Sean menghentikan mobilnya di halaman rumah Heni, ibu Hania. Ia melangkah masuk, hatinya berdebar-debar ingin segera bertemu dengan wanita yang dirindukannya. "Maaf, Tuan, mencari siapa?" tanya seorang ART yang menyambutnya. "Hania," ucap Sean, tatapannya penuh harap. "Apakah dia ada di sini?" "Nona Hania baru saja pergi, Tuan," jawab ART itu. Sean mengerutkan kening, kekecewaan mulai merayap di hatinya. "Pergi ke mana?" tanyanya dengan suara sedikit meninggi. "Saya kurang tahu, Tuan. Apakah saya berbicara dengan Tuan Sean?" tanya ART itu. Sean mengangguk, heran dengan pertanyaan wanita itu. "Nona Hania menitipkan ini untuk Tuan Sean," ucap ART itu, mengulurkan sebuah kertas lipatan di hadapan Sean. Sean segera menerima dan membaca isi kertas tersebut. [Assalamu'alaikum, Sean. Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi. Maaf kalau aku harus membawa Sagara, karena aku tidak mungkin meninggalkannya. Aku berjanji akan menjaganya setulus hati. Sean, terima kasih
Pencarian Sean tak terhenti sampai di situ. Rombongan laki-laki bertubuh tegap dan berseragam serba hitam terus mencari keberadaan Hania. Lima tahun berlalu, meski hingga saat ini Hania belum berhasil ditemukan, tapi tekad Sean tak pernah padam. *** "Hania telah kembali, Tuan." Suara itu menusuk telinga Sean membuatnya tersentak. Dia sedang berjalan menyusuri pusat perbelanjaan yang ramai, aroma parfum dan makanan memenuhi hidungnya. Jas hitamnya yang terkesan elegan kontras dengan wajahnya yang tegang, sorot matanya tajam dan penuh dengan rasa penasaran. "Tetap pantau, jangan sampai kehilangan jejak. Aku akan menemui kalian setelah meeting hari ini selesai," ucap Sean dengan terus melangkah. Dalam hati, Sean bertanya-tanya, apakah Hania benar-benar sudah kembali? Tiba-tiba …. Brukk! Sean bertabrakan dengan seorang anak laki-laki kecil berusia kurang lebih lima tahun. "Aduh," desah anak kecil itu saat tubuhnya tersungkur di lantai marmer yang dingin. Dengan penampilan ber
Keesokan harinya. "Bunda, ini sekolah Saga yang baru?" tanya laki-laki kecil berseragam biru itu, matanya berbinar melihat bangunan sekolah yang baru.“Iya, Saga, mulai sekarang Saga sekolahnya di sini. Inget ya kalau bunda belum jemput Saga jangan keluar dulu dari sekolah. Saga cuma boleh pulang sama bunda, kalau ada orang lain yang ajak Saga pulang, Saga jangan mau, mengerti, Nak?”“Saga ngerti, Bunda.”“Anak hebat, yasudah, sekarang Saga masuk ya, tuh ditunggu bu guru,” ucap Hania memperhatikan wanita yang sudah tersenyum menanti kedatangan Sagara. Dengan bahagia Sagara berlari meninggalkan Hania, pandangan Hania tak berkedip, bibirnya pun tak berhenti tersenyum hingga kini sosok sang anak tak lagi terlihat. Wanita berhijab bersetelan blazer itu segera meninggalkan tempat menuju sebuah butik. Kedatangannya disambut begitu baik, beberapa pekerja butik itu pun menunduk sopan di hadapan Hania. “Selamat pagi, Bu Hania,” sapa salah satunya. Hania mengangguk dan tersenyum lembut, me
Hari demi hari berlalu. Lagi-lagi, takdir mempertemukan Sean dengan Sagara. Kali ini, Sean mendapati anak laki-laki itu menangis, terduduk di sebuah bangku tak jauh dari sekolahnya. Sean terdiam sesaat, lalu menghampiri Sagara. "Kamu tidak apa-apa? Ada yang menyakitimu?" tanyanya lembut. Sagara mendongak, air mata membanjiri wajah. Hati Sean teriris melihatnya. Ia perlahan duduk dan meraih wajah anak itu dengan lembut. "Tenanglah, ceritakan apa yang terjadi?" katanya, mengusap air mata Sagara."Om–" Suara Sagara bergetar, membuat Sean merasakan sesuatu yang aneh. Seakan-akan ia mengenalnya begitu dalam. Namun, ia tak pernah tahu bahwa anak laki-laki kecil di hadapannya ini adalah anak kandungnya."Ceritakan padaku, kenapa kamu menangis?" Perlahan Sagara menceritakan bahwa sekolah akan mengundang para ayah dan ibu untuk datang besok. "Lalu, kenapa kamu bersedih?" tanya Sean."Saga ngga punya ayah, Om," jawabnya lirih. "Saga ngga tahu siapa ayah!? Bunda tidak pernah cerita tentang ay
Keesokan harinya. Seperti janji Sean pada Saga jika ia akan datang ke sekolahnya untuk menghadiri panggilan dari sekolah. Sean terduduk di tempat biasa yang Saga singgahi. Dari kejauhan pandangan Saga langsung tertuju pada Sean, “Bunda, itu Om ganteng, kita ke sana ya,” ajak Saga meraih tangan Hania dan membawanya melangkah mendekati Sean. Belum jauh kakinya melangkah Hania merasa ingin ke toilet. “Saga, maaf bunda mau ke toilet sebentar ya, bunda kebelet,” ucap Hania dengan tubuh sedikit menunduk. “Yaudah, Bun, biar Saga aja yang nemuin Om ganteng, nanti langsung Saga ajak masuk ya,” ucapnya, Hania tersenyum dan mengangguk. Kemudian meninggalkan Sagara. “Om ganteng–” teriak Saga, Sean spontan menoleh. “Saga–” Sagara memeluk tubuh Sean dengan erat, seolah merasa kerinduan yang begitu dalam. Dengan lembut Sean pun menerima pelukannya. “Saga seneng kalau Om ganteng beneran datang, terima kasih ya Om ganteng.” Wajah itu tampak begitu bahagia. Sean tersenyum dan hany
"Mami, apa maksudnya?" tanya Sean dengan tatapan heran. "Bukankah benar, Sean, kita hampir tidak bisa bertemu Sagara lagi. Perempuan ini berniat membawa Sagara pergi." Deg! Jantung Hania seakan mencelos saat kalimat itu terlontar. Sebelum Arum melanjutkan kalimatnya yang semakin tidak enak didengar, Vin lebih dulu meminta asisten rumah tangganya untuk membawa Sagara pergi dari tempat itu."Hania, aku tahu niatmu kembali untuk meminta ganti rugi pada Sean, kan?" ucap Arum dengan nada sinis. "Kamu tidak ikhlas mengurus Sagara selama ini."Hania langsung melebarkan matanya, tidak menyangka jika Arum akan berkata demikian. Bukan hanya Hania, Sean dan Vin pun sama-sama terkejut."Astaghfirullah, Tante. Aku tidak berniat seperti itu."Arum mengernyitkan bibirnya, "Omong kosong.""Sagara itu anakku juga, Tante, aku tidak mungkin memanfaatkan dia.""Lalu, untuk apa kamu kembali jika bukan untuk itu?""Aku kembali memang untuk Sagara, Tante. Dia merindukan kasih sayang seorang ayah. Aku tid
Di tempat lain. Kembali menceritakan tentang Bian. "Apa? Terancam bangkrut?" Bian mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Bagaimana bisa, Pah?""Ini semua karena ulahmu," jawab Pak Haris, tatapannya tajam."Aku? Kenapa malah menyalahkan aku?" Bian memprotes, suaranya meninggi."Kamu tahu apa yang menyebabkan kita terancam bangkrut? Itu karena Heni menarik semua sahamnya di perusahaan kita," jelas Pak Haris, nada bicaranya datar.Bian terdiam, matanya terbelalak tak percaya. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pah?"Pak Haris melangkah sedikit menjauh, pandangannya tertuju ke depan. "Jika kamu bisa membawa Hania kembali, kemungkinan Heni akan membantu kita lagi."Bian mengerutkan kening, tak mengerti. "Hania lagi? Apa aku harus mencari Hania dan menikahinya lagi?""Hanya itu satu-satunya cara, Bian. Jika kamu tetap mengutamakan egomu, ya sudah, kita bangkrut," tegas Pak Haris.Bian terdiam, pikirannya kacau. Sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Di
"Bu Hania, tadi ada seorang pria yang mencari Ibu," ujar pegawainya dengan sopan setelah Hania kembali ke tempatnya.Hania mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa pria tersebut. "Apakah kamu tahu namanya?" tanyanya."Maaf, Bu, saya tidak bertanya. Beliau hanya menanyakan alamat rumah Ibu, tapi saya tidak memberitahunya," jawab pegawainya.Hania terdiam sejenak, merenungkan kejadian itu. Namun, lamunannya terhenti saat Sean dan Sagara tiba."Bunda—" Sagara memanggil dengan suara yang sedikit bergetar.Hania spontan menoleh, "Bunda, tolong bilang sama Ayah dong, jangan pergi dulu. Saga masih mau sama Ayah," pinta Sagara dengan tatapan penuh harap.Hania dan Sean saling berpandangan, seolah bertanya bagaimana cara menyelesaikan situasi ini."Tapi, Ayah harus pulang, Saga. Ayah besok harus kerja, kasihan Ayah kalau nemenin Saga main terus," jelas Hania dengan nada lembut."Tapi Saga bosan, Bunda. Saga nggak mau main sendiri. Apalagi besok sekolah libur satu minggu, itu lama, Bun," ren