“Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. "Kamu sudah dewasa, apa lagi yang ditunggu?"
Sean menggeleng, "Bukan begitu, Ndra. Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat." Indra mengernyit, "Bilang saja kamu belum bisa melupakan Hania." Sean terdiam. Entah mengapa, ucapan Indra terasa menusuk. Mungkin, sahabatnya itu benar. Sementara di tempat lain. Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Bunda" di layar. Senyum tipis seketika mengembang di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Bun," sapa Hania. "Waalaikumsalam, Hania. Bagaimana kabarmu, Nak?" Suara sang bunda terdengar lembut, tetapi membuat senyum Hania memudar. Ia merasa sedang tak baik-baik saja, hanya bisa terdiam. "Em, alhamdulillah, Bunda. Bunda gimana?" Hania berusaha menyembunyikan kekalutannya. Ia ingin jujur, tapi takut membebani pikiran sang bunda. "Alhamdulillah, Bunda sehat, Sayang." Perlahan Bunda menyampaikan undangan syukurannya, dan berharap Hania dan keluarga bisa hadir. Hati Hania berdesir. Pasalnya, selama beberapa bulan menikah, Bian tak pernah mau menemani Hania, apalagi ke acara keluarganya. "Hania, kenapa diam, Nak? Apa Bunda merepotkan?" tanya Bunda, menyadari keheningan di seberang. "Oh, ngga, kok, Bun. Insyaallah Hania dan Mas Bian akan datang," jawab Hania, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Panggilan terputus. Hania terdiam, pikirannya melayang. Bagaimana caranya berbicara pada Bian? Apakah Bian mau menghadiri undangan Bunda? Tiba-tiba langkah seorang suster memecah keheningan. “Selamat siang, Mbak Hania, sore ini Anda sudah boleh pulang. Jaga kesehatan selalu ya,” ucap suster dengan ramah, seraya membereskan tempat dan melepas selang infus di tangan Hania. Hania tersenyum bahagia. *** Sesampainya di rumah, Hania turun dari mobil Bian. Langkahnya pelan, tubuhnya masih terasa lemah. Ia ingin sekali berbicara soal undangan itu pada Bian saat ini juga. Hania menghentikan langkahnya, berbalik menatap Bian yang berjalan di belakangnya. "Mas, aku mau bicara sebentar," ucap Hania ragu, "lusa Bunda mengundang kita ke acara syukurannya. Kita datang ya, Mas." Bian hanya diam, memandang Hania dengan tatapan dingin. "Tidak bisa, aku sibuk," jawabnya singkat, lalu kembali melangkah. "Tapi, Mas, selama kita menikah kita belum pernah main ke rumah Bunda. Aku kangen sama Bunda, Mas, aku pengen ketemu Bunda," rengek Hania, berusaha menahan air mata. "Kalau kamu mau, pergi aja sendiri. Aku tidak bisa!" Hania terdiam, tubuhnya lemas. Pandangannya terpaku pada punggung Bian yang menghilang di balik pintu kamar. Rasa kecewa dan sakit menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia pergi sendiri? Sedangkan selama ini yang Bunda tahu Hania hidup bahagia bersama Bian, jauh dari permasalahan dan penderitaan. Bahkan, sang bunda pun tak tahu perkara dibalik kehamilan yang terjadi pada Hania saat ini. Haris, sang ayah mertua, melarang semuanya untuk bercerita apa pun pada sang bunda. Sementara Haris yang langkah kebutnya seketika terhenti kala melihat Hania masih terdiam di tempat. “Loh, Hania, kamu sudah pulang dari rumah sakit?” Hania seketika menoleh. Ia dapati sang ayah mertua tak jauh darinya. “Sudah, Pah, barusan,” jawab Hania masih dengan wajah yang sedih. Melihat ekspresi itu Haris mengerutkan dahi. “Ada apa, Han? Kenapa ekspresimu …?” “Em, lusa Bunda mengundang kita ke acara syukurannya, Pah.” “Syukuran? Oke, kita datang, tapi kenapa kamu malah sedih?” “Mas Bian, Pah, dia tidak mau datang,” jawab Hania menunduk lemah. Lagi-lagi Haris dibuat pusing tujuh keliling mendengar sikap sang anak. “Sudah, biar papa yang urus Bian, kamu jangan khawatir, lusa kita tetap pergi bersama Bian,” jawab Haris yang berusaha menenangkan hati Hania. *** Di malam yang sunyi, udara terasa dingin menusuk tulang. Bulan purnama bersinar terang, menyinari halaman rumah yang hening. Di tengah taman yang dihiasi lampu redup, Bian duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah langit. Pikirannya melayang ke berbagai hal yang membuatnya resah. Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di dekatnya. Membuat Bian seketika menoleh melihat sang ayah berjalan mendekat. “Papa, belum tidur?” tanya Bian memberi ruang sang ayah untuk duduk di sebelahnya. “Belum, papa cari kamu. Ternyata kamu di sini,” jawab Haris membuat Bian mengangkat alis sebelah kirinya. “Cari aku, ada apa, Pah?” Tak langsung menjawab, Haris yang lebih dulu menghela napas dan menyandarkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di dada. “Lusa, bundanya Hania mengundang kita ke acara syukurannya. Dan papa tahu kamu tidak mau datang, kan? Kenapa, Bian? Bukankah selama ini kita menyembunyikan semuanya dari dia? Dia hanya tahu Hania hidup bahagia bersama kamu, dan kalau sampai lusa kamu tidak datang, apa yang akan dia pikirkan?” tanya Haris menatap wajah sang anak tak berkedip. Ucapan sang ayah membuat Bian berekspresi frustrasi. Ia menggelengkan kepala tak mengerti. “Pah, sampai kapan aku begini terus? Papa kan tahu aku tidak pernah mencintai Hania, kenapa Papa selalu memaksaku untuk berbaik padanya?” “Tutup mulutmu, Bian! Jangan sekali lagi kamu bicara seperti itu, papa tidak mau dengar! Kamu harus tetap bersama Hania, harus tetap terlihat menjadi pasangan suami istri yang bahagia di depan bundanya Hania.” Bian mengernyitkan bibirnya, dan kembali menggelengkan kepala heran. “Lebih baik Papa bicara sekarang tentang alasannya. Kenapa Papa selalu memaksaku untuk Hania?” Tak langsung menjawab, Haris yang lebih dulu membuang pandangannya, menatap jauh ke depan. “Sudahlah, Bian, kalau kamu masih berharap kita hidup enak seperti ini, maka berbaiklah dengan Hania, jangan pernah tunjukan sikap burukmu ini,” ucap Haris tanpa memandang. Ucapan itu membuat Bian mengerutkan dahi, bingung. Kembali Bian membuka mulutnya hendak bersuara dan bertanya apa maksudnya, tetapi Haris lebih dulu beranjak pergi. Keheningan malam semakin terasa tegang, kala kini Bian kebingungan. Ucapan sang ayah seolah menjadi misteri tentang apa yang terjadi? BERSAMBUNG.Di rumah Sean, suasana makan malam terasa mencekam.“Jadi bagaimana, Sean? Apa kamu bisa mengabulkan persyaratan itu? Kamu tahu sendiri kalau kamu tidak bisa memberikan cucu kandung dalam keluarga ini, maka hak waris belum seutuhnya menjadi milikmu.” Suara Ibu Sean terdengar dingin, menusuk telinganya.Sean terdiam, sendok makannya terhenti di tengah jalan menuju mulutnya.“Waktumu tidak banyak lagi, Sean. Hanya tersisa beberapa bulan ke depan,” tambah wanita tua berkacamata itu, suaranya sarat dengan ancaman terselubung.Sean menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah piringnya.“Mami tenang saja, tidak lama lagi persyaratan itu akan terpenuhi,” jawab Sean, suaranya terdengar datar, penuh tekad.Ibu Sean mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Lusa, aku akan pertemukan Mami dengan wanita yang mengandung anak kandungku,” tambah Sean, suaranya terdengar yakin.Ibu Sean tercengang. “Anak kandung? Bagaimana bisa, Sean, kamu kan belum menikah?”Sean tersenyum tipis, “Mi, bukankah
Hania masih terpaku, tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi Hania perempuan yang sedang mengandung anakmu, Sean?”Ucapan itu terdengar seperti suara petir, keras dan mengejutkan. Semua yang mendengar seketika menoleh, memperhatikan sumber suara.Seorang wanita tua berkacamata berdiri di sana, matanya tertuju pada kerumunan di hadapannya. Bukan seseorang yang asing, tapi seseorang yang cukup dikenal Bunda Heni.“Arum,” gumam Bunda Heni terkejut. “apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu?”Arum berjalan mendekat, matanya menyipit, heran karena Heni tidak mengetahui apa yang terjadi. Sean juga terkejut dengan kedatangan sang ibu, terutama karena ia membicarakan kebenaran di hadapan Bunda Heni.“Jadi kamu tidak tahu yang sebenarnya?” tanya Arum, suaranya dingin.Heni mengerutka
"Kenapa semua orang masih saja menyalahkanku?" gumam Hania lirih, air matanya mengalir deras."Karena kamu memang salah!" bentak Bian, amarah membara di matanya. "Jangan mengira kami menyalahkanmu tanpa alasan."Hania tersentak. Wajah Bian dipenuhi amarah yang mengerikan. Ia menggelengkan kepala cepat-cepat, seakan meyakinkan Bian jika ia tak bersalah. Namun, lagi-lagi Hania tak dapat berkutik. Ia hanya bisa diam, terjebak dalam ketakutan yang membeku. Seberapa besar pun ia membela diri, rasanya percuma, Bian tak akan pernah mempercayainya.***Sementara itu, Sean berjalan cepat melalui lorong rumah sakit, aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya kini terasa, ia hendak bertemu Indra, salah satu dokter dan sahabatnya di rumah sakit ini. Setelah beberapa bulan berlalu, kali ini Sean datang kembali. Tanpa mengetuk pintu ia masuk, membuat Indra seketika mengalihkan pandangannya."Sean–""Apa kamu tahu, karena kesalahan rumah sakit ini, Hania menderita," ucap Sean tanpa berbasa-basi. Ind
Kembali satu pertanyaan terlontar dari bibir bunda Heni. Membuat Hania lagi-lagi bingung hendak menjawab apa. “Hem, Bunda, maaf sepertinya Hania mau tidur, ngantuk banget. Sampai besok ya, Bun, assalamu'alaikum.”Hania mengakhiri panggilan sepihak, Heni yang terkejut dengan terputusnya panggilan itu. Mengapa Hania menutupi hal ini pada sang bunda? Apakah ini salah satu permintaan Haris, sang ayah mertua? “Maafin, Hania, Bun. Sepertinya waktunya belum tepat buat Bunda tahu bagaimana sikap Mas Bian selama ini. Aku tidak mau Bunda khawatir dan malah buat Bunda jadi sakit,” batin Hania, merenung. ***Keesokan harinya, cahaya mentari pagi menyinari meja di sudut restoran, tempat Hania sudah duduk menunggu. Hania menggenggam segelas jus jeruk, matanya sesekali melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Perutnya yang membuncit terbungkus gaun katun berwarna biru muda, membuatnya tampak semakin cantik.Tak lama kemudian, Sean datang. Terduduk tepat di hadapan Hania, ia berkata, "Maaf, a
"Kenapa Papa selalu membela Hania? Aku anakmu, Papa! Kenapa kau lebih mempercayai dia daripada aku?" Bian menggeram, suaranya bergetar menahan amarah. Ia berjalan cepat menuju dapur, tangannya mengepal erat.Hendak mengambil air minum untuk menyiram hatinya yang terasa panas. “Padahal sudah jelas-jelas Hania berselingkuh! Tapi Papa tetap membelanya. Tanpa memikirkan perasaanku sama sekali!" Bian mencengkeram gelas berisi air, matanya melotot tajam. Air itu tercurah ke lantai, tak terurus.Hania yang mendengar perkataan Bian, perlahan mendekat. Ia berusaha menahan air matanya yang ingin tumpah. "Mas, aku mohon, jangan menuduhku seperti itu. Aku hamil karena kesalahan bayi tabung, bukan karena aku berselingkuh.”Seketika Bian menoleh, memperhatikan Hania yang berada di dekatnya. Tatapannya dingin menusuk dan rahangnya mengeras. "Kesalahan bayi tabung? Omong kosong! Jangan coba-coba mengelabui aku!" Bian berteriak, suaranya bergetar dengan amarah. Hania terhuyung mundur, wajahnya puca
“Selamatkan bayinya!”“Mami–” Sean terbelalak kala melihat sang ibu yang datang. “Apa maksud, Mami? Mami menginginkan terjadi sesuatu pada Hania?” tanya Sean dengan mata melebar.Ibu Sean menghela napas. “Sean, bukankah kamu juga mengharapkan bayi itu? Cuma bayi itu satu-satunya cara untuk kamu menjadi pewaris sah dalam keluarga.”“Tapi tidak harus mengorbankan Hania, Mi. Sudah cukup Hania menderita selama ini, jangan tambah lagi penderitaannya,” sambar Sean, suaranya bergetar.“Sean, kamu harus berpikir jernih. Kamu membutuhkannya. Bayi itu adalah masa depan kita. Kamu harus mengerti, ini bukan tentang Hania, tapi tentang kelangsungan keluarga kita.”“Keluarga? Keluarga apa yang Mami bicarakan? Keluarga yang tega mengorbankan nyawa orang lain demi kekuasaan?” Sean berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak mau menjadi pewaris seperti itu, Mi. Aku tidak mau hidup dengan rasa bersalah karena telah mengorbankan Hania. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia meninggal.”Perd
"Apa jadi bayiku selamat? Lalu bagaimana dengan Hania?" tanya Sean, suaranya bergetar.“Bapak tenang, saja. Bu Hania baik-baik saja,” jawab dokter yang membuat semuanya akhirnya menghela napas lega. “Tapi keadaannya masih sangat lemah, beliau masih harus mendapat perawatan intensif.”“Lakukan apa pun untuk kesembuhan Hania, Dok.” “Pasti, Pak. Dan untuk bayinya kami akan membawanya ke ruang perawatan. Karena sementara masih harus berada dalam inkubator,” tambah Dokter kemudian meninggalkan tempat. Ekspresi wajah Sean tampak begitu lega, Hania dan anaknya ternyata dapat terselamatkan. Begitu pula Bunda Heni yang juga merasa tenang setelah penjelasan dari dokter. Namun, ada satu kejanggalan yang membuatnya tak menyangka. Kehadiran Bian yang sejak tadi tak terlihat, menjadi pertanyaan tersendiri untuknya. “Hem, Pak Haris, Bian ke mana? Kenapa dia tidak ada di saat istrinya begini?” tanya Heni. Haris bingung hendak menjawab apa. “Seharusnya dia ada di sini sekarang, untuk mendoakan dan
"Mungkin saja mereka memang sedang berpura-pura. Huh, pintar sekali," gumam Bian, tatapannya tajam dan mengintimidasi."Sudah jelas, Mas. Apalagi perpisahan mereka di masa lalu bukan keinginannya, mereka terpaksa. Sudah pasti perasaan cinta masih ada di antara mereka," sambar Keysa. Sejenak terdiam, sebelum akhirnya Bian beranjak pergi tanpa meninggalkan pesan. Keysa terus memperhatikan kepergian kakaknya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.***Di rumah sakit. Heni memasuki ruangan Hania, matanya tertuju pada putrinya yang terbaring di ranjang. "Hania–" sapa Heni lembut.Hania menoleh, wajahnya terpancar kelegaan saat melihat ibunya. "Bunda," jawabnya, dan tak lama kemudian keduanya berpelukan erat."Bagaimana keadaanmu, Nak? Sudah membaik?" tanya Heni, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Alhamdulillah, Bun, Hania merasa jauh lebih baik. Oiya, Bunda sendiri? Mas Bian …?" ucap Hania, tapi kalimatnya terhenti saat melihat ekspresi wajah ibunya berubah."Tidak tahu, Nak. Bunda