Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan.
Aisyah sudah bangun pagi-pagi sekali. Gadis itu mencoba menghilangkan segala beban pikirannya sejenak. Ia harus bekerja, ada Fadil yang sudah menjadi tanggung jawabnya. “Kok kamu berangkat kerja, Syah?” Celetuk Rina setelah melihat Aisyah sudah siap dengan seragam kerjanya. “Ya Tante.” Jawab Aisyah sembari menyisir rambutnya. “Kalau kamu nikah sama juragan Bram, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja, Syah. Hidup kamu bakalan terjamin. Dari makan, rumah, mobil, bahkan kamu bisa shopping tiap hari. Dari pada jadi penjahit terus, kerja dari pagi hingga sore, tapi tetap aja hidup kamu gini-gini aja!” Ucap Rina. Aisyah menghela napas berat. Lagi-lagi Rina menyuruhnya menikah dengan juragan Bram. Aisya berbalik badan, menatap Rina. “Tante, selama ini Aisyah gak pernah beli ini itu di karenakan uangnya dipakai untuk biaya pendidikan Fadil. Dan juga buat makan kita sehari-hari di rumah ini!” Ucapnya, membela diri. “Halah... Uang makan sehari-hari kamu bilang? Uang yang kamu kasi itu kurang, Syah! Makanya Paman kamu sampai berhutang biar bisa membiayai hidup kita! Pokoknya Tante gak mau tau, kamu harus nikah sama juragan Bram! Kalau enggak, berarti kamu durhaka! Gak tau balas budi!” Ucap Rina dengan sorot mata tajam. “Astaghfirullah. Tante... Aisyah bukan gak mau balas budi, tapi Aisyah gak mau kalau harus jadi istri ke empat juragan Bram! Apa Tante gak kasihan sama Aisyah?” Ujar Aisyah. Dadanya terasa sesak. “Kamu yang gak kasihan sama Tante, Aisyah! Selama ini Tante sudah menampung kalian berdua, adik kamu juga Tante yang urusin! Sekarang Tante cuma minta kamu nikah sama juragan saja, kamu juga menolak! Padahal yang bahagia nanti kan kamu sendiri!” Rina mengungkit semua jasa-jasanya terhadap Aisyah dan juga Fadil. Padahal, walaupun tinggal serumah, Rina jarang sekali memperhatikan Aisyah dan Adiknya. “RINA... BAWA AISYAH KEMARI!” Teriak Herman dari arah ruang tamu. Jantung Aisyah berdegup kencang. Perasaannya mulai tak enak. “Aisyah pamit kerja dulu, Tante!” Aisyah buru-buru menyambar tasnya, kemudian keluar dari kamar. “Aisyah, tunggu!” Jerit Rina, wanita itu mengejar Aisyah. Saat melewati ruang tamu, Aisyah terkejut setelah melihat kedatangan juragan Bram dan juga dua orang preman yang kemarin datang, termasuk Galih. Aisyah mencoba mengabaikan semua orang yang tengah duduk di ruang tamu. Ia terus melangkahkan kaki keluar rumah. Tapi gadis itu di halang oleh Rais anak buah juragan Bram. “Ssst... Minggir!” bisik Galih pada Rais. Rais pun menggeser tubuhnya, membiarkan Galih menggantikan tempatnya yang berdiri tepat di hadapan Aisyah. Mata Aisyah mendelik, memberi kode agar Galih minggir. Namun, pemuda itu malah tetap diam berdiri dengan tersenyum manis. “Jangan khawatir!” Katanya lirih. Aisyah menggeleng. Ia ingin segera pergi. Bahkan ia tidak akan pulang lagi jika Pamannya terus memaksanya untuk menikah dengan juragan Bram. “Aisyah! Jangan kurang ajar kamu!” Bentak Herman penuh emosi melihat Aisyah yang mencoba ingin kabur. “Tenang, Herman... Tenanglah. Mungkin Aisyah masih malu-malu.” Ucap Bram, juragan tanah dan juga seorang rentenir yang sudah berusia lima puluh tahunan itu. Bram menatap Aisyah dari atas sampai bawah tanpa berkedip. Kembang desa incarannya itu kini sebentar lagi akan jadi miliknya. “Aisyah... Duduk, sayang!” Ucap Bram, menepuk-nepuk sofa lusuh tepat di sampingnya. Aisyah terperanjat. Perutnya serasa mual mendengar panggilan sayang itu. Gadis itu hanya diam, tak mengikuti perintah juragan Bram. “Baiklah... Gak apa-apa. Dulu Fira juga malu-malu saat aku lamar.” Ucapnya dengan penuh percaya diri. Fira adalah istri keduanya, wanita itu seorang janda yang ditinggal suaminya karena kecelakaan. “Maaf, juragan. Terus terang saya ingin mengatakan, kalau saya tidak mau menikah dengan juragan!” Aisyah memberanikan diri untuk menepis semua impian juragan tanah itu. Bukannya marah, juragan Bram malah tertawa terbahak-bahak. “Hahaha... Aisyah, Aisyah! Kamu pikir kamu bisa menolak? Paman kamu ini sudah menandatangani surat perjanjian, apabila kamu gak mau menikah, itu artinya Herman harus membayar hutangnya sebesar seratus lima puluh juta!” Jawab Bram, terkekeh. Pria tua yang sudah berumur itu yakin. Jika Aisyah tak akan bisa menolak lagi. “Seratus lima puluh juta? Bukannya kemarin Paman katakan seratus juta??” Aisyah menoleh ke arah Herman. “Lima puluh juta-nya lagi itu bunganya!” Jawab Herman dengan santai. Aisyah terperangah. Apa-apaan ini? “Apa?? Tapi, Paman_” “Kalau kamu tetap menolak, maka Herman harus mendekam di penjara!” lagi-lagi Bram menggertak Aisyah, membuat mental Aisyah terasa terguncang. “Kamu gak mau di anggap sebagai anak durhaka kan, Syah? Atau, kamu memang ingin melihat pamanmu di penjara?” Ucap Rina, membuat Aisyah semakin tertekan. Pikiran Aisyah benar-benar kalut. Sungguh, Aisyah tak ingin mengorbankan dirinya untuk melunasi utang itu, tetapi ia juga tak mau kalau sampai Pamannya di penjara. Bagaimana pun juga, Aisyah sudah menganggap Herman seperti orang tuanya sendiri. “Penawaran yang aku tawarkan kemarin masih berlaku. Jika kamu ingin bebas dari juragan!” Galih yang sedari tadi diam akhirnya mengangkat bicara. Bram menatap Galih dengan tatapan penuh tanda tanya, “Apa maksud kamu, Galih?” Tanyanya, bangkit dari duduknya. Suasana mendadak tegang. Apalagi saat Galih hanya tersenyum miring pada Bram, tak menjawab pertanyaannya. Pria itu kembali menatap pada gadis itu, “Bagaimana?” Tanya Galih lagi pada Aisyah yang masih terdiam. Aisyah terdiam sejenak. “Baik! Aku akan terima tawaran kamu itu!” Ucap Aisyah pada akhirnya. Aisyah tak punya pilihan lain saat ini. Meskipun ia ragu dengan pria di hadapannya itu. Selain ragu, apakah Galih bisa melunasi hutang Herman, Aisyah juga ragu tentang diri pemuda itu. Pasalnya, yang ia ketahui, Galih hanyalah anak buah juragan Bram yang berpenampilan seperti preman. Apa pemuda itu bisa menjadi suami yang baik bagi dirinya? Pikir Aisyah. Namun, daripada harus menjadi istri ke empat juragan Bram, Aisyah akhirnya memilih menerima penawaran untuk menikah dengan Galih. Entah bagaimana nasib ke depannya, setidaknya ia tak menjadi istri ke empat bandit tua itu. “GALIH! APA YANG KAU TAWARKAN PADANYA, HAH!” Bentak Bram. Bram maju tepat di hadapan Galih. Ia tarik kerah baju pemuda itu sekaligus anak buahnya. Galih melepaskan tangan Bram dengan pelan, “Santai, juragan. Saya hanya memberi penawaran. Kalau Aisyah tidak mau menikah dengan juragan, maka ia menikah saja denganku! Soal hutang Pamannya itu, biar saya yang bayar!” Ungkap Galih dengan tenang. Bola mata Bram seketika melotot tajam, lelaki tua itu mendorong tubuh Galih hingga terbentuk ke dinding. “Kurang ajar! Punya apa kamu mau bayar hutangnya, hah!” Sentak Bram, wajahnya merah padam. “Kirim saja nomor rekeningnya, juragan. Pasti saya bayar!” Lagi-lagi Galih menjawabnya dengan tenang. Bugh! Tak kuasa menahan emosi, Bram pun memukul perut Galih. Merasa kesal dengan jawaban pemuda itu yang terkesan menantangnya. “Juragan!” Teriak Rais, panik. Meski Rais juga merasa kesal dengan sikap lancang Galih, tetapi ia juga tak mau jika sampai temannya itu mati di tangan juragannya.“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak. “Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lela
“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya.“Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih.Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja.“Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk.Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua.“Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut.Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu.“Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlo
“Eh, tunggu dulu! Syahnaz ini kan putri kami satu-satunya. Jadi, sebelum pernikahan di selenggarakan, kami ingin memberikan persyaratan terlebih dahulu untuk Nak Arman.” Ucap Herman. Arman mengernyit heran, penasaran. Persyaratan apa yang akan di berikan oleh calon mertuanya itu? “Apa syaratnya?” Tanya Arman cepat. “Kami ingin... Nak Arman memberikan mahar pada Syahnaz sebesar seratus juta!” Ujar Herman. Seketika membuat Arman dan kedua orang tuanya terkejut hebat. Mahar seratus juta?? “Apaa?!! Seratus juta???” Pekik mereka bertiga, kompak. Saking terkejutnya. “Iya! Kalian tidak keberatan kan?” Rina menimpali. Syahnaz seketika melotot pada kedua orang tuanya. “Pak, apa-apaan ini!” Protes Syahnaz. “Syahnaz, kamu berhak mendapatkan mahar yang besar! Jangan mau kalah sama Aisyah, calon suaminya juga memberikan Bapak uang sebesar seratus juta!!” Ujar Herman, tentu saja pria paruh baya itu tidak ingin mengatakan jika uang itu sebenarnya untuk membayar semua hutangnya. “Kalian ini
Pukul 01.00 wib. Di dalam sebuah kamar yang sangat sederhana. Aisyah sedang menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia baru saja selesai di rias. Karena hari ini adalah hari pernikahannya yang memang dipercepat karena keinginan pria dengan tampang preman itu. Ia mengenakan kebaya putih cerah, sangat pas di tubuh langsingnya yang indah. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra di sanggul dengan berhiaskan aksesoris jepit kecil berbahan mutiara, hanya tampilan yang sangat sederhana namun sangat tangguh dan elegan. Mencerminkan kepribadian Aisyah yang sesungguhnya. “Wah... Kamu sangat cantik, Mbak Aisyah.” Kagum seorang wanita yang telah memakaikan riasan make up pengantin ke wajah Aisyah. Make up yang tidak terlalu menor atau berlebihan seperti keinginan Aisyah sendiri. Aisyah hanya tersenyum tipis. Entah ia harus bahagia untuk hari istimewa ini ataukah justru sedih. ‘Ya Allah, jika memang ini jalan takdir yang harus hamba tempuh, hamba mohon berika
“Kamu tau dari mana?” Tanya Aisyah penuh selidik. Galih menatap dalam-dalam manik Aisyah. “Itu tidak penting, Aisyah! Cepat... Kemas barang-barang yang ingin kamu bawa!” Aisyah mendengus kesal. “Kamu harus menjelaskan semuanya! Kenapa kamu banyak tau hal tentang keluargaku?!” Galih menghela napas panjang. “Nanti aku ceritakan, Syah! Cepat kemasi barangmu, kasihan Fadil sudah menunggu!” Ucapnya lembut. Rasa penasaran Aisyah belum hilang tentang dari mana Galih mendapatkan uang sebanyak seratus juta untuk melunasi hutang Herman, juga mahar sebesar lima puluh juta. Kini Aisyah di buat penasaran lagi tentang jati diri Galih yang sebenarnya. Mengapa pria itu seakan banyak mengetahui tentang keluarganya, bahkan sampai ke masalah yang sifatnya rahasia itu. “Gak usah bawa baju banyak-banyak. Nanti saya belikan yang baru!” Jelas Galih. Aisyah yang sedang mengemasi pakaiannya, sontak menoleh pada pria itu. “Tidak perlu! Baju sudah banyak.” Sahut Aisyah, kembali menyusun pakaiannya. Baj
“Mobilnya siapa itu?” Tanya Aisyah, bingung. Seorang supir membukakan pintu setelah mereka tiba di dekat mobil. “Silahkan Tuan, Nyonya.” Ucap sang supir, mempersilahkan. “Ayo masuk Aisyah, Fadil!” Ajak Galih pada sang istri dan adik iparnya. “Waah... Ini mobilnya Bang Galih?? Ih, keren banget... Kayak punya sultan mobilnya.” Ujar Fadil dengan wajah berbinar, kegirangan. Suara Fadil yang cukup besar, membuat Herman dan Rina yang masih di dalam rumah merasa penasaran. Mereka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. “Wah, keren banget mobilnya, Pak.” Mata Rina seketika berbinar-binar, takjub. “Iya, Bu. Ini mobil yang harganya miliaran itu kan??” Herman tak kalah takjub. “Pak? Kok si preman itu bisa pakai mobil mewah ya?? Jangan-jangan dia memang beneran kaya lagi, Pak?!” Ujar Rina. “Halah... Gak mungkin, Bu! Palingan itu mobil pinjem punya juragan siapa gitu!!” Sanggah Syahnaz tiba-tiba. Gadis itu rupanya juga penasaran mendengar kehebohan di luar rumahnya. “Hem... Iya juga ya, N
Mobil yang mereka tumpangi kini tiba di pusat perbelanjaan.“Kok kita ke sini, Mas?” Tanya Aisyah, terheran.“Iya, kita belanja dulu! Di rumah masih kosong, gak ada stok bahan makanan, sekalian juga buat beli baju kamu dan Fadil!” Jawab Galih.“Waah... Asyik...” Ujar Fadil, kegirangan.Aisyah menoleh ke arah Fadil, menggeleng pelan. “Di sini pasti mahal-mahal, Dil. Kita gak usah beli apa-apa, beli bahan untuk makan kita saja!” Tolak Aisyah, cepat.Galih menatap lekat manik Aisyah, “Hey... Kalian tinggal memilih apa yang kalian butuhkan! Tak perlu sungkan!” Ujar Galih cepat.“Tapi, Mas_” Ucapan Aisyah terhenti, Galih menempelkan telunjuknya di bibir istrinya itu.“Nurut aja apa kata suami!” Pinta Galih, kemudian turun lebih dulu dari mobil.Aisyah diam mematung, memegang bibirnya yang baru saja di sentuh oleh jari Galih.“Ayo, turun!” Titah Galih pada Aisyah dan Fadil.Aisyah masih terdiam, ia pun turun dengan perasaan yang sulit di artikan.“Beli apa aja yang kamu mau, Dil!” Tawar Gal
‘Gak! Ini gak mungkin!.’ Batin Rian, tak percaya, sebab mereka baru putus tiga hari yang lalu. Ada rasa panas dan tak ikhlas, saat menyaksikan wanita yang selama ini ia puja di gandeng oleh pria lain di depan matanya sendiri. Meskipun pria itu sendiri yang memutuskan hubungan mereka, tapi jauh dari lubuk hatinya yang dalam, Rian masih sangat mencintai Aisyah. Rian hanya terjerat dalam situasi, di karenakan orang tuanya tak merestui hubungan pria itu dengan Aisyah, bahkan sudah disiapkan jodoh untuk dirinya. Mila, gadis yang dipilihkan oleh orang tuanya, yang terbilang lebih segalanya dari Aisyah. Mil seorang wanita berhijab, berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya. Namun, lagi-lagi hati tak bisa di bohongi. Perasaan Rian rupanya masih terpaut pada gadis sederhana seperti Aisyah. “Mas? Dari tadi aku nyariin kamu ternyata ada di sini!” ucap seorang wanita dengan hijab berwarna cream. “Mila, kita pulang sekarang aja ya.” Pinta Rian. “Iya, Mas. Aku juga udah selesai belanjanya
“Hahaha biar tau rasa si Galih itu! Galih pikir bisa melawanku?” Suara Juragan Bram terdengar berjalan ke arah gudang. Galih dan Rais seketika bersembunyi di tembok pembatas gudang. Meski pengap dan bau dari kotoran sapi mulai tercium, Galih tetap menahannya demi bisa membebaskan adik Istrinya itu. “Jadi gimana Juragan? Hutang saya bisa lunas kan kalau Aisyah berhasil ke sini?” Suara berat seseorang berhasil membuat Galih tercengang. ‘Sialan! Dia lagi!’ batin Galih mengumpat perbuatan Herman yang lagi-lagi ingin menjual Aisyah pada tua bangka itu. Galih masih berdiam diri di tempat persembunyiannya mendengarkan percakapan Herman dan juragan Bram dengan dada yang bergemuruh. “Sekarang kamu telepon Aisyah, Herman! Suruh dia ke sini sendiri untuk membebaskan Fadil. Dengan begitu, aku bisa dengan mudah menjeratnya masuk dalam perangkapku.” Ucap juragan Bram sambil tertawa. “Siap juragan! Si Galih itu juga pasti nggak di rumah karena tadi kita sudah pancing. Pasti sekarang dia sedang
“Ada apa dengan Fadil, sayang??” tanya Galih ikut panit saat melihat raut wajah istrinya itu yang tegang dan panik. “Tadi ada panggilan dari nomor Fadil, tapi yang bicara bukan Fadil, Mas.” Jawab Aisyah. Galih mengerutkan kening, “Kamu kenal itu suara siapa?” Aisyah menggeleng, “Aku juga gak kenal, Mas... Suaranya laki-laki, tapi bukan suara Paman juga,” Jelas Aisyah sesuai dengan apa yang ia dengarkan tadi. Aisyah kenal betul suara Herman, tetapi suara tadi bukanlah suara pamannya itu. Aisyah menatap Galih serius, “Aku khawatir, Mas... Kita cari Fadil sekarang ya?!” Pinta Aisyah dengan dada yang terasa sesak, membuat Galih segera mengangguk. “Biar Mas Iacak dulu handphonenya Fadil, siapa tau kita bisa dapat di mana keberadaannya sekarang,” kata Galih kemudian segera mengotak atik ponselnya cukup lama. ”Gimana, Mas?” tanya Aisyah penuh harap. “Sepertinya ponsel Fadil sudah tidak aktif, tapi lokasi terakhirnya masih bisa di lihat.” Jelas Galih, setelah melacak keberadaan
“Wajib hukumnya bagi Mas Arman buat menafkahi aku dengan layak. Tapi apa faktanya? Mama menahan semua hak yang harusnya di serahkan ke tanganku sejak awal. Jadi, siapa di sini yang gak tau diri? Aku atau Mama?!” Ujar Syahnaz menyentak perasaan Tiara.“Kurang ajar kamu, ya! Berani kamu bicara begitu di depan saya? Saya juga punya alasan kenapa masih memegang uang Arman! Itu semua karena kamu punya mental miskin dan pengeretan! Bisa habis semua uang anak saya kalo di serahkan sama kamu!” Ungkap Tiara sudah kepalang kesal.“Sudah, Ma. Hentikan semuanya,” pinta Dario melihat istrinya makin murka dan tidak bisa di kendalikan.Lelaki paruh baya itu beralih pada putra semata wayangnya. “Hentikan ini, Arman, Mama dan Syahnaz gak akan kelar perdebatannya kalo kamu diam aja seperti ini!”Arman menelan ludah. Kalau boleh jujur, kepalanya seperti ingin meledak, saking besar rasa pusing yang menghampirinya sejak tadi.“Kamu usir perempuan itu dari hadapan Mama sekarang juga! Mama gak sudi melihat
“Susah payah aku kerja siang malam selama satu bulan lamanya, berusaha meniti karir dari bawah, tapi malah kamu hancurkan dalam waktu sekejap mata! Kamu tau gak, kalau sekarang aku gak punya karir yang cemerlang dan itu semua gara-gara kamu!” Tak hanya sekali Arman membentak Syahnaz. ltu semua harus di lakukan agar amarahnya keluar dengan baik. Selain itu, Syahnaz memang harus di beri pelajaran karena tindakannya sudah sangat fatal. Arman merasa sakit hati dan di khianati, juga terpuruk bukan main. Wajar kalau saat ini ia menggila dan tak memedulikan Syahnaz yang lagi hamil dan sudah tampak ketakutan. “Sekarang jabatanku cuma staf biasa, Syahnaz! Aku di pandang rendah sama semua orang-orang di kantor karena di anggap gak becus dalam bekerja!” Ungkap Arman, menatap nasib. Syahnaz tergugup. Wanita itu menangis, tak menyangka jika masalahnya akan merembet ke mana-mana. Dalam hati Syahnaz sangat menyesal, tetapi semua sudah terlanjur. Syahnaz tidak bisa melakukan apa pun lagi, selain
Sementara itu di rumah Arman, kini Tiara sedang menanti putra semata wayangnya yang belum juga pulang dari kantor. “Duh... Arman kok belum pulang juga ya, Pa...?” Ujar Tiara, gelisah. “Memangnya ada apa sih, Ma? Kamu kok kayak cemas gitu kelihatannya??” tanya sang suami, penasaran. Tiara mengembuskan napas berat, wanita itu pun menceritakan perihal proyek besar Arman yang gagal karena hilangnya berkas penting tersebut. Tiara juga menceritakan tentang Syahnaz yang diam-diam bertemu dengan seseorang. “Astaga Ma... Dari dulu Papa juga gak sreg sama di Syahnaz, Ma. Tapi ya Papa ini kan laki-laki jadi gak mungkin mau banyak omong kayak Mama,” ucap Dario. “lya, Pa. Mama juga sebenarnya gak suka sama perempuan itu! Kalau saja bukan karena dia lagi hamil, Mama juga gak bakal kasih izin mereka nikah,” Tiara mengungkapkan kekesalannya. “Mama juga curiga kalau bayi itu bukan anaknya Arman, Pa...” sambungnya lagi. Dario tercengang, mencoba mencerna ucapan sang istri, “Hah? Maksud Mama apa?
Jakarta, Pukul 12,00 wib. Saat ini Galih dan Aisyah sedang bersiap untuk dinner ke kafe. Sebelum pulang ke rumah dan kembali di sibukkan dengan segala pekerjaan, Galih ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang istri di Jakarta. Galih memilih sebuah cafe elit di daerah pusat Jakarta. “Cafenya bagus ya, Mas...” Puji Aisyah saat sedang duduk menunggu pesanan yang telah di pesan oleh Galih. “Iya, Sayang... Tempatnya instagramble banget, cocok buat nongkrong anak muda zaman sekarang,” Jawab Galih, juga ikut kagum melihat desain cafe tersebut. “lya, Mas... Tapi cafe Mas juga bagus kok,” ucap Aisyah tiba-tiba merasa tak enak hati. Ia takut Galih salah mengartikan kalimat pujiannya tadi. Galih pun terkekeh mendengar ucapan Aisyah barusan. “Memang siapa yang bilang cafe Mas gak bagus?” Aisyah tersenyum sambil menggeleng. “Nggak ada sih, Mas, hee...” jawabnya nyengir Galih seketika terbahak, gemas dengan tingkah istrinya itu, “Kamu itu menggemaskan sekali, sayang...” “Galih.” se
“Ayo Pak Arman, kenapa diam saja?” Desak Tuan Bagas, tak suka jika waktu terbuang percuma seperti ini. Arman menelan ludah. Wajahnya seketika pucat pasi. ‘Ke mana berkas yang udah aku siapkan semalam’ Lirihnya dengan nada panik, seraya mengeluarkan semua barang-barang dari dalam tas. ‘Astaga... Kenapa berkasnya bisa gak ada?’ Lanjutnya lagi. “Ada masalah, Pak?” tanya sekretaris Tuan Bagas. Arman menoleh dan segera menggeleng. la berusaha untuk tetap terlihat tenang, seraya terus membuka semua bagian tasnya. Tapi nihil. Berkas yang ia cari tak ada di sana. Arman berdecak pelan dan berkata, “Apa aku salah simpan berkas itu?” “Pak Arman??” tegur Tuan Bagas untuk yang kedua kalinya. Bingung melihat gerak gerik Arman. Apa sebenarnya yang lelaki itu cari? Tuan Bagas mengirim kode pada sekretarisnya untuk mendekati Arman, barangkali ada hal yang harus di bantu. “Saya mencari berkas perencanaan perusahaan kita,” jawab Arman ketika sekretaris Tuan Bagas menghampirinya. Melihat Arman
“Mas? Kok kamu gak masuk-masuk kamar sih?” Syahnaz menyusul Arman ke ruang kerjanya. “Hmm, lagi sibuk, Naz.” “Memangnya Mas gak capek apa?” tanya Syahnaz. “Capek, tapi kan ini tuntutan pekerjaan. Berkas ini harus aku cek semuanya, besok akan kubawa bertemu klien penting,” jawab Arman membuat Syahnaz tersenyum. “Oh, ya sudah... Aku tidur duluan ya, Mas.” ucap Syahnaz kemudian hendak melangkahkan kakinya keluar. “Syahnaz!!” seru Arman membuat Syahnaz menoleh. “Kenapa, Mas?” “Tadi siang kamu ke mana saja?” tanyanya. “Em, aku cuma ke kafe aja, Mas. Bosen terus di rumah,” Jawab Syahnaz. “Jangan sering keluyuran sendiri, kamu lagi hamil, gak baik!!” “Ya makanya ajak aku jalan-jalan dong, Mas. Kamu sibuk mulu sama pekerjaan kamu itu.” Jawab Syahnaz. “Oke, hari minggu nanti kita jalan,” sahut Arman membuat wajah Syahnaz berbinar. “Kamu serius, Mas?” Syahnaz mengangguk. “Yeayy! Makasih ya, Mas. Aku tau kamu tuh sayang banget sama aku, cuma pasti Mama pengaruhi kamu yang engga-engg
“Pacaran apanya, Ma. Orang ada dua buntutnya gitu,” celetuk Ammar yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu. “Ish, kamu ini Mas! Duit elit piknik sulit!” Ujar Kiara kesal. “Bukan pelit, Sayang. Tapi harus banyak pertimbangan kalau mau piknik tuh. Mayra dan Kayra pasti akan sangat heboh kalau di ajak piknik, jadi kita harus bawa baby sitter,” ucap Ammar memberi masukan, tetapi Kiara hanya melirik kesal. “Sudah-sudah, kita ke sini gak mau lihat keributan kalian.” Galih melerai, senang sebenarnya melihat keabsurd-an mereka, tetapi lama-lama kepalanya juga akan pening. “Tante! Ayo main sama Mayra...” Pinta Mayra, mengajak Aisyah untuk bermain bersamanya. Aisyah menoleh ke arah Galih, lelaki itu pun mengangguk seraya tersenyum, pertanda mengiayakan. Akhirnya Aisyah bermain bersama dua gadis kembar itu. Kiara juga ikut berbaur bersama mereka. Benar kata Galih, Aisyah merasa sangat senang berkunjung ke rumah Kiara. Selain Kiara orangnya ramah dan baik hati, dua putrinya juga sangat l