Pertemuan bisnis di restoran mewah itu berlangsung dengan lancar. Adrian, perwakilan dari perusahaan properti, menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap proyek yang ditawarkan Sean dan Vin. Mereka membahas detail proposal investasi, mencari titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sean, walaupun terkadang pikirannya masih kacau, berusaha menunjukkan sikap profesional dan bersemangat dalam membahas proyek tersebut. Vin, yang memahami kondisi Sean, membantu menjawab pertanyaan Adrian dan menjelaskan keunggulan proyek yang mereka tawarkan. "Sean, apa pendapatmu tentang strategi pemasaran yang akan kita terapkan untuk proyek ini?" tanya Vin, mencoba menarik perhatian Sean yang merenung. Sean menggeleng pelan, mencoba menarik diri dari lamunannya. "Maaf, Dadd. Aku sedang berusaha fokus pada pembicaraan kita." "Tidak apa-apa, Sean," jawab Vin dengan lembut. "Kita akan melanjutkan pembicaraan nanti. Sekarang, fokuslah pada Adrian," bisik Vin. Sean mencoba menarik nap
Hari demi hari berlalu, menorehkan kisah cinta Hania dan Bian yang semakin berwarna. Setiap pagi, Hania selalu menyiapkan sarapan untuk Bian, lengkap dengan secangkir kopi panas. Hubungan pernikahan itu berjalan sesuai harapan. Sementara di balik kebahagiaan itu, bayangan masa lalu Sean mulai menghantui. Setiap kali Sean terbangun dari tidurnya, ia merasakan kegelisahan yang tak tertahankan. Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik ingatannya. Dalam mimpinya, ia melihat wajah Hania, tetapi dengan tatapan yang penuh kesedihan. Sejak kecelakaan itu membuat ingatannya menghilang, akhir-akhir ini ia merasa ingatannya mulai kembali, tetapi seperti terpecah-pecah, setiap hari ingatan itu mulai tersusun, mengantarkannya pada masa lalu yang samar-samar."Hania!" Pekikan Sean menggema di kamar, mengagetkan dirinya sendiri. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu lagi, mimpi yang selalu menghantuinya. Wanita berhijab dengan tatapan
Hania tercengang, matanya membelalak tak percaya. "Sean–" Mulutnya terasa kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.Seketika, air mata Sean terjatuh, membasahi pipinya. "Jadi benar, Han. Kamu sudah menikah dengan dia?" Suaranya bergetar hebat, dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan.Hania terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu membalas pertanyaan Sean. Hatinya terasa sesak, dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan."Hania ...." Sean mengulang, suaranya serak. Ia mendekat, langkahnya berat, seakan membawa beban dunia. Hania terus menggeleng pelan, tak mampu berkata-kata."Kenapa, Han?" Sean bertanya lagi, suaranya bergetar menahan amarah. "Kenapa kamu harus menikahi dia? Kenapa kamu harus meninggalkan aku, Hania?"Hania terdiam, air matanya mengalir deras. Ia ingin menjelaskan, ingin menceritakan semuanya, tapi kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya."Kenapa kamu mengkhianati janji kita?" Sean menanyakan pertanyaan yang sama, suaranya meninggi. "Kenapa kamu harus menikah dengan
Keesokan harinya. Matahari pagi menyinari kamar Sagara, tetapi senyum ceria yang biasanya menghiasi wajahnya tak terlihat. Kepalanya tertunduk, bibirnya mengerucut, dan air mata mulai menetes. "Bunda, Saga kangen Ayah," rengeknya, suaranya bergetar menahan tangis. "Bunda anter Saga ke rumah Ayah, ya?" Hania, sang bunda, terdiam. Hatinya tersayat melihat putranya merindukan sang ayah. Namun, hatinya sendiri belum sepenuhnya siap bertemu Sean. Bagaimana mungkin ia bisa menemuinya lagi? Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Sagara tentang kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi? "Bunda, Saga mau ketemu Ayah," Sagara kembali merengek, air matanya semakin deras. "Bunda, Saga janji Saga bakal baik-baik aja kalau sama Ayah." Hania tertegun. Janji Sagara, yang polos dan tulus, membuatnya semakin terpuruk dalam dilema. Ia tak ingin menyakiti hati putranya, tetapi ia juga tak ingin kembali membuat Sean terluka dan bersedih. "Sagara, sayang," Hania berusaha menguatkan dirinya. "Kita tung
"Tante, silakan menjauh. Saya akan mencoba membuka pintu ini," ucap Bian, suaranya bergetar sedikit saat ia menatap pintu kayu yang terkunci rapat.Arum melangkah mundur, wajahnya pucat pasi. Ketakutan terpancar jelas di matanya. "Sean...," gumamnya lirih, tangannya gemetar tak menentu.Bian menghela napas dalam-dalam, kemudian mengarahkan kakinya ke arah pintu. Ia menendang dengan sekuat tenaga, namun pintu itu tetap tak bergeming. "Sean, kau di dalam sana? Apakah kau baik-baik saja?" teriak Bian, suaranya bergema di ruangan itu.Sekali lagi Bian mencoba mendobrak pintu, namun tetap tak berhasil. Ia mulai panik. Bian tak menyerah. Ia terus berusaha membuka pintu, hingga akhirnya dengan satu tendangan kuat, pintu itu terbuka dengan suara gemuruh.Bian dan Arum langsung berlari masuk. Mata mereka terbelalak melihat pemandangan di dalam ruangan. Sean terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, berserakan pecahan cermin, dan di tangannya, tergeng
Hari ini Hania berkunjung ke rumah sang bunda. Setelah semua hal waris Hania yang memegang, Heni tak lagi ikut campur, ia beristirahat total menyambut usia senjanya. Hania melangkah memasuki rumah sang bunda, sebuah rumah sederhana yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Heni, sang bunda, duduk di ruang tamu, raut wajahnya tampak menua, tetapi senyumnya masih hangat seperti biasanya."Bagaimana, Han? Semua berjalan lancar?" tanya Heni, suaranya lembut, penuh perhatian."Alhamdulillah, Bun. Semua berjalan lancar, Mas Bian yang membantu urusanku," jawab Hania, senyum tipis menghiasi wajahnya. Heni mengangguk, merasa bahagia karena menilai Hania dapat melakukan tugas dengan baik."Oiya, Han, bagaimana? Apa kamu sudah hamil?" Sebuah pertanyaan yang membuat ekspresi wajah Hania seketika berubah. Rona merah merayap di pipinya, matanya menunduk.Sudah beberapa bulan ia menikah, tapi entahlah mengapa ia tak kunjung hamil? Hania menggeleng, "Belum, Bun. Mungkin Allah belum kasih aku keper
Pintu rumah terbanting keras. Hania terhuyung masuk, tubuhnya lemas. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, kini tumpah tak terbendung. Ia terduduk di lantai ruang tamu, tubuhnya meringkuk seperti anak kucing yang ketakutan.Tangisnya pecah, membahana di ruangan yang sunyi. Bayangan Sean terlintas di benaknya, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Hania teringat ucapan Arum, "Puas kamu melihat Sean seperti ini?" Kata-kata itu menusuk hatinya, menggores luka yang tak kunjung sembuh.Hania terisak, "Sean ... aku tak pernah bermaksud melukaimu ... aku tak pernah ingin melihatmu seperti ini ...."Pernikahannya dengan Bian, yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan, justru menjadi petaka bagi Sean. Sean, yang selalu mencintainya, terpuruk dalam depresi. Hati Hania hancur berkeping-keping. Ia merasa bersalah, merasa bertanggung jawab atas penderitaan Sean."Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, Sean ...." Hania berbisik, suaranya teredam oleh tangisnya. "Aku ingin menolongmu, tapi
Di tengah-tengah perjalanan Bian, laju mobilnya memelan kala suara dering ponsel berdering. Nama Bunda Heni tertera dilayar benda pipih itu. Cepat-cepat Bian menjawabnya. “Assalamu'alaikum, Bun.”“Walaikumsalam, Bian. Bian segera ke rumah sakit ya ajak istrimu.”Bian mengerutkan dahi, rumah sakit? Apa yang terjadi pada ibu mertuanya itu? “Memangnya ada apa ya, Bun? Bunda sakit?”“Oh tidak. Ini tadi bunda tidak sengaja bertemu dokter Tari. Beliau menyampaikan pesan jika ingin menyampaikan sesuatu pada kalian. Nah karena bunda pengen nemenin kalian jadi kalian aja yang ke sini sekarang ya,” jawab Heni. Bian mengerti dan mengangguk. “Baik, Bun. Aku dan Hania akan segera ke sana.” Bian pun memutar balik laju mobilnya, kembali ke rumah untuk menjemput Hania. Ia sejenak melupakan permasalahan akan Sean, ada permasalahan yang lebih penting yang harus ia urus terlebih dulu. Dokter Tari adalah seorang dokter kandungan yang diajak konsultasi oleh Hania dan Bian. Sementara hasil tes belum ke