“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd
"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan
"Mungkin saja mereka memang sedang berpura-pura. Huh, pintar sekali," gumam Bian, tatapannya tajam dan mengintimidasi."Sudah jelas, Mas. Apalagi perpisahan mereka di masa lalu bukan keinginannya, mereka terpaksa. Sudah pasti perasaan cinta masih ada di antara mereka," sambar Keysa. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Bian beranjak pergi tanpa meninggalkan pesan. Keysa terus memperhatikan kepergian kakaknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.***Di rumah sakit. Heni memasuki ruangan Hania, matanya tertuju pada putrinya yang terbaring di ranjang. "Hania–" sapa Heni lembut.Hania menoleh, wajahnya terpancar kelegaan saat melihat ibunya. "Bunda," jawabnya, dan tak lama kemudian keduanya berpelukan erat."Bagaimana keadaanmu, Nak? Sudah membaik?" tanya Heni, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Alhamdulillah, Bun, Hania merasa jauh lebih baik. Oiya, Bunda sendiri? Mas Bian …?" ucap Hania, tapi kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi wajah ibunya berubah."Tidak tahu, Nak. Bunda
Heni menggeleng pelan. "Saya bukan tipe orang yang mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan, Mas. Jadi tenang saja, saya tidak akan menarik saham saya di perusahaan Anda."Haris tampak lega mendengar jawaban Heni. Seolah terbebas dari beban, jadi ternyata alasan ini yang membuat Haris begitu gigih mempertahankan Hania dan meminta Bian selalu bersikap baik padanya.Beberapa hari berada di ruangan yang sama membuat Hania merasa jenuh. Udara segar tak kunjung masuk, membuat suasana hatinya tak kunjung membaik. Hanya aroma obat-obatan yang terus menerus menusuk indra penciumannya."Huh, aku bosan sekali," keluh Hania sambil duduk di tepi tempat tidur.Hania melangkah dengan hati-hati, tangannya meraih tiang infus yang hendak dibawanya untuk berjalan. Namun, Sean tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Hania hendak berjalan."Han, kamu mau ke mana?" tanya Sean."Sean, aku sangat bosan. Aku ingin mencari udara segar," jawab Hania yang masih terdiam, belum melanjutkan langkahnya."Tunggu seb
Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi kali ini ia tidak sendiri. Di dekapannya, ada bayi mungil yang baru saja diantar oleh seorang suster. Bayi yang menjadi bukti nyata dari sebuah kesalahan, sebuah kekeliruan, tapi juga sebuah keajaiban.Hania mengingat kembali semua yang terjadi. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang menyelimuti dirinya saat mengetahui kehamilannya yang tidak terduga. Namun, saat melihat wajah mungil ini, semua rasa sakit itu sirna.Hania menatap wajah mungil yang tertidur lelap di pelukannya. Bayi laki-laki itu, dengan pipi tembem dan bibir mungil yang sedikit terbuka, tampak begitu damai. Mata Hania berkaca-kaca, air mata bahagia bercampur dengan rasa syukur yang tak terhingga."Kamu kuat, Sayang," bisiknya lembut, jari-jarinya mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih sayang."Kamu adalah hadiah terindah," lanjutnya, "meskipun awalnya kehadiranmu sangat mengejutkan, tapi kamu tetap bagian dari hidupku."Hania mencium kening bayi itu dengan lembut.
"Aku mengerti perasaanmu, Han, dan aku juga mengerti perasaan, Mami. Aku ...." Sean berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Hania, matanya penuh dengan kerinduan dan kelembutan.Hania terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia menunggu jawaban yang akan Sean lontarkan. Apakah Sean akan benar-benar mengambil anaknya?"Aku tidak bisa memaksa Hania, Mi. Bagaimanapun, dia ibunya, dan aku akan menjadi orang yang tidak berperasaan jika memisahkan Hania dari bayinya," ujar Sean. Arum tercengang mendengarnya.Ia tidak menyangka Sean akan berkata demikian. Bagaimana dengan nasibnya? Bukankah semua mimpinya sudah ada di depan mata? Mendapatkan hak waris sepenuhnya setelah ada seorang cucu kandung dalam rumahnya.Akan tetapi, Sean seolah melupakan hal itu dan hanya memikirkan perasaan Hania. Hania, di sisi lain, dapat tersenyum lega. Jawaban Sean membuatnya bahagia."Sean, jangan bersikap aneh. Kamu memiliki anak bukan untuk Hania. Jangan hiraukan perasaannya," kata Arum.Sebelum S
Sean termenung seorang diri, kali ini bukan hanya Hania yang mengganggu pikirannya, tapi juga bayi laki-laki yang ia beri nama Sagara Vincent Smith yang sejak tadi berputar-putar dalam ingatannya. Rasa rindu seolah membuncah hatinya. Di rumah Bian, Sagara menangis tanpa henti, membangunkan Bian yang sedang tidur. Bian mengerjap, terganggu oleh tangisan yang terus bergema.Hania berusaha menenangkan Sagara dengan menggendong dan memberi susu, tetapi tangisannya tak kunjung reda. Seolah-olah Sagara merasakan kerinduan sang ayah."Hania, hentikan tangisan bayimu!"Hania tersentak mendengar teriakan itu. Rasa cemas menggerogoti hatinya."Berisik sekali. Kamu tahu aku sedang istirahat," tambah Bian, kini berdiri di dekat Hania, mengamati Sagara yang digendongnya."Maaf, Mas, tapi aku juga tidak tahu kenapa Sagara menangis terus," jawab Hania."Kamu ini tidak becus menjadi seorang ibu, begitu saja tidak bisa," kata Bian dengan nada tajam.Hania terdiam, hatinya teriris mendengar kata-kata
"Ya, begitulah sikap istrimu, Mas. Dia memanfaatkan bayinya, padahal dia yang ingin bertemu mantan kekasihnya sekaligus selingkuhannya itu," kata Keysa, senyumnya mengejek, matanya memancarkan kebencian.Raut wajah Bian menegang, rahangnya mengeras, seolah tak terima dengan perlakuan Hania."Mas, kenapa kamu ragu? Bukankah kamu mau menceraikan Mbak Hania? Terus kenapa sampai sekarang kamu masih mempertahankan dia? Mas mau dibuat malu terus dengan kelakuannya?" tanya Keysa, suaranya meninggi.Bian terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia terjebak di antara benar dan salah ucapan adiknya."Dulu alasannya karena Papa, dan sekarang setelah Papa melepaskan keputusan itu malah Mas Bian yang ragu. Jangan-jangan Mas Bian mulai jatuh cinta ya sama istri pengkhianat itu?" tambah Keysa, nada bicaranya tajam."Siapa bilang? Aku tidak jatuh cinta. Hanya saja aku merasa ini waktunya belum tepat. Aku belum berhasil membuat Hania menderita," jawab Bian, suaranya terdengar dingin."Halah, Mas, katakan saja
Anggi berdiri tegak, matanya menyiratkan keangkuhan yang menusuk. "Bukankah aku pernah berkata, Sean? Aku tidak akan membiarkanmu bahagia. Dan sekarang, jika kau tidak bahagia, maka aku telah berhasil dalam misiku." Nada bicaranya dingin, seperti es yang menusuk tulang.Sean merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat, ingin sekali menghantam wajah wanita di hadapannya. Namun, ia menahan diri. Ia tahu, seorang wanita bukanlah tandingannya, setidaknya dalam hal fisik."Kau benar-benar licik, Anggi," desis Sean, suaranya bergetar menahan amarah. "Kau rela melihatku menderita demi kepuasanmu sendiri."Anggi terkekeh pelan, suaranya seperti tawa iblis yang mengerikan. "Menderita? Kau terlalu lemah untuk merasakan penderitaan, Sean. Kau hanya perlu sedikit waktu untuk menyadari bahwa kebahagiaan yang kau inginkan tidak akan pernah kau dapatkan."Tatapan mereka bertemu, penuh dengan amarah dan kebencian. Udara di antara mereka terasa panas dan menyesakkan. Sean merasakan amarah men
Beberapa hari berlalu, mencekam dan penuh harap bagi keluarga Sean. Kegelisahan menggerogoti setiap detiknya. Bayangan Anggi Indrajaya, sosok yang selama ini menjadi misteri, menghantuinya. Akhirnya, telepon berdering, memutus lamunan Vin yang kelam. Sebuah suara tenang, tetapi tegas, terdengar dari seberang.“Saya sudah mendapat informasi tentang Anggi Indrajaya, Tuan. Saat ini ia sedang berada di sebuah restoran mewah seorang diri. Suasana di sana cukup sepi, menunjukkan ia sedang menunggu seseorang atau sesuatu. Saya akan kirimkan alamat restorannya. Lebih baik Tuan menemuinya sendiri,” ucap suara itu, nada seriusnya terasa menusuk.Jeda singkat terasa amat panjang, seakan-akan waktu berhenti berdetak. Vin merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran antara ketegangan dan penasaran Pertemuan ini, akan menentukan segalanya.Ia segera mengakhiri panggilan, menunggu pesan singkat yang menentukan nasib perusahaannya. Bayangan Anggi, dengan segala misterinya, semakin jelas dalam bena
"Sean, daddy tahu apa yang terjadi. Tak perlu kau jelaskan," ujar Vin, suaranya tenang, penuh keyakinan. "Daddy datang untuk membantu. Daddy akan berbicara dengan mereka yang membatalkan kontrak perusahaanmu." Sean tercengang, matanya terpaku pada wajah sang ayah, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tapi, Dadd ...." "Tenanglah, Sean. Semua akan baik-baik saja!" Vin menepuk bahu Sean dengan lembut, senyum hangat terukir di wajahnya. "Daddy akan memastikannya." Tatapan Sean perlahan melembut, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Seolah beban berat di pundaknya sedikit berkurang, digantikan oleh secercah harapan yang terpancar dari mata sang ayah. *** Waktu terus berlalu, setiap detiknya terasa mencekam. Vin, dengan kecepatan dan ketegasan yang luar biasa, membongkar satu per satu permasalahan pelik yang membelit perusahaan Sean. Bayangan kecurigaan mulai menggelayut, apakah ini sekadar rangkaian kesalahan, atau ada tangan jahat yang sengaja menghancurka
"Apakah sudah ada informasi mengenai penyebab pembatalan kontrak ini?" Suara Sean terdengar dingin, tertekan, di seberang telepon. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, mencerminkan kegundahan yang mendalam."Belum ada informasi pasti, Tuan. Namun, kabar buruk datang lagi. Tim HC juga baru saja membatalkan kontraknya."Sean terdiam sejenak, seolah tertusuk duri tajam. Napasnya tersengal, "Apa? Lagi? Ini sudah keterlaluan! Kenapa semua ini terjadi? Saya tidak peduli bagaimana caranya, cari tahu apa yang sedang terjadi di balik semua ini!""Baik, Tuan. Kami akan segera menyelidiki."Panggilan terputus, meninggalkan Sean di tengah badai kekhawatiran. Pria yang dikenal lembut dan tenang itu kini tercabik-cabik oleh amarah dan kekecewaan. Bayangan perusahaan yang terpuruk, mimpi yang runtuh, dan masa depan yang tak menentu menghantuinya. Ia terjebak dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban, dihantui ketakutan akan kehancuran yang tak terhindarkan.Sean mengusap wajahnya kasar, jari-jarinya m
Ada perubahan signifikan pada penampilan Anggi. Jika sebelumnya ia selalu tampil sederhana, kali ini ia terlihat sangat rapi dan elegan, layaknya seorang wanita karir sukses. Rambutnya tertata sempurna, pakaiannya mahal dan berkelas.Perubahan penampilannya itu semakin menambah aura misterius dan berbahaya yang terpancar darinya. Entah apa yang menyebabkan perubahan drastis ini, tetapi satu hal yang pasti, ia tampak lebih dingin dan penuh perhitungan.Setelah mengamati keluarga Sean cukup lama, Anggi meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menghubungi seseorang. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, berbeda jauh dengan raut wajahnya yang penuh amarah.“Jangan menunggu waktu lama,” ucapnya dengan tatapan tajam, “Aku sangat muak melihat mereka. Secepatnya kalian hancurkan perusahaannya.” Nada perintahnya tegas dan lugas, tanpa ruang untuk penolakan.Ancaman tersirat dalam setiap kata-kata yang diucapkannya, menunjukkan niatnya untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga Sean d
Hania menanti kedatangan Sean dengan cemas. Bayangan Anggi, wanita yang telah mengusik ketenangan rumah tangganya, masih menghantuinya. Tatapannya mengikuti setiap langkah Sean begitu ia masuk kamar."Bagaimana, Mas? Kamu sudah bicara dengan Anggi?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.Sean mengangguk mantap, tetapi raut wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa ketegangan. "Sudah, Han. Dia sudah pergi," jawabnya, kata-kata itu diucapkan dengan nada yang lebih berat daripada yang diharapkan Hania. Ada sesuatu yang tersirat di balik kata-kata itu.Hania mendesah lega, rasa syukur memenuhi hatinya. Namun, lega itu tak sepenuhnya menghilangkan rasa was-was. "Alhamdulillah," ucapnya lirih, "akhirnya hubungan kita dijauhkan dari perempuan seperti Anggi, Mas."Sean duduk di samping Hania, tangannya meraih dan menggenggam erat tangan istrinya. Tatapannya intens, mencari kedalaman mata Hania, mencari kepastian dan ketenangan. "Kamu tenang ya," bisiknya, suaranya lembut, tetapi tegas. "Tidak akan a
Tangan Anggi tiba-tiba menggenggam lengan Sean dengan sangat erat, dan matanya yang penuh air mata itu menatap dengan intens. “Jangan ... kalau kamu melangkah lebih jauh ... semua akan berubah,” kata Anggi pelan, dengan suara yang tiba-tiba penuh ancaman."Apa maksudmu? Anggi, lepaskan saya!"***Hania duduk di sofa, memandang kosong ke arah jendela. Matanya yang semula cerah kini terlihat lelah, terjaga hanya karena gelisah yang tak kunjung hilang. Pikirannya berkecamuk. Tidak ada lagi kebahagiaan yang terasa murni sejak Anggi datang ke dalam kehidupan mereka. Setiap sudut rumah yang dulu penuh tawa kini dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Dan Hania merasa itu semua bermula sejak Anggi muncul.Dia bukan hanya menggoyahkan kedamaian rumah tangga mereka, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Anggi bukan lagi sekedar pembantu. Dia sudah menjadi ancaman yang nyata. Bukan hanya bagi Sean, tetapi juga bagi Hania sendiri, yang setiap hari me
Hari itu terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean. Di luar jendela, cuaca tampak cerah, tetapi di dalam rumahnya, perasaan sesak itu masih tetap menggantung. Setiap langkah yang diambilnya menuju ruang tamu seolah membawa beban yang lebih berat. Hania, istrinya tercinta, semakin menjauh darinya, diselimuti oleh keraguan yang tak kunjung padam.Foto itu, meski telah dijelaskan dengan segala upaya, tetap menjadi bayangan gelap yang terus menghantui mereka. Sean tahu, jika dia tidak segera menemukan bukti untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah, semuanya bisa berakhir. Kepercayaan Hania padanya akan hancur, dan hubungan mereka bisa hancur begitu saja. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak setelah segala yang mereka bangun bersama, tidak setelah bayi mereka yang baru lahir, yang masih memerlukan perhatian penuh dari kedua orangtuanya."Sean, aku tahu kamu bisa mengatasinya," suara Arum tiba-tiba terdengar dari belakangnya, mengalihkan perhatian Sean dari pikirannya. Arum berd
"Apa maksudmu, Han?" Sean terkejut dengan pertanyaan sang istri yang seorang menyerang. Dengan mata memerah Hania menunjukan foto tersebut. Dadanya naik turun, ia merasa begitu sakit hati. Sean terbelalak, ia tak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya. Sean menggeleng berulang kali, ekspresi wajahnya menampakan ketidakpercayaan. ***Pagi itu, Hania duduk terpaku di meja makan. Cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui jendela dapur seolah tak mampu menembus ketegangan yang melingkupi udara di rumah mereka. Ponsel Sean yang masih tergeletak di atas meja, dengan foto yang telah mengusik pikirannya, kini menjadi simbol dari segala kebingungannya.Hania menatap foto itu sekali lagi, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Tapi setiap kali matanya beralih pada gambar itu, hatinya terasa semakin hancur. Sean, suaminya yang selama ini ia percayai, terlihat tertidur lelap di samping Anggi. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu? Bagaimana bisa foto seperti itu ada tanpa penjel