“Bagaimana kamu bisa hamil? Aku tidak pernah menyentuhmu!”
Hania memejamkan matanya saat suara Bian Abimana, suaminya, menggema di ruang tamu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahan, kini mengalir deras membasahi pipi. Hania terisak, mencoba mencari kata-kata untuk menjelaskan situasi yang tak terduga ini.
“Kamu pasti berbuat zina dengan laki-laki lain, kan? Istri macam apa kamu!”
Hania menggeleng cepat-cepat. “Aku tidak melakukan hal itu, Mas,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku tidak pernah berbuat hal berdosa seperti itu.”
“Jangan sok alim, Hania,” tukas Bian. Tatapan matanya menatap tajam pada Hania. “Buktinya kamu bisa hamil! Padahal aku tidak pernah menyentuhmu.”
Hania makin ketakutan saat melihat kemarahan suaminya. Meskipun ia tahu mengapa suaminya marah, tapi ia sendiri tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara apa dan bagaimana, serta kenapa ia bisa hamil padahal Bian tidak pernah melakukan hubungan badan dengan Hania sejak keduanya menikah beberapa waktu yang lalu.
Yang Hania tahu, beberapa hari ini, karena kondisi badannya kurang sehat, Hania memeriksakan diri ke rumah sakit. Namun, dari pemeriksaan yang keluar, Hania justru dinyatakan hamil alih-alih masuk angin.
Jelas itu mengejutkan Hania dan suaminya.
“Mas, aku tidak bohong,” ucap Hania lagi. “Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padaku. Mas. Aku mohon, percaya padaku. Tolong jangan menuduh aku–”
“Aku tidak menuduh, Hania,” sela Bian. Rahangnya mengeras. “Aku bicara kenyataan! Hasil tes menandakan kamu hamil.” Napas pria itu terdengar berat. “Sekarang, lebih baik kamu katakan padaku dengan siapa kamu melakukan itu.”
Hania menggigit bibir bagian bawahnya. “Aku benar-benar tidak melakukan itu, Mas,” ucap wanita itu. “Demi Allah, Mas, aku tidak berhubungan dengan laki-laki manapun.”
“Jangan bawa-bawa Tuhan, Han!”
Suasana semakin tegang di ruangan itu, terasa seperti ada beban emosional yang berat yang menggantung di udara. Dada Bian naik turun dengan cepat, mencoba menahan gelombang emosi yang semakin memuncak di dalam diri.
Sementara itu, Hania, yang duduk di depannya, semakin lama air matanya mengalir semakin deras.
“Seharusnya kamu bersyukur, Hania, karena aku sudah mau menikahimu dan bertanggung jawab atas hidupmu, bukan malah berulah seperti sekarang!” ujar Bian lagi. “Kamu anggap aku apa, Hania? Apa ini pembalasanmu? Karena aku tidak pernah menyentuhmu setelah kita menikah? Iya?”
Hania menggeleng cepat. Tidak peduli berapa kali pun ia membela diri, suaminya tetap saja tidak memercayainya.
“Mas, aku bukan wanita murahan, aku masih punya iman,” ucap Hania. Ia tampak putus asa. “Kenapa kamu tidak percaya padaku…”
Ia mengerti bahwa kejadian ini tidak masuk di nalar manusia. Jangankan suaminya, bahkan Hania sendiri pun tidak percaya kalau dia saat ini tengah mengandung. Ia bisa menjamin bahwa dirinya sendiri masih suci, jika memang sang suami ingin mengeceknya.
Namun, pasti Bian tidak mau repot-repot melakukannya karena bukti bahwa Hania hamil lebih kuat.
Meski begitu, salahkah jika Hania mengharapkan bahwa suaminya itu menenangkannya, sekalipun pernikahan mereka dingin lantaran hasil perjodohan? Hania pun tidak menginginkan kehamilan seperti ini!
“Cukup, Hania! Masih saja kamu menutupi kesalahanmu,” tukas Bian. “Pokoknya, aku tidak mau tahu, Hania, aku tidak akan bertanggung jawab apa pun atas kehamilanmu itu, karena itu bukan anakku, jadi kamu urus saja sendiri anak itu!”
Hania terbelalak. “Mas–”
“Makanya, Mbak, jadi perempuan jangan jual murah, sekarang tahu sendiri kan akibatnya.”
Deg!
Hati Hania seketika mencelos kala mendengar kalimat yang datang dari seorang perempuan yang baru saja datang. Keysa, adik iparnya, tengah berdiri sembari bersandar di ambang pintu sebelum kemudian berjalan masuk mendekati mereka.
Wajahnya yang dipoles riasan dan lipstik merah menyala tampak sinis saat memandang Hania.
“Aku sudah dengar semuanya, Mbak. Perdebatan kalian tadi,” ucap Keysa dengan sikap angkuhnya. “Kamu sedang mengandung anak dari laki-laki lain, kan?” Ia mengehela napas. “Hatimu itu terbuat dari batu ya, Mbak? Nggak mikirin perasaan Mas Bian?”
“Key, aku tidak–”
“Padahal kalian baru menikah dua bulan,” potong Keysa lagi. “Berapa usia kandunganmu, Mbak? Itu jatah mantan, atau kamu beneran selingkuh dari kakakku?”
“Kan, tidak mungkin kamu hamil kalau tidak berzina,” Keysa melanjutkan tanpa menunggu respons Hania. “Mau bilang kiriman dukun? Duh, zaman sekarang?”
Wanita glamor itu menggeleng pelan.
“Keysa, aku tidak mengkhianati kakakmu–”
“Oh, jadi jatah mantan?” Keysa tersenyum miring.
Hania sontak menggeleng. Ia tak mengerti bagaimana caranya menjelaskan permasalahan ini.
"Mbak, aku ini tidak bodoh. Kakakku juga tidak bisa dibodohi.” Keysa mendekat ke arah Hania dan mendorong wanita itu. “Mau seribu kali Mbak menyangkal, nyatanya kalau Mbak hamil, berarti Mbak sudah melakukan hubungan badan!”
Usai mengatakan itu, Keysa menatap Bian. “Sudah, Mas. Talak saja,” ucapnya. “Aku pikir penampilan yang seperti ini menjamin akhlak yang baik, tapi ternyata tidak!”
Hania seketika melebarkan mata kala ucapan itu terlontar.
Baru dua bulan menikah, apakah ia harus kehilangan status sebagai istri? Ini bukan harapannya!
“Bagaimana ….” Suara Hania bergetar saat mengucapkannya. “Bagaimana jika aku bisa membuktikan kalau aku tidak berselingkuh?”
Keysa terbahak seakan Hania mengatakan sesuatu yang sangat lucu, tapi ia buru-buru memasang ekspresi marahnya kembali.
“Bagaimana bisa, Mbak?” ucap Keysa. “Janin di perutmu itu adalah bukti bahwa kamu selingkuh. Mau kamu buktikan bahwa dia adalah milik kakakku? Mana mungkin! Mas Bian tidak pernah menyentuhmu.”
Namun, Hania tampak teguh. Ia tidak bisa terus dihina dan disalahpahami begini. Ia juga tidak bisa terus menangis dan meratap saja, memelihara kebingungan dan pertanyaan.
Hasil tes yang salah, tertukar, atau sejenisnya. Pasti ada jawaban masuk akal yang bisa diterima oleh suaminya.
“Aku … akan ke rumah sakit,” gumam Hania. Ia menatap Bian yang masih tampak marah. “Aku tidak selingkuh maupun berzina, Mas. Aku berani bersumpah.”
BERSAMBUNG
“Aku tidak selingkuh maupun berzina, Mas. Aku berani bersumpah.”Setelah mengucapkan itu pada Bian yang tampak tidak peduli, Hania pergi keluar. Menuju rumah sakit tempat ia memeriksakan diri.Lorong rumah sakit tampak sepi karena sedang bukan jam besuk ataupun jam periksa. Sendirinya, Hania bingung bagaimana ia menemui dokter yang memeriksanya kemarin untuk berkonsultasi tentang hasil tesnya tempo hari.Saat sedang menelusuri lorong dengan pikiran yang runyam, tiba-tiba–Bruk!Hania bertabrakan dengan seseorang, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.“Ah, maaf–”“Hania?”Wanita itu lantas mengangkat pandangan saat mendengar namanya dan melihat seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi berdiri di hadapannya.Hania tercengang saat mengenali pria itu. "Sean ...," ucapnya. Pria itu melepas kacamata hitamnya. Wajahnya yang tampan tengah terkejut."K-kamu ... kamu apa kabar?" kata Hania lagi.Sean hanya mengangguk dan menyahut, “Baik.”Pandangan mata pria itu seolah menyimp
"Sudahlah, Han, jangan banyak bicara, aku sudah tahu semuanya.” Bian kembali menukas, bersikap seakan-akan ia tidak termakan sandiwara Hania. Ia berdiri dan akhirnya meninggalkan Hania. “Dasar perempuan munafik.” Setelah peristiwa itu, hari demi hari berlalu. Namun, sikap Bian padanya justru makin dingin..Pria itu memang tidak menceraikan Hania, tapi sikapnya yang dingin dan tidak peduli, serta secara berkala mengingatkan Hania bahwa wanita itu sudah mengkhianati pernikahan mereka yang belum lama tersebut. Bian juga sama sekali tidak mengacuhkan Hania saat wanita itu menunjukkan tanda-tanda kurang nyaman karena gejala kehamilannya. Hania bisa bertahan, sekalipun memang merasa tersiksa. Hingga akhirnya siang ini, ayah mertua Hania datang, mengatakan bahwa beliau sudah mendengar kabar Hania hamil dari Keysa dan berniat mengeceknya sendiri. Tanpa tahu kalau Keysa sengaja melakukannya untuk mendesak Bian untuk menceraikan kakak iparnya tersebut. “Papa dengar Hania hamil,” ucap Pak Hari
“Saya mendapatkan informasi bahwa janin yang sedang dikandung oleh Hania adalah anak saya.” Seketika semua terbelalak kala mendengar pernyataan dari Sean. "Sean, apa maksudmu? Jangan mengada-ngada. Kita tidak pernah melakukan hal itu!" sambar Hania, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Aku tidak mengada-ngada, Hania. Aku serius. Benih yang sedang kamu kandung itu milikku." Hania membuang wajah, ekspresinya frustrasi. Ia menggelengkan kepala, merasa tak berdaya. Ingatannya kosong, tak ada satu pun kenangan yang terukir tentang pertemuannya dengan Sean sebelum di rumah sakit. Sean melangkah menjauh, memasukan kedua tangannya di saku celana, kemudian ia menjelaskan. "Saat itu …." Sean terduduk berhadapan dengan seorang dokter laki-laki. "Bagaimana, apa kerjamu berhasil?" tanya Sean, menatap tajam dokter muda tersebut. Dokter itu menggelengkan kepala, membuat Sean mengerutkan dahi. "Sean, kita salah sasaran," ucapnya. Sean melebarkan mata. "Benihmu tidak tertanam dalam rahim wanita ba
"Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, untuk apa berumah tangga kalau hanya karena terpaksa? Jadi aku mau ... kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah," ucap Hania membuat Bian terbelalak kemudian mengernyitkan bibir, pandangannya sinis memperhatikan wanita berhijab di hadapannya itu. “Huh, katakan saja kalau kamu ingin kembali dengan mantan kekasihmu itu.” Hania menggeleng cepat, memandang Bian dengan pandangan nanar. “Ingat, Han, aku tidak akan pernah menceraikanmu! Apalagi alasanmu hanya untuk laki-laki itu.” "Tapi, Mas, aku tidak …." Belum usai Hania berkata, Bian beranjak melangkah meninggalkan tempat, membuat ucapan Hania terhenti. "Mas Bian …." Panggilan Hania tak dihiraukan. Bian terus berjalan menjauh dan membiarkan Hania memperhatikan tubuh bagian belakangnya. Hania terdiam, hatinya tercabik antara kekecewaan dan keputusasaan. *** Beberapa bulan kemudian. "Hania! Hania!" Terdengar teriakan Bian menggema di dalam satu ruang
“Sean,” gumam Hania tanpa suara, matanya terpaku pada sosok laki-laki tampan yang semakin mendekat. Sorot mata Sean tampak serius, seakan menyelidiki. “Apa yang terjadi, Hania? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Sean, tatapannya beralih antara Hania, Bian, dan Pak Haris. Ketiganya terdiam. Hania dan Pak Haris tampak khawatir, sementara Bian justru menunduk, raut wajahnya tak terbaca. “Apa kandunganmu baik-baik saja?” tanya Sean lagi, suaranya sedikit khawatir. Hania bingung harus menjawab apa. Ia tahu Sean pasti marah besar jika terjadi sesuatu pada benih yang tumbuh di perutnya. Mengadukan semua perlakuan Bian? Mustahil. “Em, tidak terjadi apa-apa, Sean. Hania hanya kelelahan,” sambar Pak Haris, membuat Sean seketika menoleh padanya. Tatapan Sean beralih pada Bian yang masih tampak acuh. “Di mana tanggung jawabmu sebagai suami? Kenapa kamu membiarkan istrimu terluka seperti ini? Di mana hatimu?” tanya Sean, suaranya bergetar menahan amarah. Bian tersentak, “Jaga ucapanmu
“Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. "Kamu sudah dewasa, apa lagi yang ditunggu?"Sean menggeleng, "Bukan begitu, Ndra. Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat."Indra mengernyit, "Bilang saja kamu belum bisa melupakan Hania."Sean terdiam. Entah mengapa, ucapan Indra terasa menusuk. Mungkin, sahabatnya itu benar. Sementara di tempat lain. Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Bunda" di layar. Senyum tipis seketika mengembang di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Bun," sapa Hania."Waalaikumsalam, Hania. Bagaimana kabarmu, Nak?" Suara sang bunda terdengar lembut, tetapi membuat senyum Hania memudar. Ia merasa sedang tak baik-baik saja, hanya bisa terdiam."Em, alhamdulillah, Bunda. Bunda gimana?" Hania berusaha menyembunyikan kekalutannya. Ia ingin jujur, tapi takut membebani pikiran sang bunda."Alhamdulillah, Bunda s
Di rumah Sean, suasana makan malam terasa mencekam.“Jadi bagaimana, Sean? Apa kamu bisa mengabulkan persyaratan itu? Kamu tahu sendiri kalau kamu tidak bisa memberikan cucu kandung dalam keluarga ini, maka hak waris belum seutuhnya menjadi milikmu.” Suara Ibu Sean terdengar dingin, menusuk telinganya.Sean terdiam, sendok makannya terhenti di tengah jalan menuju mulutnya.“Waktumu tidak banyak lagi, Sean. Hanya tersisa beberapa bulan ke depan,” tambah wanita tua berkacamata itu, suaranya sarat dengan ancaman terselubung.Sean menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah piringnya.“Mami tenang saja, tidak lama lagi persyaratan itu akan terpenuhi,” jawab Sean, suaranya terdengar datar, penuh tekad.Ibu Sean mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Lusa, aku akan pertemukan Mami dengan wanita yang mengandung anak kandungku,” tambah Sean, suaranya terdengar yakin.Ibu Sean tercengang. “Anak kandung? Bagaimana bisa, Sean, kamu kan belum menikah?”Sean tersenyum tipis, “Mi, bukankah
Hania masih terpaku, tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi Hania perempuan yang sedang mengandung anakmu, Sean?”Ucapan itu terdengar seperti suara petir, keras dan mengejutkan. Semua yang mendengar seketika menoleh, memperhatikan sumber suara.Seorang wanita tua berkacamata berdiri di sana, matanya tertuju pada kerumunan di hadapannya. Bukan seseorang yang asing, tapi seseorang yang cukup dikenal Bunda Heni.“Arum,” gumam Bunda Heni terkejut. “apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu?”Arum berjalan mendekat, matanya menyipit, heran karena Heni tidak mengetahui apa yang terjadi. Sean juga terkejut dengan kedatangan sang ibu, terutama karena ia membicarakan kebenaran di hadapan Bunda Heni.“Jadi kamu tidak tahu yang sebenarnya?” tanya Arum, suaranya dingin.Heni mengerutka