Di tempat lain. Kembali menceritakan tentang Bian. "Apa? Terancam bangkrut?" Bian mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Bagaimana bisa, Pah?""Ini semua karena ulahmu," jawab Pak Haris, tatapannya tajam."Aku? Kenapa malah menyalahkan aku?" Bian memprotes, suaranya meninggi."Kamu tahu apa yang menyebabkan kita terancam bangkrut? Itu karena Heni menarik semua sahamnya di perusahaan kita," jelas Pak Haris, nada bicaranya datar.Bian terdiam, matanya terbelalak tak percaya. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pah?"Pak Haris melangkah sedikit menjauh, pandangannya tertuju ke depan. "Jika kamu bisa membawa Hania kembali, kemungkinan Heni akan membantu kita lagi."Bian mengerutkan kening, tak mengerti. "Hania lagi? Apa aku harus mencari Hania dan menikahinya lagi?""Hanya itu satu-satunya cara, Bian. Jika kamu tetap mengutamakan egomu, ya sudah, kita bangkrut," tegas Pak Haris.Bian terdiam, pikirannya kacau. Sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Di
"Bu Hania, tadi ada seorang pria yang mencari Ibu," ujar pegawainya dengan sopan setelah Hania kembali ke tempatnya.Hania mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa pria tersebut. "Apakah kamu tahu namanya?" tanyanya."Maaf, Bu, saya tidak bertanya. Beliau hanya menanyakan alamat rumah Ibu, tapi saya tidak memberitahunya," jawab pegawainya.Hania terdiam sejenak, merenungkan kejadian itu. Namun, lamunannya terhenti saat Sean dan Sagara tiba."Bunda—" Sagara memanggil dengan suara yang sedikit bergetar.Hania spontan menoleh, "Bunda, tolong bilang sama Ayah dong, jangan pergi dulu. Saga masih mau sama Ayah," pinta Sagara dengan tatapan penuh harap.Hania dan Sean saling berpandangan, seolah bertanya bagaimana cara menyelesaikan situasi ini."Tapi, Ayah harus pulang, Saga. Ayah besok harus kerja, kasihan Ayah kalau nemenin Saga main terus," jelas Hania dengan nada lembut."Tapi Saga bosan, Bunda. Saga nggak mau main sendiri. Apalagi besok sekolah libur satu minggu, itu lama, Bun," ren
“Sagara, udah dulu ya mainnya, Oma capek, istirahat dulu sebentar,” ucap Arum yang kemudian terduduk dan disusul oleh sang cucu. “Iya, Oma, Saga juga capek,” ucapnya dengan wajah penuh keringat. Arum menyeka keringat itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Cucu, Oma, sampai keringatan begini.”“Ngga papa, Oma, meski capek Sara seneng bisa main sama Oma.”“Oh ya? Kalau begitu kenapa Sagara tidak tinggal di sini saja? Kan biar Sagara bisa main sama Oma terus, sama Ayah, dan sama Opa.”“Tapi, bagaimana sama Bunda, Oma? Bunda kasihan kalau tinggal sendiri.”Wajah Arum seketika berubah kala mendengar ucapan Sagara. “Sagara, Oma kasih tahu ya. Bunda Hania itu tidak pernah menyukai kalau kamu tingga di sini. Jadi mendingan kamu jangan pulang ke rumah bundamu lagi ya. Emang kamu mau tidak bisa main ke sini lagi?”Sagara terdiam, ia memikirkan ucapan sang nenek. “Ngga, Oma, bunda ngga seperti itu. Bunda baik kok. Bunda ngizinin Saga main sama Ayah, Oma, juga Opa.”“Itu sekarang, Saga. Ka
"Sagara, Oma Arum mungkin salah paham. Bunda Hania itu sangat menyayangimu, jangan sedih ya," kata Sean, berusaha meyakinkan Sagara.“Jadi apa yang dibilang Oma itu ngga benar ya, Yah?”Sean menggeleng pelan, kemudian merengkuh tubuh sang anak, membelai punggungnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Tidak, Nak. Bunda Hania sangat menyayangimu kamu, melebihi dirinya sendiri,” ucap laki-laki bertubuh tegap itu dari relung hati yang paling dalam. “Kalau gitu, Saga mau pulang ya, Yah, Saga pengen ketemu Bunda, boleh?” tanya si kecil menatap wajah sang ayah penuh harap. “Boleh, dong. Nanti Ayah antar.”Sagara tersenyum bahagia, seolah beban pikirannya selama ini terleraikan. Kecewa dengan sang ibu, setelah Sagara tenang dan tak lagi bersedih kini Sean pun beranjak mencari keberadaan Arum yang sedang duduk membaca majalah. “Mi, aku mau bicara,” ucapnya. Arum mendongak dan meletakkan majalah di genggamannya. “Ada apa, Sean?”“Apa maksud, Mami? Kenapa Mami pengaruhi Sagara dengan a
Hania menatap Sean, seolah membaca isi hatinya. Dengan lembut, ia meraih tangan Sean dan menggenggamnya erat.“Tenang, Sean. Apa pun yang terjadi, aku hanya ingin bersama kamu,” ucap Hania, tatapannya penuh cinta dan rasa sayang, tak berkedip menatap Sean.Pandangan mereka bertemu, seolah ada arus listrik yang mengalir di antara keduanya. Cinta yang terpendam semakin nyata, mengalir deras di antara mereka.“Mas Bian, memang pernah mengisi hidupku, tapi tidak pernah mengisi rasa cinta di hatiku. Selama menjadi istrinya, aku memang selalu berusaha menjadi istri yang baik, tapi tidak dengan rasa cintanya, semua itu tetap tak aku temukan. Sean, kamu percaya denganku?” tanya Hania, suaranya lembut penuh keyakinan.Sean tak berkedip, seolah tak rela jika pemandangan indah di hadapannya ini terlewat begitu saja. Ia mengangguk, mengungkapkan persetujuannya dengan tatapan yang penuh cinta dan kepercayaan."Aku percaya padamu, Han," jawab Sean, suaranya terdengar mantap. "Aku tahu, kamu sela
Hari demi hari berlalu. Hubungan Hania dan Sean yang semakin dekat bahkan mereka merencanakan sebuah pernikahan. “Apa, menikah? Tidak, mami tidak setuju!”Sean tersentak mendengar ucapan sang ibu, meminta izin menikahi Hania bukan ini harapan jawabannya. "Sean, kenapa kamu memaksa keadaan? Sudah cukup perempuan itu menjadi masa lalumu, mami tidak ikhlas jika kamu sampai menikah dengannya.""Tapi kenapa, Mi? Bukankah Hania itu perempuan yang baik? Aku sangat mencintainya, Mi, aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya."Arum mengernyitkan bibir, matanya berkaca-kaca. "Baik? Itu menurutmu, Sean. Kamu sudah buta dibuatnya. Dia hanya ingin memanfaatkanmu.”Sean terdiam, wajahnya muram. "Mi, Hania bukan wanita seperti itu, Aku tahu dia mencintaiku, dan aku mencintainya.""Cinta? Cinta apa yang kau bicarakan? Dia hanya tertarik pada hartamu, Sean.”"Mi, untuk apa dia memanfaatkan hartaku? Dia sendiri punya keluarga kaya. Dia tidak butuh uangku.""Jangan bodoh, Sean! Dia akan
Sesampainya di rumah sakit, Sean langsung dibawa ke ruang IGD. Hania diizinkan untuk menunggu di ruang tunggu. Ia duduk di kursi, menunggu kabar dari tim medis.Beberapa menit kemudian. "Nona, silakan ikut saya," kata seorang perawat, mendekati Hania. "Dokter ingin berbicara dengan Anda."Hania berdiri, ia mengikuti perawat itu menuju ruang dokter."Silakan duduk, nona," kata dokter, menunjuk kursi di hadapannya. "Saya mengerti Anda pasti sangat khawatir. Tapi, saya harus memberitahu Anda bahwa kondisi pasien cukup serius."Hania terdiam, ekspresi wajahnya begitu cemas, menunggu penjelasan dokter."Pasien mengalami benturan keras di kepala. Ia mengalami gegar otak dan pendarahan di otak. Kami harus melakukan operasi untuk menghentikan pendarahannya."Hania tercengang, menatap dokter dengan mata berkaca-kaca. "Apakah ... apakah Sean akan baik-baik saja?" tanya Hania, suaranya bergetar."Kami akan melakukan yang terbaik, nona. Tapi, kami tidak bisa menjamin hasilnya." Dokter menata
Satu bulan telah berlalu. Hania duduk di samping ranjang rumah sakit, matanya tertuju pada wajah pucat Sean yang terbaring tak berdaya. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahan mereka, hari di mana mereka akan memulai babak baru dalam hidup. Namun, nasib berkata lain. Sean tertidur dalam koma, tak kunjung terbangun."Sean," bisik Hania, suaranya bergetar menahan kesedihan, "Apakah kau ingat hari ini seharusnya kita menikah? Kau tertidur terlalu lama, Sean. Aku merindukanmu."Sebulir air mata jatuh ke tangan Sean, membasahi kulitnya yang dingin. Hania terkesiap saat melihat jari-jari Sean bergerak. Seolah-olah dia merasakan kesedihan Hania, meresponnya dengan gerakan kecil yang tak terduga."Dokter!" Spontan Hania berteriak, hatinya berdebar kencang. "Jari-jarinya bergerak! Apakah ini pertanda baik?"Dokter dengan sigap memeriksa Sean. Setelah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Maaf, Nona Hania, tidak ada perubahan yang signifikan."Perlahan ekspresi wajahnya berubah, Hania terp