Aisyah Sofiana, seorang gadis yang di jadikan penebus hutang oleh pamannya sendiri pada juragan tanah yang sudah memiliki istri tiga. Itu artinya, jika Aisyah menyetujui, ia harus menjadi istri ke empat juragan tanah itu. Aisyah menolak mentah-mentah permintaan pamannya itu, dan preman suruhan juragan menawarkan diri agar dirinya saja yang menikahi Aisyah. “Kalau kamu tidak mau jadi istri juragan Bram, lebih baik kamu jadi istriku saja!” Ucap seorang preman yang bernama Galih Pratama. Akankah Aisyah menerima tawaran preman itu??
View More“Gimana? Kalian suka sama tempatnya.” Aisyah mengangguk cepat. “Aku suka, Ma. Makasih banyak ya, Mama sudah meluangkan banyak waktu demi mempersiapkan hari bahagia untuk kami.” Renita melempar senyum hangat dan mengangguk singkat. “Ini hal mudah buat Mama, Syah. Lagi pula, Mama memang senang melakukan ini. Kapan lagi Mama bisa turun tangan menyiapkan pesta pernikahan putra Mama satu-satunya??” Rasa haru kembali menyeruak, tak ada lagi kalimat yang bisa Aisyah utarakan untuk menggambarkan bagaimana dirinya merasa bahagia bisa mendapatkan suami seperti Galih, lengkap dengan mertua yang sangat baik dan mau di repotkan seperti Wijaya dan Renita. “Makasih banyak, Ma. Mama mengatur semuanya dengan sangat baik. Aku gak akan bisa membalas semua kebaikan Mama,” ucap Galih tak ragu mengatakan bahwa ia memiliki banyak sekali hutang budi pada ibunya. “Ini memang sudah tugas Mama, Nak. Sejak dulu pun, impian Mama adalah mempersiapkan pernikahan untuk kamu,” balas Renita. “Satu hal lagi, Mama
Malam harinya, kembali terjadi keributan di dalam kamar Syahnaz. Malam pertama yang seharusnya mereka nikmati dengan kebersamaan yang indah, kini sirna lantaran Syahnaz yang menuntut mahar yang di berikan oleh sang suami itu kurang. “Semua penghasilan aku di pegang sama Mama, Naz. Mama yang menyiapkan semua mahar itu, aku gak bisa berbuat apa-apa, dari pada malah gak jadi nikah ya sudah apa adanya saja,“ Arman membeberkan alasannya terkait jumlah mahar yang ia berikan. “Apa?! Jadi Mama kamu yang pegang semua uangmu?” Syahnaz syok, ini benar-benar melenceng jauh dari perkiraannya. Hati Syahnaz begitu panas mendengar penjelasan sang suami perihal uang yang semuanya di atur oleh ibu mertua. Tangan Syahnaz terkepal. Ingin rasanya ia keluar dari kamar dan melabrak Tiara. Namun, tentulah hal tersebut tidak boleh terjadi. Keluarganya sudah menjadi sorotan warga sejak pesta pernikahan tadi siang, karena nominal mahar yang jauh sekali dari mahar Aisyah. Jangan sampai ada sorotan untuk yang
Akad nikah sudah berlangsung. Namun, bukan bahagia yang di dapatkan oleh Syahnaz. Wanita itu sedari tadi menahan geram, lantaran ternyata Arman hanya memberinya mahar berupa seperangkat alat sholat dan uang tunai dua juta rupiah saja. Runtuh sudah harga diri yang sejak tadi ia junjung tinggi. Dalam pandangan Syahnaz, saat ini semua orang sedang mengejeknya. Niat hati mengharapkan kehadiran Aisyah karena ingin menunjukkan keberuntungannya, justru malah semua orang kini memuji sepupunya itu. Bukannya untung, ia malah buntung. Pesta megah yang di gelar seolah tak ada artinya bagi warga sekitar. Bisikan mulai terdengar tak enak setelah acara ijab qobul tadi. Sama halnya dengan Syahnaz dan Rina kini menahan malu luar biasa. Kekayaan keluarga Arman yang ia agungkan ternyata hanya bualan semata. “Duh, menantu kamu cantik sekali Renita, orang sini juga ya?” Puji Tiara, Ibu Arman. Memandang takjub pada Aisyah. “Iya Tiara, gimana? Cocok kan jadi menantu idaman?” Jawab Renita sengaja meni
Hari berlalu begitu cepat, semua terlewati dengan banyak sekali kejadian yang membuat kepala pening, terutama untuk keluarga Herman sendiri. Halaman rumah tetangga yang luas, yang letaknya tepat berada di samping rumah mereka, telah di sulap menjadi tempat resepsi. Syahnaz sengaja menggunakan konsep ala gedung untuk menunjukkan pada para tetangganya, kalau ia mampu menggelar pesta mewah yang berbanding terbalik dengan acara pernikahan Aisyah saat itu. “Pernikahan kamu mewah banget, Naz. Kamu tau gak, kalau tetangga di luar sana gak ada habisnya memuji dekorasi resepsi pernikahan kamu ini?” Ungkap Susan tak dapat menutupi rasa kagumnya , mengucapkan dengan nada senang. Namun, dalam hati Susan timbul rasa iri terhadap dua perempuan di kampungnya itu. Pertama, Aisyah telah di nikahi oleh lelaki yang kaya raya yang memiliki cabang usaha dimana-mana. Sekarang, Syahnaz juga akan segera menikah dengan seorang lelaki dari kota, yang kabarnya juga berasal dari keluarga kaya. Susan yakin
“Iya, Mas... Aku paham kok, gak papa... Aku malah seneng kalau kamu terbuka sama aku.” Jawab Aisyah tersenyum hangat. “Iya, Syah. Aku juga lebih seneng kalau kamu mau terbuka, apalagi membuka_” “Aish... Mulai!” Aisyah dengan cepat memotong ucapan Galih, lantaran tahu kemana arah bicara lelaki itu. Galih nyengir, “Hehe... Ya udah pulang yuk! Anginnya sudah mulai dingin, takutnya kamu nanti masuk angin.” Mereka berdua pun akhirnya berjalan menuju parkiran. Seperti biasa, Galih membukakan pintu untuk istrinya. Namun, kali ini Aisyah seketika langsung mematung saat melihat sesuatu yang berada di dalam mobil. “Mas?” Galih tersenyum. “Buat kamu, Sayang,” Ucap Galih membuat Aisyah seketika mengambil buket berukuran besar itu. “MasyaAllah, Mas. Ini bagus sekali, mana besar lagi.” Ungkap Aisyah dengan wajah berbinar. Buket raksasa berisi bunga dan aksen kupu-kupu itu sangat menyejukkan mata wanita. Siapa pun pasti akan senang jika di beri kejutan kecil seperti ini. “Kamu suka?” Galih
Sore hari, pukul 17.30 wib... Aisyah tak juga ke rumah Herman. Wanita itu malah di ajak Galih ke sebuah tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Sebuah kafe yang berada di dekat pantai, menjadi pilihan Galih untuk membawa istrinya. Dapat di lihat dari raut wajah Aisyah yang begitu senang setelah tiba di tempat tersebut. Pemandangan hamparan pasir terlihat dari atas. Cafe itu salah satu milik teman Galih, pria itu sengaja memboking area balkon cafe, agar Aisyah dan dirinya bisa menikmati keindahan senja dari atas sana tanpa gangguan apapun. Galih telah memesan beberapa makanan kesukaan istrinya itu. Tak sulit bagi Galih mengetahui hal itu, di karenakan sejak dulu Aisyah sering datang di kedai miliknya. Ya, sedetail itu Galih memperhatikan wanita yang saat ini sudah menjadi istrinya. Pandangan Aisyah masih menatap senja yang terlihat semakin indah. Senja selalu menenangkan, walau hadirnya hanya sebentar tapi mampu meninggalkan kesan indah pada jiwa yang menikmatinya. Seora
“Mbak Syahnaz juga bilang, kalau dia terpaksa datang ke sekolah karena kesulitan menghubungi Mbak. Soalnya keadaan Paman Herman, katanya kondisinya parah, Mbak.” Aisyah mengepalkan tangannya untuk menyalurkan rasa tidak tenang yang mendera di hatinya. Wajar jika Syahnaz tidak bisa menghubunginya, sebab semalam Galih memblokir semua nomor anggota keluarga Herman. “Terus apa yang dia bilang lagi sama kamu? Dia gak mencoba mengancam kamu kan?” Fadil menggeleng. “Mbak Syahnaz cuma bilang, supaya aku memberi tahu keadaan Paman Herman sama Mbak Aisyah. Dia juga mau Mbak segera datang ke rumah untuk melihat kondisi Paman Gunawan.” Aisyah mengusap wajah. Bagaimana ini? Hati nuraninya tak bisa di bohongi, kalau ia merasa khawatir dengan keadaan Herman. Bagaimanapun kelakuan pamannya itu, Aisyah masih tidak bisa bersikap abai jika kondisi Herman memang sedang butuh bantuan. “Mbak akan telepon Mas Galih dulu, dan bertanya bagaimana baiknya. Sekarang, kamu ganti baju dulu, lalu makan siang
Setelah menyantap sarapan bersama dan menikmati udara pagi yang masih sangat segar, Wijaya dan Renita berpamitan untuk kembali ke kota. Ada banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikannya, sehingga dengan berat hati keduanya meninggalkan anak dan menantu untuk sementara waktu. “Sebenarnya Mama masih ingin tinggal di sini, Syah.” Ungkap Renita, rasanya berat berpisah dengan menantunya itu. Tadi pun, Renita seperti sengaja berlama-lama berbincang du teras depan, padahal Wijaya sudah berulang kali mengatakan pada istrinya untuk lekas bersiap-siap agar tidak tertahan kemacetan selama di perjalanan. Sementara Aisyah yang mendengar itu tertawa kecil. Entah sudah berapa kali mertuanya berkata demikian. Yang pasti, Aisyah sangat tahu kalau mertuanya itu masih ingin tinggal di rumah tersebut. Perempuan paruh baya itu juga mengatakan, ada banyak hal yang belum mereka lakukan Aisyah. “Nanti kalau ada waktu luang, Mama harus main lagi ke sini. Aku juga merasa hampa gak ada Mama,” Balas Ais
Dering demi dering terlewati begitu saja, tapi panggilannya sama sekali tak mendapatkan jawaban. “Sialan si Aisyah ini! Dia pasti menghindar dan tau kalau kamu sudah cerita semuanya sama Bapak dan Ibu!” Herman mengumpat mendapatkan pengabaian dari keponakannya sendiri. Herman berpikiran, bahwa Aisyah memang sengaja menghindar karena takut padanya. “Dia pasti takut, Pak!” Tebak Rina asal-asalan. Sebagai seorang istri dan ibu, Rina sama sekali tidak bisa menjadi penengah dan meredakan amarah anak serta suaminya. Perempuan paruh baya itu malah mendesak Herma untuk kembali menghubungi Aisyah. “Pokoknya terus telfon Aisyah, Pak! Ibu mau masalah ini cepat terselesaikan!” Desak Rina lagi. Herman mengangguk lagi, lelaki paruh baya itu kembali menghubungi nomor ponsel Aisyah. Namun sayang, panggilannya belum juga ada jawaban. Wajah Herman memerah padam dan sekarang tangannya terkepal kuat. Kalau sampai Aisyah tidak menjawab panggilannya yang kedua, maka jangan salahkan Herman untuk mem
“Nah... Ini dia keponakan yang saya ceritakan kemarin, Tuan.” Ucap Herman, saat Aisyah baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu tersebut. Dua lelaki dengan penampilan seperti preman, duduk di ruang tamu sembari menatap Aisyah dari atas sampai bawah dengan intens. Merasa risih dengan tatapan dua pria itu, Aisyah bergegas melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, suara teriakan Herman membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Jangan kemana-mana, Aisyah! Duduk di sini!” Titah Herman sembari menunjuk kursi di sampingnya. “Maaf, Paman. Badan Aisyah terasa lengket, Aku mau bersih-bersih dulu.” Tolak Aisyah dengan lembut. “Duduk, Aisyah! Atau_” Ucapan Herman tertahan sesaat. Tampak seorang wanita berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. “Duduklah dulu, Aisyah. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu!” Ucap Rina, istri Herman. Aisyah pun pasrah. Ia duduk dengan rasa penasaran menyelimuti jiwanya. Apa y...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments