"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan
"Mungkin saja mereka memang sedang berpura-pura. Huh, pintar sekali," gumam Bian, tatapannya tajam dan mengintimidasi."Sudah jelas, Mas. Apalagi perpisahan mereka di masa lalu bukan keinginannya, mereka terpaksa. Sudah pasti perasaan cinta masih ada di antara mereka," sambar Keysa. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Bian beranjak pergi tanpa meninggalkan pesan. Keysa terus memperhatikan kepergian kakaknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.***Di rumah sakit. Heni memasuki ruangan Hania, matanya tertuju pada putrinya yang terbaring di ranjang. "Hania–" sapa Heni lembut.Hania menoleh, wajahnya terpancar kelegaan saat melihat ibunya. "Bunda," jawabnya, dan tak lama kemudian keduanya berpelukan erat."Bagaimana keadaanmu, Nak? Sudah membaik?" tanya Heni, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Alhamdulillah, Bun, Hania merasa jauh lebih baik. Oiya, Bunda sendiri? Mas Bian …?" ucap Hania, tapi kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi wajah ibunya berubah."Tidak tahu, Nak. Bunda
Heni menggeleng pelan. "Saya bukan tipe orang yang mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan, Mas. Jadi tenang saja, saya tidak akan menarik saham saya di perusahaan Anda."Haris tampak lega mendengar jawaban Heni. Seolah terbebas dari beban, jadi ternyata alasan ini yang membuat Haris begitu gigih mempertahankan Hania dan meminta Bian selalu bersikap baik padanya.Beberapa hari berada di ruangan yang sama membuat Hania merasa jenuh. Udara segar tak kunjung masuk, membuat suasana hatinya tak kunjung membaik. Hanya aroma obat-obatan yang terus menerus menusuk indra penciumannya."Huh, aku bosan sekali," keluh Hania sambil duduk di tepi tempat tidur.Hania melangkah dengan hati-hati, tangannya meraih tiang infus yang hendak dibawanya untuk berjalan. Namun, Sean tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Hania hendak berjalan."Han, kamu mau ke mana?" tanya Sean."Sean, aku sangat bosan. Aku ingin mencari udara segar," jawab Hania yang masih terdiam, belum melanjutkan langkahnya."Tunggu seb
Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi kali ini ia tidak sendiri. Di dekapannya, ada bayi mungil yang baru saja diantar oleh seorang suster. Bayi yang menjadi bukti nyata dari sebuah kesalahan, sebuah kekeliruan, tapi juga sebuah keajaiban.Hania mengingat kembali semua yang terjadi. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang menyelimuti dirinya saat mengetahui kehamilannya yang tidak terduga. Namun, saat melihat wajah mungil ini, semua rasa sakit itu sirna.Hania menatap wajah mungil yang tertidur lelap di pelukannya. Bayi laki-laki itu, dengan pipi tembem dan bibir mungil yang sedikit terbuka, tampak begitu damai. Mata Hania berkaca-kaca, air mata bahagia bercampur dengan rasa syukur yang tak terhingga."Kamu kuat, Sayang," bisiknya lembut, jari-jarinya mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih sayang."Kamu adalah hadiah terindah," lanjutnya, "meskipun awalnya kehadiranmu sangat mengejutkan, tapi kamu tetap bagian dari hidupku."Hania mencium kening bayi itu dengan lembut.
"Aku mengerti perasaanmu, Han, dan aku juga mengerti perasaan, Mami. Aku ...." Sean berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Hania, matanya penuh dengan kerinduan dan kelembutan.Hania terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia menunggu jawaban yang akan Sean lontarkan. Apakah Sean akan benar-benar mengambil anaknya?"Aku tidak bisa memaksa Hania, Mi. Bagaimanapun, dia ibunya, dan aku akan menjadi orang yang tidak berperasaan jika memisahkan Hania dari bayinya," ujar Sean. Arum tercengang mendengarnya.Ia tidak menyangka Sean akan berkata demikian. Bagaimana dengan nasibnya? Bukankah semua mimpinya sudah ada di depan mata? Mendapatkan hak waris sepenuhnya setelah ada seorang cucu kandung dalam rumahnya.Akan tetapi, Sean seolah melupakan hal itu dan hanya memikirkan perasaan Hania. Hania, di sisi lain, dapat tersenyum lega. Jawaban Sean membuatnya bahagia."Sean, jangan bersikap aneh. Kamu memiliki anak bukan untuk Hania. Jangan hiraukan perasaannya," kata Arum.Sebelum S
Sean termenung seorang diri, kali ini bukan hanya Hania yang mengganggu pikirannya, tapi juga bayi laki-laki yang ia beri nama Sagara Vincent Smith yang sejak tadi berputar-putar dalam ingatannya. Rasa rindu seolah membuncah hatinya. Di rumah Bian, Sagara menangis tanpa henti, membangunkan Bian yang sedang tidur. Bian mengerjap, terganggu oleh tangisan yang terus bergema.Hania berusaha menenangkan Sagara dengan menggendong dan memberi susu, tetapi tangisannya tak kunjung reda. Seolah-olah Sagara merasakan kerinduan sang ayah."Hania, hentikan tangisan bayimu!"Hania tersentak mendengar teriakan itu. Rasa cemas menggerogoti hatinya."Berisik sekali. Kamu tahu aku sedang istirahat," tambah Bian, kini berdiri di dekat Hania, mengamati Sagara yang digendongnya."Maaf, Mas, tapi aku juga tidak tahu kenapa Sagara menangis terus," jawab Hania."Kamu ini tidak becus menjadi seorang ibu, begitu saja tidak bisa," kata Bian dengan nada tajam.Hania terdiam, hatinya teriris mendengar kata-kata
"Ya, begitulah sikap istrimu, Mas. Dia memanfaatkan bayinya, padahal dia yang ingin bertemu mantan kekasihnya sekaligus selingkuhannya itu," kata Keysa, senyumnya mengejek, matanya memancarkan kebencian.Raut wajah Bian menegang, rahangnya mengeras, seolah tak terima dengan perlakuan Hania."Mas, kenapa kamu ragu? Bukankah kamu mau menceraikan Mbak Hania? Terus kenapa sampai sekarang kamu masih mempertahankan dia? Mas mau dibuat malu terus dengan kelakuannya?" tanya Keysa, suaranya meninggi.Bian terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia terjebak di antara benar dan salah ucapan adiknya."Dulu alasannya karena Papa, dan sekarang setelah Papa melepaskan keputusan itu malah Mas Bian yang ragu. Jangan-jangan Mas Bian mulai jatuh cinta ya sama istri pengkhianat itu?" tambah Keysa, nada bicaranya tajam."Siapa bilang? Aku tidak jatuh cinta. Hanya saja aku merasa ini waktunya belum tepat. Aku belum berhasil membuat Hania menderita," jawab Bian, suaranya terdengar dingin."Halah, Mas, katakan saja
Bian terdiam, matanya tertuju pada satu titik. Keysa mengamati dengan senyum tipis. Dalam hati, ia berkata, "Aku tak bisa hanya menunggu. Mengharapkan Mas Bian akan membutuhkan waktu terlalu lama."Tatapan Keysa seolah memancarkan kepuasan melihat Hania dan Bian berselisih paham. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang."Rencanamu berhasil. Mbak Hania yakin Mas Bian berselingkuh," ucap Keysa. "Tenang saja, cepat atau lambat Mas Bian akan menjadi milikmu. Aku mendukungmu."Suara tawa bahagia terdengar dari seberang. Tawa nyaring seorang wanita membuat Keysa ikut tersenyum.***Di tempat lain, Vin, Sean, dan Arum tengah menikmati makan malam. Suasana makan malam kali ini diwarnai pertanyaan-pertanyaan dari Vin."Jadi, Hania adalah wanita yang kau bayar untuk menerima bayi tabungmu?" tanya Vin, suaranya serius. Sean menghentikan aktivitas mengunyahnya, pandangannya tertuju pada sang ayah."Bukan, Dad," jawab Sean singkat.Vin mengerutkan kening. "Bukan? Lalu, kenapa Hania yang meng