Di rumah Sean, suasana makan malam terasa mencekam.
“Jadi bagaimana, Sean? Apa kamu bisa mengabulkan persyaratan itu? Kamu tahu sendiri kalau kamu tidak bisa memberikan cucu kandung dalam keluarga ini, maka hak waris belum seutuhnya menjadi milikmu.” Suara Ibu Sean terdengar dingin, menusuk telinganya. Sean terdiam, sendok makannya terhenti di tengah jalan menuju mulutnya. “Waktumu tidak banyak lagi, Sean. Hanya tersisa beberapa bulan ke depan,” tambah wanita tua berkacamata itu, suaranya sarat dengan ancaman terselubung. Sean menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah piringnya. “Mami tenang saja, tidak lama lagi persyaratan itu akan terpenuhi,” jawab Sean, suaranya terdengar datar, penuh tekad. Ibu Sean mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Lusa, aku akan pertemukan Mami dengan wanita yang mengandung anak kandungku,” tambah Sean, suaranya terdengar yakin. Ibu Sean tercengang. “Anak kandung? Bagaimana bisa, Sean, kamu kan belum menikah?” Sean tersenyum tipis, “Mi, bukankah dalam persyaratan itu hanya menginginkan anak kandungku saja? Bukan pernikahanku! Jadi sepertinya Mami tidak perlu mempertanyakan perkara itu.” Ibu Sean terdiam, matanya terpaku pada wajah Sean, mencoba memahami maksud di balik ucapan putranya. Ibu Sean masih terdiam, pikirannya berputar-putar. Bagaimana mungkin Sean bisa memiliki anak kandung tanpa menikah? Apakah dia sudah menjalin hubungan terlarang? Atau mungkin ... dia telah melakukan sesuatu yang lebih buruk? "Sean, apa yang sedang kamu lakukan? Jangan membohongi Mami!" Ibu Sean akhirnya bersuara, suaranya bergetar. Sean tersenyum tipis, "Mami tidak perlu khawatir. Semua ini sudah direncanakan. Aku hanya ingin memastikan hak waris dapat seutuhnya menjadi milikku." "Tapi bagaimana dengan wanita itu? Apa dia tahu tentang semua ini?" tanya Ibu Sean, matanya masih tajam menatap Sean. "Tentu saja! Dia tahu jika benih yang dikandungnya adalah milikku,” jawab Sean pasti. Ibu Sean menggeleng heran. *** Lusa. Hania, Bian, Haris, dan Keysa tiba di rumah megah berarsitektur klasik milik Bunda Heni. Udara dipenuhi aroma masakan dan suara tawa para tamu yang memenuhi ruangan. Hania tersenyum bahagia, matanya berbinar melihat sang bunda yang tengah berbincang dengan beberapa koleganya. "Assalamu'alaikum, Bunda," sapa Hania, suaranya lembut. Bunda Heni langsung menoleh, senyumnya merekah saat melihat Hania. "Hania ...," serunya, kemudian berlari kecil menghampiri Hania dan memeluknya erat. "Bunda, aku kangen. Bunda apa kabar?" ucap Hania dalam pelukan Bunda Heni. "Bunda juga kangen. Alhamdulillah, Bunda baik, Nak,” jawab Bunda Heni, melepas dekapannya. "Kamu sendiri sehat, kan? Bagaimana dengan kehamilan kamu, Nak, baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh perhatian. Bian, Haris, dan Keysa mendengarkan dengan saksama. "Alhamdulillah, Bun, Hania sehat, kok. Kandungan Hania juga baik," jawab Hania lembut sambil tersenyum manis. Bunda dan Hania mempersilahkan masuk. Haris, yang dengan cepat memutar tubuhnya, menatap wajah Bian dan Keysa dengan seksama. "Kalian harus ingat, jangan bertindak aneh di sini. Lupakan sejenak kebencian kalian pada Hania. Papa tidak mau bundanya Hania tahu bagaimana perlakuan kalian pada anaknya, paham?" bisik Haris dengan suara rendah, mendekatkan wajahnya ke Bian dan Keysa. "Tapi, Pah?" tanya Bian, suaranya terdengar kesal. "Sudahlah, Bian, ini demi kebaikan kita semua," jawab Haris, matanya menatap tajam ke arah Bian. Rahasia apa yang tersembunyi di balik sikap Haris? Mengapa ia begitu mencemaskan Hania dan keluarganya? Di tengah hiruk pikuk acara syukuran, Bian justru merasa terkurung dalam kejenuhan. Ia melepaskan diri dari keramaian, mencari tempat tersendiri untuk melepaskan beban pikirannya. Segelas jus yang telah disiapkan menjadi teman sepi dalam kesunyiannya. Pikirannya melayang entah ke mana, tapi tiba-tiba terhenti oleh sebuah pemandangan yang tak asing. Di antara para undangan, Bian melihat seorang laki-laki tampan dengan penampilan yang rapi. Sosok yang sangat ia kenal, Sean. Seketika Bian beranjak dari duduknya. Matanya melebar, tak percaya dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Sean, pria yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam pikirannya, kini hadir di depan matanya. "Jadi laki-laki itu juga ada di sini?" gumam Bian, suaranya berbisik penuh dengan ketidaksukaan. Pandangannya tertuju pada Sean, penuh dengan amarah yang terpendam. Merasa sedang diperhatikan, Sean perlahan memutar kepalanya. Di sana, ia dapati Bian, yang menatapnya tak berkedip. Laki-laki bertubuh tinggi itu mengangkat sebelah alisnya, seakan bertanya, "Ada apa?". Seolah merasakan getaran yang sama, keduanya pun bergerak mendekat. Tatapan mereka bertemu, tajam dan penuh keheranan. "Aku pikir menantu Bu Heni tidak akan datang ke acara ini, tapi ternyata aku salah," ucap Sean, suaranya terdengar dingin, melewati Bian yang kini berdiri di sampingnya. "Bukankah aku ini menantu kesayangannya? Jadi tidak mungkin jika aku tidak diminta datang," jawab Bian, suaranya terdengar dingin dan penuh penekanan. Sean perlahan memutar tubuhnya, memperhatikan wajah Bian dengan senyum smirk yang mengejek. "Sayang sekali Bu Heni memiliki menantu yang salah. Percuma dia menyayangi menantunya, jika menantunya saja tidak menyayangi anaknya," celetuk Sean, membuat Bian melebarkan mata. "Kau tidak berhak bicara seperti itu!" bentak Bian, tangannya mengepal erat. "Kenapa? Kau takut aku akan mengungkap semua aibmu?" tanya Sean, suaranya terdengar mengejek. "Kau tidak akan bisa menutupi ini selamanya, Bian." Kata-kata Sean menusuk hati Bian, seperti pisau tajam yang merobek luka lama. Rasa kesal dan amarah berkecamuk dalam dirinya, membuat Bian ingin menerjang Sean dan menghukumnya atas semua perkataan itu. Emosi Bian memuncak. Tangannya terangkat, siap melayangkan pukulan ke arah Sean. Namun, Sean tak bergeming. Ia malah memasang badan, seolah menantang Bian untuk melancarkan serangan. Melihat keberanian Sean, niat Bian terurung. Dengan kesal, ia menurunkan tangannya kembali. "Kenapa tidak jadi memukulku? Ayo, lakukan kalau kamu mau namamu tercoreng di sini," ucap Sean, suaranya terdengar mengejek, membuat Bian tak dapat berkutik. Keduanya terpaku dalam tatapan penuh kebencian, seakan saling menerkam dengan amarah yang terpendam. Namun, sebuah suara tiba-tiba memutuskan tatapan itu, "Jadi kalian saling kenal?" Bian dan Sean seketika menoleh, mendapati Bunda Heni berdiri di dekat mereka. Kehadirannya membuat suasana tegang menjadi lebih rumit. "Hem, ya, kami saling mengenal, Tante," jawab Sean, senyumnya terasa hambar, tak sedap. "I-iya, Bunda, kami berteman," tambah Bian, berusaha menutupi keadaan yang sebenarnya. Buruknya keadaan yang sedang terjadi, Bunda Heni tak pernah mengerti. Ia tak menyadari bahwa di balik pernikahan Hania, tersimpan banyak rahasia dan konflik yang tak terungkap. Ia hanya melihat kebahagiaan di wajah Hania dan semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba, lampu padam. Ruangan seketika gelap gulita, hening tanpa suara. Namun, di tengah kegelapan itu, Sean bergerak cepat. Ia berlari mencari Hania dan mendekapnya erat. Sean tahu betul Hania sangat takut dengan kegelapan. Merasa ada seseorang yang memeluknya, Hania merasa sedikit tenang. Ia mengira orang itu adalah Bian, suaminya. "Mas Bian," ucap Hania lirih, menggenggam tangan yang memeluknya. "Ini aku," jawab Sean, suaranya terdengar lembut di telinga Hania. Hania terkejut, ia langsung melepaskan genggaman tangannya. "Sean ...." "Tenang, Hania, jangan takut. Ada aku di sini," bisik Sean, suaranya menenangkan Hania di tengah gelapnya ruangan. Hati Hania berdebar kencang. Ia merasa aneh dengan situasi ini. Mengingatkannya dengan masa lalu yang sepertinya belum usai hingga saat ini. Hania yang masih terdiam nyaman dalam pelukan hangat itu, hingga membuat keduanya tak sadar jika tiba-tiba lampu telah menyala, keduanya masih dalam posisi yang sama, berdekapan erat hingga membuat semua yang melihat sontak terkejut. “Hania.” Terdengar panggilan itu yang membuat Hania perlahan membuka matanya, wanita hamil itu seketika terbelalak kala melihat sang bunda terlihat jelas di hadapannya. “B-Bunda ….” Heni terdiam sejenak, matanya terbelalak tak percaya. Haris dan Bian saling bertukar pandang, raut wajah mereka penuh tanda tanya, dan Keysa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sontak Sean melepas dekapannya dan seketika menjauh. “Maaf.” Heni menghela napas panjang, tatapannya beralih dari Hania ke Sean, lalu kembali ke Hania. "Kalian berdua … apa yang terjadi?" suaranya terdengar berat, menuntut penjelasan. Hania masih terpaku, terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa. BERSAMBUNG.Hania masih terpaku, tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi Hania perempuan yang sedang mengandung anakmu, Sean?”Ucapan itu terdengar seperti suara petir, keras dan mengejutkan. Semua yang mendengar seketika menoleh, memperhatikan sumber suara.Seorang wanita tua berkacamata berdiri di sana, matanya tertuju pada kerumunan di hadapannya. Bukan seseorang yang asing, tapi seseorang yang cukup dikenal Bunda Heni.“Arum,” gumam Bunda Heni terkejut. “apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu?”Arum berjalan mendekat, matanya menyipit, heran karena Heni tidak mengetahui apa yang terjadi. Sean juga terkejut dengan kedatangan sang ibu, terutama karena ia membicarakan kebenaran di hadapan Bunda Heni.“Jadi kamu tidak tahu yang sebenarnya?” tanya Arum, suaranya dingin.Heni mengerutka
"Kenapa semua orang masih saja menyalahkanku?" gumam Hania lirih, air matanya mengalir deras."Karena kamu memang salah!" bentak Bian, amarah membara di matanya. "Jangan mengira kami menyalahkanmu tanpa alasan."Hania tersentak. Wajah Bian dipenuhi amarah yang mengerikan. Ia menggelengkan kepala cepat-cepat, seakan meyakinkan Bian jika ia tak bersalah. Namun, lagi-lagi Hania tak dapat berkutik. Ia hanya bisa diam, terjebak dalam ketakutan yang membeku. Seberapa besar pun ia membela diri, rasanya percuma, Bian tak akan pernah mempercayainya.***Sementara itu, Sean berjalan cepat melalui lorong rumah sakit, aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya kini terasa, ia hendak bertemu Indra, salah satu dokter dan sahabatnya di rumah sakit ini. Setelah beberapa bulan berlalu, kali ini Sean datang kembali. Tanpa mengetuk pintu ia masuk, membuat Indra seketika mengalihkan pandangannya."Sean–""Apa kamu tahu, karena kesalahan rumah sakit ini, Hania menderita," ucap Sean tanpa berbasa-basi. Ind
Kembali satu pertanyaan terlontar dari bibir bunda Heni. Membuat Hania lagi-lagi bingung hendak menjawab apa. “Hem, Bunda, maaf sepertinya Hania mau tidur, ngantuk banget. Sampai besok ya, Bun, assalamu'alaikum.”Hania mengakhiri panggilan sepihak, Heni yang terkejut dengan terputusnya panggilan itu. Mengapa Hania menutupi hal ini pada sang bunda? Apakah ini salah satu permintaan Haris, sang ayah mertua? “Maafin, Hania, Bun. Sepertinya waktunya belum tepat buat Bunda tahu bagaimana sikap Mas Bian selama ini. Aku tidak mau Bunda khawatir dan malah buat Bunda jadi sakit,” batin Hania, merenung. ***Keesokan harinya, cahaya mentari pagi menyinari meja di sudut restoran, tempat Hania sudah duduk menunggu. Hania menggenggam segelas jus jeruk, matanya sesekali melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Perutnya yang membuncit terbungkus gaun katun berwarna biru muda, membuatnya tampak semakin cantik.Tak lama kemudian, Sean datang. Terduduk tepat di hadapan Hania, ia berkata, "Maaf, a
"Kenapa Papa selalu membela Hania? Aku anakmu, Papa! Kenapa kau lebih mempercayai dia daripada aku?" Bian menggeram, suaranya bergetar menahan amarah. Ia berjalan cepat menuju dapur, tangannya mengepal erat.Hendak mengambil air minum untuk menyiram hatinya yang terasa panas. “Padahal sudah jelas-jelas Hania berselingkuh! Tapi Papa tetap membelanya. Tanpa memikirkan perasaanku sama sekali!" Bian mencengkeram gelas berisi air, matanya melotot tajam. Air itu tercurah ke lantai, tak terurus.Hania yang mendengar perkataan Bian, perlahan mendekat. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah. "Mas, aku mohon, jangan menuduhku seperti itu. Aku hamil karena kesalahan bayi tabung, bukan karena aku berselingkuh.”Seketika Bian menoleh, memperhatikan Hania yang berada di dekatnya. Tatapannya dingin menusuk dan rahangnya mengeras. "Kesalahan bayi tabung? Omong kosong! Jangan coba-coba mengelabui aku!" Bian berteriak, suaranya bergetar dengan amarah. Hania terhuyung mundur, wajahnya puca
“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd
"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan
"Mungkin saja mereka memang sedang berpura-pura. Huh, pintar sekali," gumam Bian, tatapannya tajam dan mengintimidasi."Sudah jelas, Mas. Apalagi perpisahan mereka di masa lalu bukan keinginannya, mereka terpaksa. Sudah pasti perasaan cinta masih ada di antara mereka," sambar Keysa. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Bian beranjak pergi tanpa meninggalkan pesan. Keysa terus memperhatikan kepergian kakaknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.***Di rumah sakit. Heni memasuki ruangan Hania, matanya tertuju pada putrinya yang terbaring di ranjang. "Hania–" sapa Heni lembut.Hania menoleh, wajahnya terpancar kelegaan saat melihat ibunya. "Bunda," jawabnya, dan tak lama kemudian keduanya berpelukan erat."Bagaimana keadaanmu, Nak? Sudah membaik?" tanya Heni, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Alhamdulillah, Bun, Hania merasa jauh lebih baik. Oiya, Bunda sendiri? Mas Bian …?" ucap Hania, tapi kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi wajah ibunya berubah."Tidak tahu, Nak. Bunda
Heni menggeleng pelan. "Saya bukan tipe orang yang mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan, Mas. Jadi tenang saja, saya tidak akan menarik saham saya di perusahaan Anda."Haris tampak lega mendengar jawaban Heni. Seolah terbebas dari beban, jadi ternyata alasan ini yang membuat Haris begitu gigih mempertahankan Hania dan meminta Bian selalu bersikap baik padanya.Beberapa hari berada di ruangan yang sama membuat Hania merasa jenuh. Udara segar tak kunjung masuk, membuat suasana hatinya tak kunjung membaik. Hanya aroma obat-obatan yang terus menerus menusuk indra penciumannya."Huh, aku bosan sekali," keluh Hania sambil duduk di tepi tempat tidur.Hania melangkah dengan hati-hati, tangannya meraih tiang infus yang hendak dibawanya untuk berjalan. Namun, Sean tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Hania hendak berjalan."Han, kamu mau ke mana?" tanya Sean."Sean, aku sangat bosan. Aku ingin mencari udara segar," jawab Hania yang masih terdiam, belum melanjutkan langkahnya."Tunggu seb