"Kenapa semua orang masih saja menyalahkanku?" gumam Hania lirih, air matanya mengalir deras."Karena kamu memang salah!" bentak Bian, amarah membara di matanya. "Jangan mengira kami menyalahkanmu tanpa alasan."Hania tersentak. Wajah Bian dipenuhi amarah yang mengerikan. Ia menggelengkan kepala cepat-cepat, seakan meyakinkan Bian jika ia tak bersalah. Namun, lagi-lagi Hania tak dapat berkutik. Ia hanya bisa diam, terjebak dalam ketakutan yang membeku. Seberapa besar pun ia membela diri, rasanya percuma, Bian tak akan pernah mempercayainya.***Sementara itu, Sean berjalan cepat melalui lorong rumah sakit, aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya kini terasa, ia hendak bertemu Indra, salah satu dokter dan sahabatnya di rumah sakit ini. Setelah beberapa bulan berlalu, kali ini Sean datang kembali. Tanpa mengetuk pintu ia masuk, membuat Indra seketika mengalihkan pandangannya."Sean–""Apa kamu tahu, karena kesalahan rumah sakit ini, Hania menderita," ucap Sean tanpa berbasa-basi. Ind
Kembali satu pertanyaan terlontar dari bibir bunda Heni. Membuat Hania lagi-lagi bingung hendak menjawab apa. “Hem, Bunda, maaf sepertinya Hania mau tidur, ngantuk banget. Sampai besok ya, Bun, assalamu'alaikum.”Hania mengakhiri panggilan sepihak, Heni yang terkejut dengan terputusnya panggilan itu. Mengapa Hania menutupi hal ini pada sang bunda? Apakah ini salah satu permintaan Haris, sang ayah mertua? “Maafin, Hania, Bun. Sepertinya waktunya belum tepat buat Bunda tahu bagaimana sikap Mas Bian selama ini. Aku tidak mau Bunda khawatir dan malah buat Bunda jadi sakit,” batin Hania, merenung. ***Keesokan harinya, cahaya mentari pagi menyinari meja di sudut restoran, tempat Hania sudah duduk menunggu. Hania menggenggam segelas jus jeruk, matanya sesekali melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Perutnya yang membuncit terbungkus gaun katun berwarna biru muda, membuatnya tampak semakin cantik.Tak lama kemudian, Sean datang. Terduduk tepat di hadapan Hania, ia berkata, "Maaf, a
"Kenapa Papa selalu membela Hania? Aku anakmu, Papa! Kenapa kau lebih mempercayai dia daripada aku?" Bian menggeram, suaranya bergetar menahan amarah. Ia berjalan cepat menuju dapur, tangannya mengepal erat.Hendak mengambil air minum untuk menyiram hatinya yang terasa panas. “Padahal sudah jelas-jelas Hania berselingkuh! Tapi Papa tetap membelanya. Tanpa memikirkan perasaanku sama sekali!" Bian mencengkeram gelas berisi air, matanya melotot tajam. Air itu tercurah ke lantai, tak terurus.Hania yang mendengar perkataan Bian, perlahan mendekat. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah. "Mas, aku mohon, jangan menuduhku seperti itu. Aku hamil karena kesalahan bayi tabung, bukan karena aku berselingkuh.”Seketika Bian menoleh, memperhatikan Hania yang berada di dekatnya. Tatapannya dingin menusuk dan rahangnya mengeras. "Kesalahan bayi tabung? Omong kosong! Jangan coba-coba mengelabui aku!" Bian berteriak, suaranya bergetar dengan amarah. Hania terhuyung mundur, wajahnya puca
“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd
"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan
"Mungkin saja mereka memang sedang berpura-pura. Huh, pintar sekali," gumam Bian, tatapannya tajam dan mengintimidasi."Sudah jelas, Mas. Apalagi perpisahan mereka di masa lalu bukan keinginannya, mereka terpaksa. Sudah pasti perasaan cinta masih ada di antara mereka," sambar Keysa. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Bian beranjak pergi tanpa meninggalkan pesan. Keysa terus memperhatikan kepergian kakaknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.***Di rumah sakit. Heni memasuki ruangan Hania, matanya tertuju pada putrinya yang terbaring di ranjang. "Hania–" sapa Heni lembut.Hania menoleh, wajahnya terpancar kelegaan saat melihat ibunya. "Bunda," jawabnya, dan tak lama kemudian keduanya berpelukan erat."Bagaimana keadaanmu, Nak? Sudah membaik?" tanya Heni, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Alhamdulillah, Bun, Hania merasa jauh lebih baik. Oiya, Bunda sendiri? Mas Bian …?" ucap Hania, tapi kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi wajah ibunya berubah."Tidak tahu, Nak. Bunda
Heni menggeleng pelan. "Saya bukan tipe orang yang mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan, Mas. Jadi tenang saja, saya tidak akan menarik saham saya di perusahaan Anda."Haris tampak lega mendengar jawaban Heni. Seolah terbebas dari beban, jadi ternyata alasan ini yang membuat Haris begitu gigih mempertahankan Hania dan meminta Bian selalu bersikap baik padanya.Beberapa hari berada di ruangan yang sama membuat Hania merasa jenuh. Udara segar tak kunjung masuk, membuat suasana hatinya tak kunjung membaik. Hanya aroma obat-obatan yang terus menerus menusuk indra penciumannya."Huh, aku bosan sekali," keluh Hania sambil duduk di tepi tempat tidur.Hania melangkah dengan hati-hati, tangannya meraih tiang infus yang hendak dibawanya untuk berjalan. Namun, Sean tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Hania hendak berjalan."Han, kamu mau ke mana?" tanya Sean."Sean, aku sangat bosan. Aku ingin mencari udara segar," jawab Hania yang masih terdiam, belum melanjutkan langkahnya."Tunggu seb
Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi kali ini ia tidak sendiri. Di dekapannya, ada bayi mungil yang baru saja diantar oleh seorang suster. Bayi yang menjadi bukti nyata dari sebuah kesalahan, sebuah kekeliruan, tapi juga sebuah keajaiban.Hania mengingat kembali semua yang terjadi. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang menyelimuti dirinya saat mengetahui kehamilannya yang tidak terduga. Namun, saat melihat wajah mungil ini, semua rasa sakit itu sirna.Hania menatap wajah mungil yang tertidur lelap di pelukannya. Bayi laki-laki itu, dengan pipi tembem dan bibir mungil yang sedikit terbuka, tampak begitu damai. Mata Hania berkaca-kaca, air mata bahagia bercampur dengan rasa syukur yang tak terhingga."Kamu kuat, Sayang," bisiknya lembut, jari-jarinya mengelus pipi bayi itu dengan penuh kasih sayang."Kamu adalah hadiah terindah," lanjutnya, "meskipun awalnya kehadiranmu sangat mengejutkan, tapi kamu tetap bagian dari hidupku."Hania mencium kening bayi itu dengan lembut.