"Tante, silakan menjauh. Saya akan mencoba membuka pintu ini," ucap Bian, suaranya bergetar sedikit saat ia menatap pintu kayu yang terkunci rapat.Arum melangkah mundur, wajahnya pucat pasi. Ketakutan terpancar jelas di matanya. "Sean...," gumamnya lirih, tangannya gemetar tak menentu.Bian menghela napas dalam-dalam, kemudian mengarahkan kakinya ke arah pintu. Ia menendang dengan sekuat tenaga, namun pintu itu tetap tak bergeming. "Sean, kau di dalam sana? Apakah kau baik-baik saja?" teriak Bian, suaranya bergema di ruangan itu.Sekali lagi Bian mencoba mendobrak pintu, namun tetap tak berhasil. Ia mulai panik. Bian tak menyerah. Ia terus berusaha membuka pintu, hingga akhirnya dengan satu tendangan kuat, pintu itu terbuka dengan suara gemuruh.Bian dan Arum langsung berlari masuk. Mata mereka terbelalak melihat pemandangan di dalam ruangan. Sean terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, berserakan pecahan cermin, dan di tangannya, tergeng
Hari ini Hania berkunjung ke rumah sang bunda. Setelah semua hal waris Hania yang memegang, Heni tak lagi ikut campur, ia beristirahat total menyambut usia senjanya. Hania melangkah memasuki rumah sang bunda, sebuah rumah sederhana yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Heni, sang bunda, duduk di ruang tamu, raut wajahnya tampak menua, tetapi senyumnya masih hangat seperti biasanya."Bagaimana, Han? Semua berjalan lancar?" tanya Heni, suaranya lembut, penuh perhatian."Alhamdulillah, Bun. Semua berjalan lancar, Mas Bian yang membantu urusanku," jawab Hania, senyum tipis menghiasi wajahnya. Heni mengangguk, merasa bahagia karena menilai Hania dapat melakukan tugas dengan baik."Oiya, Han, bagaimana? Apa kamu sudah hamil?" Sebuah pertanyaan yang membuat ekspresi wajah Hania seketika berubah. Rona merah merayap di pipinya, matanya menunduk.Sudah beberapa bulan ia menikah, tapi entahlah mengapa ia tak kunjung hamil? Hania menggeleng, "Belum, Bun. Mungkin Allah belum kasih aku keper
Pintu rumah terbanting keras. Hania terhuyung masuk, tubuhnya lemas. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, kini tumpah tak terbendung. Ia terduduk di lantai ruang tamu, tubuhnya meringkuk seperti anak kucing yang ketakutan.Tangisnya pecah, membahana di ruangan yang sunyi. Bayangan Sean terlintas di benaknya, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Hania teringat ucapan Arum, "Puas kamu melihat Sean seperti ini?" Kata-kata itu menusuk hatinya, menggores luka yang tak kunjung sembuh.Hania terisak, "Sean ... aku tak pernah bermaksud melukaimu ... aku tak pernah ingin melihatmu seperti ini ...."Pernikahannya dengan Bian, yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan, justru menjadi petaka bagi Sean. Sean, yang selalu mencintainya, terpuruk dalam depresi. Hati Hania hancur berkeping-keping. Ia merasa bersalah, merasa bertanggung jawab atas penderitaan Sean."Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, Sean ...." Hania berbisik, suaranya teredam oleh tangisnya. "Aku ingin menolongmu, tapi
Di tengah-tengah perjalanan Bian, laju mobilnya memelan kala suara dering ponsel berdering. Nama Bunda Heni tertera dilayar benda pipih itu. Cepat-cepat Bian menjawabnya. “Assalamu'alaikum, Bun.”“Walaikumsalam, Bian. Bian segera ke rumah sakit ya ajak istrimu.”Bian mengerutkan dahi, rumah sakit? Apa yang terjadi pada ibu mertuanya itu? “Memangnya ada apa ya, Bun? Bunda sakit?”“Oh tidak. Ini tadi bunda tidak sengaja bertemu dokter Tari. Beliau menyampaikan pesan jika ingin menyampaikan sesuatu pada kalian. Nah karena bunda pengen nemenin kalian jadi kalian aja yang ke sini sekarang ya,” jawab Heni. Bian mengerti dan mengangguk. “Baik, Bun. Aku dan Hania akan segera ke sana.” Bian pun memutar balik laju mobilnya, kembali ke rumah untuk menjemput Hania. Ia sejenak melupakan permasalahan akan Sean, ada permasalahan yang lebih penting yang harus ia urus terlebih dulu. Dokter Tari adalah seorang dokter kandungan yang diajak konsultasi oleh Hania dan Bian. Sementara hasil tes belum ke
Hania dan Bunda Heni terdiam, matanya mengikuti kepergian Bian. Mereka tak bisa menahan Bian, tak bisa memaksanya untuk tetap berada di sana. Mereka hanya bisa berharap Bian akan kembali, akan mau mendengarkan penjelasan Dokter Tari, akan mau mempertimbangkan solusi yang ditawarkan."Hania, apa yang harus kita lakukan?" Bunda Heni bertanya, suaranya bergetar. Ia merasa tak berdaya melihat Bian yang terpuruk dalam kesedihan.Hania pun tak tahu jawabannya. Ia hanya bisa memeluk Bunda Heni erat, mencari penghiburan di pelukan hangat sang ibu. Mereka berdua sama-sama merasa kehilangan, sama-sama merasa tak berdaya."Kita akan menunggu Mas Bian, Bun," Hania berkata, suaranya bergetar. "Kita akan terus mendukungnya, apa pun yang terjadi."Bunda Heni mengangguk pelan. Entah bagaimana perasaan Heni saat ini, ia telah lama menginginkan seorang cucu, tapi sekarang malah takdir berkata lain. Apakah ia kecewa dengan Bian, menantunya? Hania beranjak, hatinya dipenuhi kekhawatiran. "Mas Bian,
Libur sekolah tiba, menghidupkan suasana rumah dengan keceriaan dan tawa. Sagara, anak kecil nan polos, menikmati waktu bermain bersama Hania. Mereka bermain petak umpet, membuat kue bersama, dan bercerita tentang berbagai hal.Tiba-tiba …."Bunda, Saga pengen punya adik," ucap Sagara, matanya berbinar-binar, menatap Hania dengan penuh harap. Ia mencoba meniru ucapan teman-temannya di sekolah yang memiliki adik. Namun, ucapan polos Sagara itu menghentikan tawa Hania. Ekspresi wajahnya berubah, mencerminkan rasa sedih dan kerinduan.Hania terdiam, menatap Sagara dengan tatapan kosong. Ia tak mampu menjawab pertanyaan polos anaknya itu. Hati Hania terasa sesak, dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan.Sagara, yang tak mengerti apa yang dirasakan ibunya, menarik tangan Hania, mencoba menarik perhatiannya. "Bunda, Saga pengen punya adik. Teman-teman Saga di sekolah punya adik, mereka seru main bareng."Hania mengelus kepala Sagara, mencoba untuk tersenyum. "Iya, Sayang, Nanti dibuatkan adik y
“Bagaimana kamu bisa hamil? Aku tidak pernah menyentuhmu!”Hania memejamkan matanya saat suara Bian Abimana, suaminya, menggema di ruang tamu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahan, kini mengalir deras membasahi pipi. Hania terisak, mencoba mencari kata-kata untuk menjelaskan situasi yang tak terduga ini.“Kamu pasti berbuat zina dengan laki-laki lain, kan? Istri macam apa kamu!”Hania menggeleng cepat-cepat. “Aku tidak melakukan hal itu, Mas,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku tidak pernah berbuat hal berdosa seperti itu.”“Jangan sok alim, Hania,” tukas Bian. Tatapan matanya menatap tajam pada Hania. “Buktinya kamu bisa hamil! Padahal aku tidak pernah menyentuhmu.”Hania makin ketakutan saat melihat kemarahan suaminya. Meskipun ia tahu mengapa suaminya marah, tapi ia sendiri tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara apa dan bagaimana, serta kenapa ia bisa hamil padahal Bian tidak pernah melakukan hubungan badan dengan Hania sejak keduanya menikah beberapa waktu yang lalu.Ya
“Aku tidak selingkuh maupun berzina, Mas. Aku berani bersumpah.”Setelah mengucapkan itu pada Bian yang tampak tidak peduli, Hania pergi keluar. Menuju rumah sakit tempat ia memeriksakan diri.Lorong rumah sakit tampak sepi karena sedang bukan jam besuk ataupun jam periksa. Sendirinya, Hania bingung bagaimana ia menemui dokter yang memeriksanya kemarin untuk berkonsultasi tentang hasil tesnya tempo hari.Saat sedang menelusuri lorong dengan pikiran yang runyam, tiba-tiba–Bruk!Hania bertabrakan dengan seseorang, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.“Ah, maaf–”“Hania?”Wanita itu lantas mengangkat pandangan saat mendengar namanya dan melihat seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi berdiri di hadapannya.Hania tercengang saat mengenali pria itu. "Sean ...," ucapnya. Pria itu melepas kacamata hitamnya. Wajahnya yang tampan tengah terkejut."K-kamu ... kamu apa kabar?" kata Hania lagi.Sean hanya mengangguk dan menyahut, “Baik.”Pandangan mata pria itu seolah menyimp