Hari ini Hania berkunjung ke rumah sang bunda. Setelah semua hak waris Hania yang memegang, Heni tak lagi ikut campur, ia beristirahat total menyambut usia senjanya. Hania melangkah memasuki rumah sang bunda, sebuah rumah mewah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Heni, sang bunda, duduk di ruang tamu, raut wajahnya tampak menua, tetapi senyumnya masih hangat seperti biasanya. "Bagaimana, Han? Semua berjalan lancar?" tanya Heni, suaranya lembut, penuh perhatian. "Alhamdulillah, Bun. Semua berjalan lancar, Mas Bian yang membantu urusanku," jawab Hania, senyum tipis menghiasi wajahnya. Heni mengangguk, merasa bahagia karena menilai Hania dapat melakukan tugas dengan baik. "Oiya, Han, bagaimana? Apa kamu sudah hamil?" Sebuah pertanyaan yang membuat ekspresi wajah Hania seketika berubah. Rona merah merayap di pipinya, matanya menunduk. Sudah beberapa bulan ia menikah, tapi entahlah mengapa ia tak kunjung hamil? Hania menggeleng, "Belum, Bun. Mungkin Allah belum kasih aku keperca
Pintu rumah terbanting keras. Hania terhuyung masuk, tubuhnya lemas. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, kini tumpah tak terbendung. Ia terduduk di lantai ruang tamu, tubuhnya meringkuk seperti anak kucing yang ketakutan.Tangisnya pecah, membahana di ruangan yang sunyi. Bayangan Sean terlintas di benaknya, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Hania teringat ucapan Arum, "Puas kamu melihat Sean seperti ini?" Kata-kata itu menusuk hatinya, menggores luka yang tak kunjung sembuh.Hania terisak, "Sean ... aku tak pernah bermaksud melukaimu ... aku tak pernah ingin melihatmu seperti ini ...."Pernikahannya dengan Bian, yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan, justru menjadi petaka bagi Sean. Sean, yang selalu mencintainya, terpuruk dalam depresi. Hati Hania hancur berkeping-keping. Ia merasa bersalah, merasa bertanggung jawab atas penderitaan Sean."Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, Sean ...." Hania berbisik, suaranya teredam oleh tangisnya. "Aku ingin menolongmu, tapi
Di tengah-tengah perjalanan Bian, laju mobilnya memelan kala suara dering ponsel berdering. Nama Bunda Heni tertera dilayar benda pipih itu. Cepat-cepat Bian menjawabnya. “Assalamu'alaikum, Bun.”“Walaikumsalam, Bian. Bian segera ke rumah sakit ya ajak istrimu.”Bian mengerutkan dahi, rumah sakit? Apa yang terjadi pada ibu mertuanya itu? “Memangnya ada apa ya, Bun? Bunda sakit?”“Oh tidak. Ini tadi bunda tidak sengaja bertemu dokter Tari. Beliau menyampaikan pesan jika ingin menyampaikan sesuatu pada kalian. Nah karena bunda pengen nemenin kalian jadi kalian aja yang ke sini sekarang ya,” jawab Heni. Bian mengerti dan mengangguk. “Baik, Bun. Aku dan Hania akan segera ke sana.” Bian pun memutar balik laju mobilnya, kembali ke rumah untuk menjemput Hania. Ia sejenak melupakan permasalahan akan Sean, ada permasalahan yang lebih penting yang harus ia urus terlebih dulu. Dokter Tari adalah seorang dokter kandungan yang diajak konsultasi oleh Hania dan Bian. Sementara hasil tes belum ke
Hania dan Bunda Heni terdiam, matanya mengikuti kepergian Bian. Mereka tak bisa menahan Bian, tak bisa memaksanya untuk tetap berada di sana. Mereka hanya bisa berharap Bian akan kembali, akan mau mendengarkan penjelasan Dokter Tari, akan mau mempertimbangkan solusi yang ditawarkan."Hania, apa yang harus kita lakukan?" Bunda Heni bertanya, suaranya bergetar. Ia merasa tak berdaya melihat Bian yang terpuruk dalam kesedihan.Hania pun tak tahu jawabannya. Ia hanya bisa memeluk Bunda Heni erat, mencari penghiburan di pelukan hangat sang ibu. Mereka berdua sama-sama merasa kehilangan, sama-sama merasa tak berdaya."Kita akan menunggu Mas Bian, Bun," Hania berkata, suaranya bergetar. "Kita akan terus mendukungnya, apa pun yang terjadi."Bunda Heni mengangguk pelan. Entah bagaimana perasaan Heni saat ini, ia telah lama menginginkan seorang cucu, tapi sekarang malah takdir berkata lain. Apakah ia kecewa dengan Bian, menantunya? Hania beranjak, hatinya dipenuhi kekhawatiran. "Mas Bian,
Libur sekolah tiba, menghidupkan suasana rumah dengan keceriaan dan tawa. Sagara, anak kecil nan polos, menikmati waktu bermain bersama Hania. Mereka bermain petak umpet, membuat kue bersama, dan bercerita tentang berbagai hal.Tiba-tiba …."Bunda, Saga pengen punya adik," ucap Sagara, matanya berbinar-binar, menatap Hania dengan penuh harap. Ia mencoba meniru ucapan teman-temannya di sekolah yang memiliki adik. Namun, ucapan polos Sagara itu menghentikan tawa Hania. Ekspresi wajahnya berubah, mencerminkan rasa sedih dan kerinduan.Hania terdiam, menatap Sagara dengan tatapan kosong. Ia tak mampu menjawab pertanyaan polos anaknya itu. Hati Hania terasa sesak, dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan.Sagara, yang tak mengerti apa yang dirasakan ibunya, menarik tangan Hania, mencoba menarik perhatiannya. "Bunda, Saga pengen punya adik. Teman-teman Saga di sekolah punya adik, mereka seru main bareng."Hania mengelus kepala Sagara, mencoba untuk tersenyum. "Iya, Sayang, Nanti dibuatkan adik y
"Aku... aku mandul. Tidak bisa memberikan Hania keturunan," ucap Bian, suaranya bergetar, membuat Vin dan Arum terpaku. Seolah-olah sebuah bom meledak, menghancurkan ketenangan yang sebelumnya menyelimuti mereka. Hening. Hanya decak napas Bian yang berat dan terengah-engah yang memecah keheningan mencekam itu."Tapi, Bian, saya tidak ingin mengorbankan apa pun demi untuk anak saya. Saya tidak setuju dengan apa yang kamu lakukan ini," ucap Vin, suaranya bergetar menahan amarah. Bian mengerutkan kening, matanya membulat tak percaya."Kenapa, Om? Saya melakukan ini ikhlas, saya tidak berharap apa pun, saya hanya ingin Hania memiliki keturunan.""Saya tahu, tapi saya tidak akan bahagia jika anak saya berbahagia di atas penderitaan orang lain," jawab Vin, suaranya tegas.Arum, istri Vin, menyaksikan percakapan itu dengan tatapan dingin. Ia merasakan amarah membuncah di dadanya, melihat Bian yang seolah-olah menganggap enteng pengorbanan yang akan dilakukannya. "Ini semua hanya drama," gu
Setelah kepergian Bian, rumah yang dulunya dipenuhi tawa dan canda kini dipenuhi kesunyian. Hania menjalani hari-harinya dalam kesedihan yang mendalam. Bayangan Bian selalu menghantuinya, mengingatkannya pada kebahagiaan yang telah pergi. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada Bian. Sofa tempat mereka berdua menonton film, meja makan tempat mereka berbagi cerita, bahkan kamar tidur mereka yang dulu dipenuhi dengan aroma parfum Bian, semuanya terasa kosong dan hampa. Hania sering terbangun di tengah malam, mencari Bian di sampingnya. Namun, yang ia temukan hanyalah bantal kosong dan selimut yang terlipat rapi. Ia meraba-raba tempat tidur, berharap menemukan Bian di sana. Namun, hanya keheningan yang menjawabnya. Hania terduduk di tepi tempat tidur, memeluk erat bantal Bian. Ia mencium aroma parfum Bian yang masih tertinggal di bantal itu, berharap bisa merasakan kehadiran Bian kembali. "Aku merindukanmu, Mas Bian," lirihnya, air matanya mengalir deras. "Aku sangat merindukanmu
Hania melangkah dengan hati-hati, memasuki rumah mewah Vin. Arum dan Vin berjalan di sisinya, langkah mereka beriringan menuju ruang kamar Sean. Suasana hening, hanya derap langkah mereka yang memecah kesunyian.“Sean ada di dalam, Han. Dia tak pernah mau keluar dari kamarnya sejak dia tahu kamu telah menikah,” ucap Arum, suaranya sedikit bergetar. Pandangan Hania tertuju pada pintu kamar yang tertutup rapat, seakan menyimpan sebuah misteri kelam.“Sekali dia keluar kamar, dia akan berlari tanpa tujuan,” lanjut Arum, matanya tertuju pada pintu itu, seolah-olah melihat bayangan Sean yang tersiksa.Hania terdiam, memikirkan betapa buruknya kondisi Sean selama ini. Bayangan wajah Sean yang dulu ceria kini tergantikan oleh kesedihan yang mendalam."Bolehkah aku menemuinya?" tanya Hania, suaranya lembut. Vin mengangguk pelan. "Tentu, Han. Masuklah!"Hania menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan langkah yang berat, dia mendekati pintu kamar Sean. Jantungnya berdebar k
Anggi berdiri tegak, matanya menyiratkan keangkuhan yang menusuk. "Bukankah aku pernah berkata, Sean? Aku tidak akan membiarkanmu bahagia. Dan sekarang, jika kau tidak bahagia, maka aku telah berhasil dalam misiku." Nada bicaranya dingin, seperti es yang menusuk tulang.Sean merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat, ingin sekali menghantam wajah wanita di hadapannya. Namun, ia menahan diri. Ia tahu, seorang wanita bukanlah tandingannya, setidaknya dalam hal fisik."Kau benar-benar licik, Anggi," desis Sean, suaranya bergetar menahan amarah. "Kau rela melihatku menderita demi kepuasanmu sendiri."Anggi terkekeh pelan, suaranya seperti tawa iblis yang mengerikan. "Menderita? Kau terlalu lemah untuk merasakan penderitaan, Sean. Kau hanya perlu sedikit waktu untuk menyadari bahwa kebahagiaan yang kau inginkan tidak akan pernah kau dapatkan."Tatapan mereka bertemu, penuh dengan amarah dan kebencian. Udara di antara mereka terasa panas dan menyesakkan. Sean merasakan amarah men
Beberapa hari berlalu, mencekam dan penuh harap bagi keluarga Sean. Kegelisahan menggerogoti setiap detiknya. Bayangan Anggi Indrajaya, sosok yang selama ini menjadi misteri, menghantuinya. Akhirnya, telepon berdering, memutus lamunan Vin yang kelam. Sebuah suara tenang, tetapi tegas, terdengar dari seberang.“Saya sudah mendapat informasi tentang Anggi Indrajaya, Tuan. Saat ini ia sedang berada di sebuah restoran mewah seorang diri. Suasana di sana cukup sepi, menunjukkan ia sedang menunggu seseorang atau sesuatu. Saya akan kirimkan alamat restorannya. Lebih baik Tuan menemuinya sendiri,” ucap suara itu, nada seriusnya terasa menusuk.Jeda singkat terasa amat panjang, seakan-akan waktu berhenti berdetak. Vin merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran antara ketegangan dan penasaran Pertemuan ini, akan menentukan segalanya.Ia segera mengakhiri panggilan, menunggu pesan singkat yang menentukan nasib perusahaannya. Bayangan Anggi, dengan segala misterinya, semakin jelas dalam bena
"Sean, daddy tahu apa yang terjadi. Tak perlu kau jelaskan," ujar Vin, suaranya tenang, penuh keyakinan. "Daddy datang untuk membantu. Daddy akan berbicara dengan mereka yang membatalkan kontrak perusahaanmu." Sean tercengang, matanya terpaku pada wajah sang ayah, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tapi, Dadd ...." "Tenanglah, Sean. Semua akan baik-baik saja!" Vin menepuk bahu Sean dengan lembut, senyum hangat terukir di wajahnya. "Daddy akan memastikannya." Tatapan Sean perlahan melembut, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Seolah beban berat di pundaknya sedikit berkurang, digantikan oleh secercah harapan yang terpancar dari mata sang ayah. *** Waktu terus berlalu, setiap detiknya terasa mencekam. Vin, dengan kecepatan dan ketegasan yang luar biasa, membongkar satu per satu permasalahan pelik yang membelit perusahaan Sean. Bayangan kecurigaan mulai menggelayut, apakah ini sekadar rangkaian kesalahan, atau ada tangan jahat yang sengaja menghancurka
"Apakah sudah ada informasi mengenai penyebab pembatalan kontrak ini?" Suara Sean terdengar dingin, tertekan, di seberang telepon. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, mencerminkan kegundahan yang mendalam."Belum ada informasi pasti, Tuan. Namun, kabar buruk datang lagi. Tim HC juga baru saja membatalkan kontraknya."Sean terdiam sejenak, seolah tertusuk duri tajam. Napasnya tersengal, "Apa? Lagi? Ini sudah keterlaluan! Kenapa semua ini terjadi? Saya tidak peduli bagaimana caranya, cari tahu apa yang sedang terjadi di balik semua ini!""Baik, Tuan. Kami akan segera menyelidiki."Panggilan terputus, meninggalkan Sean di tengah badai kekhawatiran. Pria yang dikenal lembut dan tenang itu kini tercabik-cabik oleh amarah dan kekecewaan. Bayangan perusahaan yang terpuruk, mimpi yang runtuh, dan masa depan yang tak menentu menghantuinya. Ia terjebak dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban, dihantui ketakutan akan kehancuran yang tak terhindarkan.Sean mengusap wajahnya kasar, jari-jarinya m
Ada perubahan signifikan pada penampilan Anggi. Jika sebelumnya ia selalu tampil sederhana, kali ini ia terlihat sangat rapi dan elegan, layaknya seorang wanita karir sukses. Rambutnya tertata sempurna, pakaiannya mahal dan berkelas.Perubahan penampilannya itu semakin menambah aura misterius dan berbahaya yang terpancar darinya. Entah apa yang menyebabkan perubahan drastis ini, tetapi satu hal yang pasti, ia tampak lebih dingin dan penuh perhitungan.Setelah mengamati keluarga Sean cukup lama, Anggi meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menghubungi seseorang. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, berbeda jauh dengan raut wajahnya yang penuh amarah.“Jangan menunggu waktu lama,” ucapnya dengan tatapan tajam, “Aku sangat muak melihat mereka. Secepatnya kalian hancurkan perusahaannya.” Nada perintahnya tegas dan lugas, tanpa ruang untuk penolakan.Ancaman tersirat dalam setiap kata-kata yang diucapkannya, menunjukkan niatnya untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga Sean d
Hania menanti kedatangan Sean dengan cemas. Bayangan Anggi, wanita yang telah mengusik ketenangan rumah tangganya, masih menghantuinya. Tatapannya mengikuti setiap langkah Sean begitu ia masuk kamar."Bagaimana, Mas? Kamu sudah bicara dengan Anggi?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.Sean mengangguk mantap, tetapi raut wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa ketegangan. "Sudah, Han. Dia sudah pergi," jawabnya, kata-kata itu diucapkan dengan nada yang lebih berat daripada yang diharapkan Hania. Ada sesuatu yang tersirat di balik kata-kata itu.Hania mendesah lega, rasa syukur memenuhi hatinya. Namun, lega itu tak sepenuhnya menghilangkan rasa was-was. "Alhamdulillah," ucapnya lirih, "akhirnya hubungan kita dijauhkan dari perempuan seperti Anggi, Mas."Sean duduk di samping Hania, tangannya meraih dan menggenggam erat tangan istrinya. Tatapannya intens, mencari kedalaman mata Hania, mencari kepastian dan ketenangan. "Kamu tenang ya," bisiknya, suaranya lembut, tetapi tegas. "Tidak akan a
Tangan Anggi tiba-tiba menggenggam lengan Sean dengan sangat erat, dan matanya yang penuh air mata itu menatap dengan intens. “Jangan ... kalau kamu melangkah lebih jauh ... semua akan berubah,” kata Anggi pelan, dengan suara yang tiba-tiba penuh ancaman."Apa maksudmu? Anggi, lepaskan saya!"***Hania duduk di sofa, memandang kosong ke arah jendela. Matanya yang semula cerah kini terlihat lelah, terjaga hanya karena gelisah yang tak kunjung hilang. Pikirannya berkecamuk. Tidak ada lagi kebahagiaan yang terasa murni sejak Anggi datang ke dalam kehidupan mereka. Setiap sudut rumah yang dulu penuh tawa kini dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Dan Hania merasa itu semua bermula sejak Anggi muncul.Dia bukan hanya menggoyahkan kedamaian rumah tangga mereka, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Anggi bukan lagi sekedar pembantu. Dia sudah menjadi ancaman yang nyata. Bukan hanya bagi Sean, tetapi juga bagi Hania sendiri, yang setiap hari me
Hari itu terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean. Di luar jendela, cuaca tampak cerah, tetapi di dalam rumahnya, perasaan sesak itu masih tetap menggantung. Setiap langkah yang diambilnya menuju ruang tamu seolah membawa beban yang lebih berat. Hania, istrinya tercinta, semakin menjauh darinya, diselimuti oleh keraguan yang tak kunjung padam.Foto itu, meski telah dijelaskan dengan segala upaya, tetap menjadi bayangan gelap yang terus menghantui mereka. Sean tahu, jika dia tidak segera menemukan bukti untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah, semuanya bisa berakhir. Kepercayaan Hania padanya akan hancur, dan hubungan mereka bisa hancur begitu saja. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak setelah segala yang mereka bangun bersama, tidak setelah bayi mereka yang baru lahir, yang masih memerlukan perhatian penuh dari kedua orangtuanya."Sean, aku tahu kamu bisa mengatasinya," suara Arum tiba-tiba terdengar dari belakangnya, mengalihkan perhatian Sean dari pikirannya. Arum berd
"Apa maksudmu, Han?" Sean terkejut dengan pertanyaan sang istri yang seorang menyerang. Dengan mata memerah Hania menunjukan foto tersebut. Dadanya naik turun, ia merasa begitu sakit hati. Sean terbelalak, ia tak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya. Sean menggeleng berulang kali, ekspresi wajahnya menampakan ketidakpercayaan. ***Pagi itu, Hania duduk terpaku di meja makan. Cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui jendela dapur seolah tak mampu menembus ketegangan yang melingkupi udara di rumah mereka. Ponsel Sean yang masih tergeletak di atas meja, dengan foto yang telah mengusik pikirannya, kini menjadi simbol dari segala kebingungannya.Hania menatap foto itu sekali lagi, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Tapi setiap kali matanya beralih pada gambar itu, hatinya terasa semakin hancur. Sean, suaminya yang selama ini ia percayai, terlihat tertidur lelap di samping Anggi. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu? Bagaimana bisa foto seperti itu ada tanpa penjel