dengan
Keesokan harinya. Matahari pagi menyinari kamar Sagara, tetapi senyum ceria yang biasanya menghiasi wajahnya tak terlihat. Kepalanya tertunduk, bibirnya mengerucut, dan air mata mulai menetes. "Bunda, Saga kangen Ayah," rengeknya, suaranya bergetar menahan tangis. "Bunda anter Saga ke rumah Ayah, ya?" Hania, sang bunda, terdiam. Hatinya tersayat melihat putranya merindukan sang ayah. Namun, hatinya sendiri belum sepenuhnya siap bertemu Sean. Bagaimana mungkin ia bisa menemuinya lagi? Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Sagara tentang kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi? "Bunda, Saga mau ketemu Ayah," Sagara kembali merengek, air matanya semakin deras. "Bunda, Saga janji Saga bakal baik-baik aja kalau sama Ayah." Hania tertegun. Janji Sagara, yang polos dan tulus, membuatnya semakin terpuruk dalam dilema. Ia tak ingin menyakiti hati putranya, tetapi ia juga tak ingin kembali membuat Sean terluka dan bersedih. "Sagara, sayang," Hania berusaha menguatkan dirinya. "Kita tung
"Tante, silakan menjauh. Saya akan mencoba membuka pintu ini," ucap Bian, suaranya bergetar sedikit saat ia menatap pintu kayu yang terkunci rapat.Arum melangkah mundur, wajahnya pucat pasi. Ketakutan terpancar jelas di matanya. "Sean...," gumamnya lirih, tangannya gemetar tak menentu.Bian menghela napas dalam-dalam, kemudian mengarahkan kakinya ke arah pintu. Ia menendang dengan sekuat tenaga, namun pintu itu tetap tak bergeming. "Sean, kau di dalam sana? Apakah kau baik-baik saja?" teriak Bian, suaranya bergema di ruangan itu.Sekali lagi Bian mencoba mendobrak pintu, namun tetap tak berhasil. Ia mulai panik. Bian tak menyerah. Ia terus berusaha membuka pintu, hingga akhirnya dengan satu tendangan kuat, pintu itu terbuka dengan suara gemuruh.Bian dan Arum langsung berlari masuk. Mata mereka terbelalak melihat pemandangan di dalam ruangan. Sean terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, berserakan pecahan cermin, dan di tangannya, tergeng
Hari ini Hania berkunjung ke rumah sang bunda. Setelah semua hal waris Hania yang memegang, Heni tak lagi ikut campur, ia beristirahat total menyambut usia senjanya. Hania melangkah memasuki rumah sang bunda, sebuah rumah sederhana yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Heni, sang bunda, duduk di ruang tamu, raut wajahnya tampak menua, tetapi senyumnya masih hangat seperti biasanya."Bagaimana, Han? Semua berjalan lancar?" tanya Heni, suaranya lembut, penuh perhatian."Alhamdulillah, Bun. Semua berjalan lancar, Mas Bian yang membantu urusanku," jawab Hania, senyum tipis menghiasi wajahnya. Heni mengangguk, merasa bahagia karena menilai Hania dapat melakukan tugas dengan baik."Oiya, Han, bagaimana? Apa kamu sudah hamil?" Sebuah pertanyaan yang membuat ekspresi wajah Hania seketika berubah. Rona merah merayap di pipinya, matanya menunduk.Sudah beberapa bulan ia menikah, tapi entahlah mengapa ia tak kunjung hamil? Hania menggeleng, "Belum, Bun. Mungkin Allah belum kasih aku keper