“Aku tidak selingkuh maupun berzina, Mas. Aku berani bersumpah.”
Setelah mengucapkan itu pada Bian yang tampak tidak peduli, Hania pergi keluar. Menuju rumah sakit tempat ia memeriksakan diri. Lorong rumah sakit tampak sepi karena sedang bukan jam besuk ataupun jam periksa. Sendirinya, Hania bingung bagaimana ia menemui dokter yang memeriksanya kemarin untuk berkonsultasi tentang hasil tesnya tempo hari. Saat sedang menelusuri lorong dengan pikiran yang runyam, tiba-tiba– Bruk! Hania bertabrakan dengan seseorang, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. “Ah, maaf–” “Hania?” Wanita itu lantas mengangkat pandangan saat mendengar namanya dan melihat seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi berdiri di hadapannya. Hania tercengang saat mengenali pria itu. "Sean ...," ucapnya. Pria itu melepas kacamata hitamnya. Wajahnya yang tampan tengah terkejut. "K-kamu ... kamu apa kabar?" kata Hania lagi. Sean hanya mengangguk dan menyahut, “Baik.” Pandangan mata pria itu seolah menyimpan sesuatu yang tak terucapkan. Dan itu membuat Hania canggung. Sendirinya, Hania tidak menyangka jika ia akan bertemu lagi dengan Sean usai mereka berpisah beberapa waktu yang lalu. Apalagi dengan alasan tidak mendapat restu dari orang tua Hania, yang justru mengumumkan bahwa Hania sudah dijodohkan dengan pria lain. Otomatis memaksa mereka putus kontak. Padahal, dahulu Hania dan Sean saling mencintai. Dulu. Mungkin. Hania berusaha untuk tidak mengkhianati suaminya, sekalipun hanya dalam hati dan pikiran. “Kamu sakit?” Perhatian Hania teralihkan saat mendengar pertanyaan Sean. Pria itu mengamatinya, seperti sedang mengecek apakah Hania sedang terluka. Buru-buru, Hania menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin berkonsultasi,” jawabnya singkat. “Kamu?” “Aku baik.” Sean mengangkat pandangannya, melihat bahwa ternyata arah yang dituju oleh Hania adalah arah dokter kandungan. Pandangan matanya berubah sendu selama beberapa detik, sebelum kemudian ia tutupi kembali dengan kacamata. “Kalau begitu, aku tidak akan menahanmu.” Hania sedikit terkejut dengan sikap Sean yang kaku dan dingin, tapi memakluminya. Tidak ada yang baik untuk mereka jika tetap mengobrol seperti ini sekalipun. “Aku permisi, Sean,” ucap Hania lembut. “Semoga kamu selalu sehat.” “Kamu juga, Han.” “Dan–” Sean menoleh pada Hania saat wanita itu menambahkan, “Maaf.” Pria itu menghela napas. “Perpisahan kita bukan kesalahanmu, Han.” Setelah beberapa detik yang canggung, mereka berpisah ke arah yang berlawanan tanpa menyadari bahwa seseorang tengah mengamati mereka sejak tadi. Keysa, yang sejak tadi mengikutinya, tampak puas memandang beberapa foto hasil tangkapannya tadi. Gadis itu sebenarnya tidak pernah menyukai Hania dan selalu mencari-cari kesalahannya agar Bian, kakaknya, meninggalkannya. Kesempatan mengikuti Hania pun dimanfaatkannya dan … dia mendapatkan hasil memuaskan! “Mantan pacarkah?” gumam Keysa, mengerutkan dahi. Matanya menyipit, diam-diam menghakimi. “Kayaknya orang kaya. Apa selingkuhannya? Cih, kena tipu kamu, Mas, sama perempuan sok polos itu!” Usai mendapatkan foto-foto tersebut, Keysa memutuskan untuk langsung pulang dan menemui kakaknya di ruang kerja. "Mas, ternyata istri kamu itu emang bener-bener perempuan nggak baik, loh," ucap Keysa langsung usai ia membuka pintu. “Katanya mau buktikan kalau nggak selingkuh, tapi malah ketemu sama selingkuhannya.” Bian mengerutkan kening. "Maksud kamu?" "Coba kamu lihat ini, deh," ucap Keysa sambil mengulurkan ponselnya pada Bian, menunjukkan foto dan video yang tadi dia ambil. Rahang Bian mengeras. Merasa marah dan terhina. "Kurang ajar! Yang begini dibilang tidak berkhianat? Dasar perempuan munafik!" umpatnya dengan suara serak. “Aku harus membuat perhitungan dengannya nanti.” “Oh ya, Mas,” imbuh Keysa, makin mengompori. “Pria itu sepertinya mantan kekasih istrimu.” *** "Hasilnya masih sama, Mbak. Mbak positif hamil." Hania terdiam. Matanya memerah dan tubuhnya terasa lemas. "Jadi aku benar-benar hamil?” gumamnya. Hania terduduk di kursi, kedua tangannya menutupi wajahnya. “Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana aku hamil sementara aku … ya Tuhan tolong aku, tunjukkan padaku ada apa ini?" Tidak ada kemungkinan tertukar atau apa pun. Bagaimana Hania bisa menghadapi suaminya nanti? Meski begitu, karena tidak tahu harus melakukan apa lagi, Hania akhirnya memutuskan pulang ke rumah dengan perasaan lelah. "Sudah pacarannya?" Baru saja ia masuk ke dalam rumah, sebuah pertanyaan sudah menyambutnya. Hania menoleh dan melihat suaminya itu duduk di sofa ruang tamu. "Mas Bian...," ucap Hania. "Hebat kamu, ya. Setelah kamu selesai bersenang-senang bersama pacarmu, sekarang kamu pulang ke rumah suamimu? Perempuan tak punya hati," ujar Bian. "Apa maksud, Mas?" tanya Hania, bingung. Bian hanya mendengus dan kembali membaca koran. Hania menghela napas. "Mas Bian, aku ke rumah sakit tadi untuk cek ulang,” tutur Hania dengan suara pelan. Ia merasa lelah. “Seperti yang tadi aku katakan–” "Memang. Dan, ternyata kamu benar-benar hamil, kan?” tukas Bian. “Ya iyalah, Hania, kamu hamil karena kamu sudah melakukannya dengan mantan pacar kamu itu!" Hania terbelalak. "Astaghfirullah, Mas!" BERSAMBUNG."Sudahlah, Han, jangan banyak bicara, aku sudah tahu semuanya.” Bian kembali menukas, bersikap seakan-akan ia tidak termakan sandiwara Hania. Ia berdiri dan akhirnya meninggalkan Hania. “Dasar perempuan munafik.” Setelah peristiwa itu, hari demi hari berlalu. Namun, sikap Bian padanya justru makin dingin..Pria itu memang tidak menceraikan Hania, tapi sikapnya yang dingin dan tidak peduli, serta secara berkala mengingatkan Hania bahwa wanita itu sudah mengkhianati pernikahan mereka yang belum lama tersebut. Bian juga sama sekali tidak mengacuhkan Hania saat wanita itu menunjukkan tanda-tanda kurang nyaman karena gejala kehamilannya. Hania bisa bertahan, sekalipun memang merasa tersiksa. Hingga akhirnya siang ini, ayah mertua Hania datang, mengatakan bahwa beliau sudah mendengar kabar Hania hamil dari Keysa dan berniat mengeceknya sendiri. Tanpa tahu kalau Keysa sengaja melakukannya untuk mendesak Bian untuk menceraikan kakak iparnya tersebut. “Papa dengar Hania hamil,” ucap Pak Hari
“Saya mendapatkan informasi bahwa janin yang sedang dikandung oleh Hania adalah anak saya.” Seketika semua terbelalak kala mendengar pernyataan dari Sean. "Sean, apa maksudmu? Jangan mengada-ngada. Kita tidak pernah melakukan hal itu!" sambar Hania, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Aku tidak mengada-ngada, Hania. Aku serius. Benih yang sedang kamu kandung itu milikku." Hania membuang wajah, ekspresinya frustrasi. Ia menggelengkan kepala, merasa tak berdaya. Ingatannya kosong, tak ada satu pun kenangan yang terukir tentang pertemuannya dengan Sean sebelum di rumah sakit. Sean melangkah menjauh, memasukan kedua tangannya di saku celana, kemudian ia menjelaskan. "Saat itu …." Sean terduduk berhadapan dengan seorang dokter laki-laki. "Bagaimana, apa kerjamu berhasil?" tanya Sean, menatap tajam dokter muda tersebut. Dokter itu menggelengkan kepala, membuat Sean mengerutkan dahi. "Sean, kita salah sasaran," ucapnya. Sean melebarkan mata. "Benihmu tidak tertanam dalam rahim wanita ba
"Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, untuk apa berumah tangga kalau hanya karena terpaksa? Jadi aku mau ... kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah," ucap Hania membuat Bian terbelalak kemudian mengernyitkan bibir, pandangannya sinis memperhatikan wanita berhijab di hadapannya itu. “Huh, katakan saja kalau kamu ingin kembali dengan mantan kekasihmu itu.” Hania menggeleng cepat, memandang Bian dengan pandangan nanar. “Ingat, Han, aku tidak akan pernah menceraikanmu! Apalagi alasanmu hanya untuk laki-laki itu.” "Tapi, Mas, aku tidak …." Belum usai Hania berkata, Bian beranjak melangkah meninggalkan tempat, membuat ucapan Hania terhenti. "Mas Bian …." Panggilan Hania tak dihiraukan. Bian terus berjalan menjauh dan membiarkan Hania memperhatikan tubuh bagian belakangnya. Hania terdiam, hatinya tercabik antara kekecewaan dan keputusasaan. *** Beberapa bulan kemudian. "Hania! Hania!" Terdengar teriakan Bian menggema di dalam satu ruang
“Sean,” gumam Hania tanpa suara, matanya terpaku pada sosok laki-laki tampan yang semakin mendekat. Sorot mata Sean tampak serius, seakan menyelidiki. “Apa yang terjadi, Hania? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Sean, tatapannya beralih antara Hania, Bian, dan Pak Haris. Ketiganya terdiam. Hania dan Pak Haris tampak khawatir, sementara Bian justru menunduk, raut wajahnya tak terbaca. “Apa kandunganmu baik-baik saja?” tanya Sean lagi, suaranya sedikit khawatir. Hania bingung harus menjawab apa. Ia tahu Sean pasti marah besar jika terjadi sesuatu pada benih yang tumbuh di perutnya. Mengadukan semua perlakuan Bian? Mustahil. “Em, tidak terjadi apa-apa, Sean. Hania hanya kelelahan,” sambar Pak Haris, membuat Sean seketika menoleh padanya. Tatapan Sean beralih pada Bian yang masih tampak acuh. “Di mana tanggung jawabmu sebagai suami? Kenapa kamu membiarkan istrimu terluka seperti ini? Di mana hatimu?” tanya Sean, suaranya bergetar menahan amarah. Bian tersentak, “Jaga ucapanmu
“Yang seperti ini dibilang tidak mengkhawatirkan? Huh, Sean, efek terlalu lama menjomblo,” gurau Indra terkekeh. "Kamu sudah dewasa, apa lagi yang ditunggu?"Sean menggeleng, "Bukan begitu, Ndra. Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat."Indra mengernyit, "Bilang saja kamu belum bisa melupakan Hania."Sean terdiam. Entah mengapa, ucapan Indra terasa menusuk. Mungkin, sahabatnya itu benar. Sementara di tempat lain. Hania masih terbaring di ranjang rumah sakit, matanya menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Bunda" di layar. Senyum tipis seketika mengembang di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Bun," sapa Hania."Waalaikumsalam, Hania. Bagaimana kabarmu, Nak?" Suara sang bunda terdengar lembut, tetapi membuat senyum Hania memudar. Ia merasa sedang tak baik-baik saja, hanya bisa terdiam."Em, alhamdulillah, Bunda. Bunda gimana?" Hania berusaha menyembunyikan kekalutannya. Ia ingin jujur, tapi takut membebani pikiran sang bunda."Alhamdulillah, Bunda s
Di rumah Sean, suasana makan malam terasa mencekam.“Jadi bagaimana, Sean? Apa kamu bisa mengabulkan persyaratan itu? Kamu tahu sendiri kalau kamu tidak bisa memberikan cucu kandung dalam keluarga ini, maka hak waris belum seutuhnya menjadi milikmu.” Suara Ibu Sean terdengar dingin, menusuk telinganya.Sean terdiam, sendok makannya terhenti di tengah jalan menuju mulutnya.“Waktumu tidak banyak lagi, Sean. Hanya tersisa beberapa bulan ke depan,” tambah wanita tua berkacamata itu, suaranya sarat dengan ancaman terselubung.Sean menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah piringnya.“Mami tenang saja, tidak lama lagi persyaratan itu akan terpenuhi,” jawab Sean, suaranya terdengar datar, penuh tekad.Ibu Sean mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Lusa, aku akan pertemukan Mami dengan wanita yang mengandung anak kandungku,” tambah Sean, suaranya terdengar yakin.Ibu Sean tercengang. “Anak kandung? Bagaimana bisa, Sean, kamu kan belum menikah?”Sean tersenyum tipis, “Mi, bukankah
Hania masih terpaku, tak tahu harus berkata apa. Sean, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam. Keduanya seakan terjebak dalam keheningan yang mencekam, diiringi tatapan penuh tanya dari Heni, Haris, Bian, dan Keysa.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi Hania perempuan yang sedang mengandung anakmu, Sean?”Ucapan itu terdengar seperti suara petir, keras dan mengejutkan. Semua yang mendengar seketika menoleh, memperhatikan sumber suara.Seorang wanita tua berkacamata berdiri di sana, matanya tertuju pada kerumunan di hadapannya. Bukan seseorang yang asing, tapi seseorang yang cukup dikenal Bunda Heni.“Arum,” gumam Bunda Heni terkejut. “apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu?”Arum berjalan mendekat, matanya menyipit, heran karena Heni tidak mengetahui apa yang terjadi. Sean juga terkejut dengan kedatangan sang ibu, terutama karena ia membicarakan kebenaran di hadapan Bunda Heni.“Jadi kamu tidak tahu yang sebenarnya?” tanya Arum, suaranya dingin.Heni mengerutka
"Kenapa semua orang masih saja menyalahkanku?" gumam Hania lirih, air matanya mengalir deras."Karena kamu memang salah!" bentak Bian, amarah membara di matanya. "Jangan mengira kami menyalahkanmu tanpa alasan."Hania tersentak. Wajah Bian dipenuhi amarah yang mengerikan. Ia menggelengkan kepala cepat-cepat, seakan meyakinkan Bian jika ia tak bersalah. Namun, lagi-lagi Hania tak dapat berkutik. Ia hanya bisa diam, terjebak dalam ketakutan yang membeku. Seberapa besar pun ia membela diri, rasanya percuma, Bian tak akan pernah mempercayainya.***Sementara itu, Sean berjalan cepat melalui lorong rumah sakit, aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya kini terasa, ia hendak bertemu Indra, salah satu dokter dan sahabatnya di rumah sakit ini. Setelah beberapa bulan berlalu, kali ini Sean datang kembali. Tanpa mengetuk pintu ia masuk, membuat Indra seketika mengalihkan pandangannya."Sean–""Apa kamu tahu, karena kesalahan rumah sakit ini, Hania menderita," ucap Sean tanpa berbasa-basi. Ind