Home / Pernikahan / Misteri Janin Di Rahim Istriku / Ch 7 Misteri Alasan Pak Haris

Share

Ch 7 Misteri Alasan Pak Haris

“Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. "Kamu sudah dewasa, apa lagi yang ditunggu?"

Sean menggeleng, "Bukan begitu, Ndra. Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat."

Indra mengernyit, "Bilang saja kamu belum bisa melupakan Hania."

Sean terdiam. Entah mengapa, ucapan Indra terasa menusuk. Mungkin, sahabatnya itu benar.

Sementara di tempat lain. Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Bunda" di layar. Senyum tipis seketika mengembang di wajahnya.

"Assalamu'alaikum, Bun," sapa Hania.

"Waalaikumsalam, Hania. Bagaimana kabarmu, Nak?" Suara sang bunda terdengar lembut, tetapi membuat senyum Hania memudar. Ia merasa sedang tak baik-baik saja, hanya bisa terdiam.

"Em, alhamdulillah, Bunda. Bunda gimana?" Hania berusaha menyembunyikan kekalutannya. Ia ingin jujur, tapi takut membebani pikiran sang bunda.

"Alhamdulillah, Bunda sehat, Sayang." Perlahan Bunda menyampaikan undangan syukurannya, dan berharap Hania dan keluarga bisa hadir.

Hati Hania berdesir. Pasalnya, selama beberapa bulan menikah, Bian tak pernah mau menemani Hania, apalagi ke acara keluarganya.

"Hania, kenapa diam, Nak? Apa Bunda merepotkan?" tanya Bunda, menyadari keheningan di seberang.

"Oh, ngga, kok, Bun. Insyaallah Hania dan Mas Bian akan datang," jawab Hania, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Panggilan terputus. Hania terdiam, pikirannya melayang. Bagaimana caranya berbicara pada Bian? Apakah Bian mau menghadiri undangan Bunda?

Tiba-tiba langkah seorang suster memecah keheningan.

“Selamat siang, Mbak Hania, sore ini Anda sudah boleh pulang. Jaga kesehatan selalu ya,” ucap suster dengan ramah, seraya membereskan tempat dan melepas selang infus di tangan Hania. Hania tersenyum bahagia.

***

Sesampainya di rumah, Hania turun dari mobil Bian. Langkahnya pelan, tubuhnya masih terasa lemah. Ia ingin sekali berbicara soal undangan itu pada Bian saat ini juga. Hania menghentikan langkahnya, berbalik menatap Bian yang berjalan di belakangnya.

"Mas, aku mau bicara sebentar," ucap Hania ragu, "lusa Bunda mengundang kita ke acara syukurannya. Kita datang ya, Mas."

Bian hanya diam, memandang Hania dengan tatapan dingin. "Tidak bisa, aku sibuk," jawabnya singkat, lalu kembali melangkah.

"Tapi, Mas, selama kita menikah kita belum pernah main ke rumah Bunda. Aku kangen sama Bunda, Mas, aku pengen ketemu Bunda," rengek Hania, berusaha menahan air mata.

"Kalau kamu mau, pergi aja sendiri. Aku tidak bisa!"

Hania terdiam, tubuhnya lemas. Pandangannya terpaku pada punggung Bian yang menghilang di balik pintu kamar. Rasa kecewa dan sakit menghantam hatinya.

Bagaimana mungkin ia pergi sendiri? Sedangkan selama ini yang Bunda tahu Hania hidup bahagia bersama Bian, jauh dari permasalahan dan penderitaan. Bahkan, sang bunda pun tak tahu perkara dibalik kehamilan yang terjadi pada Hania saat ini.

Haris, sang ayah mertua, melarang semuanya untuk bercerita apa pun pada sang bunda. Sementara Haris yang langkah kebutnya seketika terhenti kala melihat Hania masih terdiam di tempat.

“Loh, Hania, kamu sudah pulang dari rumah sakit?” Hania seketika menoleh. Ia dapati sang ayah mertua tak jauh darinya.

“Sudah, Pah, barusan,” jawab Hania masih dengan wajah yang sedih.

Melihat ekspresi itu Haris mengerutkan dahi. “Ada apa, Han? Kenapa ekspresimu …?”

“Em, lusa Bunda mengundang kita ke acara syukurannya, Pah.”

“Syukuran? Oke, kita datang, tapi kenapa kamu malah sedih?”

“Mas Bian, Pah, dia tidak mau datang,” jawab Hania menunduk lemah.

Lagi-lagi Haris dibuat pusing tujuh keliling mendengar sikap sang anak. “Sudah, biar papa yang urus Bian, kamu jangan khawatir, lusa kita tetap pergi bersama Bian,” jawab Haris yang berusaha menenangkan hati Hania.

***

Di malam yang sunyi, udara terasa dingin menusuk tulang. Bulan purnama bersinar terang, menyinari halaman rumah yang hening. Di tengah taman yang dihiasi lampu redup, Bian duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah langit. Pikirannya melayang ke berbagai hal yang membuatnya resah.

Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di dekatnya. Membuat Bian seketika menoleh melihat sang ayah berjalan mendekat.

“Papa, belum tidur?” tanya Bian memberi ruang sang ayah untuk duduk di sebelahnya.

“Belum, papa cari kamu. Ternyata kamu di sini,” jawab Haris membuat Bian mengangkat alis sebelah kirinya.

“Cari aku, ada apa, Pah?”

Tak langsung menjawab, Haris yang lebih dulu menghela napas dan menyandarkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di dada.

“Lusa, bundanya Hania mengundang kita ke acara syukurannya. Dan papa tahu kamu tidak mau datang, kan? Kenapa, Bian? Bukankah selama ini kita menyembunyikan semuanya dari dia? Dia hanya tahu Hania hidup bahagia bersama kamu, dan kalau sampai lusa kamu tidak datang, apa yang akan dia pikirkan?” tanya Haris menatap wajah sang anak tak berkedip.

Ucapan sang ayah membuat Bian berekspresi frustrasi. Ia menggelengkan kepala tak mengerti. “Pah, sampai kapan aku begini terus? Papa kan tahu aku tidak pernah mencintai Hania, kenapa Papa selalu memaksaku untuk berbaik padanya?”

“Tutup mulutmu, Bian! Jangan sekali lagi kamu bicara seperti itu, papa tidak mau dengar! Kamu harus tetap bersama Hania, harus tetap terlihat menjadi pasangan suami istri yang bahagia di depan bundanya Hania.”

Bian mengernyitkan bibirnya, dan kembali menggelengkan kepala heran. “Lebih baik Papa bicara sekarang tentang alasannya. Kenapa Papa selalu memaksaku untuk Hania?”

Tak langsung menjawab, Haris yang lebih dulu membuang pandangannya, menatap jauh ke depan. “Sudahlah, Bian, kalau kamu masih berharap kita hidup enak seperti ini, maka berbaiklah dengan Hania, jangan pernah tunjukan sikap burukmu ini,” ucap Haris tanpa memandang.

Ucapan itu membuat Bian mengerutkan dahi, bingung. Kembali Bian membuka mulutnya hendak bersuara dan bertanya apa maksudnya, tetapi Haris lebih dulu beranjak pergi.

Keheningan malam semakin terasa tegang, kala kini Bian kebingungan. Ucapan sang ayah seolah menjadi misteri tentang apa yang terjadi?

BERSAMBUNG.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rarha Ira
Kira-kira kenapa, ya? Rahasia apa yang disembunyikan Pak Haris?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status